Chapter Tujuh: Kencan Lagi?!
“Maaf membuatmu menunggu, Senpai!”
“Aku juga baru sampai, jadi santai saja.”
Sudah dua hari berlalu sejak aku jalan-jalan dengan Kana. Touka sudah sembuh, dan kami memutuskan untuk berkencan di mall hari ini. Aku baru saja sampai di sini, dan dia kebetulan melihatku, jadi sekarang dia berjalan ke arahku sambil melambaikan tangannya.
“Nah itu! Kata-kata klise yang selalu diucapkan anak SMA sebagai alasan kepada gadis yang baru sampai di tempat janjian! Aku yakin kamu sudah menunggu di sini cukup lama, dengan napas tertahan, menggigit kukumu menanti kedatanganku!”
“…Apakah kamu benar-benar ingin aku mengatakan yang sebenarnya?” kataku sambil memaksakan senyum.
“Seriusan? Lagipula, sudah lama sejak terakhir kali kita berkencan. Kamu sangat menantikan ini, kan?”
“Tidak ju—”
“Jadi, kamu sangat menantikannya. Hmmm?” katanya sambil menatap langsung ke mataku, dengan seringai puas terpampang di wajahnya.
“Baiklah, mungkin hanya sedikit.”
“Yuuji-senpai…” tapi cukup cepat dia kembali ke wajah sombongnya, dan berkata “Jangan pernah berubah, Senpai! Tetaplah selalu mudah untuk kujahili!”
“Ngomong-ngomong, ada alasan khusus kenapa kamu memilih bertemu di sini?” tanyaku, tidak repot-repot memberinya lebih banyak bahan ledekan terhadapku.
Untungnya, Touka tampaknya tidak terlalu peduli dengan aku yang ingin mengubah topik pembicaraan, “Karena kita akan melihat kembang api, aku berpikir datang ke sini untuk memilih yukata yang bagus bersamamu. Yukata yang akan membuatmu jatuh cinta padaku lagi!”
Touka, apa yang kamu maksud dengan “lagi?” Ah baiklah, bodo amat. Mari kita abaikan saja.
“Tentu saja, kamu belum lupa janjimu. Iya kan, Senpai?”
“Ya, aku belum lupa. Jadi kita di sini untuk membeli yukata untukmu, ya?”
“Oh, tidak. Aku akan menyewanya pada hari perayaan. Hari ini kita di sini hanya agar aku bisa mengetahui apa yang kamu suka jadi aku tahu apa yang harus dipilih. Sama seperti pakaian renangku. Ingat?”
Kurasa dia memang pernah bilang bahwa dia ingin mendengar pendapatku sebelum membeli pakaian renang barunya, tapi aku tidak ingat kapan tepatnya.
“Dan sekarang kamu membayangkan aku mengenakannya, dasar mesum,” ucapnya dengan nada bercanda.
“Suasana hatimu sedang bagus hari ini, ya?”
“Suasana hatiku selalu bagus saat bersamamu, Senpai.”
“Pembohong. Aku tahu dirimu lebih dari cukup untuk tahu bahwa kamu cenderung terbuka. Kapan pun kamu sangat bahagia, kamu menunjukkannya, dan kapan pun kamu marah, yah…”
Tiba-tiba, aku mendapati diriku tidak dapat menyelesaikan kalimat itu, karena Touka tersenyum mengancam padaku, “Oh, ayolah, Senpai! Aku tidak pernah marah, kamu tahu itu!” katanya sambil terkekeh.
Dia bisa mengatakan apapun yang dia mau, tapi ketika Ike memberitahunya tempo hari kalau aku datang menjenguknya, dia cukup kesal. Jadi ya, aku bisa bilang suasana hatinya sangat baik hari ini.
“Ayo kita pergi melihat-lihat yukata,” kataku, mencoba mengalihkan pembicaraan lagi.
“Ya! Ayo!”
Kami mulai berjalan, dan Touka melingkarkan lengannya di lenganku.
“Touka, bukankah kamu terlalu dekat? Aku akan mulai berkeringat jika terus begini.”
“Inilah yang dilakukan pasangan setiap kali mereka kencan, Senpai.”
Aku ingin mengingatkannya bahwa kami bukan pasangan sungguhan, tapi dia akan menemukan cara untuk memutarbalikkan kata-kataku agar apa pun yang dia ingin dengar menjadi kenyataan.
“Tidak bisakah kita hanya berpegangan tangan saja?” tanyaku padanya.
“Oh?” ucapnya, seringai kembali terlihat di wajahnya.
“Menurutku bergandengan tangan akan memberi kita suasana yang lebih romantis, tapi aku juga tidak keberatan hanya berpegangan tangan denganmu, karena bagaimanapun juga, kamu adalah anak yang pemalu. Hehe, kamu manis sekali, lho?”
“…Ya, aku hanya malu. Tentu.”
Lalu aku melepaskan gandengan lengannya dari tanganku dan menggenggam tangannya.
“Wo-Wow, kamu benar-benar melakukannya…” katanya, memerah.
Untuk sesaat reaksinya membuatku berpikir bahwa aku telah melakukan sesuatu yang salah, tapi dengan cepat aku menyadari bahwa bukan itu masalahnya.
“Menurutku ini pertama kalinya kamu duluan yang memegang tanganku.”
“…Iyakah?”
“Ya!”
Aku tahu ini pasti bagian dari rencana yang dia buat di kepalanya, tapi sejujurnya aku sangat malu sekarang dan tidak sanggup memberikan bantahan.
☆
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di toko khusus yukata. Saat Touka melihatnya, dia berseru, “Whoa! Ada begitu banyak yukata yang cantik di sini!” sambil bergegas menuju ke arah yukata. Dia mulai memilih mana saja yang menarik perhatiannya, memastikan untuk memeriksanya dengan cermat.
“Yukata macam apa yang kamu ingin aku pakai, Senpai?” tanya dia sambil tersenyum.
“Yukata yang paling ingin kamu pakai,” jawabku.
“Kamu tidak bisa memberikan jawaban yang lebih biasa daripada itu, ya Tuhan…” bisiknya sambil mendesah seketika.
Kenapa aku begitu tidak mengerti cara berkomunikasi dengan orang lain? Memikirkan seluruh situasi ini membuatku merasa malu pada diriku sendiri.
“Tunggu, beri aku waktu sebentar. Aku akan memikirkannya dengan serius.”
“Oh! Aku sebenarnya hanya mencari ide samar, tapi jika kamu bersedia memilihkannya untukku, itu akan luar biasa!”
Aku menatap beberapa yukata dengan cermat, dan biasanya seorang pria tidak boleh menatap sesuatu yang dibuat khusus untuk wanita, tapi untungnya Touka ada di sampingku selama itu semua.
Setelah beberapa saat, aku akhirnya berhasil mengambil keputusan.
“Oke, Touka, maaf membuatmu menunggu. Yang ini bagus,” kataku sambil menyerahkan yang aku pilih. Itu terbuat dari kain biru gelap, dihiasi dengan motif bunga biru dan putih.
“Jadi… kenapa yang ini?” tanya dia.
“Karena hari itu akan panas, akan lebih baik kalau kamu memakai warna-warna yang terang, jadi kamu tidak terlalu menderita saat memakainya.”
“Tunggu, kamu memilihnya karena alasan praktis?!” teriaknya, jelas kesal.
Apakah kata-kataku juga salah kali ini? Kenapa, diriku? Kenapa? Cih! Sudah kuduga pasti ada sesuatu dalam jawabanku ini yang tidak dia sukai, tapi apa itu? Cepat, Yuuji! Pikirkan sesuatu yang lain!
“Oke, aku… Sejujurnya aku juga berpikir kalau pola dan warna ini paling cocok untukmu,” lanjutku sambil membuang muka.
Touka memasang wajah datar selama beberapa detik, diikuti dengan senyuman, “Bagus sekali, Senpai. Kata yang bagus,” katanya sambil terkekeh.
“Baiklah! Kalau begitu aku pilih yang ini!”
“Tunggu… itu saja? Apakah kamu tidak akan mencobanya dulu?”
Kata-kataku membuatnya tersipu, “Oh, tidak apa-apa! Aku ingin memakai apapun yang kamu ingin lihat aku pakai! Aku mengerti kenpa kamu ingin melihatku memakainya sekarang, tapi kamu harus menunggu sampai festival untuk melihatku memakainya. Kamu sebaiknya menjadi anak baik dan melakukan semua yang aku katakan sampai saat itu tiba, jika tidak, aku tidak akan menunjukkannya padamu. Mengerti?”
“Touka, ayolah, aku bukan anjing.”
Dia menjulurkan lidahnya bercanda.
“Oh ya, Senpai, apakah kamu akan mengenakan yukata juga? Setelah kupikir-pikir, aku yakin jinbei juga akan terlihat bagus untukmu.”
“Aku lebih suka tidak terlihat seperti yakuza yang sedang berkeliling, jadi mungkin aku tidak akan memakainya.”
“Kamu terlalu khawatir soal itu, sungguh! Tapi, maksudku, jika kamu tidak ingin memakainya, aku tidak akan memaksamu. Bisakah kamu setidaknya mencobanya dulu, dan lihat bagaimana rasanya?”
“Tentu, setidaknya aku bisa mencobanya…”
Touka dengan cepat memberiku jinbei tepat setelahnya.
“Ini dia! Ayo pergi ke kamar pas!” katanya sambil meraih tanganku dan memimpin jalan. Dia meminta izin kepada pegawai toko untuk menggunakan ruang tersebut, dan begitu dia mendapatkannya, aku pun memasuki salah satu kamar pas.
Aku mengganti pakaianku ke jinbei dan melihat diriku di cermin. Jujur saja, aku merasa seperti seorang yakuza sungguhan dari film sekarang. Aku merasakan aura berandalan di sekitarku. Apa-apaan denganku ini? Aku tahu ini sebagian besar karena aku terlihat seperti ingin membunuh seseorang, tapi…
Aku menghela nafas, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, dan meninggalkan kamar pas.
“Oh, kamu sudah selesai?! Biar kulihat!”
Saat dia melihatku, dia terdiam beberapa saat, lalu dengan cepat memberiku tatapan terkejut, “Aku akan jujur denganmu sekarang, Senpai, kamu terlihat seperti akan melakukan kejahatan kapan saja sekarang.”
“Sudah kuduga…”
“Mungkin hanya imajinasiku saja, tapi sepertinya aku sudah membayangkan tato naga konyol di punggungmu, dari karakter videogame itu… siapa namanya, ya?”
“Tunggu, kamu bisa membayangkan apa?”
“Aku sedikit bercanda, jangan terlalu dipikirkan, Senpai.”
“Sedikit?” Jadi dia sebenarnya hampir serius?
Ketika aku mulai berpikir bahwa sudah waktunya bagiku untuk melepaskan jinbei ini dan tidak pernah mencobanya lagi, Touka memotretku. Dia langsung memeriksanya dan tertawa. Aaaaah! Apa aku terlihat selucu itu saat memakai ini?!
“Pokoknya! Kamu terlihat bagus! Apakah kamu ingin mencoba memakainya di festival?”
“Tidak mungkin.”
“Ya ampun… setidaknya aku pernah melihatmu memakai ini sekali, jadi aku akan membiarkanmu.”
Aku sangat penasaran apakah dia sedang bercanda atau tidak saat ini…
“Se-Senang mendengarnya…” kataku akhirnya, tak bisa mengatakan apapun lagi.
☆
Touka melakukan reservasi di tempat itu, dan kami segera pergi sesudahnya.
“Nah, kita sudah selesai dengan apa yang ingin kamu lakukan, tapi kurasa ada lagi hal lain yang ingin kamu lakukan hari ini, kan?” tanyaku.
“Tentu! Ayo kita jalan-jalan sebentar! Berkeliling melihat-lihat!”
“Kedengarannya bagus.”
Aku sebenarnya belum pernah melakukan sesuatu seperti itu sebelumnya, jadi ini terdengar seperti ide yang bagus.
Saat kami berjalan berkeliling, aku kebetulan melihat toilet umum, yang tiba-tiba membuatku ingin pergi ke sana.
“Maaf. Apakah kamu keberatan jika aku pergi ke sana sebentar?”
“Oh, kalau begitu aku juga.”
Kami berdua masuk pada waktu bersamaan. Setelah selesai mencuci tangan, aku pergi dan melihat sekeliling untuk mencari apakah dia sudah selesai juga, tapi nah, dia tidak terlihat di mana pun. Aku duduk di sofa terdekat di samping toilet untuk menunggunya. Tidak lama kemudian, dia muncul, tapi entah kenapa dia tampak bingung.
“Apa ada masalah?”
“Tidak, tapi… aku menemukan dompet di dalam sana,” katanya sambil mengeluarkan dompet putih dari tasnya dan menunjukkannya padaku.
Ya, itu jelas bukan dompet Touka, jadi seseorang pasti menjatuhkannya.
“Mungkin ada yang menjatuhkannya di sana.”
“Kemungkinan besar begitu. Sepertinya ada uang tunai di dalamnya juga.”
“Ya,” kataku sambil mengangguk.
“Apakah kamu sudah memeriksa isinya?”
“Belum, tapi mungkin pemilik dompet ini memiliki kartu pengenal di dalamnya, jadi kita mungkin harus memeriksanya, ya.”
“Sebenarnya, kita sebaiknya menyerahkan ini pada staf dan biarkan mereka menanganinya daripada kita,” usulkku.
“Ya, aku lebih suka tidak mendapat masalah, jadi ayo kita lakukan itu saja.”
“Mari kita ke stan informasi dan menyerahkannya di sana. Mereka akan tahu apa yang harus dilakukan.”
“Tentu, ayo,” katanya.
Kami tiba di stan informasi. Wanita yang menjaga stan terlihat agak terintimidasi saat melihatku, tapi untungnya Touka meredakan situasi dengan menempatkan dirinya di antara kami berdua, menenangkan wanita itu. Dia menyerahkan dompet itu pada wanita tersebut, memberitahunya di mana kami menemukannya, dan mengisi formulir dengan beberapa informasi yang dia perlukan, seperti nama Touka dan sebagainya.
Saat kami hampir menyelesaikan prosedurnya dan hendak pergi… “Oh, Touka-san?!”
Ketika kami berbalik untuk melihat siapa pemilik suara yang tak asing itu, kami menyadari bahwa itu adalah Tatsumiya, yang ternyata berdiri di depan stan tepat di samping kami. Dia jelas senang melihat Touka.
“Oh, Tatsumiya.”
“Oh… dan Tomoki-san…” katanya, senyumnya menjadi masam.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Otome-chan? Ini kios anak hilang, jadi…”
“Mungkinkah kamu tersesat atau semacamnya?”
“Lelucon yang luar biasa, Tomoki-kun. Lucu sekali,” katanya sambil tertawa kecil, meski terlihat jelas bahwa dia ingin membunuhku sekarang.
“Um, onee–chan, apakah mereka temanmu?” terdengar suara seorang gadis yang datang dari belakang Tatsumiya.
Aku tidak sadar sebelumnya, tapi ada seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan berdiri di belakangnya.
“Tolong jangan menakuti mereka, Tomoki-san,” kata Tatsumiya, khawatir.
“Uhh, maaf.”
Sepertinya mereka berdua cukup takut dengan penampilanku, jadi aku memutuskan untuk menutupi wajahku dengan kedua tangan sehingga mereka tidak perlu melihatnya.
“Um, apa kamu mencoba melucu atau semacamnya, Senpai?”
“Tidakkah kau lihat aku sangat serius sekarang?”
“Maaf, Tomoki-san, tapi bisakah kamu berhenti menutupi wajahmu seperti itu? Itu hanya memperburuk situasi, percayalah,” kata Tatsumiya sambil membungkuk padaku.
Sejujurnya, aku tidak paham. Jadi, jika aku tidak menyembunyikan wajahku, anak-anak itu akan takut, tapi jika aku menyembunyikannya, mereka juga takut? Ya ampun, aku harus bagaimana?
“Apakah mereka berdua adikmu, Otome-chan?”
“…Kalau memang begitu, mereka jelas tidak terlihat mirip denganmu.”
“Dan kamu benar. Mereka bukan adikku,” katanya sambil mengelus rambut mereka, “Kedua anak ini tersesat, dan mereka terlihat khawatir, tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku memanggil mereka dan memutuskan untuk menuntun mereka ke sini. Sekarang kita semua sedang menunggu ibu, kan, adik-adik?” katanya dengan suara lembut sambil jongkok dan menatap mata kedua anak tersebut.
“Kenapa kamu tetap di sini bersama mereka? Bukankah mereka seharusnya sudah baik-baik saja sekarang?”
“Lagipula aku tidak punya kesibukan lain. Selain itu, aku yakin dikelilingi oleh orang dewasa sangat menegangkan. Aku tidak akan jauh berbeda jika aku berada di posisi mereka.”
Sungguh keren melihat bahwa Tatsumiya bukan hanya gadis yang terobsesi dengan Ike, tapi juga seseorang yang peduli terhadap anak-anak dan membantu orang lain jika dia melihat mereka kesulitan.
Aku melihat salah satu anak itu berbisik sesuatu ke Tatsumiya, membuatnya tertawa sebagai tanggapan.
“Ada apa?” tanyaku padanya.
“Dia bertanya kenapa kamu terlihat sangat marah,” katanya dengan jelas merasa terhibur, saat anak-anak itu bersembunyi di belakangnya.
“Dengarkan aku, kalian berdua. Dia tidak marah pada kalian, dia hanya tidak puas dengan masyarakat zaman sekarang, itu saja.”
“Aku selalu bisa marah padamu jika kau mau,” kataku balik, menyadari anak-anak itu menatapku sambil menyembunyikan diri di balik punggung Tatsumiya, jelas merasa ketakutan, kemudian kembali melihat ke Tatsumiya.
Hal ini membuatku tidak terlalu marah, tapi pada saat yang sama Tatsumiya menyeringai, tahu betul apa yang terjadi, jadi aku masih sedikit marah padanya.
“Adik-adik! Ibu kalian sudah di sini!” kata salah satu pegawai, memunculkan wajahnya dari balik pintu yang menuju ke ruangan tempat kami berada. Sang Ibu muncul tak lama setelah itu, bergegas menuju anak-anaknya. Dia tampaknya berusia akhir dua puluhan.
“Ibu!” teriak kedua anak itu sambil berlari mendekati ibu mereka.
“Ibu minta maaf karena tidak mengawasi kalian, tapi tolong bersikaplah baik mulai sekarang, oke?” katanya sambil memeluk mereka.
“Baik, Bu…”
“Kami minta maaf.”
“Um, terima kasih sudah menjaga mereka sampai aku datang,” kata sang ibu setelah itu sambil membungkuk kepada kami.
Senang melihat dia tidak peduli dengan penampilanku, tidak seperti anak-anaknya yang tampaknya sangat takut padaku.
“Sebenarnya dialah yang menjaga mereka,” aku memutuskan untuk menjelaskan.
“Kami hanya kebetulan ada di sini saat Anda tiba,” tambah Touka, saat dia dan aku sama-sama memandang Tatsumiya.
“Oh, begitu. Baiklah, terima kasih atas bantuannya,” kata si Ibu sambil menjabat tangan Tatsumiya.
“Tidak perlu. Mereka asyik untuk diajak bermain!”
“Bisakah kita menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, bu?”
“Ya! Aku juga ingin lebih lama bersamanya!”
Sungguh menakjubkan melihat Tatsumiya berhasil membina hubungan dengan mereka dalam waktu sesingkat itu.
“Kalian berdua, jangan menyusahkan ibu kalian, ya,” kata Tatsumiya tiba-tiba, dengan nada seriusnya yang biasa.
“Aku sering datang ke sini, jadi aku yakin ini bukan kali terakhir kita bertemu. Kalau kita bertemu, aku pastikan kita semua bersenang-senang bersama lagi. Oke?”
“Jadi, kakak akan bermain dengan kami lagi?”
“Tentu saja.”
“Bagus! Janji, ya!”
Setelah percakapan itu, anak-anak dan ibunya pergi.
“Sangat menakjubkan melihat mereka begitu menyukaimu dalam waktu sesingkat itu,” kata Touka, terkesan.
“Bukan seperti itu,” lanjut Tatsumiya, tidak ingin menyombongkan diri.
“Apakah kalian berdua memiliki rencana setelah ini? Ini kesempatan langka, jadi kalau tidak keberatan, bagaimana kalau kita pergi minum teh bersama?”
“Yah, sebenarnya kami sedang berkencan, tapi kamu benar, ini kesempatan langka… apakah tidak apa-apa, Senpai?”
Jarang sekali melihat Touka tidak langsung menolak, tapi aku berasumsi dia telah dilunakkan oleh adegan Tatsumiya yang menjaga anak-anak.
“Tentu, aku tidak keberatan.”
Sejujurnya, aku merasakan hal yang sama.
“Bagus. Ada restoran keluarga di mal ini, jadi bagaimana kalau kita ke sana?”
“Tentu,” kataku.
“Aku sih tak masalah!” tambah Touka.
“Haruskah aku mengajak Ketua juga?” tanya Tatsumiya.
“Langkahi dulu mayatku,” jawab Touka langsung.
“…Aku hanya bercanda,” ucapnya sambil menyimpan ponselnya kembali ke tas, tampak kecewa. Dia jelas tidak bercanda, tapi aku tidak akan mengomentari hal itu.
“Kalau begitu, ayo kita pergi ke restoran itu, dan… huh?”
Tangannya masih berada di dalam tasnya, dan dengan cepat dia mulai kehilangan ketenangan, seolah-olah ada sesuatu yang hilang di dalamnya.
“Ada apa?”
“Yah, aku tidak bisa menemukan dompetku. Aku mungkin menjatuhkannya entah di mana…” katanya sambil tetap mencarinya di dalam tas, “Maaf. Mari kita… lakukan itu di lain waktu, kurasa…”
“Dompet seperti apa?” tanya Touka.
“Dompet berwarna putih dan berbentuk bulat. Aku tidak ingin merepotkan kalian, jadi jangan repot-repot mencarinya.”
Aku dan Touka saling berpandangan.
“Aku rasa kami menemukannya.”
“Kami datang ke sini untuk menyerahkannya kepada para petugas dengan harapan mereka dapat menemukan pemiliknya.”
“Tunggu, benarkah!?” serunya, mendapatkan kembali keceriaannya.
Kami memanggil salah satu petugas dan menjelaskan situasinya, membuatnya menunjukkan dompet itu pada Otome, dan…
“Oh, itu dompetku!… Syukurlah!” seru Tatsumiya, merasa lega.
Resepsionis memintanya untuk memeriksa isinya untuk berjaga-jaga sambil tersinyum, yang mana Tatsumiya turuti setelah membungkuk pada kami, mungkin dia ingin memastikan kami tidak mancuri apapun dari dalamnya.
“Jangan khawatir,” kami berdua berkata padanya sebagai jawaban.
“Terima kasih. Sepertinya tidak ada yang hilang di sini, jadi baguslah.”
“Syukurlah.”
“Ya, senang mengetahuinya.”
Tatsumiya tersenyum pada kami, “Terima kasih banyak, teman-teman! Sebagai gantinya, tehnya aku yang traktir!”
“Uhh, kamu tidak perlu sejauh itu.”
“Aku tidak berperan apa pun di sini. Malahan, ajak saja Touka. Lagipula, dialah yang menemukan dompetmu.”
Setelah perdebatan sengit, nampaknya Tatsumiya tidak mau menerima penolakan, jadi kami pun akhirnya menerima tawarannya.
“Uhh, tapi aku benar-benar tidak melakukan apa-apa, ajak saja Touka, dan—”
“Oh, jangan khawatir, Tomoki-san, aku akan menerima tawaran itu!” katanya dengan seriangai di wajahnya.
☆
Kami pun tiba di restoran keluarga, memesan minuman, dan duduk di meja, tempat kami mengobrol sebentar.
“Apa yang kalian lakukan hari ini?” tanya Tatsumiya pada Touka.
“Melihat-lihat yukata untuk festival mendatang.”
“Oh, begitu. Apakah kamu menemukan sesuatu yang kamu sukai?”
“Iya. Tapi yah, mungkin aku harus memperjelasnya. Senpai yang suka, jadi aku memilihnya,” kata Touka dengan seringai puas.
“…Aku harap kamu memilih yang panjangnya sesuai dan bukan sesuatu yang tidak senonoh,” jawab Tatsumiya, menatapku dengan tajam.
“Percayalah, semuanya baik-baik saja.”
“Senang mendengarnya…”
Mungkinkah dia marah padaku karena dia ingin ikut dalam proses pemilihan yukata? Kalau tidak, aku benar-benar gagal paham kenapa dia merasa kesal sekarang. Dia jelas merasa cemburu sampai tingkat tertentu, tapi aku akan fokus pada es kopiku dan mengabaikannya saja.
“Oh, kopimu sudah habis, Senpai? Aku bisa mengisinya ulang untukmu jika kamu mau.”
“Tentu. Terima kasih, dan maaf merepotkan.”
Touka mengambil gelasku dan pergi. Setelah dia pergi, Tatsumiya segera menatapku dengan tatapan paling dingin yang bisa kalian bayangkan, “Aku tahu kamu akan berpikir aku orang jahat, tapi kamu tidak melihat isi dompetku, kan?”
“Tidak. Apakah ada sesuatu yang hilang di dalamnya, atau apa?”
“Tidak, bukan seperti itu! Aku hanya ingin memastikan, jadi jangan khawatir!” jawabnya, jelas gugup.
“…Dengar, meski aku melihat foto Ike di dalamnya pun, aku tidak akan berkomentar apa pun.”
“Ka-Ka-Kamu salah paham! Ada rumor yang beredar di sekolah bahwa menyimpan foto Ketua di dompet akan membawa keberuntungan, jadi aku mencobanya untuk memastikan apakah itu benar. Jika aku kebetulan memilikinya, itu bukan karena aku menyukainya atau semacamnya!”
Ya Tuhan, dia terlihat seperti orang yang mencoba membela diri di depan kasir karena membeli kondom.
“Jadi… kamu benar-benar punya foto Ike di dalam sana?”
Saat aku mengatakan itu, dia membeku di tempat, dan menyadari apa yang baru saja dia katakan, dia sekali lagi menatapku dengan marah, menggeretakkan giginya juga.
“Kau menipuku, Tomoki-san. Sungguh menjijikkannya dirimu…”
“Kau sendiri yang melakukannya. Jangan memutarbalikkan fakta,” kataku sambil menghela nafas.
“Maaf sudah membuatmu menunggu, Senpai!” kata Touka, saat dia datang membawa minuman isi ulang.
“Terima kasih,” kataku, sambil mengambil gelas darinya.
Saat aku hendak menyesapnya, aku menyadari bahwa sedotan di gelas itu masih baru… tapi apakah ini benar-benar baru? Ada yang tidak beres.
…Sekarang aku mengerti. Touka menggunakan sedotan ini beberapa saat yang lalu. Aku yakin saat aku menggunakannya, dia akan mulai berbicara tentang bagaimana aku baru saja memberinya ciuman tidak langsung. Jadi sebelum bencana itu terjadi, aku memutuskan untuk mengambil sedotan itu dari gelas.
“Apakah kamu tidak akan menggunakan sedotan, Senpai?”
“Tidak, lagi tidak ingin saja.”
“Pasti kamu pikir itu adalah sedotan yang sudah pernah aku pakai sebelumnya,” katanya.
Aku tetap diam, dan merasa bahwa dia kurang lebih membaca pikiranku, dia pun menambahkan, “Ini benar-benar sedotan baru, Senpai. Bukankah kau sedikit narsis, berasumsi bahwa aku akan melakukan sesuatu yang sejauh itu untukmu? Hm?” katanya dengan seringai sombong klasiknya.
…Mungkin dia benar, tapi sudah terlambat bagiku untuk mundur sekarang. Aku sadar akan kemungkinan itu, dan itu sudah lebih dari cukup. Yang bisa kulakukan hanyalah diam untuk menghindari rentetan ejekan.
“Oh, sungguh malang. Senang melihatmu menderita nasib yang sama sepertiku, Tomoki-san, sungguh,” kata Tatsumiya dari seberang meja.
Cih, aku tidak suka cara dia mengucapkannya, tapi dia benar. Aku dipermainkan.
☆
Kami masih mengobrol sebentar, tapi Tatsumiya menyebutkan bahwa dia harus pergi ke bimbel musim panasnya, jadi dia memutuskan sudah waktunya untuk berpisah.
“Terima kasih banyak untuk hari ini, teman-teman. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa dompetku,” katanya sambil membungkuk kepada kami.
“Kamu sudah mentraktir kami minuman, jadi kamu tidak perlu berterima kasih pada kami lebih dari itu!” kata Touka sambil tersenyum.
Sebelum dia pergi, dia mendekatiku dan berbisik di telingaku, “Ngomong-ngomong, Tomoki-san, pastikan untuk tidak memberitahukan rahasia dompetku kepada siapa pun, mengerti?”
“Tentu,” jawabku dengan wajah datar.
Touka, yang melihat percakapan itu, nampaknya tidak terlalu senang dengan apa yang terjadi.
“Ada apa?”
“Oh, um…”
Tatsumiya nampaknya ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu, jadi aku akan membantunya.
“Dia hanya memperingatkanku untuk tidak melakukan sesuatu yang kotor padamu.”
Touka tertawa kecil lalu mendekatiku, “Oh, aku sama sekali tak masalah jika kamu benar-benar melakukannya, Senpai…” katanya dengan nada yang agak provokatif.
“Tomoki-san…?” kata Tatsumiya, menusukku dengan tatapan dinginnya.
Sial! Aku seharusnya mengatakan sesuatu yang tidak akan memicu situasi ini. Sekarang dia akan marah padaku!
…Tapi tunggu, dia tertawa? Apa?
“Terima kasih, Tomoki-san,” katanya.
“Kalau begitu, aku permisi dulu. Kalian berdua bersenang-senanglah.”
Dia lalu pergi, dan begitu dia pergi, Touka memutuskan untuk memecah keheningan.
“Nah. Sekarang si gangguan itu sudah pergi, bagaimana kalau kita menikmati sisa kencan kita?”
“Untunglah kamu menunggu Tatsumiya pergi dulu sebelum mengatakan itu.”
“Oh, aku hanya ingin membuat lelucon sedikit tentangnya! Pokoknya! Ayo jalan!” katanya sambil menggenggam tanganku dan menuntunku keluar restoran, matanya berbinar-binar penuh semangat.