Chapter Enam: Diam Adalah Satu-Satunya Jawabanku
Hari ini adalah hari setelah aku menjenguk Touka. Aku berada di kamarku menikmati udara dingin dari AC sambil bertukar pesan dengannya lewat ponsel. Aku telah menyuruhnya untuk beristirahat agar dia bisa sembuh secepatnya, dan sebagai tanggapan, dia, yah…
“Aku tahu kamu sangat ingin aku cepat sembuh, kan, Senpai? Kamu tidak sabar untuk berkencan denganku! Tidakkah menurutmu kamu seharusnya mencoba untuk tidak terlalu mengumbar perasaanmu padaku? Hmm? Hmmmm?!”
Aku memutuskan untuk tidak menanggapi ledekannya, dan malah fokus pada urusanku sendiri.
Aku menunggu sebentar, dan ponselku tiba-tiba bergetar lagi. Untuk sesaat aku mengira itu dari Touka yang menuntut jawaban dariku, tapi sebenarnya itu dari Kana, jadi aku buru-buru memeriksa dia ada perlu apa.
“Bsk km senggang? Ak ingin nonton film bersamamu.”
Benar… aku ingat dia menyebutkan sesuatu tentang itu saat kami berada di pantai. Aku memberitahunya bahwa aku ingin semua orang juga ikut, dan jujur, meskipun aku tidak benar-benar pacaran dengan Touka, aku merasa agak tidak enak jika tidak mengajaknya dalam rencana ini, terutama karena dia sedang sakit.
Aku berjanji pada Touka bahwa aku akan menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, tapi pada saat yang sama, Kana juga adalah teman baikku, dan aku lebih suka untuk tidak mengecewakannya.
Setelah memikirkannya sebentar, mataku tertuju pada kalender di dekatku, dan aku menyadari bahwa besok adalah…
“Tentu, boleh saja,” jawabku akhirnya.
Kana tidak butuh waktu lama untuk menjawab, “Hore! Benar, aku ingin kita berdua saja, jadi jangan mengajak Touka-chan atau yang lain, mengerti?!”
“Tidak masalah.”
“Semoga begitu…”
Dia memberitahukanku waktu dan tempat untuk bertemu, dan setelah aku memberitahunya bahwa aku akan datang besok, aku mematikan ponselku dan berbaring di tempat tidur, mengenang musim panas yang pernah aku habiskan bersama Natsuo dulu.
☆
Keesokan harinya, aku berdiri di dekat stasiun kereta terdekat dari bioskop. Ini adalah tempat yang sama dengan tempat kencan pertama aku dan Touka.
Aku tiba di sini sedikit lebih awal, jadi Kana belum ada di sini. Aku membuka ponsel dan memutuskan untuk menelusuri beberapa situs berita untuk membaca beberapa artikel sehingga aku dapat menghabiskan waktu sambil menunggunya, ketika tiba-tiba, pandanganku terhalang sepenuhnya.
“Coba tebak siapa?” suara manis memanggil dari belakangku.
Mengingat aku menunggu Kana, berarti itu hanya dia. Hanya dia dan Touka yang akan melakukan hal seperti ini.
“Kana, kan?” jawabku cepat sambil menggenggam tangannya dan berbalik.
Dan itu benar dia. Dia memerah entah kenapa, menatapku dengan jelas terkejut.
“Y-Ya, kamu benar…”
“Kenapa kamu terkejut begitu? Kamu tidak mungkin benar-benar berpikir kalau aku tidak bisa menebak itu, kan?”
“Yah, err… aku…” katanya sambil gelisah dan membuang muka.
Sejenak aku bingung kenapa wajahnya begitu merah, tapi dengan cepat aku menyadari bahwa aku sedang memegang tangannya. Itulah alasan kenapa dia bertingkah seperti ini.
“Ka-Kamu tiba-tiba memegang tanganku, jadi mau bagaimana lagi, kan…”
Aku meminta maaf dan mencoba melepaskan tangannya, tapi dia malah menggunakan tangannya untuk memegang tanganku sebelum aku bisa menggerakkannya.
“Bisakah kita… berpegangan tangan seperti ini selama jalan-jalan kita hari ini?” tanya dia dengan senyum berseri-seri, masih tersipu.
“Apakah kamu yakin? Di sini panas sekali sampai-sampai tanganku akan cepat berkeringat jika kita melakukan itu,” kataku dengan suara tegas, berharap dia tidak menyadari betapa malunya aku saat ini.
“Tunggu! Apakah itu berarti kamu akan memegang tanganku jika hari tidak panas?!”
“…Oke, biar aku perjelas, kita tidak seharusnya melakukan itu.”
“Ukh! Yuuji, kamu jahat sekali!” teriaknya langsung tepat setelahnya.
“…Ayo kita segera nonton film itu saja, oke?” lanjutku, berharap dia akan menyerah dan kami bisa melanjutkan kegiatan kami.
“…Okelah!” katanya, jelas kesal, sembari kami menuju bagian dalam gedung.
☆
Kami sekarang berada di dalam bioskop. Tempatnya cukup ramai. Maklum, karena ini adalah musim panas, dan ini adalah tempat yang populer.
Kana langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk membahas kembali pembicaraan kami sebelumnya, “Yuuji-kun, banyak sekali orang di sini, ya? Bukankah lebih baik kita berpegangan tangan agar kita tidak terpisah atau tersesat?”
“Tidak apa. Aku akan selalu mengawasimu sehingga hal itu tidak terjadi.”
“Tunggu, apa?!” teriaknya, segera meletakkan tangan di pipinya dan tersipu setelahnya.
Um, apakah dia baik-baik saja? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?
“Sepertinya kamu menjadi lebih… agresif hari ini, Yuuji-kun. Kamu akan mengawasiku setiap saat, katamu?” lanjutnya.
Aku tidak tahu bagaimana dia bisa menafsirkannya seperti itu, tapi itu salah. Tapi mengatakan hal lain hanya akan menambah minyak ke dalam api, jadi aku hanya akan diam saja.
“…Ngomong-ngomong, apakah ada film yang ingin kamu tonton, atau…?”
Dia mengangguk dan menunjuk ke poster tertentu di dekatnya, “Aku sangat ingin menonton ini bersamamu,” katanya, dan saat aku melihat poster itu: itu adalah film romansa, berdasarkan serial novel yang sangat populer.
“Aku sudah lama ingin menonton ini bersamamu.”
Jujur saja, aku juga tertarik dengan yang satu ini. Aku sudah membaca novel dan adaptasi manga-nya, jadi film ini adalah sesuatu yang ingin aku tonton suatu saat nanti.
“Bagus, aku juga sangat ingin menonton yang ini, jadi ayo,” kataku, langsung membuat Kana menatapku dengan tidak percaya.
“…Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh?”
“Huh? Oh, tidak… hanya saja aku sama sekali tidak menyangka kamu akan setuju dengan itu…”
Ahhh, aku mengerti. Dia berkata begitu karena kami tidak benar-benar pacaran atau semacamnya, dan mungkin menonton film romantis bersama seorang gadis berduaan di saat aku sudah punya pacar mungkin bukanlah ide yang bagus.
“Sepertinya aku benar-benar bisa membuat kemajuan hari ini… atau kamu tampak sangat ingin membuat kemajuan, Yuuji-kun,” katanya dengan suara lembut.
Aku bisa saja menyarankan film lain, tapi itu mungkin akan membuatnya kecewa, jadi keputusan sudah ditentukan.
Kami akhirnya mendapatkan tiket untuk film itu, membeli beberapa minuman, dan bersantai dengan nyaman di dalam bioskop. Untungnya, sepertinya tidak banyak orang di sini.
Film ini sudah rilis cukup lama, jadi kebanyakan orang yang ingin menontonnya mungkin sudah melakukannya.
“Aku sangat bersemangat untuk menonton ini bersamamu, Yuuji-kun,” kata Kana, jelas bersemangat sambil menyandarkan kepalanya di bahuku, membuatku menyadari betapa harumnya dia.
…Apakah aku masih bisa berkonsentrasi menonton film jika dia melakukann ini?
Aku mendorong kepalanya menjauh, “Tidak boleh ada kontak fisik selama film diputar, oke?”
“Oke…” katanya sambil terkikik, mencoba menyembunyikan rasa frustrasinya.
Lampu ruangan dimatikan, dan trailer mulai diputar. Setelah beberapa trailer dan iklan, akhirnya film pun dimulai.
Film ini mencampurkan unsur-unsur fiksi ilmiah, bersama dengan unsur romantis dengan latar sekolah. Memang cukup klise, namun tidak ada salahnya jika menggunakan tema klasik yang digunakan kebanyakan orang. Setidaknya, aku pribadi menyukai cerita romantis yang langsung seperti ini.
Aku sudah tahu bagaimana alur ceritanya, tapi aktingnya cukup bagus, dan filmnya sejauh ini terasa mendalam.
…Tiba-tiba, aku merasa seperti baru saja meletakkan tanganku di atas tangan Kana. Aku mencoba menjauhkan tanganku, tapi saat aku mencoba melakukan itu, tangan kami akhirnya saling bertumpuk lagi: dia pasti melakukan ini dengan sengaja. Haah, terserahlah, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia akan terus mencoba melakukan ini, jadi aku mungkin sebaiknya mengabaikannya saja. Malahan, jika dia mencoba untuk memperburuk keadaan dan bersandar padaku, aku bisa-bisa kehilangan konsentrasi menonton film, jadi aku akan biarkan dia memenangkan ini.
Pada akhirnya. Aku benar. Dia tidak mencoba melakukan apa pun selain itu setelah aku membiarkan dia meletakkan tangannya di atas tanganku.
Akhirnya kami sampai di bagian akhir film. Heroine menekuk tubuhnya di atas protagonis, meletakkan tangannya di dada protagonis, dan saat mereka berjanji untuk tetap bersama di masa depan, aku tanpa sadar meremas tanganku.
“Huh…?!” Kana gemetar, terkejut.
Sepertinya Kana juga memperhatikan filmnya. Maksudku, pilihan yang dibuat oleh karakter-karakter di film tadi agak kontroversial.
Aku terus fokus menatap layar selama sisa film, memastikan bahwa aku tidak melewatkan satu momen pun ketika cerita mencapai klimaksnya.
Aku tidak sabar untuk menanyakan pendapat Kana tentang film ini setelah film ini selesai.
☆
Kredit bergulir di layar. Aku merasakan sensasi… kehilangan yang menyegarkan, tapi pada saat yang sama, aku puas setelah menonton film ini. Film ini bagus, dan aku menikmatinya. Aku senang aku datang ke sini hari ini.
Lampu menyala sekali lagi, dan orang-orang mulai pergi. Yang lain masih tetap duduk di tempat mereka, menangis, mungkin terharu oleh apa yang terjadi dalam ceritanya.
Aku melihat ke arah Kana yang ada di sebelahku. Matanya berkaca-kaca, pipinya memerah.
“Filmnya cukupnya bagus, kan?” tanyaku padanya.
Dia menundukkan kepalanya dan menggeleng sekuat tenaga.
“Tunggu, jadi kamu tidak suka…?”
Mungkinkah pilihan yang dibuat oleh protagonis terlalu aneh baginya? Ataukah mungkin dia menangis karena tidak menyukai ceritanya? Yah, apa pun alasannya, itu tidak mungkin, karena dia baru saja menggelengkan kepalanya sekali lagi, diikuti oleh, “Aku sama sekali tidak bisa mengingat apa pun tentang film itu, Yuuji-kun… semuanya karena kamu…”
“Tunggu, apa? Karena aku? Memangnya apa yang aku lakukan?” tanyaku, bingung.
Dia kemudian mengangkat kepalanya, menatap mataku, dan menunjuk, nah… “Itu terjadi tepat di bagian emosional, di bagian akhir. Kamu meremas tanganku, Yuuji-kun! Aku menjadi sangat gugup sehingga pikiranku menjadi kosong!”
…Setelah dia menyebutkannya, aku memang masih meremas tangannya. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres saat bagian akhir dimulai, dan di sinilah aku, menatap bencana yang baru saja aku sebabkan.
“Yah, apa pun alasannya, kamu tahu bahwa… bahwa jika kamu putus dengan Touka-chan, aku akan selalu ada, lho…” katanya sambil meremas tanganku balik.
Aku mencoba menjelaskan padanya bahwa aku tidak pernah bermaksud meremas tangannya dengan maksud tertentu, tapi dia menolak untuk mendengarkan apa pun yang aku katakan, memilih untuk mempercayai khayalannya sendiri daripada kenyataan yang ada.
☆
Kami meninggalkan bioskop dan menuju ke restoran cepat saji terdekat. Kami memesan beberapa minuman dan duduk di meja yang saling berhadapan. Dia terus menyeringai sejak tadi, dan aku tahu alasannya, tapi aku tetap ingin mendengar pendapatnya tentang film itu, serta memberitahunya pendapatku juga.
“Terima kasih telah mengajakku, omong-omong, filmnya bagus, ya.”
“Aku juga senang kamu datang, Yuuji-kun, meskipun aku harap bisa mengatakan hal yang sama tentang film itu. Sayangnya, kamu membuatku tidak bisa mengingatnya sama sekali.”
Dia tampaknya sangat agresif hari ini, karena dia mencoba untuk mengaitkan kakinya dengan kakiku, yang kemudian kucoba untuk menggeserkan kakiku, tapi dia mencoba lebih keras dari sebelumnya tepat saat aku bahkan mencoba untuk menggeser kakiku.
Aku seharusnya tidak meremas tangannya di bioskop tadi, jadi aku mendapatkan ganjaran yang sepadan sekarang.
Aku menyesap kopi dinginku, “Kita masih punya waktu. Apakah ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi?”
“Ya. Aku ingin melihat-lihat perlengkapan tenis, jadi bisakah kita pergi ke toko terdekat?”
“Tentu, tidak masalah.”
“Oke! Kalau begitu ayo berbelanja bersama!” katanya sambil tersenyum centil.
Meskipun cukup sulit bagiku untuk tetap bersikap datar karena rasa malu tak terhingga yang aku rasakan ini, aku hanya menjawab dengan “Oke” dan mengikutinya. Sejujurnya, melihatnya bahagia seperti ini membuatku merasa agak canggung.
☆
Kami tiba di tempat yang dia bicarakan. Sepertinya tempat ini khusus menjual peralatan tenis, karena ada beragam raket dan sepatu saat aku melihat sekeliling tempat itu.
“Kamu ingin melihat-lihat barang di sini, kan?” tanyaku pada Kana, yang sedang dalam suasana hati yang baik.
Menanggapi pertanyaanku, dia mengangguk dengan antusias saat kami berhenti di bagian tempat pakaian dipajang.
Dia dengan ceria bertanya, “Bisakah kamu membantuku memilih pakaian-pakaian ini?”
“Bukankah lebih baik kamu memilih sesuatu yang kamu suka daripada bertanya padaku?” tanyaku, yang dia jawab dengan mendecakkan lidahnya, tapi tak lama setelah itu dia bertepuk tangan, jelas-jelas mendapatkan ide untuk membalas apa yang aku katakan.
“Bagaimana kalau aku memilih beberapa pakaian dan kamu memberitahuku mana yang paling cocok untukku? Dengan begitu, ini akan terasa lebih seperti kencan sungguhan! Bagaimana menurutmu?!” tanya dia, berharap aku setuju.
Aku tidak bisa benar-benar mengiyakan atau menyangkal apa pun di sini. Jika aku mengatakan bahwa itu akan memberikan nuansa “kencan” pada pertemuan ini, maka aku pasti akan membuat ini menjadi situasi yang menyulitkan.
“Oke! Aku akan memilih beberapa dari pakaian ini kalau begitu!” katanya dengan cepat, tidak menungguku menjawab. “Bagaimana dengan yang ini?!” tanyanya sambil memegang satu set di atas tubuhnya.
Warna-warna cerah cocok untuknya, jadi “Ya, itu pasti terlihat bagus untukmu,” kataku padanya.
“Benarkah? Oke, lalu bagaimana dengan yang ini? Apakah ini cocok untukku, atau…?” tanya dia sambil memegang set pakaian yang lebih pudar di tubuhnya sekali lagi.
“Tentu, kelihatannya bagus.”
“Hehe, lalu… bagaimana dengan yang ini?” katanya sambil memegang satu set pakaian yang terlihat lebih… dewasa, dengan warna gelap.
“Itu juga cocok,” kataku.
“Aku sangat senang mendengarnya! …tapi tunggu! Jangan bilang kalau kamu hanya iya-iya saja saat ini, Yuuji-kun. Apakah kamu benar-benar serius dengan semua yang kamu katakan tadi?” tanya dia dengan ekspresi ingin tahu di wajahnya.
“Yah. Kamu memiliki bentuk tubuh yang bagus, jadi hampir semua pakaian cocok untukmu. Itu kenyataannya.”
Dia membuang muka, “L-Lalu, mana dari ketiga pakaian yang aku tunjukkan tadi yang menurutmu paling cocok untukku?” tanya dia.
“Pastinya yang pertama.”
Kana mengambil pakaian dari rak dan memegangnya di depanku, “Yang ini?”
“Ya, yang itu,” kataku mengiyakan.
“Eh, maukah kamu menemaniku ke kamar pas?” tanya dia, yang kujawab bahwa setidaknya aku akan mengantarnya sampai ke sana.
Dia masuk ke dalam kamar pas, tapi sebelum dia menutup tirai sepenuhnya untuk menutupi pandanganku, dia bertanya, “Apakah kamu mau mengintip ketika aku-?”
Tapi sebelum dia melanjutkan, aku memotongnya, “Cepatlah ganti baju sana.”
Hanya butuh beberapa menit baginya untuk berganti dan keluar dari kamar pas, sekarang mengenakan pakaian tersebut.
“Bagaimana menurutmu?” tanya dia padaku, malu-malu.
“Menurutku itu terlihat bagus untukmu,” kataku, dengan tulus percaya bahwa warna tersebut paling melengkapi gayanya.
“Terima kasih!” katanya sambil tersenyum, “Kurasa aku akan memilih yang ini kalau begitu!”
“Bukankah sebaiknya kamu mencoba yang lain dulu sebelum memilih yang ini? Lagian kita tidak buru-buru, kan?” kataku, dan dia tersenyum sebagai jawaban.
“Oh, apakah ada yang ingin melihatku mengenakan lebih banyak pakaian lain?” tanya dia dengan nada menggoda.
“Itu tidak seperti yang kamu pikirkan,” jawabku.
Dia terkekeh setelah itu, diikuti dengan memasuki kamar pas sekali lagi, dan memberitahuku sekali lagi bahwa aku dapat mengintip kapan pun aku mau, yang aku abaikan seperti sebelumnya.
“Aku akan melihat-lihat sekeliling selagi kamu berganti pakaian,” kataku padanya saat aku meninggalkan area kamar pas dan memeriksa toko untuk melihat apa lagi yang ada di sini.
Aku mendengar Kana mengatakan sesuatu dari tempatnya berada, tapi aku tidak bisa mendengarnya, jadi aku mengabaikannya untuk saat ini.
Aku berkeliling di sekitar toko, mengambil beberapa raket dan sepatu untuk melihat seberapa beratnya. Anehnya, bobotnya cukup ringan, membuatku bertanya-tanya dari bahan apa ini dibuat sehingga ini hampir terasa tidak ada bobotnya.
Aku kebetulan melihat beberapa wristband. Itu bisa berguna setiap kali aku jogging di luar, jadi saat aku hendak memeriksanya, aku kebetulan melihat Kana di belakangku, membawa keranjang berisi pakaian yang dia pilih di dalamnya.
“Sepertinya kamu tertarik pada wristband. Mau membelinya?”
“Yah, aku tidak terlalu menggunakannya, tapi menurutku itu mungkin menarik. Apakah kamu memakai ini setiap kali bermain tenis?”
“Ya, aku memakainya. Aku punya banyak pasang, dan cenderung memakainya bergantian antar pertandingan… oh! Yang ini terlihat sangat berwarna! Sangat mudah dilihat dari kejauhan!” katanya sambil mengambil sepasang wristband tertentu.
“Kalau begitu belilah. Tidak perlu ragu,” ujarku sebagai balasan.
“Um, aku datang ke sini hanya untuk membeli pakaian hari ini, jadi aku mungkin akan melewatkan yang ini untuk sekarang,” ucapnya sambil menaruh set wristband di rak lagi.
“Apakah ada hal lain yang ingin kamu lihat?”
“Tidak, aku akan membayar ini sekarang,” katanya sambil menuju ke kasir toko.
Saat aku melihat ke arahnya sebentar, aku kemudian kembali memperhatikan wristband, dan mengambil yang dia pilih.
☆
“Yuuji-kun, terima kasih banyak untuk hari ini! Aku sangat bersenang-senang!” kata Kana padaku saat kami menunggu kereta kami tiba di peron setelah makan malam bersama.
“Ya, aku juga bersenang-senang,” jawabku, yang membuatnya tersenyum.
“Aku sangat senang kamu juga menikmati hari ini! Aku pasti akan memakai pakaian ini setiap kali kamu datang untuk melihatku bertanding, jadi nantikanlah, oke?!” katanya sambil menatapku.
“Ngomong-ngomong… hari ini ulang tahunmu, kan?”
“Huh? Y-Ya, benar. Kok kamu bisa tahu?!” tanya Kana, terkejut.
“Sudah kuduga. Ingat waktu kamu Natsuo dulu? Kamu memberi tahuku hari ulang tahunmu waktu itu, dan aku masih ingat, jadi…”
Natsuo selalu pulang ke rumah tepat sebelum ulang tahunnya. Aku ingat karena kami selalu bercanda tentang bagaimana aku tidak pernah bisa memberinya kado karena hal itu.
“Benarkah? Ya Tuhan, itu agak memalukan… tapi aku juga sangat senang mengetahui kamu masih ingat, lho? Tapi aku terkejut! Itu harusnya sudah bertahun-tahun yang lalu! Kok kamu masih ingat?!” teriaknya, matanya berbinar gembira saat menatap mataku.
Maksudku, Natsuo adalah satu-satunya temanku sebelum aku bertemu dengan Ike, jadi tentu saja aku akan mengingat hari ulang tahunnya.
“Uhhh, entah bagaimana aku masih ingat. Jangan tanya,” kataku, tak bisa menyembunyikan rasa malu. “Pokoknya, selamat ulang tahun,” kataku sambil mengeluarkan kado kecil dari saku dan mengulurkannya padanya.
“Tunggu, apa?” dia terkesiap, terkejut sekali lagi. “Bo… Bolehkah aku membukanya?” tanya dia, malu-malu.
“Silakan. Kurasa kamu akan menyukainya,” aku mengangguk, lalu dia membukanya tepat setelahnya.
Di dalamnya ada sepasang wristband yang dia lihat di toko sebelumnya.
“Kapan kamu membelinya?”
“Saat kamu di kasir, aku membelinya di kasir lain,” ungkapku.
Aku tidak ingin dia melihatku membelinya karena itu agak memalukan. Untungnya dia tetap berbicara dengan kasir cukup lama, jadi itu memberikanku waktu untuk menyelinap dan membeli ini tanpa dia sadari.
Meskipun aku tidak yakin apakah memberikannya sekarang adalah ide yang bagus, tapi ya sudahlah.
“Terima kasih, Yuuji-kun… Aku sangat senang kamu memberikan ini padaku.”
Ini bukanlah barang termahal di dunia, tapi aku senang melihat dia menyukainya.
Dia memegang wristband itu dengan kedua tangan, menyembunyikan mulutnya di baliknya, “Tapi kamu nakal sekali, Yuuji-kun. Kamu tidak menanggapi perasaanku, namun kamu terus membuatku jatuh cinta padamu. Apa niatmu?” tanya dia.
…Aku hanya mencoba memberinya hadiah ulang tahun, tapi mungkin aku seharusnya memikirkan konsekuensi dari melakukan hal itu. Aku memang brengsek, ya?
Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, dia menutup mulutku dengan tangannya, membingungkanku.
Dengan tatapan lembut dan agak menggoda di matanya, dia berkata, “Satu-satunya yang ingin aku dengar darimu adalah bahwa kamu mencintaiku, tapi jika kamu tidak akan mengatakan itu, maka kamu tidak perlu mengatakan apa pun sekarang.”
Sorot mata dan nada suaranya serius, membuat jantungku berdebar kencang.
Maaf, Kana. Aku tidak bisa mengatakannya dengan lantang. Yang bisa kulakukan hanyalah diam selama sisa waktu kami di sini.