[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 4 Chapter 5 Bahasa Indonesia

Menjenguk Seseorang

Chapter Lima: Menjenguk Seseorang


Hari ini adalah hari setelah kami semua pergi ke pantai bersama-sama.

Aku sedang memeriksa berapa banyak volume yang terjual untuk manga yang sedang aku baca, dan menghitung dalam pikiranku berapa banyak uang yang akan diperoleh oleh penerbit. Tiba-tiba, menghentikan laju pikiranku, ponselku mulai berdering. Itu dari Ike, jadi aku memutuskan untuk berhenti sejenak dari apa yang sedang aku lakukan untuk fokus padanya.

“Hai, sob.”

“Hai, Yuuji. Maaf karena meneleponmu tiba-tiba. Apakah kamu ada waktu sekarang?”

“Ya. Ada apa?”

Aku cenderung selalu luang, jadi tidak ada gunanya mengatakan sebaliknya.

“Bagus. Apakah kamu bisa datang ke rumahku?”

…Oke, itu sesuatu yang tidak aku duga akan dia tanyakan padaku. Dia membuatku lengah.

“Aneh kamu bertanya begitu. Apakah ada masalah?”

Ketika aku bermain dengan Natsuo dulu, kami biasanya selalu bermain di luar, dan Ike adalah teman “resmi” pertamaku sampai aku masuk SMA. Dia selalu sibuk dengan aktivitasnya di OSIS, jadi aku tidak pernah punya kesempatan untuk mengunjungi rumahnya. Meskipun ini agak aneh, setidaknya aku pernah pergi ke rumah Makiri-sensei sekali, jadi itu membuatku merasa lebih tenang tentang situasi ini.

“Masalahnya, Touka sedang tidak enak badan.”

“Touka? Apakah dia baik-baik saja?” Aku langsung bertanya tanpa ragu.

“Dia hanya demam musim panas. Mungkin terjangkit kemarin setelah menghabiskan seharian di luar.”

Dia tidak terdengar terlalu khawatir, yang berarti itu tidak terlalu serius. Setidaknya itu membuatku merasa lebih tenang.

“Kalau begitu, kenapa kamu perlu aku datang ke rumahmu? Bukankah akan lebih baik jika aku tidak mengganggunya sama sekali?”

Hal terbaik adalah tetap di tempat tidur dan beristirahat, atau setidaknya itulah yang aku yakini.

“Um, bisakah kamu datang menjenguknya?”

Benar, aku paham sekarang. Ike ingin aku mengunjunginya karena aku pacar Touka, dan Ike berpikir aku akan khawatir dan sebagainya.

“Apakah dia tak masalah jika aku berada di sana?”

“Entahlah, sob. Kamu lebih mengenalnya daripada aku.”

Kurasa dia ada benarnya. Jika kami memang berpacaran, tentu saja dia tidak akan merasa terganggu.

“Masalahnya, aku juga ada urusan lain dan orang tuaku juga sedang tidak ada di rumah. Aku tidak ingin meninggalkannya sendirian, jadi itulah alasan lain kenapa aku ingin kamu datang ke rumahku.”

“Oh, aku paham. Tentu, aku akan mampir.”

“Baguslah! Terima kasih!” katanya dengan cepat, jelas merasa senang. “Aku akan mengirimkan alamatnya melalui chat, jadi mampirlah kapan saja.”

“Baiklah. Aku akan mengirimkan pesan saat aku rasa akan sampai.”

“Bagus. Aku mengandalkanmu, Yuuji.”

“Sampai nanti,” balasku, dan aku mengakhiri telepon tepat setelah itu.

Tak lama setelah itu, dia mengirimkanku pesan berisi lokasi dan stasiun terdekat. Aku akan pergi dengan berjalan kaki, dan menurut aplikasi peta, aku akan butuh waktu setidaknya 30-40 menit untuk sampai ke sana.

Aku pun bersiap-siap dan berangkat ke rumah Ike tidak lama setelah itu.


Butuh waktu 40 menit untuk sampai ke tempat Ike, tapi aku akhirnya sampai. Aku membawa minuman olahraga, serta hadiah kecil untuk Touka dari minimarket yang kulewati di sepanjang jalan.

Rumah di depanku cukup besar, dan aku bisa melihat mobil-mobil mewah terparkir di depannya.

Aku kurang lebih sudah menduga hal ini, tapi baik Ike dan Touka selalu tampil cukup modis, jadi masuk akal mereka tinggal di rumah seperti ini.

Butuh keberanian bagiku untuk melakukannya, tapi aku akhirnya menekan tombol interkom, dan tak lama kemudian aku mendengar suara Ike yang menyuruhku masuk, disusul dengan suara gerbang utama terbuka.

“Terima kasih sudah mampir, Yuuji. Masuklah,” kata Ike sambil tersenyum.

“Jadi, bagaimana keadaan Touka?” tanyaku sambil meletakkan sepatuku di pintu masuk.

“Terakhir kali aku memeriksanya, dia sedang beristirahat di kamarnya, tapi aku juga penasaran. Bisakah kamu memeriksa suhu tubuhnya dan semacamnya? Kamarnya ada di lantai dua,” ujarnya bercanda.

Kami menaiki tangga, dan akhirnya dia berdiri di depan salah satu dari tiga pintu, memberi tahuku bahwa dia berdiri di depan kamar Touka. Dia mengetuk pintu tiga kali, dan… “Hei, Touka. Bagaimana keadaanmu?” tanya dia.

“Aku baik-baik saja, kurasa,” aku mendengar Touka berkata di sisi lain pintu, nada suaranya jelas kurang ceria dari biasanya.

Sejujurnya, itu tidak menjawab satupun pertanyaanku. “Aku baik-baik saja” bisa berarti apa saja.

“Oke. Aku akan pergi, jadi kamu tetaplah di sana beristirahat.”

“Ya, ya.”

“Aku memanggil Yuuji supaya dia bisa menjagamu. Jika kamu butuh sesuatu, mintalah padanya.”

“Yeah, ten-… Tunggu, apa?”

Jawaban Touka terdengar ketus, dan tak lama kemudian dia membuka pintu sedikit.

“Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu? Mana mungkin kamu memanggilnya ke sini, dasar menjijikkan. Orang aneh…” gumamnya dengan nada marah.

“Aku tidak bercanda. Aku memintanya datang, lihat saja,” katanya sambil mundur selangkah, membiarkan Touka melihatku.

“…Huh?”

Dia menatap mataku sejenak dan langsung membanting pintu setelahnya. Aku melihat Ike dengan bingung, tapi yang dia lakukan hanyalah memaksakan senyum dan mengangkat bahu. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mulai mendengarkan Touka bersuara dari balik pintu.

“Aku tahu kamu sudah datang jauh-jauh ke sini, tapi… Aku mungkin terdengar jahat, tapi bisakah kamu pulang?” katanya, jelas tegang.

…Mungkinkah dia tidak ingin membuatku ketularan? Kalau tidak, kenapa dia ingin aku pulang?

“Maaf jika aku mengganggumu dengan datang kemari. Aku membawakanmu minuman dan hadiah kecil dari minimarket. Minumlah kapan saja. Sudah kuduga aku akan mengganggumu dengan datang kesini…”

Aku berbalik, bersiap untuk pergi, tapi Ike meletakkan tangannya di bahuku, mencegahku bergerak.

“Dengar, kawan, dia hanya malu karena dia tidak ingin kamu melihatnya tanpa riasan atau rambutnya ditata rapi. Dia sangat cerewet tentang hal-hal semacam itu.”

“Apa?! Hei, pecundang! Itu tidak benar! Kau saaaaangat menyebalkan!” teriaknya, segera membuka pintu sekali lagi, kali ini sepenuhnya.

Sekarang aku mengerti apa yang Ike maksud. Wajahnya lebih merah dari biasanya, dan jika dilihat dari penampilannya, dia jelas sedang kesulitan saat ini.

“…Senpai, aku mulai muak dengan kakakku, jadi masuklah saja,” katanya dengan enggan sambil memberi jalan untukku.

“Oke, Yuuji. Aku serahkan sisanya padamu.”

“Apakah kamu yakin itu yang seharusnya kamu katakan, kawan?”

Sepertinya dia tidak peduli pada bagaimana Touka memperlakukannya.

Alih-alih berkata apa pun, dia hanya tertawa dan pergi ke bawah. Aku mendengar suara pintu utama terbuka dan tertutup tak lama kemudian, yang artinya dia sudah pergi.

Astaga, dia benar-benar mengabaikanku dan meninggalkanku di sini! Aku berencana untuk setidaknya menghentikannya dan berharap mendapat penjelasan, tapi… ah baiklah, sekarang sudah terlambat. Aku akan masuk ke dalam kamar Touka.

Saat aku masuk, hal pertama yang aku perhatikan adalah betapa rapi, dan harum kamarnya.

“Berhentilah terus-terusan memandangi kamarku begitu. Itu memalukan, oke?” katanya sambil menggembungkan pipinya sedikit.

“Uhh, maaf.”

“Duduklah di sini,” katanya sambil menyiapkan bantal untukku.

“Tentu, terima kasih,” kataku sambil duduk di atasnya.

Touka mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda dan berbaring di tempat tidur.

“Aku tahu aku sudah mengatakan ini sebelumnya, tapi maaf atas kedatanganku ini. Ike memintaku apakah aku bisa menemanimu saat dia pergi, jadi…”

Touka menghela nafas, “Kakakku itu bodoh. Dia membesar-besarkan masalah ini, padahal ini sebenarnya tidak terlalu parah.”

Entahlah. Wajahnya sangat merah, dan helaan nafasnya lebih berat dari biasanya. Mungkinkah dia mencoba mempertahankan penampilannya tetap terlihat kuat?

“Apakah kamu demam? Apakah kamu sudah pergi ke rumah sakit?”

“Kata dokter, ini hanya flu musim panas. Suhuku saat ini 37 derajat, dan aku sudah mendapat obat untuk flu. Dokter bilang bahwa selama aku tetap beristirahat, aku akan segera kembali normal, oke?”

“Senang mendengarnya. Ngomong-ngomong, jangan pikirkan aku, tidur sianglah saja.”

“Bagaimana mungkin aku bisa tidur saat kamu bisa menjahiliku kapan saja dengan berada di sini?” katanya dengan nada ceria.

“Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan itu kok.”

“Cih, yang benar saja…?” gumamnya pada dirinya sendiri tepat setelah itu.

Mungkin dia mencoba untuk membuat suasana menjadi lebih ceria, tapi sejujurnya aku tidak akan mencoba menjahilinya dalam keadaannya saat ini.

Ngomong-ngomong, dia terus menyisir rambutnya dengan jari sedari tadi. Jelas dia terganggu oleh penampilannya yang seperti ini ketika aku ada di sini.

“Dengar, kamu sedang sakit. Tidak mungkin kamu bisa rapi seperti biasanya. Aku benar-benar tidak keberatan, jadi jangan khawatir, oke?”

Dia menghela nafas lagi, “Kamu tidak mungkin mengerti perasaanku, Senpai. Pacarku baru saja datang dan dia melihatku dalam kondisi terburuk. Bagaimana mungkin aku tidak merasa gugup saat ini?”

Aku tahu kami sedang berpura-pura pacaran, tapi aku paham kenapa dia merasa seperti tidak ingin “mengekspos” dirinya kepada siapa pun, bahkan pada teman dekat.

“Seperti yang kubilang, tidak apa-apa. Selain itu, kamu mungkin tidak terlihat seperti biasanya, tapi penampilanmu yang seperti ini juga imut dengan caranya sendiri.”

Dia tersipu dan bergumam “Senpai…” diikuti dengan “Apakah kamu mencoba menyiratkan bahwa usaha yang kuhabiskan untuk menata rambut dan merias diri itu adalah hal yang sia-sia, dan kamu sama sekali tidak peduli dengan penampilanku?” katanya dengan nada agak kesal.

“Uhh, aku tidak bermaksud begitu…”

“Lalu, apa sebenarnya yang kamu maksud?!”

Saat aku melihatnya lebih baik, aku mengerti apa yang dia maksud. Riasannya membuatnya terlihat lebih dewasa, tapi sejujurnya dia juga terlihat bagus sekarang. Kulitnya cantik, bibirnya sangat imut, dan secara keseluruhan menurutku dia terlihat bagus saat ini. Dia benar-benar seorang gadis yang cantik.

“O-Oke, aku mengerti, Senpai, bisakah kamu diam sebentar, oke?” katanya sambil tersipu.

“…Tunggu, apakah aku baru saja mengucapkannya dengan keras?”

Dia mengangguk dengan sangat cepat tanpa menatapku, “Apakah kamu tidak sadar?” tanya dia.

“Uhh, apakah kamu akan percaya padaku jika aku bilang tidak…?”

Dia menatapku lagi, “Kamu benar-benar mencintaiku, ya, Senpai?”

“Aku tidak bilang begitu. Aku hanya menyatakan apa yang aku yakini sebagai fakta.”

“…Oke, kalau begitu, bagaimana dengan pendapat subjektifmu?” tanyanya sambil menatapku.

Aku harus jujur padanya.

“Kamu terlihat cantik dengan riasan, dan kamu pun terlihat cantik sekarang. Tanpa riasan kamu terlihat lebih… polos. Itu imut,” kataku sambil malu.

Dia pun langsung membenamkan wajahnya di bantal.

“Err, Touka? Apakah kamu baik-baik saja?”

“Semua ini salahmu, Senpai…”

Tunggu, apakah dia kesal? Apakah aku sudah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya?! Aku…!

“Aku tidak ingin kamu melihatku sebagai seorang gadis yang polos dan kekanakan!” teriaknya.

…Oke, jadi aku membuat kesalahan.

“A-Aku akan mengingatnya. Maaf.”

“Ya, asalkan kamu mengerti…”

Dia berbaring di tempat tidurnya sekali lagi.

“Apakah kamu ingin aku melakukan sesuatu untukmu, atau…?”

“Nah, karena kamu bertanya… bagaimana kalau kamu memberitahuku segala yang kamu sukai tentangku? Karena kamu memutuskan untuk membahas topik itu.”

Aku harap aku bisa mengabaikan permintaannya ini, tapi aku lebih suka dia tidak marah lagi, jadi baiklah.

“Aku suka setiap kali kamu bertingkah polos, lho? Kamu sungguh imut sekali, dan…”

“Daaaan cukup! Bukankah barusan sudah kubilang untuk tidak mengatakan bahwa aku polos dan menyiratkan bahwa aku kekanakan dengan keras-keras?!”

Lalu dia menatap layar TV di kamar, “Maukah kamu bermain game denganku?”

“Bukankah akan lebih baik kalau kamu tetap beristirahat di tempat tidur?”

“Tidak apa-apa kok, beneran. Aku tidak merasa seburuk itu, dan aku bosan di tempat tidur sepanjang hari, jadi aku berharap bisa melakukan sesuatu yang bisa menyibukkan pikiranku sebentar.”

Lalu dia menuju TV dan menghubungkan konsol yang tampaknya sudah cukup tua ke TV tersebut. Oh baiklah, dia sangat ingin melakukan ini, jadi kenapa tidak?

“Tentu, tapi jangan terlalu lama, oke?”

“Baiklah, aku siap! Ayo mulai!”

Layar game muncul, dan dia langsung melewatkan bagian pembuka.

“Apakah kamu pernah memainkan game ini sebelumnya, Senpai?”

“Uh, tidak…”

Game yang dia nyalakan berjudul “Alley Fighter I.” Itu dirilis sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan menurutku kebanyakan orang mengenal seri ini, tapi aku rasa sulit bagi seseorang seumuran kami untuk pernah memainkan game seperti ini sebelumnya.

“Aku tidak pernah punya teman untuk diajak bermain bersama,” lanjutku.

“Kamu dapat memainkan ini secara online. Selain itu, ada cara lain untuk menikmati game seperti ini tanpa perlu berinteraksi dengan orang lain,” ujarnya.

“Asal tahu saja, aku tidak pernah punya konsol di rumah,” lanjutku.

Ayahku selalu berpikir bahwa itu membuang-buang waktu, dan sampai aku mulai masuk SMA dia cukup ketat terhadapku, jadi aku tidak pernah benar-benar mendapat kesempatan untuk mencobanya, bahkan jika aku mau.

“…Sejujurnya itu sedikit melegakan” kata Touka sambil tersenyum. Kenapa dia senang soal sesuatu seperti itu? “Karena itu berarti aku akhirnya bisa membalasmu karena telah mengalahkanku berkali-kali saat kita pergi ke tempat arcade sebelumnya!” lanjutnya.

“Jangan terlalu keras padaku,” pintaku padanya, dan dia menanggapinya dengan senyum.

Kami menyiapkan pertandingan 1v1. Aku tahu sebagian besar karakter ini, jadi aku akhirnya memilih Kong King, seekor kera raksasa, sementara Touka memilih Moozilla, monster hijau yang sangat besar.

Cara kerja game ini seperti kebanyakan game pertarungan: kita harus membuat total nyawa musuh menjadi nol sebanyak tiga kali agar bisa menang. Aku mencoba menggerakkan joystick dan menekan beberapa tombol agar terbiasa dengan kontrolnya, tapi Touka langsung bergegas ke arahku begitu game dimulai. Aku mencoba melawan balik, tapi dia dengan cepat mengalahkan karakterku dan mengalahkannya tiga kali sebelum aku punya waktu untuk mengatakan sesuatu.

“Hahaha! Kamu benar-benar pemula, Senpai!” ejek Touka, dengan jelas menikmatinya, setelah memenangkan pertandingan.

“Membosankan jika kamu menginjakku begitu saja tanpa memberitahuku cara mainnya.”

“Oke, salahku. Aku akan mengajarimu sekarang,” katanya setelah itu, tampak menyesal dan menyadari apa yang baru saja dia lakukan.

Kami memilih karakter yang sama dan memulai game. Touka memberitahuku dasar-dasarnya, tapi meski mengetahuinya, pertandingan berakhir tanpa aku bisa mendaratkan satu pukulan pun pada karakternya. Dia cukup hebat dalam hal ini. Aku tahu aku payah, tapi tetap saja.

“Kamu cukup hebat bermain game ini.”

“Aku dulu sering memainkannya bersama kakakku dan Hasaki-senpai saat aku masih SD. Aku kadang-kadang memainkannya bersama teman-temanku ketika aku SMP, tapi tingkat kemampuanku tidak terlalu tinggi. Kurasa aku bisa mengalahkan orang-orang yang tidak terlalu pandai bermain game ini, tapi aku pernah sesekali mencoba bermain online, dan jika pemainnya terampil, mereka selalu menghancurkanku,” jelasnya sambil membusungkan dada—baiklah, setidaknya dia senang bisa mengalahkanku lagi dan lagi.

Tampaknya dia tidak sehebat yang kukira, aku hanya lebih payah dari yang kuduga.

“Bolehkah aku melihat video yang menampilkan beberapa gameplay-nya?”

“Tentu, silakan,” jawabnya.

Aku membuka Youtoob dan mencari video seseorang yang memainkan karakterku. Aku memeriksanya sebentar, dan segera menyadari bahwa gerakan yang dilakukan orang ini jauh berbeda dari apa yang telah aku lakukan.

“Wow, itu terlihat sangat berbeda dari apa yang kulakukan,” kataku, dan Touka menimpali dengan “Jujur saja, aku ingin tahu bagaimana cara dia melakukannya,” katanya.

Aku setuju dengannya dalam hal itu. Aku jelas ingin tahu.

“Sekarang aku punya gambaran soal bagaimana pemain hebat bermain, ayo kita bertanding lagi.”

Aku tidak akan bisa langsung meniru gerakan-gerakan itu, tapi setidaknya aku punya kesempatan yang lebih baik dari sebelumnya. Atau setidaknya, begitulah harapanku…

“Menurutku menonton video tidak akan tiba-tiba membuatmu menjadi lebih hebat, tapi lakukanlah apapun yang kamu rasa berhasil!” katanya sambil menyeringai.

Aku tahu dia benar, tapi aku harus mencobanya. Kalau tidak begitu, apa gunanya?

Bagaimanapun juga, kami memilih karakter yang sama dan mulai bermain. Aku kalah lagi, tapi kali ini aku berhasil mendaratkan beberapa pukulan padanya, tidak seperti sebelumnya. Aku bahkan berhasil menjatuhkannya sekali, percayalah.

“Kenapa kamu jadi sangat pandai memainkan ini?” katanya sambil tersenyum.

“Kurasa aku kurang lebih sudah menguasainya.”

Kami memutuskan untuk bermain lagi. Kali ini aku menjatuhkannya dua kali, tapi dia berhasil mengalahkanku lagi.

“Kamu menjadi sangat hebat terlalu cepat, Senpai,” katanya sambil sedikit berkeringat.

“Aku tidak sabar untuk memenangkan pertandingan berikutnya,” kataku, yang membuat Touka tersentak dan segera menatapku setelahnya.

“Bagaimana kalau begini? Siapa pun yang menang dapat meminta yang kalah untuk melakukan apa saja untuknya, tidak peduli apa pun itu,” kata Touka.

“Eh, sejauh apa yang kita bicarakan ini? Apakah maksudmu benar-benar apa saja?” tanyaku.

Aku tidak tahu apa yang akan aku minta darinya jika aku menang, dan jujur, akan agak merepotkan jika dia memintaku melakukan sesuatu yang tidak nyaman atau entahlah.

“…Oke, mungkin bukan apa saja. Itu harus sesuatu yang masuk akal… sesuatu yang tidak dianggap tidak pantas oleh pihak lain, oke? Bagaimana kalau… aku menunjukkan album foto masa kecilku jika kamu menang?”

…Kurasa itulah yang dia ingin aku pinta darinya?

“Baiklah, lalu bagaimana jika kamu menang? Apakah itu album fotoku, atau…?”

“Oh, itu rahasia, tapi nantikan saja. Itu jika kamu menang.”

…Aku sudah bisa membayangkan itu akan menjadi sesuatu yang tidak terlalu aku sukai.

“Apakah kamu yakin tentang ini? Semakin banyak pertandingan yang kita mainkan, aku semakin sering menjatuhkanmu. Ini mungkin akan menjadi kehancuranmu.”

Dia hanya menyeringai dan membusungkan dadanya sekali lagi, “Apakah kamu benar-benar mengira aku telah mengerahkan seluruh kemampuanku selama ini?” jawabnya.

Tepat setelah mengatakan itu, dia memilih bola merah muda bernama Mirby, “Ini adalah karakter utamaku,” katanya.

Begitu ya. Dia memaksakan situasi ini sehingga dia bisa mengungkapkan kartu as-nya, yang berarti mengamankan kemenangannya. Dia juga membuatku mustahil untuk menolak usulannya, yang berarti lakukan atau tidak sama sekali. Namun, aku pasti akan membuatnya berusaha keras untuk memenangkan permainan ini.

Aku tidak terlalu memikirkan hal ini dan memilih kera sekali lagi, dan… aku memenangkan pertandingan tanpa susah payah. Dia tidak menjatuhkanku sekali pun, tapi aku cukup yakin itu karena bola merah mudanya sangat besar, dan lebih mudah untuk aku pukul dibandingkan karakter yang dia gunakan sebelumnya.

“…Sudah lama sekali sejak aku menggunakan Mirby sehingga aku lupa semua gerakannya,” katanya sambil menundukkan kepala karena malu.

Kesalahanmu adalah menahan diri, Touka. Tampaknya keadaan telah berbalik.

Dia menghela nafas, “Kalah tetaplah kalah. Jadi, Yuuji-senpai, apa yang ingin kamu pinta dariku? Apakah kamu masih tertarik untuk melihat album kelulusanku?” katanya, sedikit tersipu.

“Aku memikirkan hal lain,” kataku sambil menatap matanya langsung.

“A-Ada apa, Senpai…?” tanya dia, jelas terkejut. Pipinya sekarang memerah, dan napasnya agak berat.

Dia membuang muka sebentar, tapi tak lama kemudian dia menatap mataku, dan setelah itu langsung menutup matanya. Saat itulah aku menyentuhnya, merasakan kehangatan kulitnya, yang lebih hangat dari yang kubayangkan.

“Yu-Yuuji… senpai…?” dia berhasil berkata.

Aku meletakkan tanganku di dahinya, tapi segera setelah itu aku langsung menjauhkan tanganku. Dia menatapku dengan wajah serius, dan tampaknya dia kehilangan semua energi bahkan untuk tersenyum seperti yang dia lakukan sebelumnya.

“Wajahmu merah sekali. Apakah kamu yakin demammu tidak bertambah parah?” tanyaku padanya, dan dia menggelengkan kepalanya.

“Oh, jadi itu tujuanmu,” katanya, jelas merasa kecewa. “Aku baik-baik saja, oke…?” tambahnya sambil menghela nafas.  “…Ini bukan masalah besar, sungguh.”

“Pokoknya, tolong, izinkan aku memeriksa suhu tubuhmu,” kataku pada Touka, yang menghela nafas.

Dia tampaknya tidak terlalu senang, tapi akhirnya dia menyerah dan membiarkanku melakukannya.

Aku menggunakan termometer elektrik, yang setelah bunyi bip keras, menampilkan angka 37,5 derajat di layarnya.

“…Ini naik sedikit,” kata Touka.

“Sepertinya kita sudahi saja untuk hari ini.”

Jika kami terus bermain, kondisinya mungkin akan bertambah parah, jadi lebih baik kami berhenti di sini.

“Maaf. Aku begitu asyik bermain sehingga tidak sadar bahwa kamu sedang tidak enak badan.”

Mungkin itulah alasan dia kalah juga. Dia tidak dalam kondisi terbaik, jadi itu bisa dengan mudah memengaruhi permainannya. Dia mungkin mengaku baik-baik saja, tapi itu hanya caranya agar aku tidak mengkhawatirkannya.

“Tidak apa-apa, Senpai. Aku juga bersenang-senang kok,” katanya sambil kembali ke tempat tidur.

Aku menyelimutinya dengan selimut, “Ngomong-ngomong, soal hadiah karena kamu kalah, aku rasa aku tahu apa yang aku mau.”

“Apa itu?” tanya dia dengan mata anak anjing, dengan cemas menunggu jawabanku.

“Aku ingin kamu tetap di tempat tidur dan sembuh secepat mungkin sepanjang hari ini,” kataku.

“…Aku akan melakukan itu tanpa kamu suruh! Apakah tidak ada hal lain yang ingin kamu pinta dariku?!” katanya sambil memaksakan senyum, berusaha untuk tidak berteriak.

“Hm, lalu bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat bersama, hanya kamu dan aku, kapan pun kamu merasa sudah baikan?”

Itu akan menjadi cara terbaik untuk menebus kesalahanku karena tidak mengajaknya ke wisata pantai waktu itu. Selain itu, ini adalah alasan yang bagus untuk menjauhkan diriku dari mengurung diri di kamar selama sisa musim panas.

Setelah mendengar tawaranku, dia menyembunyikan wajahnya di balik selimut.

“A… Aku juga berencana mengajakmu kencan bersamaku jika aku menang… Aku akan menantikannya, oke?” katanya sambil memperlihatkan setengah wajahnya dari balik selimut.

“Aku juga, jadi cepatlah sembuh, oke?”

“Oke,” bisiknya sebagai balasan.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk tertidur setelah percakapan kami, dan aku pun tetap tinggal di kamarnya sembari menunggu Ike kembali.



Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

There’s no way a side character like me could be popular, right?
Score 9.1
Status: Ongoing Type: Author: Artist: , Released: 2018 Native Language: Jepang
“Karena aku sangat mencintaimu, Senpai!” Namaku Tomoki Yuuji, siswa SMA kelas dua. Aku bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang siswa yang cukup normal, kecuali fakta bahwa semua orang menghindariku seperti wabah karena aku terlihat seperti haus darah. Ike Haruma adalah satu-satunya yang tidak menjauhiku. Dia tipikal ‘pria sempurna’ dalam segala hal; protagonis tanpa cacat yang biasa kau lihat di setiap cerita. Kehidupan di sekolah terus berjalan seperti biasa… sampai suatu hari, adik perempuan Haruma yang super populer itu menyatakan cinta padaku tiba-tiba?! Meskipun dia kemudian mengklarifikasi bahwa perasaannya terhadapku sama sekali tidak romantis dan dia memiliki motif tersembunyi, au akhirnya menerima peran baruku sebagai ‘pacar palsu’ sebagai bantuan untuk Haruma. Percaya atau tidak, saat aku mulai berkencan dengannya, teman masa kecil Haruma yang seperti idol dan guruku yang super cantik ikut terlibat denganku juga! Tunggu sebentar. Ini tidak mungkin skenario rom-com impian yang diatur sendiri untukku, kan?! Maksudku, tidak mungkin karakter sampingan sepertiku bisa menjadi populer, kan?  

Comment

Options

not work with dark mode
Reset