[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 3 Chapter 9 Bahasa Indonesia

Tanda Terima Kasih

Chapter Sembilan: Tanda Terima Kasih


Jumat malam, dan kita masih berada di fase awal musim panas.

Aku sedang bersantai di rumah ketika ponselku tiba-tiba bergetar. Saat aku memeriksa layar, aku melihat nama “Makiri-sensei” muncul. Untuk apa dia meneleponku?

“Halo. Apakah ini kamu, Tomoki-kun?”

“Ya, ini saya,” jawabku.

“Selamat malam—oh, ngomong-ngomong ini Makiri. Apakah kamu punya waktu untuk kita berbicara sebentar?”

“Tentu. Ada apa?”

Aku mendengarnya menarik napas dalam-dalam sebelum lanjut bicara. “Ini soal dokumenmu untuk perjalanan OSIS.”

Sial. Aku cukup yakin aku tahu alasan dia meneleponku sekarang, dan itu mungkin tidak akan berakhir dengan baik.

“Ini bukan tanda tangan ayahmu, kan?”

Aku tidak benar-benar tahu apa yang dia rasakan dari suaranya, tapi aku yakin dia marah padaku. Tentunya sih.

Aku ragu sebentar, lalu memutuskan untuk mengakuinya.

“Saya minta maaf.”

“Setidaknya kamu jujur tentang itu.”

“Bukan berarti memberi Anda banyak alasan akan membuat situasinya menjadi lebih baik. Saya menganggap ini membatalkan dokumen dan saya tidak dapat ikut perjalanan lagi?”

Dia berhenti sejenak sebelum berkata, “Ya, tepat sekali.”

Dapat dimengerti. Nah, sekarang aku perlu memikirkan cara untuk meminta maaf pada Ike dan Touka. Tapi bagaimana caranya?

“Kamu harus meminta ayahmu untuk menandatangani dokumen itu,” kata Makiri-sensei.

“Um, ada alasan kenapa saya mencoba memalsukan tanda tangannya…”

“Aku sangat menyadari situasimu, tapi aku berani bertaruh dan menebak bahwa kamu sejak awal bahkan tidak meminta izin darinya.”

“Uh… mungkin.”

“Kamu hanya berasumsi bahwa dia akan tidak setuju dan itulah alasan kamu melakukannya.”

“Benar. Saya mengerti kalau ini terdengar seperti alasan yang payah, tapi saya benar-benar tidak bisa mendapatkan tanda tangannya.”

“Aku tahu kamu merasa bahwa kehadiranmu tidak akan berdampak besar pada perjalanan itu, tapi semua orang ingin kamu hadir… lebih dari yang mungkin kamu pikirkan.”

Aku tidak bisa membantahnya, karena ini hanyalah caranya untuk menunjukkan betapa pedulinya dia padaku.

“Bagaimanapun, hal ini membutuhkan kunjungan rumah. Aku akan mengunjungi rumahmu dan berbicara langsung dengan ayahmu.”

“Tunggu, apa?”

Aku tidak mengira akan mendengar itu dari semua hal.

“Aku akan segera memberi tahu ayahmu tentang ini. Ngomong-ngomong, apakah kamu punya rencana untuk besok?”

“Tidak ada, sih. Tapi tunggu, apakah Anda benar-benar akan datang? Apakah ini pasti?”

“Iya. Aku akan tiba di rumahmu sekitar… Jam 3 sore, jadi aku akan memberi tahu ayahmu untuk meluangkan waktunya di sekitar jam segitu. Kamu juga harus pastikan untuk berada di rumah besok pagi.”

“Huh, jadi Anda akan datang apa pun yang terjadi, ya. Dan kenapa saya harus ada di rumah saat pagi?”

“Aku akan mengurus semua yang terjadi. Kamu mengerti?” katanya dengan nada serius.

“Apa yang Anda bicarakan sih?”

“P-Pokoknya, sampai jumpa besok!” serunya buru-buru sebelum menutup telepon.

Kenapa dia akan datang besok? Dan apa yang dia maksud dengan mengurus semuanya? Astaga…


Keesokan harinya, interkom rumahku berdering tepat pada siang hari. Aku menuju pintu masuk dan membukanya, sangat yakin bahwa Makiri-sensei berdiri di sana.

“Selamat pagi, Tomoki-kun,” sapa Makiri-sensei, seperti yang sudah kuduga.

Pakaiannya terdiri dari blus putih dan rok lurus, dan dia menenteng jaket khusus di satu tangan dan tas bergaya di tangan lainnya. Harus aku akui, aku terpesona oleh busananya yang modis.

“Kenapa kamu memelototiku?” tanyanya dengan tatapan tajam.

“Oh, yah… hanya saja saya belum pernah melihat Anda berpakaian seperti ini sebelumnya, jadi saya sedikit terkejut.”

“Aku juga berpakaian seperti ini setiap kali aku pergi ke suatu acara, tapi kurasa kamu sudah lupa,” katanya dengan senyum yang dipaksakan.

“Uhh, maaf,” gumamku, pipiku mulai memerah.

“Jangan dipikirkan,” dia menenangkanku sambil tersenyum.

“Benar, ayo masuk. Maafkan saya karena tidak sopan,” kataku. Mengatakan itu, aku pun menuju ke ruang tamu.

“Terima kasih banyak,” jawabnya. Dia masuk, melepas sepatunya, dan mengikutiku ke dalam. “Tempatmu cukup terawat. Apakah kamu yang bertanggung jawab untuk menjaga semuanya tetap rapi?”

“Kurang lebih,” jawabku. “Saya memastikan untuk membersihkannya sedikit sebelum Anda datang hari ini.”

“Begitu ya. Sayang sekali—Padahal kuharap ini adalah kondisi normal rumahmu.”

Nah, rumah ini terlihat seperti hotel bintang lima sekarang. Jelas itu tidak dalam “kondisi normal.”

“Saya akan menyiapkan teh untuk Anda,” kataku setelah meletakkan bantal untuknya.

“Sebenarnya, apakah kamu keberatan jika aku makan di sini dulu?” tanyanya sambil meletakkan tas di atas meja.

Aku menatapnya kosong sejenak. “Saya pikir Anda bersikap aneh di telepon kemarin, tapi inikah maksud Anda?”

Dia mengeluarkan sepasang kotak bekal dari tasnya—inilah alasan dia datang beberapa jam sebelum ayahku pulang. Karena dengan begitu, kami punya banyak waktu untuk menikmati makan siang.

“Apa? Apakah kamu mengira kalau aku adalah tipe orang yang tidak pandai memasak?” tanyanya.

“Saya hanya tidak mengerti kenapa Anda sampai repot-repot untuk membuatkan saya ini. Tidak ada alasan untuk melakukan itu.”

Dia menatapku dengan canggung. “Anggap… Anggap ini sebagai permintaan maaf atas apa yang terjadi akhir pekan lalu, oke?”

“Oh, saya mengerti sekarang.”

Aku mengerti sekarang. Jadi dia datang lebih awal sebagai cara untuk berterima kasih padaku. Itu masuk akal.

“P-Pokoknya, ayo makan!” serunya. “Apakah kamu keberatan jika aku menggunakan microwave-mu untuk memanaskan ini?”

“Saya yang akan melakukannya. Jangan khawatir,” kataku. Aku mengambil kotak bekal dan memasukkannya ke dalam microwave. Sementara microwave bekerja, aku menyiapkan teh untuknya.

Akhirnya, aku kembali padanya dengan semua yang ada di tangan—makan siang, peralatan makan, dan teh.

“Saya sebenarnya mengintip makanannya sedikit saat sedang menghangatkan kotak bekalnya, dan itu terlihat lezat,” kataku padanya.

Dari apa yang aku lihat, dalamnya hampir lengkap, dan semuanya tampak lezat. Aku hampir ngiler sekarang karena aku menunggu untuk memakannya.

“Terima kasih. Silakan dinikmati sebanyak mungkin,” katanya.

“Oke, terima kasih,” kataku, lalu dengan bersemangat memasukkan sepotong telur dadar yang sudah digulung ke dalam mulutku. “Sial!”

Ini jauh lebih enak dari yang aku duga. Ketika aku membawanya pulang ke rumahnya setelah aku menemukannya mabuk, aku beranggapan bahwa dia bukanlah tipe wanita rumah tangga. Tapi kalau menyangkut keterampilan memasaknya, ternyata aku terbukti salah.

Aku mencicipi semua yang ada di dalam kotak, dan setiap makanan terasa lezat. Maksudku, ini benar-benar luar biasa.

“Apakah kamu suka makanannya?” tanyanya.

Aku cepat-cepat mengangguk sambil terus menjejali wajahku. Agak memalukan, tapi sepertinya dia tidak terlalu terganggu dengan tata kramaku yang buruk di meja makan. Aku pun terus menyantap makan siangnya yang lezat, tanpa gentar.


Setelah kami selesai makan, Makiri-sensei pulang ke rumahnya untuk membersihkan kotak makan siang, lalu dia akan kembali pada pukul 3 sore untuk bertemu dengan ayahku. Aku bisa mengerti alasannya—tidak diragukan lagi kalau ayahku tidak akan terlalu senang jika dia memergokinya datang membawa makan siang hanya untuk kami berdua.

Sekarang hampir jam 1:30 siang, jadi aku masih punya waktu luang sebelum pertemuan. Kurasa aku akan kembali ke kamar dan membaca suatu manga.

Ding dong!

Oh, lupakan—seseorang baru saja membunyikan interkom. Aku ingin tahu siapa itu?

“Senang bertemu denganmu lagi, Tomoki-kun. Aku kembali,” sapa Makiri-sensei padaku.

Tunggu, kenapa dia sudah ada di sini?

“Anda terlalu awal untuk pertemuan itu,” kataku.

“Aku hanya berpikir karena aku sudah terlanjur mengunjungimu, aku bisa sekalian mengamati bagaimana kamu belajar. Maukah kamu menunjukkannya padaku?”

Mungkin dia masih ingin membalas budi untuk akhir pekan itu? Dan lagi, aku mau tidak mau jadi curiga alasan di balik permintaan ini adalah karena dia memiliki terlalu banyak waktu luang.

“Uhh, tentu. Jika Anda tidak keberatan,” jawabku, sambil bergeser ke samping untuk mempersilakannya masuk.

“Kuharap aku tidak mengganggumu,” katanya sambil masuk ke dalam lagi. “Sebenarnya aku ingin melihat lingkungan belajarmu. Maukah kamu berbaik hati menunjukkan kamarmu padaku?”

“Nah, itu terdengan seperti Anda melakukan kunjungan rumah yang tepat sebagai guru saya.”

“Memang itulah yang aku lakukan. Kenapa kamu begitu terkejut dengan itu?” dia bertanya dengan suara dingin dan tatapan yang bahkan lebih dingin.

“Eh, maaf. Pakaian Anda sangat berbeda dari apa yang biasanya Anda kenakan di sekolah sehingga itu membuat saya bingung, dan…” Aku berhenti dengan ragu-ragu. Aku tidak yakin apakah aku harus menyelesaikan isi pikiranku itu.

“Dan?” desaknya, menatap tajam ke arahku.

Aku menyerah di bawah tatapannya dan mengakui, “Anda terlihat sangat cantik sehingga saya sedikit lupa bahwa Anda sebenarnya adalah guruku.”

Ya Tuhan, apa yang sebenarnya aku bicarakan sih? Dia benar-benar mengira aku orang aneh sekarang.

Dia terdiam selama beberapa detik sebelum membalas dengan, “Lain kali, tolong simpan komentar konyol itu untuk dirimu sendiri.”

Aku bahkan tidak bisa melihat wajahnya sekarang karena betapa malunya aku. Namun, aku tidak akan terkejut jika dia marah padaku sekarang.

“S-Saya minta maaf…” bisikku, lalu cepat-cepat menuju ke kamarku.

“Kamarmu cukup rapi. Ini sebenarnya cukup sederhana,” komentarnya sambil mengamati kamarku dari atas ke bawah.

Yah, dia tidak salah—kamarku hanya terdiri dari tempat tidur, lemari rias sederhana, meja, dan kursi.

“Apakah kamu benar-benar belajar ketika pulang ke rumah, ataukah kamu menyibukkan diri dengan hal lain?” dia bertanya sambil menatapku dengan ekspresi khawatir.

“Saya biasanya menonton film di ponsel atau tablet, membaca manga, dan hal-hal semacam itu. Saya juga memiliki dumbel dan beberapa peralatan olahraga di dalam lemari. Saya juga menggunakannya untuk berolahraga setiap kali saya di sini,” kataku. Aku mengambil tabletku dari atas meja dan menunjukkannya padanya.

“Begitu ya. Jadi kamu hanya butuh tablet untuk hiburan,” jawabnya sambil mengangguk. “Maukah kamu menunjukkan padaku bagaimana kamu bersiap-siap untuk sesi belajar?”

Aku melakukan apa yang dia katakan, menyebarkan buku cetak dan buku catatanku ke atas meja. Aku membuka buku PR musim panas yang ditugaskan kepada kami dan mulai bekerja.

Makiri-sensei menatapku sepanjang waktu, yang mana hal itu sangat menegangkan. Mungkin dia menungguku untuk bertanya, tapi saat ini, aku merasa sangat canggung hingga pikiranku benar-benar kosong. Aku melakukan yang terbaik untuk tetap fokus pada PR-ku, berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.

Hei, tunggu sebentar—Aku baru menyadari bahwa ada seorang wanita cantik bersamaku di kamar sekarang. Tentu, dia guruku, dan aku muridnya, jadi aku yakin ini bukan masalah besar baginya. Dan tentu saja, dalam hal kualitas laki-laki, aku hanya setara dengan kerikil di pinggir jalan, tapi tetap saja. Kehadirannya sendiri sangat menggangguku sehingga aku tidak bisa berkonsentrasi dengan baik.

“Tomoki-kun, kamu tidak sedang menulis apapun. Apakah ada sesuatu yang tidak kamu mengerti?” dia tiba-tiba bertanya tepat di sampingku.

“Whoa!” Aku berteriak.

Sungguh memalukan—dia memergokiku saat aku sedang melamun, dan sekarang aku tidak tahu harus berkata apa. Dan apa-apaan dengan teriakan itu?

“Sepertinya kamu kesulitan berkonsentrasi,” ucapnya dengan prihatin. “Mungkin aku harus menyarankan ayahmu untuk mengawasimu…”

Aku sudah mengalami saat-saat yang buruk. Aku bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa akhirnya.

“S-Saya rasa begitu, haha,” aku buru-buru menjawab, berharap dia tidak menyadari bahwa aku telah kehilangan akal sehatku.


Aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku tidak lama setelah itu dan menyelesaikan tugasku dengan cepat. Setelah aku selesai, sekarang sudah hampir jam 3 sore.

“Ayah saya akan pulang sebentar lagi. Kita mungkin harus kembali ke ruang tamu.”

“Setuju,” dia mengangguk.

Begitu kami kembali, aku menyiapkan teh dingin untuk Makiri-sensei dan menyajikannya dengan kue kering.

“Oh, kamu seharusnya tidak perlu repot-repot seperti ini,” dia berterima kasih padaku ketika aku menawarkan makanan padanya.

Tiba-tiba, aku bisa merasakan deru langkah kaki di pintu masuk. Ayahku pulang.

“Tampaknya ayahmu sudah pulang,” bisik Makiri-sensei.

Kami mendengar ayahku memasuki rumah. Tak lama kemudian, dia membuka pintu ruang tamu dan menyapa Makiri-sensei. “Sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu, Makiri-sensei. Pertemuannya jam 3 sore, kan? Kuharap saya tidak salah.”

Makiri-sensei berdiri dan membungkuk. “Memang sudah lama. Saya harus minta maaf karena datang lebih awal dari jam yang ditentukan.”

“Oh, jangan khawatir tentang itu. Saya sebenarnya pulang lebih awal dari biasanya karena saya sendiri khawatir akan terlambat,” kata ayahku.

Dia menjatuhkan diri di kursi di depanku, dan karena aku sebenarnya tidak ingin duduk di sebelahnya, aku pun memilih duduk di sebelah Makiri-sensei. Agak aneh memang, karena biasanya orang tua dan anak mereka duduk bersama di depan guru saat kunjungan.

“Yah, meskipun agak lebih awal dari waktu yang ditentukan, kita mungkin harus langsung memulai pertemuan sekarang,” kata ayahku. “Jadi… apa yang telah dilakukan putra saya kali ini?”

Aku tidak marah padanya karena memperkirakan yang terburuk, mengingat bahwa satu-satunya alasan guru datang ke tempat kami dulu adalah untuk memberitahunya kabar buruk. Dan sial, kali ini itu bahkan benar—maksudku, aku karang lebih mengakui bahwa aku memalsukan tanda tangannya dan menggunakannya untuk ikut dalam perjalanan sekolah. Aku tahu Makiri-sensei lebih ke arah terkejut daripada marah, tapi apa yang kulakukan tetaplah salah.

Jadi ya, dengan mempertimbangkan semua hal, ayahku tidak salah menanyakan hal itu.

“Kurasa Tomoki-kun belum menunjukkan ini pada Anda?” dia bertanya sambil mengeluarkan dokumen dari tas dan meletakkannya di atas meja.

Ayahku mengambil dokumen itu dan memeriksanya.

“Tidak, dia belum menunjukkannya. Ini pertama kalinya saya melihat ini. Apa ini?”

“OSIS sekolah mengadakan perjalanan kemah musim panas setiap tahun yang berlangsung selama beberapa hari. Untuk ikut serta, para anggota perlu meminta salah satu orang tua mereka untuk menandatangani dokumen ini.”

“Dan kenapa dengan itu?” tanya ayahku, jelas tidak mengerti apa yang dia coba katakan.

“Yuuji-kun diundang ke acara tahun ini, tapi dia belum memberikan dokumennya pada saya. Itulah sebabnya saya datang ke sini—Saya harap Anda dapat menandatanganinya dan memberikannya langsung pada saya sehingga kita dapat menghindari masalah apa pun.”

“Aku tidak tahu kamu adalah anggota OSIS,” kata ayahku padaku. Sepertinya dia terkejut.

“Uhh, aku bukan.”

“Bukan?!”

Sekarang dia terlihat lebih bingung dari sebelumnya. Kami hampir sama dalam hal ini. Aku tahu itu juga tidak masuk akal, Yah.

“Meskipun Yuuji-kun mungkin bukan anggota resmi OSIS, dia sangat membantu mereka tahun ini. Karena itulah anggota OSIS secara tegas memintanya untuk mengikuti perjalanan bersama mereka tahun ini,” jelas Makiri-sensei.

“Benarkah?” renung ayahku.

Makiri-sensei tersenyum, mengangguk, dan melanjutkan penjelasannya untuk membantuku. “Benar. Dia mungkin belum memberi tahu Anda tentang hal itu, tapi dia sangat membantu OSIS di semester ini—Saya bisa bilang bahwa dia sangat berharga. Dia juga berhubungan sangat baik dengan semua anggota. Sebenarnya, saya pribadi akan sangat menghargai jika dia bisa menghadiri perjalanan itu juga.”

Ayahku pun menatapku, lalu ke dokumen, dan kemudian kembali ke aku lagi. Dia tidak percaya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang hal ini?”

Aku tetap diam, menatapnya sebentar, sebelum aku bergumam, “Kamu sudah tahu alasannya.”

“Begitu ya…” jawabnya singkat sambil memalingkan muka. Dia tidak terdengar marah—sebenarnya, suaranya kurang emosi.

Aku masih tidak tahu bagaimana kami harus memperbaiki hubungan di antara kami setelah apa yang terjadi tahun lalu. Aku yakin dia masih sama seperti biasanya.

“Saya dan Ayah saya kesulitan bertatap muka satu sama lain,” jelasku pada Makiri-sensei. “Dia hampir tidak pernah di rumah, dan ketika dia ada, dia cenderung melakukan kekerasan—tidak heran ibu meninggalkan kami. Dia menghajar saya habis-habisan saat itu, dan saya tidak pernah membalas. Yah, saya mengerti bahwa saya dulunya brengsek, tapi tetap saja. Namun, saya membalasnya balik suatu hari. Saya tidak akan meminta maaf atas apa yang telah saya lakukan, dan saya tahu dia pun juga tidak. Dia tidak main tangan terhadap saya sejak saat itu, dan dia mengizinkan saya bersekolah seperti biasa. Berkat itu, saya bisa mendapatkan beberapa teman, jadi setidaknya ada yang patut disyukuri. Yah, saya sudah mengatakan bagian saya.”

Aku akhirnya mencurahkan segalanya pada Makiri-sensei, karena kehadirannya telah memberikanku keberanian yang aku butuhkan untuk menghadapi ayahku. Dia akan membunuhku karena mengatakan semua ini dengan lantang tahun lalu—sebenarnya, tidak diragukan lagi dia akan membungkamku dan meminta maaf kepada Makiri-sensei atas “kebohongan”-ku. Tapi keadaannya berbeda sekarang, dan aku benar-benar berterima kasih pada guruku karena berada di sini.

Sebaliknya, ayahku tidak mengatakan apa-apa. Dia menundukkan kepalanya sehingga kami tidak bisa melihat wajahnya. Setelah beberapa saat, dia melihat ke dokumen itu, menandatanganinya, dan mencapnya dengan stempel pribadinya.

“T-Terima kasih…” gumam Makiri-sensei, jelas terkejut.

Namun, ayahku tidak repot-repot menanggapinya.

“Yuuji—kamu adalah aku, kita sama,” bisiknya pelan. “Aku selalu berpikir bahwa apa yang aku lakukan itu benar, bahwa pukulan yang aku lakukan padamu itu dibenarkan. Baru-baru ini, aku mulai bertanya-tanya apakah aku benar-benar salah atas apa yang telah aku lakukan saat itu. Ini semua berkatmu.”

Makiri-sensei terlihat sangat bingung saat ini.

Aku tidak terkejut. Aku berharap ayahku bereaksi seperti ini, tidak peduli apa yang aku katakan.

“Pada akhirnya, tidak ada banyak perbedaan saat menyangkut ‘benar’ atau ‘salah’ akan sesuatu. Itu semua hanyalah tentang perspektif.”

Setelah ucapan yang tersirat itu, dia berdiri dan meninggalkan ruangan.

Eh, apa? Aku tidak tahu apa yang dia maksud dengan itu. Apakah Makiri-sensei mengerti?

Sebelum sempat terjadi hal lain, ayahku kembali ke ruangan dengan membawa beberapa manga, terlihat seakan hampir menangis.

“Aku baru mengetahuinya. Kamu dan aku itu sama, Yuuji. Kamu benar-benar anakku,” katanya, meletakkan manga di atas meja.

Aku dan Makiri-sensei pun mencondongkan tubuh untuk melihat judulnya. Sepertinya itu… Kami Tidak Pernah Belajar dan Kenapa Kamu Di Sini, Bu Guru?!

“Nak, siapa pun yang kamu inginkan, aku akan mendukungmu.”

“Apakah aku merusak otakmu saat terakhir kali aku memukulmu atau semacamnya?!” teriakku. Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum seperti ini. Ya Tuhan, dia sangat membuatku kesal. Ingin rasanya aku menghantam wajahnya sekarang. “Kamu sadar bahwa jika Makiri-sensei ingin menuntutmu untuk ini, kamu akan langsung kalah di pengadilan, kan?”

“Ahh, sudah kuduga kamu akan mencari gadis yang lebih tua. Yang lebih tua selalu lebih baik, kan?” gumamnya, seolah-olah sedang kesurupan. Dia benar-benar mengabaikanku dan terus melontarkan omong kosong.

Aku benar-benar bingung.

“Um, apa yang terjadi?” Makiri-sensei bertanya, jelas bingung.

“Ini adalah beberapa manga romantis yang dibaca anakku,” kata ayahku dengan berani.

“Kebohongan yang bagus—ini milikmu, pak tua!” Aku berteriak sebagai protes.

“Baik. Meskipun ini memang milikku, aku tahu pasti bahwa kamu juga memiliki ini di perpustakaan digitalmu.”

“Kenapa kamu bisa tahu manga apa yang aku baca?!”

“Heh, sudah kuduga. Kamu sama sepertiku.”

“Tunggu, kamu hanya menggertak untuk membuatku membocorkan rahasia?!” Aku hampir berteriak, terperangah.

Ayahku menyeringai padaku.

“Jadi itu yang kamu baca di tabletmu?” tanya Makiri-sensei. “Ayahmu bilang itu manga romantis. Apakah benar begitu?”

“Memang benar,” ayahku dengan cepat memotong sebelum aku dapat memperbaiki situasi. “Manga ini tentang protagonis yang menjalin hubungan dengan guru mereka.”

“Huh?” seru Makiri-sensei, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia dengan cepat berdehem dan mendapatkan kembali ketenangannya. “Oh, baiklah… lagipula ini adalah fiksi. Selama pembaca tidak mencampuradukkan kenyataan dengan fiksi, seharusnya tidak ada salahnya dia menyukai itu.”

Ayahku tampaknya tidak terpengaruh oleh nada sedingin esnya, karena dia melanjutkan. “Makiri-sensei—saat ini, saya tidak tahu apa yang saya lakukan saat itu benar atau salah, tapi saya harap Anda bisa membimbing putra saya ke jalan yang benar. Saya mohon.”

Aku sangat kacau sekarang. Cara penyampaian ayahku semuanya salah. Rasanya lebih seperti dia merestui Makiri-sensei untuk menikah denganku atau semacamnya. Dia bahkan menundukkan kepalanya!

Tapi Makiri-sensei sama sekali tidak terganggu akan hal ini, karena dia hanya menegakkan punggungnya dan menatapnya dengan serius. “Tentu saja,” jawabnya.

“Saya harap Anda bisa membimbingnya ke jalan yang benar sampai akhir hayatnya,” lanjut ayahku dengan ekspresi serius di wajahnya.

Ini benar-benar membawa Makiri-sensei ke jalur yang salah. Aku merasa sangat bingung dan juga tidak enak pada saat yang sama; sepertinya ayahku baru saja melecehkan guruku. Jika ayahku dibawa ke pengadilan karena ini, aku pasti akan memihak Makiri-sensei. Maaf, Yah.



Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

There’s no way a side character like me could be popular, right?
Score 9.1
Status: Ongoing Type: Author: Artist: , Released: 2018 Native Language: Jepang
“Karena aku sangat mencintaimu, Senpai!” Namaku Tomoki Yuuji, siswa SMA kelas dua. Aku bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang siswa yang cukup normal, kecuali fakta bahwa semua orang menghindariku seperti wabah karena aku terlihat seperti haus darah. Ike Haruma adalah satu-satunya yang tidak menjauhiku. Dia tipikal ‘pria sempurna’ dalam segala hal; protagonis tanpa cacat yang biasa kau lihat di setiap cerita. Kehidupan di sekolah terus berjalan seperti biasa… sampai suatu hari, adik perempuan Haruma yang super populer itu menyatakan cinta padaku tiba-tiba?! Meskipun dia kemudian mengklarifikasi bahwa perasaannya terhadapku sama sekali tidak romantis dan dia memiliki motif tersembunyi, au akhirnya menerima peran baruku sebagai ‘pacar palsu’ sebagai bantuan untuk Haruma. Percaya atau tidak, saat aku mulai berkencan dengannya, teman masa kecil Haruma yang seperti idol dan guruku yang super cantik ikut terlibat denganku juga! Tunggu sebentar. Ini tidak mungkin skenario rom-com impian yang diatur sendiri untukku, kan?! Maksudku, tidak mungkin karakter sampingan sepertiku bisa menjadi populer, kan?  

Comment

Options

not work with dark mode
Reset