[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 3 Chapter 8 Bahasa Indonesia

Hangout yang Sempurna?

Chapter Delapan: Hangout yang Sempurna?


Aku membuka mata di hari pertama musim panas. Jangkrik bersuara lebih keras dari sebelumnya, dan suhu di luar terasa cukup panas. Untungnya kamarku memiliki AC, kalau tidak aku pasti sudah dimasak hidup-hidup sekarang.

Aku tidak punya rencana apa pun untuk musim panas ini selain perjalanan OSIS. Biasanya, aku suka menghabiskan waktu luangku dengan belajar, membaca manga atau novel ringan, olahraga, dan menonton video Youtoob. Ya, aku tahu kok, itu biasa saja. Yah, kurasa aku akan menghabiskan waktu dengan melakukan salah satu rutin—oh, ponselku yang ada di atas meja bergetar. Seseorang pasti baru saja mengirimiku pesan.

Mari kita lihat… Ini dari Ike. Bunyinya, “Apakah kamu luang hari ini? Kita bisa nongkrong jika kamu mau. Bagaimana?”

Nah, lupakan “rencana”-ku untuk bermalas-malasan di rumah seharian. Makasih, Ike.

Aku langsung setuju. “Tentu. Ayo,” jawabku.

“Bagus! Bagaimana kalau kita ketemuan di depan stasiun kereta setelah makan siang? Pukul 2 siang di dekat patung Pachiko tidak masalah untukmu, kan?” respon Ike segera.

Patung Pachiko, seperti yang bisa kalian tebak dari namanya, merupakan tiruan dari patung Hachiko asli di Tokyo. Patung itu ditempatkan di depan stasiun kereta api utama tempat kebanyakan dari kami, para siswa, lewati setiap hari. Banyak orang menggunakannya sebagai tempat ketemuan ketika mereka ingin nongkrong.

“Tentu. Sampai ketemu di sana.”

Aku masih punya banyak waktu sebelum waktu janjian kami, jadi kupikir aku akan keluar dan jogging sebentar—lagian, akan disayangkan menyia-nyiakan cuaca yang indah seperti ini.


Setelah jogging pagi, aku pun mandi dan kembali ke kamar. Ketika aku memeriksa ponsel, aku menyadari bahwa aku memiliki dua pesan baru.

Senpai, ak yakin km spnhny luang hari ini! Bagaimana kalau kita kencan?! ♡”

Pesan pertama itu dari Touka. Aku berasumsi dia belum mendengar dari Ike soal janjian kami tadi pagi. Meskipun aku senang dia mengajakku, aku tidak bisa benar-benar membatalkan janjiku dengan Ike.

“Aku sudah membuat janji dengan Ike,” balasku. “Kami akan ketemuan di patung Pachiko pada pukul 2 siang jika kamu mau ikut.”

Aku ragu dia akan mau, mengingat Ike akan ada di sana, tapi tidak ada salahnya dicoba. Satu pesan di bawahnya.

“Aku sadar kalau aku bilang kita tidak akan sering bertemu musim panas ini, tapi karena aku hampir selesai dengan latihan tenisku, aku berharap kita bisa jalan-jalan sore ini! Bagaimana menurutmu?”

Yang ini dari Kana. Aku senang dia juga ingin menghabiskan waktu bersamaku, jadi aku meng-copypaste pesan yang kukirim ke Touka.

Ponselku bergetar tepat setelah aku mengirim balasan.

“Aduh! Kuharap itu hanya km + ak!” tulisnya, ditambahkan salah satu emoji kesalnya yang konyol. Saat aku hendak membalas, aku menerima pesan lain darinya. Dia menambahkan dengan emoji yang lebih konyol, itu adalah emoji yang pipinya menggembung dengan lingkaran teks yang menjelaskan bahwa dia “marah”. “Yah baiklah, ak tdk akan merengek tentang itu. Aku ikut!”

“Oke, sampai jumpa di sana,” balasku.

Kana, di sisi lain, butuh waktu sedikit lebih lama untuk menjawab—dia mungkin sibuk dengan latihan tenisnya dan tidak bisa membalas.

“Oh, Haruma ikut? Padahal kuharap hanya kita berdua yang menghabiskan waktu mesra bersama…” jawabnya, menambahkan emoji menangis di bagian akhir.

Astaga, apa-apaan dengan semua emoji konyol ini? Apakah aku melewatkan sesuatu di sini?

“Yah, jika kamu sudah membuat janji dengannya, apa boleh buat. Kita bisa mengadakan kencan spesial kita lain kali! Aku ikut!”

“Bukan berarti kita akan ‘bermesraan’ bahkan jika kita berdua saja lho,” aku mengingatkannya. “Pokoknya, sampai jumpa di sana.”

Oke, aku mungkin harus mengirim pesan pada Ike untuk memberitahunya bahwa mereka berdua akan ikut dengan kami.

“Hei bung, Touka dan Kana tiba-tiba ingin jalan-jalan denganku, jadi aku mengajak mereka untuk ikut—” Aku berhenti mengetik. Sebelum aku mengirim pesan, aku benar-benar perlu memikirkan cara untuk meminta maaf kepadanya atas bencana tak terhindarkan yang akan datang.


Aku tiba di depang patung. Meski tempatnya cukup ramai, tidak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan Ike.

“Hai, tampan. Apakah kamu sendirian?”

“Kamu sangat tampan. Apakah kamu ingin nongkrong dengan kami, manis?”

Beberapa mahasiswi berkerumun di sekelilingnya, jelas berusaha menggodanya. Aku tidak bsia menyalahkan mereka sih—maksudku, pernahkah kalian melihat pria setampan itu?

“Maaf, nona-nona, tapi saya sedang menunggu seseorang,” jawabnya.

“Apaaaa? Pacarmu?”

“Bukan. Tapi teman.”

“Dia bisa ikut dengan kita juga!”

Mereka benar-benar keras kepala—Ike sudah dengan sopan menolak mereka, namun mereka masih bersikeras, mencoba meyakinkannya untuk jalan-jalan dengan mereka. Saat mereka mendekati Ike, senyum palsu terpampang di wajah mereka, aku pun memutuskan untuk ikut campur.

“Hei. Itu dia, Yuuji,” Ike memanggilku, rasa lega membasuh wajahnya.

Gadis-gadis itu, di sisi lain, terlihat seperti jiwa mereka telah tersedot keluar dari tubuh mereka saat mereka melihatku.

“Ah! Oh, k-kami minta maaf. Kamu ingin nongkrong dengan temanmu. Itu sangat bisa dimengerti,” salah satu dari mereka dengan cepat mundur.

“Tapi sebelum kami pergi, ini—ID LIME punya kami. Kamu sebaiknya mengirimi kami pesan, oke?”

Gadis-gadis itu dengan cepat menuliskan apa yang aku tebak sebagai profil LIME mereka di selembar kertas, menyerahkannya pada Ike, dan dengan panik melarikan diri dari tempat kejadian seperti kelelawar yang keluar dari neraka, sambil berusaha sekuat tenaga untuk menghindari melihat wajahku.

Begitu Ike yakin mereka sudah pergi, dia menghela nafas lega. “Terima kasih untuk itu, bung. Aku tidak pernah bisa menangani situasi seperti ini dengan benar.”

Hah? Apakah itu benar-benar respons normal ketika sekelompok gadis yang lebih tua mencoba menggodamu? Jika Asakura mendengar bahwa Ike baru saja digoda oleh beberapa mahasiswi, dia pasti akan pingsan.

“Jujur saja, aku agak iri padamu. Kamu benar-benar berada di tingkatan yang berbeda,” kataku. Aku tidak pernah didekati orang asing sebelumnya, jadi pikiran seperti ada seseorang yang menggodaku sama sekali tidak terbayangkan.

“Ya ampun, jadi kamu suka kalau ada gadis yang mencoba menggodamu, Yuuji-kun?” sebuah suara tiba-tiba memanggil dari belakangku. Aku berbalik dan melihat Kana, yang tidak membuang waktu untuk melingkarkan lengannya di salah satu lenganku. “Tidak apa-apa, Yuuji-kun—aku bisa mengisi peran itu untukmu jika kamu mau. Lagian kamu saaaangat luar biasa. Mau minum dengan nona imut ini sekarang?” Dia menjulurkan lidahnya dan melontarkan senyum centil.

“Aku tidak pernah bilang kalau aku ingin ada orang yang menggodaku,” jawabku.

“Ya, beri tahu dia, Senpai! Hasaki-senpai, itu tempatku. Aku akan sangat menghargai jika kamu berhenti bersikap terlalu menempel dengan pacarku, makasih!” Touka, yang muncul entah dari mana, berteriak.

Setelah itu, dia bergegas, menjauhkan Kana dariku, dan malah menguncikan lengannya dengan tanganku. Kana memelototi Touka, yang hampir kayak setajam belati, sementara Touka membalas tatapannya dengan tatapan dinginnya sendiri.

“Ngomong-ngomong, sepertinya semua orang sudah ada di sini.”

Touka dan Kana menatapku dengan ekspresi bingung saat aku mengatakan itu. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?

“Hah? Senpai, maksudmu pelakor yang menyamar ini diizinkan untuk nongkrong dengan kita hari ini? Aku khawatir dia akan melakukan pelecehan seksual terhadapmu! Kamu tidak memberi tahuku kalau dia akan ikut juga! Apa maksudnya ini?! Jelaskan sekarang juga!”

“A-Aku tidak akan melakukan pelecehan seksual pada siapa pun! Dia juga tidak memberi tahuku kalau kamu akan ikut! Aku yakin kamu hanya mengikuti Haruma tanpa diundang karena kamu tahu dia akan nongkrong dengan Yuuji-kun! Kaulah yang peleceh seksual! Benarkan, Yuuji-kun?!”

Ada apa dengan rentetan pertanyaan tiba-tiba ini? Tunggu, sialan—hanya Ike yang tahu kalau mereka berdua akan ikut. Aku tidak pernah memberi tahu mereka kalau ada orang lain juga yang diajak. Astaga, aku mengacaukannya.

“Uhh, ya… Aku mungkin lupa memberi tahu kalian berdua tentang hal ini. Maaf?” Gelagapku.

“Hah?! Kamu mau mengakhiri ini hanya dengan kata ‘maaf’?!”

“Kedengarannya mencurigakan untukku…”

Mereka berdua menundukkan kepala karena kecewa.

Ike pun melompat masuk, mencoba memperbaiki situasi. “Ayolah teman-teman. Bukan hal yang buruk untuk berkumpul bersama seseka—”

“Diamlah,” bentak Touka langsung.

“Kamu ini di pihak siapa, Haruma?!” tambah Kana dengan cepat.

Ike mengangkat bahu dan meletakkan tangannya di bahuku. “Aku akan selalu berada di pihak temanku. Ngomong-ngomong, Yuuji, aku serahkan ini padamu, sob,” katanya sebelum bersembunyi di belakangku.

Oke, mungkin ini memang salahku, tapi aku berharap dia akan memberiku sedikit bantuan, bukannya malah melemparkanku ke kerumunan serigala.

Kana dan Touka bisa dibilang tinggal selangkah lagi dari saling menyerang, tapi Touka tampaknya lebih memilih untuk tidak melakukannya. Dia dengan cepat menoleh ke arahku dan mulai berbicara dengan suara pacarnya yang manis dan palsu.

“Masa bodohlah. Intinya adalah Senpai ada di sini karena ingin menghabiskan waktu bersamaku. Dia sangat peduli dengan kencan super spesial kami. Mana mungkin dia peduli denganmu dan si pria lain itu yang memutuskan untuk merusak segalanya dengan ikut serta. Benarkan, Senpai?” katanya sambil menatapku dengan mata anak anjingnya.

Kurasa dia lebih ingin membuat Kana kesal daripada benar-benar mencoba menggodaku.

“Itu tidak adil! Aku… Aku ingin menjadi orang yang memiliki kencan mesra yang super spesial dengan Yuuji-kun!” teriaknya sambil memelototi kami berdua.

Bagaimana caraku untuk mengatasi bencana ini? Berpikir, Yuuji, berpikir!

“Masih iri padaku sekarang?” tanya Ike dari belakangku dengan seringai yang berpuas diri.

Astaga, andai saja Asakura ada di sini… Aku ingin menanggapi Ike, tapi dia benar-benar membuatku tak bisa berkata-kata. Dia memang memenangkan pertarungan, tapi tidak dengan perang.


Setelah beberapa saat, kami akhirnya berhasil menjinakkan bom waktu berupa Touka dan Kana. Kami telah berkeliaran di sekitar patung Pachiko tanpa tujuan, jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

“Jadi, apa yang ingin kalian lakukan, kawan? Ada ide?” tanya Ike, berusaha mencairkan suasana.

“Aku berpikir Senpai dan aku bisa pergi ke tempat karaoke dan bernyanyi sepuasnya berduaan. Kalian berdua bisa melakukan apapun. Sayonara, pecundang!” seru Touka sambil menarik lenganku, mencoba menjauhkanku dari Kana dan Ike.

“Yah, aku berpikiran kalau Yuuji-kun dan aku bisa pergi menonton film sementara kamu dan Haruma menghabiskan waktu kakak adik kalian bersama. Bagaimana menurutmu?” saran Kana sambil mencoba menarikku ke sisinya. Mereka jadi kayak bermain tarik tambang, dan akulah talinya.

“Yah, sayang sekali untukmu—aku sudah pergi ke bioskop bersama Yuuji-senpai beberapa waktu lalu, dan itu luar biasa! Aku yakin dia sedang tidak ingin menonton film apa pun hari ini,” balas Touka.

“Benar, kita pernah pergi menonton sekali,” kataku.

Kami sebenarnya menonton film yang cukup jadul waktu itu. Aku tidak tahu, apakah ini benar-benar menciptakan suasana “romantis” yang ingin disampaikannya kepada Kana, tapi memang benar, aku tidak ingin pergi menonton hari ini.

Kana menundukkan kepalanya begitu mendengar jawabanku.

Melihatnya seperti itu membuatku sedih, dan setelah jeda, aku menambahkan, “Namun, kita bisa pergi di lain hari.”

Dia pun mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Oke! Janji, ya!”

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Senpai. Apakah kamu benar-benar mengajak gadis lain berkencan di depan pacar tercinta-mu ini? Kamu benar-benar yang terburuk,” gerutu Touka. Dia menggembungkan pipinya dengan ekspresi khas hamster yang marah, dan wajahnya memerah.

“Maksudku itu untuk semua orang, bukan hanya kami berdua. Kita semua bisa pergi ke bioskop bersama.”

Bagaimanapun juga, Kana adalah temanku—aku tidak ingin mengecualikannya dari rencana kami. Sama seperti aku yang menghargai hubungan palsuku dengan Touka, aku juga ingin menghargai persahabatanku, yang baru saja dihidupkan kembali, dengan Kana.

“Aku tidak keberatan… Itu untuk saat ini, sih,” jawab Kana sambil tersenyum.

Ini adalah situasi yang sulit untukku. Aku mengerti apa yang dia cari, tapi aku tidak bisa memberikannya karena secara teknis aku sudah menjalin hubungan dengan seseorang. Tapi tetap saja itu terasa menyakitkan, mengingat bahwa hubunganku ini palsu dan aku hanya menyakiti perasaan Kana setiap kali aku menolaknya. Yang membuatnya lebih buruk lagi adalah ketika aku melihatnya menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyuman. Kuharap ini tidak akan menyebabkan masalah untukku atau membebani hati nuraniku terlalu berat ke depannya.

Apa pun itu, sekarang bukan waktunya untuk meminta maaf padanya. “Kedengarannya bagus,” kataku.

“Dasar penggoda wanita yang tolol, Senpai!” teriak Touka, jelas tidak senang dengan usahaku untuk memperbaiki situasi.

“Hei, aku bukan penggoda wanita. Berhenti memanggilku yang bukan-bukan.”

“Oh benar, salahku—karena bukan hanya wanita yang kamu goda dengan kata-kata manismu itu. Bodohnya aku. Aku hampir lupa! Hmph!” dia balas membentak sambil menatapku tajam.

“Apa yang kamu bicarakan sih?” tanyaku, bingung sekali.

“Ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Kamu benar-benar lupa tentang tindakanmu ketika itu sudah sesuai dengan tujuanmu…” bisiknya cukup keras sehingga aku bisa mendengarnya. Yah, kurasa aku tidak akan mendapatkan jawaban dalam waktu dekat.

“Uhh, teman-teman, ada ide tentang apa yang sebaiknya kita lakukan?” Ike akhirnya angkat bicara dengan upaya canggung untuk tersenyum.

Oh, benar—kita butuh rencana. Aku melihat sekeliling kami, dan satu tempat secara khusus menarik perhatianku.

“Bagaimana kalau kita pergi ke sana?” saranku, sambil menunjuk pusat hiburan di dekat kami. Aku tahu tempat itu memiliki tempat karaoke, seperti yang disarankan Touka sebelumnya, serta beberapa pusat arcade dan kegiatan yang berhubungan dengan olahraga.

“Kedengarannya bagus.”

“Aku juga setuju dengan itu.”

“Oke, kalau begitu kita ke sana.”

Sepertinya kami akhirnya berhasil memutuskan lokasinya, setidaknya sih.


Setelah kami membayar biaya masuk, kami mencoba mencari ide tentang apa yang harus dilakukan.

“Aku sebenarnya belum pernah bermain bowling seumur hidupku,” kataku.

“Apaaaa?! Benarkah?”

“Ya. Aku belum pernah nongkrong dengan orang lain sebelumnya, dan aku tidak pernah terpikir untuk pergi ke sana sendirian, jadi…”

Touka menatap Ike lalu Kana.

“Aku juga belum pernah,” kata Ike.

“Yah, aku juga sama. Aku dan teman-temanku selalu nongkrong di tempat luar ruangan,” tambah Kana.

Sepertinya mereka mencoba mencari alasan untuk sama denganku. Tapi kenapa?

“Sama halnya dengan karaoke, ngomong-ngomong—aku belum pernah ke karaoke seumur hidupku,” lanjutku.

Mereka bertiga tersenyum ketika aku mengatakan itu.

“Kalau begitu, mari kita bermain bowling dan karaoke-an hari ini.”

“Aku yakin akan menyenangkan jika kita melakukannya bersama.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

Aku agak malu. Mereka berusaha keras untuk menyenangkanku, yang membuatku merasa sangat bahagia.

“Ayo kita lakukan itu,” aku setuju dengan anggukan.

Kami pun pergi ke tempat bowling, membayar biaya kami, meminjam beberapa pasang sepatu bowling, dan mengambil beberapa bola bowling. Resepsionis menunjukkan kepada kami di mana jalurnya, dan kami langsung ke sana.

Ike yang pertama maju. Dia menggenggam bola bowlingnya seperti dia sudah menguasai olahraga tersebut. Dia menggulirkan bola sehingga melengkung ke jalur dan berhasil mengenai sasaran dengan sempurna. Pria ini benar-benar bintang pertunjukan kemanapun dia pergi.

“Wah, lemparan yang bagus!” sorak Kana.

“Aku merasa bisa menaklukkannya hari ini,” jawab Ike dengan gembira, dan keduanya melakukan tos.

“Bagus sekali, bung,” aku memujinya, juga melakukan tos.

“Makasih!” katanya, membalas ucapanku.

Touka, di sisi lain, memainkan ponselnya, sama sekali mengabaikan prestasi mengesankan kakaknya.

Kana menatap tos kami, dan sikapnya benar-benar berubah. “Oke, Yuuji-kun! Aku akan merobohkannya sekarang! Pastikan untuk mengawasiku dengan seksama!”

“Uhh, tentu.”

Kana mengambil bola bowlingnya dan menggelindingkannya ke jalur. Dia berhasil merobohkan lima dari sepuluh pin bowling, tapi dengan cepat melanjutkan dengan menjatuhkan sisanya. Sepertinya dia mencetak spare.

“Whoa! Apakah kamu melihat itu, Yuuji-kun?!” serunya sambil dengan bersemangat berbalik untuk melihat reaksiku.

“Tentu saja. Lemparan yang bagus,” kataku sambil mengangguk.

Ekspresinya cerah saat dia menuju ke arahku, telapak tangan terangkat, siap untuk memberiku tos.

“Yaaay! Tos! Tos!”

Dengan enggan aku mengangkat tanganku untuk menyambut tangannya. Alih-alih menepukkan tanganku dengan ringan, dia malah menggenggamnya.

Touka langsung bereaksi, meletakkan ponselnya dan berteriak, “Hei! Apa-apaan yang kalian berdua lakukan itu?!”

Untung dia campur tangan—aku sendiri merasa agak aneh.

“Kana, ini bukan tos,” tambahku agak tidak enak.

“Ayolah, semua orang bisa melakukan kesalahan, kan?” tanya Kana sambil memberiku tatapan anak anjingnya.

Maksudku, bagaimana aku harus menanggapi itu? Kurasa dia bisa saja melakukan kesalahan, atau dengan mudahnya lupa bagaimana cara melakukan tos, jadi aku tidak benar-benar tahu harus berkata apa.

“Um, bukankah, sudah sangat jelas bahwa itu tidak baik-baik saja? Bisakah kau berhenti mencoba meraba-raba sayangku begitu entengnya, dasar maniak s*ks?” sela Touka, melakukan beberapa sabitan karate cepat di udara untuk memisahkan tangan kami.

“Cemburu sepanjang waktu itu tidak baik untuk dirimu, Touka-chan,” gerutu Kana sambil membelai tangannya.

Sudah jelas, tak satu pun dari gadis-gadis itu tampak senang dengan situasi ini.

“Senpai?” Touka angkat bicara, mengarahkan perhatiannya ke arahku. “Sebaiknya kamu awasi aku lebih seksama—jauh lebih seksama daripada kamu mengawasi dia. Aku akan mengalahkannya dengan mudah.”

Dia mengambil bola bowlingnya dan melemparkannya langsung ke pin. Seperti yang dilakukan kakaknya beberapa menit yang lalu, dia berhasil mendapatkan strike.

“Aku berhasil! Strikei! Senpaaai! Tos!” seru Touka dengan gembira. Dia mengangkat kedua tangannya dan mendekatiku.

Sebenarnya, gerakannya lebih terlihat seperti meminta pelukan daripada tos. Aku akan mengangkat kedua tangan dan melihat apa yang akan terjadi sajalah.

“Waaah! Bagus, Touka-chan! Luar biasa! Strike yang Hebat!” sorak Kana tiba-tiba, menempatkan dirinya di antara aku dan Touka. Seperti yang dia lakukan padaku, dia menggenggam tangan Touka.

“Yaay, terima kasih banyak!” Touka membalas dengan suara manis paling palsu yang pernah ada. “Tapi bagaimana kalau kamu menyingkir dariku sekarang, hm?”

“Huh? Tapi aku sepenuhnya tahu kalau kamu akan mencoba aksi yang sama yang aku lakukan dengan Yuuji-kun, Touka-chan. Aku lebih suka kalau kamu tidak mengganggunya, mengingat dia akan melempar selanjutnya.”

“Apa?! Apa-apaan yang kau katakan itu? Seolah-olah aku akan bertindak murahan sepertimu saja. Ditambah lagi, sekilas info—aku ini pacarnya. Tidak apa-apa jika aku yang melakukannya, dan jika dia tidak ingin melepaskannya.”

“Tapi faktanya dia bergandengan tangan denganku, bukan kamu. Belum lagi kamu harus memaksa memisahkan kami. Jika tidak…”

“Huuuh?! Astaga, aku tidak tahu kalau kau murahan dan suka berdelusi. Sejujurnya, aku jadi kasihan padamu setelah aku tahu itu. Kasihan…”

Tangan mereka masih saling menggenggam, tapi saat mereka beradu mulut, mereka juga saling mendorong, seolah-olah akan memasuki pertandingan gulat dadakan.

Yah, masa bodo. Sekarang giliranku, jadi aku akan membiarkan mereka melakukannya untuk saat ini. Aku bertanya pada Ike tentang peraturan dasar dan melemparkan bola untuk melihat apa yang terjadi.

Pada akhirnya, aku berhasil merobohkan total delapan pin dengan dua lemparanku. Sayang sekali segalanya tidak berjalan seperti yang aku inginkan, tapi aku masih seorang pemula. Kurasa ini seharusnya sudah cukup bagus, kan? Meski aku ingin mencetak setidaknya satu strike selagi aku di sini, sih.

Dan ini tidak perlu dikatakan lagi, tapi Touka dan Kana masih berselisih sementara aku mengambil giliranku.


Permainan bowling pertama berakhir. Setelah beberapa putaran, aku berhasil terbiasa dengan permainan tersebut. Tak lama kemudian, aku akhirnya mencetak beberapa spare dan strike, dan selesai dengan skor 150 poin.

“150 poin pada game pertamamu itu luar biasa!” seru Kana.

“Kamu sangat keren, Senpai! Bagus sekali!” sembur Touka.

Menurutku ini tidak sebagus itu, tapi bagaimanapun juga mereka berdua memuji. Sementara itu, Ike berhasil melakukan strike di setiap giliran—dia mencetak 300 poin sempurna.

“Hei, Haruma, tidakkah menurutmu itu hanya membuang-buang uang jika kamu langsung menjatuhkan semuanya dalam setiap lemparan? Apa asyiknya melakukan strike 12 kali berturut-turut? Aku tahu kalau kamu mendapat skor tertinggi di antara kami semua, tapi tetap saja…” oceh Kana.

“Lebih tepatnya menyeramkan. Ew,” Touka menimpali yang tidak perlu sambil cekikikan.

“Menurutku itu luar biasa bahwa kamu berhasil mencetak skor dua kali lipat dariku,” tambahku.

Ike tersenyum tapi tidak mengatakan apapun. Aku merasa kasihan padanya.

“Selama kamu bersenang-senang, itulah yang terpenting, bung,” aku menghiburnya.

Ike pasti memiliki kesabaran seorang santa. Bagaimana mungkin dia bisa tetap tenang setelah diejek oleh Kana dan Touka seperti itu? Aku pasti sudah kehilangan kesabaran jika itu terjadi padaku. Sekarang aku sadar jumlah omong kosong yang dia dapatkan dari mereka berdua dan kesabaran yang dibutuhkan untuk menanganinya. Dia memang pria yang hebat.


Setelah kami menyelesaikan sesi bowling kami, kami minum di kafe terdekat. Setelah itu, kami beralih ke karaoke.

“Oke, Senpai, kamu duduk di sebelahku! Kakakku bisa menempatkan dirinya di suatu sudut dan menghilang sajalah! Dan kamu bisa menunggu di koridor luar, Hasaki-senpai! Oooh, aku tahu—bagaimana kalau kamu melakukan squat sambil menunggu? Itu benar-benar akan membantumu.”

Kenapa Touka harus selalu bersikap brengsek pada Ike dan Kana?

“Oke—kamu bisa duduk di sampingnya. Aku akan duduk di pangkuannya saja,” balas Kana.

“Umm, bagaimana kalau tidak? Dasar sangean.”

Ugh, terserahlah. Persetan mereka berdua. Aku akan bertanya pada Ike untuk mengetahui apa yang harus kita lakukan.

“Bagaimana kalau kamu dan aku duduk bersebelahan, Tuan Penakluk Wanita?” sarannya dengan nada main-main.

Ike, kamulah yang penakluk wanita, bukan aku. Hapus seringai itu dari wajahmu.

“Tentu. Lagipula aku tidak peduli di mana kita duduk. Uhh, jadi bagaimana tadi cara kerja karaoke?”

Ike mengajariku cara menggunakan remote kontrol yang berfungsi dengan panel sentuh tempat kami memilih lagu.

“Yuuji-senpai, kamu duduklah di sebelahku!” “Dan aku akan duduk di pangkuanmu!”

Kana dan Touka membombardirku dengan tuntutan mereka di tengah penjelasan Ike.

“Aku akan duduk di sebelah Ike. Dan aku lebih suka tidak ada orang di pangkuanku. Bagaimana kalau kalian berdua duduk di sana saja bersebelahan?” kataku, menunjuk ke sofa di depan tempat kami duduk.

Keduanya terdiam dan menjatuhkan diri di sofa seberang. Kepala mereka tertunduk malu.

“Heh… Kalian berdua tidak pernah mendengarkan apa pun yang aku katakan, tapi itu lain cerita jika menyangkut pria yang kalian sukai, ya? Kalau begitu, kalian berdua diamlah di sana dan dengarkan saja, oke,” komentar Ike. Kurasa ini adalah balasan untuk semua ejekan yang dia terima sebelumnya. Dia jelas menikmati mengolok-olok mereka kali ini. “Pokoknya, aku akan memilih lagu.”

Ike menelusuri pemilihan lagu dan memilih satu lagu. Begitu dia melakukannya, lirik muncul di layar di depan kami, dan musik pun mulai diputar. Itu lagu yang cukup populer—bahkan aku pun tahu. Kurasa dia bermain aman dan memilih sesuatu yang disukai semua orang. Aku harus melakukan hal yang sama.

Ike adalah yang pertama memegang mikrofon. Suaranya jernih dan enak didengar, nadanya pas dengan lagu aslinya. Ditambah lagi, dia mengikuti irama musiknya dengan sempurna. Dia sempurna bahkan saat bernyanyi karaoke, ya? Aku yakin jika Tatsumiya atau gerombolan gadis lain yang menyukainya bisa mendengar ini, mereka semua akan menjerit dan pingsan seperti fangirl.

Adapun Kana dan Touka…

“Aku pernah mendengar orang lain menyanyikan lagu ini di TV sebelumnya. Menurutku hanya tipe narsis yang angkuh yang menyukai ini,” kata Kana, mengejutkanku.

Touka bahkan tidak menimpali; dia sibuk memainkan ponselnya dan lagi-lagi mengabaikan situasinya sama sekali.

Aku seharusnya mengajak Tatsumiya dan beberapa gadis lain—itu akan membuat segalanya lebih menyenangkan. Aku harus minta maaf pada Ike setelah ini.

“Kamu jago nyanyi, bung. Seperti yang diharapkan.” pujiku padanya. Kuharap aku bisa mengangkat semangatnya, meskipun hanya sedikit.

“Mereka berdua sepertinya tidak terlalu menyukai penampilanku,” jawabnya sambil menyerahkan mic padaku. Begitu dia melakukannya, lagu lain mulai diputar. Oh, itu lagu yang aku masukkan saat dia bernyanyi.

“Ah! Aku sangat menyukai lagu ini!” seru Kana.

“Kamu memiliki selera musik yang bagus, Senpai! Kamu sempurna!”

Dan tentu saja, saat aku melangkah maju, Kana dan Touka merasa semangat kembali dan mulai melantunkan pujian untukku.

Ini sangat canggung. Ini sebenarnya pertama kalinya aku bernyanyi, dan aku jelas belum siap untuk apa yang akan terjadi. Pada akhirnya, aku berhasil melewati bagianku. Sejujurnya, ini agak memalukan.

“Whoaaa! Kamu sangat pandai menyanyi, Yuuji-kun!”

Senpai, kamu master karaoke terhebat di dunia! Kurasa aku semakin jatuh cinta denganmu dari sebelumnya!”

Astaga. Mereka membuatnya terdengar seperti aku ini semacam superstar.

“M-Makasih…” jawabku ragu-ragu.

Lagu berikutnya mulai diputar, dan itu lagu populer lainnya. Itu adalah lagu romantis yang dinyanyikan oleh penyanyi wanita terkenal.

“Hei! Itu laguku!” seru Touka.

Dia mulai bernyanyi, dan pembawaannya sesempurna Ike. Aku terkejut—dia sebenarnya memiliki suara yang sangat bagus. Begitu bagus, hingga bahkan aku pun terhanyut dalam nyanyiannya dan bahkan tidak sadar ketika dia selesai.

“Bagaimana, Senpai?” tanya Touka.

“Itu menakjubkan. Sungguh. Aku benar-benar terpikat oleh nyanyianmu tadi.”

“Baguslah!” sorak Touka, lalu menghela nafas lega.

“Heh, dasar penyihir licik. Tentu saja kau akan memilih lagu itu,” gumam Kana.

“Oh diamlah,” balas Touka dengan tatapan dingin.

Keduanya tersenyum lebar, tapi jujur saja, aku jadi semakin takut.

“Oke, giliranku sekarang! Yuuji-kun, pastikan untuk mendengarku!” ujar Kana.

Dan dia menyebut Touka penyihir licik? Dia baru saja memilih balada cinta dari grup idola wanita—lagu itu sangat mirip dengan pilihan Touka! Tentu, Touka lebih baik darinya, tapi Kana juga tidak terlalu buruk… Aku hanya berpikir lagu semacam ini tidak cocok dengan kepribadiannya yang ceria.

“Bagaimana menurutmu, Yuuji-kuin? Apakah aku membuat jantungmu berdetak kencang?” tanya Kana padaku ketika lagunya selesai.

Dia benar-benar berhasil melakukannya. Nyanyiannya bagus, meski pilihan lagunya bukan yang terbaik.

“Ya. Itu luar biasa,” jawabku.

Kana tertawa kecil, dan pipinya memerah. “Aku sangat bahagia…”

“Lagu itu sangat cocok untukmu, Hasaki-senpai,” komen Touka.

Wow, dia benar-benar memuji Kana? Bagus. Aku tidak mengira itu.

“B-Benarkah?” tanya Kana, sama terkejutnya denganku.

“Yup. Itu sama membosankan dan biasa saja sepertimu. Lagu itu memang dibuat untukmu!”

“Oh, ayolah—aku mungkin bukan orang yang paling menarik, tapi kamu membuatnya menjadi lebih menarik,” jawab Kana dengan senyum di wajahnya.

Aku hampir bisa melihat percikan api dari tatapan intens yang mereka berikan satu sama lain.

Ike tiba-tiba berdiri. “Hei, aku akan pergi membeli minuman. Apakah kalian ingin sesuatu?”

Mereka berdua berteriak ingin es teh bersamaan. Saat-saat seperti ini membuatku berpikir bahwa mereka bisa akur jika mereka mau, mengingat selera mereka sangat mirip.

Mungkin akan sulit bagi Ike untuk membawakan minuman semua orang. Dia jelas bisa melakukannya, tapi jika aku bisa membantunya, maka aku akan merasa lebih tenang.

“Hei, aku akan membantumu,” kataku.

“Oh, makasih. Aku terbantu.”

Kami meninggalkan ruangan dan menuju area minuman di dalam tempat karaoke. Tidak ada seorang pun di sini selain kami. Aku mengambil beberapa gelas untuk Touka dan Kana, menaruh es di dalamnya, dan menyerahkannya kepada Ike.

“Makasih, Yuuji,” katanya. Dia menuju ke mesin minuman, menekan tombol, dan mengisi gelas dengan es teh.

“Tidak masalah, bung. Aku hanya berpikir akan lebih mudah jika kita berdua yang membawa minumannya jadi kamu tidak perlu melakukannya sendiri.”

Ike tertawa kecil mendengar jawabanku.

“Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh?”

Ike berbalik dan menatapku. “Yah, bukan karena itu aku berterima kasih padamu.”

“Aku benar-benar tidak dapat memikirkan hal lain yang membuatku pantas mendapatkan ucapan terima kasih.”

“Aku berterima kasih padamu untuk Touka dan Kana.”

“Huh?” Aku tersentak. Aku bingung di sini.

“Sudah lama sejak aku melihat Touka begitu bahagia dan ceria. Entah sudah berapa lama, yang dia lakukan hanyalah mengikuti alur dengan tawa kecilnya yang palsu itu. Ditambah lagi, dia menatapku seperti… yah, kamu tahulah. Dia berubah, Yuuji, dan itu berkat hubungan kalian. Aku yakin itu,” jelasnya dengan senyum lebar.

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan untuk menanggapi luapan kejujuran yang tiba-tiba ini.

“Sama halnya dengan Kana. Dia selalu bersemangat dan ceria, tapi aku tahu bahwa dia menyembunyikan sesuatu jauh di lubuk hatinya, yang tidak pernah bisa dia ceritakan padaku. Tentu, kupikir dia terkadang bertindak terlalu kelewatan, tapi bagus untuk melihat bahwa dia juga telah berkembang sebagai pribadi, lho?”

Dia berhenti sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Kami bertiga sering nongkrong bersama sebelum kami tamat SMP. Tapi kemudian hubungan Touka dan Kana memburuk, serta aku dan Touka semakin jauh. Akhirnya, kami berhenti bersama sepanjang waktu. Aku tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubah situasi. Aku tidak… Aku tidak bisa memperbaiki masalah dengan Touka juga. Sejujurnya, aku sudah agak menyerah untuk mencoba mengembalikan semuanya menjadi sedia kala. Tapi keadaan saat ini—dengan mereka berdua yang terus-menerus bertengkar dan membentak-bentakku—mengingatkanku kembali. Itu mengingatkanku pada bagaimana kami ketika masih kecil, dan itu membuatku sangat bahagia.”

Dan di sini aku berpikir bahwa dia diperlakukan seperti sampah, tapi kurasa dia sudah biasa diperlakukan begitu jika itu menghidupkan kembali kenangan indah.

“Alasan kami semua kembali ke keadaan kami sekarang adalah semua berkatmu, bung. Jadi ya—aku hanya ingin menyampaikan rasa terima kasihku.”

Ike melihat ke bawah, ke gelas yang dia pegang. Kami pun selesai mengisi minuman.

“Kamu tidak perlu berterima kasih padaku untuk semua ini,” jawabku ragu-ragu.

Tentu, mungkin akulah salah satu alasan Ike dan Touka mulai akur kembali, tapi aku sangat tidak setuju ketika menyangkut Kana. Itu tidak lebih dari keberuntungan semata. Ditambah lagi, bukan dia yang seharusnya berterima kasih padaku—akulah yang seharusnya berterima kasih padanya atas semua bantuan yang dia berikan padaku. Sejak awal. dialah alasan aku bisa berada di sini. Aku senang bahwa dia merasa berterima kasih, tapi aku tidak pantas menerima rasa terima kasihnya ketika aku tidak melakukan apa pun untuk itu.

“Aku tahu kamu mencoba bersikap dingn dan menyendiri, kawan, tapi terkadang kamu harus sedikit menguranginya,” candanya.

“Oh diamlah.”

Kami telah kembali ke olok-olok klasik kami. Jika aku tidak mencoba untuk tampil “dingin” seperti yang dia katakan, kami tidak akan berakhir sebagai teman sejak awal.

Ike tertawa, tapi kemudian dengan cepat berubah 180 derajat dan menatapku dengan serius. “Sebenarnya, ada satu hal lagi yang perlu aku sebutkan—bukan karena aku khawatir atau apa, tapi perlu diingat bahwa aku menganggap mereka berdua sebagai keluarga. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di antara kalian bertiga, tapi apa pun itu, semoga situasi ini—dengan mereka berdua yang memperebutkanmu—tidak bertahan lebih lama. Kamu mengerti maksudku, kan?”

Aku mengangguk. Dia jelas tidak bercanda, jadi aku harus melakukan hal yang sama. “Aku mengerti,” jawabku.

Dia benar. Secepatnya aku harus memilah perasaanku dan memutuskan apa yang akan aku lakukan sehubungan dengan “hubungan”-ku dengan Touka. Setelah itu, aku harus mengatasi masalah dengan Kana dan perasaannya.

Ike tampak puas dengan jawabanku, karena senyumnya yang biasa kembali ke wajahnya. “Senang mengetahui bahwa kita satu frekuensi. Ngomong-ngomong, ayo kita antar minuman ini.”

Kita jelas harus kembali, ya. Aku mengambil es teh Touka, bersama dengan minumanku, dan kami berdua pun kembali ke ruang karaoke.

“Ah!” Touka dan Kana berteriak bersamaan saat kami kembali.

Kami mendapati diri kami dihadapkan pada skenario aneh yang tidak kami duga: kedua gadis itu bernyanyi bersama. Ike dan aku bertukar pandang terkejut.



“Pada akhirnya, kalian berdua bisa akur ya,” kataku.

Kana dan Touka memerah dan menundukkan kepala karena malu.

“Kami berpikir untuk berduet hanya untukmu!” seru Kana.

“Ini hanya agar kamu dapat memutuskan siapa di antara kami yang akan menjadi pasangan yang lebih baik untukmu! Kamu harus mendengarkan dan memberi tahu kami!” tambah Touka buru-buru.

Aku dan Ike menaruh minuman di atas meja dan melanjutkan untuk duduk di sofa. Ya ampun, padahal kuharap mereka benar-benar akur.

Ike memegang pundakku dan mendempetku sedikit, menyela jalan pikiranku. “Jika kalian benar-benar ingin tahu jawabannya, maka kompetisi apa pun tidak ada gunanya.”

Apa? Apa maksudnya mengatakan ini?

“Huh? Apa masalahmu?” tanya Touka.

“Apa maksudmu, Haruma?”

Mereka berdua sama bingungnya denganku.

“Mudah saja: Aku dan Yuuji akan bernyanyi bersama duluan karena aku sudah menjadi pasangan terbaiknya!”

Dia merangkul bahuku dan menyeringai ke arah mereka. Tidak seperti senyumnya, Touka dan Kana sangat marah.

“Apa?! Kau pasti bercanda! Omong kosong macam apa itu?!” teriak Touka.

“Kamu tidak bisa menjadi pasangan terbaiknya! Mustahil!”

Ike menatapku, seolah mencari bantuanku. Wajahnya perlahan mendekati wajahku. Astaga, jika aku adalah Tatsumiya atau salah satu dari jutaan gadis yang naksir padanya, aku akan benar-benar pingsan sekarang. Sayang sekali aku laki-laki; kalau tidak aku pasti akan mengejarnya.

“Tentu. Mari naik ke panggung, rekan,” aku berhasil menjawab tanpa pingsan di tempat. Kerja bagus, diriku.

“Persetan denganmu!” teriak Touka.

“Dasar curang! Haruma bodoh!”

Ike memilih lagu yang sempurna untuk kami nyanyikan bersama dan memberikan mikrofon kepadaku sambil tersenyum.

“Dengar, aku tidak terlalu peduli apa pun ocehan kalian berdua tentang itu. Sudah siap, rekan?”

Aku menerima mic. “Aku siap.”

Dan dengan begitu, kami pun mulai bernyanyi bersama. Meskipun Touka dan Kana tampaknya tidak terlalu senang dengan hal ini, namun aku sendiri berpikir kalau kami adalah pasangan yang cukup serasi.



Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

There’s no way a side character like me could be popular, right?
Score 9.1
Status: Ongoing Type: Author: Artist: , Released: 2018 Native Language: Jepang
“Karena aku sangat mencintaimu, Senpai!” Namaku Tomoki Yuuji, siswa SMA kelas dua. Aku bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang siswa yang cukup normal, kecuali fakta bahwa semua orang menghindariku seperti wabah karena aku terlihat seperti haus darah. Ike Haruma adalah satu-satunya yang tidak menjauhiku. Dia tipikal ‘pria sempurna’ dalam segala hal; protagonis tanpa cacat yang biasa kau lihat di setiap cerita. Kehidupan di sekolah terus berjalan seperti biasa… sampai suatu hari, adik perempuan Haruma yang super populer itu menyatakan cinta padaku tiba-tiba?! Meskipun dia kemudian mengklarifikasi bahwa perasaannya terhadapku sama sekali tidak romantis dan dia memiliki motif tersembunyi, au akhirnya menerima peran baruku sebagai ‘pacar palsu’ sebagai bantuan untuk Haruma. Percaya atau tidak, saat aku mulai berkencan dengannya, teman masa kecil Haruma yang seperti idol dan guruku yang super cantik ikut terlibat denganku juga! Tunggu sebentar. Ini tidak mungkin skenario rom-com impian yang diatur sendiri untukku, kan?! Maksudku, tidak mungkin karakter sampingan sepertiku bisa menjadi populer, kan?  

Comment

Options

not work with dark mode
Reset