Chapter Sepuluh: Berangkat
Sekarang kita berada di bulan Agustus, hanya beberapa hari setelah liburan musim panas dimulai.
Dari segala tempat yang ada, aku mendapati diriku berjalan ke sekolah. Ya, aku tahu ini aneh, apalagi di hari sepanas ini. Namun, ada alasan bagus di baliknya, serius. Aku melakukan ini hari ini karena hari yang dinantikan telah tiba: akhirnya saatnya perjalanan OSIS kami.
Sesampainya di sana, aku langsung menuju ke ruang OSIS—di situlah kami seharusnya bertemu. Aku mengetuk pintu, dan sebuah suara dari dalam memanggilku masuk.
“Oh, Yuuji. Kamu akhirnya datang,” sapa Ike padaku.
“Sepertinya aku yang terakhir sampai,” kataku sambil melihat sekeliling.
Kami semua bertukar salam. Aku tiba 10 menit lebih awal dari waktu ketemuan yang seharusnya, tapi semua orang sudah menungguku di sini. Yap, Ike, Tatsumiya, Tanaka-senpai, Suzuki, dan Touka, semuanya ada di sini. Satu-satunya yang masih tidak ada adalah Makiri-sensei, yang seharusnya menjemput dengan minivan dan mengantar kami.
“Tampaknya, Taketori-senpai terlalu sibuk belajar untuk ujian remedial-nya, jadi dia tidak akan ikut,” jelas Ike.
“Halo, Yuuji-senpai!” seru Touka dengan suara ceria.
“Hai,” jawabku.
Sesaat setelah aku menjawabnya, Touka menghela nafas lega dan menuju ke arahku. Apakah dia senang bahwa aku akhirnya di sini?
“Ah! Touka…” Aku mendengar teriakan Tatsumiya.
Hah, Touka hanya merasa lega karena Tatsumiya mungkin akan menempel padanya dan mengganggunya. Tatsumiya juga memperhatikan rasa lega Touka yang terlihat dan menatapku tajam. Yah, bodo amat.
“Nah, karena kita semua sudah ada di sini, kita harus menjemput Makiri-sensei agar kita bisa pergi.”
“Aku akan pergi ke ruang guru dan memanggilnya. Kalian tunggulah kami di gerbang depan,” perintah Tanaka-senpai.
“Aku akan ikut denganmu. Aku tidak ingin kamu menunggunya sendirian,” tambah Suzuki, mengikuti di belakangnya.
“Oke, kami akan menunggu di gerbang. Sampai ketemu di sana,” kata Ike.
Tanaka dan Suzuki meninggalkan ruangan, dan kami juga keluar tak lama itu. Ike mengunci pintu ruangan di belakang kami, dan kami berjalan menuju gerbang.
“Ya ampun, jujur saja—aku, kayak, sangat bersemangat untuk perjalanan ini!” seru Touka dengan nada riangnya yang biasa.
“Huh, aneh melihatmu benar-benar bersemangat akan sesuatu.”
“Oh, jelas saja! Fakta bahwa Hasaki-senpai tidak akan ada di sana untuk merusak segalanya membuat ini jauh lebih baik,” jawabnya sambil menyeringai. Aku suka saat dia tersenyum seperti itu.
“Kudengar dia sedang mempersiapkan kompetisi tenis selanjutnya, jadi begitulah,” jelas Ike.
“Yah, jika aku boleh memberikan pendapatku tentang masalah ini… akan sangat aneh jika dia ikut bersama kita, mengingat dia tidak berpartisipasi sama sekali di OSIS atau bahkan membantu dalam hal apa pun,” papar Tatsumiya dengan sikap tenangnya yang biasa.
“Yah. Sayang sekali, tapi kurasa begitulah adanya,” kata Ike.
“Aw, aku saaangat sedih dia tidak bisa ikut! Sayang sekali!” kata Touka, suaranya mengandung sarkasme. “Canda, ding! Ngomong-ngomong, aku tidak sabar untuk berdua saja bersamamu dalam perjalanan ini, Senpai!”
“Wehehe, ya memang. Harus aku akui, aku tak sabar untuk menikmati waktu berkualitas bersamamu dalam perjalanan kita, Touka,” tambah Tatsumiya dengan senyum seram.
“Uhh… ya, tentu,” gumam Touka samar-samar, berusaha untuk mengabaikannya sebisa mungkin.
“Ya ampun! Mungkin aku terlalu antusias dalam usahaku untuk berteman dengannya! Akan berpikir apa ketua tentangku sekarang?!” tangisnya.
“Tidak apa-apa. Menurutku kamu hanya belum tahu bagaimana cara melakukan ini,” aku berusaha meyakinkannya.
Tatsumiya menatap Ike dengan semangat membara; Ike tersenyum padanya, tapi tidak menjawab. Aku tidak menerima jawaban dari Tatsumiya—Aku ragu dia mendengar apa yang aku katakan. Dia terlalu sibuk menatap Ike untuk memperhatikan hal lain.
Butuh beberapa menit, tapi kami akhirnya sampai di gerbang depan sekolah. Minivan yang dimaksud sudah menunggu kami, bersama dengan Makiri-sensei.
“Hei, semuanya. Taruh barang bawaan kalian di belakang,” ia mengarahkan, lalu melompat ke kursi pengemudi.
Aku meletakkan barang-barangku ke belakang seperti yang diinstruksikan dan membuka pintu van. Saat aku hendak masuk, aku mengamati situasi tempat duduk. Suzuki dan Tanaka-senpai sudah duduk bersebelahan di kursi paling belakang. Itu menyisakan empat kursi untuk kami semua—tiga kursi di baris kedua, dan satu kursi di depan samping pengemudi.
“Bagaimana kalau kita duduk bersebelahan, Touka?” saran Tatsumiya.
“Uhh, aku sebenarnya berharap untuk duduk di sebelah Senpai, jadi aku tidak yakin…” jawab Touka ragu-ragu.
Jika aku duduk di baris kedua, bersama Tatsumiya dan Touka, aku tahu pasti bahwa Touka akan mengabaikannya sepanjang perjalanan—itu tidak akan menyenangkan bagi Tatsumiya. Sejujurnya, pilihan terbaik adalah membuatnya, Touka, dan Ike duduk bersama. Dengan begitu, dia bisa duduk di antara mereka. Ditambah lagi, aku tidak ingin dia berpikir buruk tentangku, jadi aku akan membiarkan dia memiliki tempat itu.
“Aku terlalu besar untuk kursi belakang. Aku hanya akan memakan banyak tempat. Sebagai gantinya, aku akan duduk di kursi samping pengemudi,” kataku dengan cepat dan melompat duduk di samping Makiri-sensei sebelum ada yang bisa memprotes.
“Apaaaa? Haaah, oh sudahlah. Aku akan duduk di belakangmu, Senpai,” kata Touka.
Yah, meskipun dia tidak senang dengan hasilnya, setidaknya dia tidak keberatan dengan alasanku. Baguslah.
“Baiklah. Ketua, kamu boleh masuk lebih dulu,” Tatsumiya mempersilakan Ike masuk.
“Baik.”
Ike masuk duluan, duduk tepat di belakang Makiri-sensei. Tatsumiya mengikuti setelahnya, lalu Touka, duduk tepat di belakangku. Aku memutar leherku untuk memeriksa Tatsumiya. Dia menyeringai lebar, jadi aku berasumsi kalau ini adalah posisi tempat duduk yang dia inginkan. Bagus. Saat aku berbalik kembali, aku melihat Makiri-sensei menatap lurus ke arahku. Uh, sial. Ini canggung.
“Um… Terima kasih atas semua bantuannya tempo hari,” bisikku padanya. “Saya tidak menyangka bisa ikut dalam perjalanan ini, tapi Anda telah membuat semuanya menjadi mungkin… jadi, eh, sekali lagi terima kasih.”
“Tidak perlu berterima kasih padaku. Bagaimanapun, ini adalah kesempatan bagus bagimu untuk berkumpul bersama teman-temanmu,” jawabnya dengan nada sedih.
Aku akhirnya menyadari bahwa dia mengkhawatirkan sesuatu.
“Apakah ada masalah?” tanyaku padanya.
Dia tersenyum canggung sebagai jawaban. Sejujurnya, aku masih khawatir tentang apa yang dlakukan ayahku ketika Makiri-sensei datang berkunjung. Aku tidak akan terkejut jika dia segera memiliki pengacara, tapi untungnya, sejauh ini tidak ada sesuatu yang terjadi.
“Oh, bukan apa-apa. Hanya saja…” gumamnya.
“Ya?”
Dia menghindari kontak mata denganku dan tidak menjawab. Sebaliknya, dia malah dengan cepat mengeluarkan ponsel dari salah satu sakunya dan mulai mengetik. Hanya dalam hitungan detik, ponselku bergetar. Lalu. Makiri-sensei pun mengantongi ponselnya sekali lagi.
“Oke semuanya, pasang sabuk pengaman kalian. Kita akan berangkat,” serunya pada semua orang, yang dengan segera dan secara efektif mengakhiri diskusi kami sebelumnya.
Semua orang melakukan apa yang dia katakan saat aku mengeluarkan ponselku. Makiri-sensei jelas mengirimiku pesan, dan ada notifikasi yang belum dibaca muncul di layar ponselku. Apa yang tertulis, ya?
“Yah, kamu adalah pria pertama yang pernah duduk di sini di sebelahku, jadi aku sedikit gugup! Jangan pedulikan aku!”
Aku mengangkat kepalaku dan menatap Makiri-sensei. Dia memberiku tatapan dingin sebagai tanggapan dan bergumam, “Bisakah kamu tidak terlalu sering menatapku?” Wajahnya yang merah padam hanya menunjukkan padaku bahwa dia mengatakan itu karena malu.
Kurasa untung saja ayahku tidak membuatnya jijik hingga menuntut kami. Aku bisa tidur dengan tenang sekarang.
“Uhh… ya. Saya rasa Anda tidak dapat berkonsentrasi mengemudi dengan benar jika saya melakukan itu. Maaf,” aku meminta maaf dengan canggung.
“Apakah hanya perasaanku saja, ataukah kamu memang semakin berani akhir-akhir ini?” bisiknya pada diri sendiri.
Dan dengan percakapan canggung itu, dia menyalakan mobil, dan kami pun berkendara menuju tujuan kami.
Setiap orang bersenang-senang di dalam mobil. Tatsumiya tampaknya sedang bersenang-senang berbicara dengan Ike dan Touka. Ike selalu menjadi makhluk sosial, jadi mengobrol dengan orang dan secara alami perhatian pada orang lain adalah hal yang biasa baginya. Touka, di sisi lain, jelas tidak menikmatinya. Tetap saja, Tatsumiya berhasil terlibat dalam percakapan normal dengannya, yang merupakan kemajuan besar dari apa yang terjadi sebelumnya. Dia gadis yang ulet, jadi pada akhirnya dia akan berhasil melakukannya.
Sementara itu, aku dan Makiri-sensei berbincang-bincang di bangku depan, mengobrol tentang ini dan itu.
Setelah kira-kira dua jam berlalu dengan cukup cepat, kami tiba di hamparan pegunungan. Makiri-sensei memperlambat lajunya dan mengikuti jalan mendaki gunung yang membawa kami ke tujuan kami—sebuah SD yang telah direnovasi menjadi rumah penginapan.
“Baiklah, semuanya—kita hampir sampai, jadi duduklah dengan tenang,” Makiri-sensei memberi tahu kami.
Kami semua melihat ke luar jendela untuk memeriksa tempat itu. Aku tidak ingat di prefektur mana kami berada sekarang, tapi kami benar-benar dikelilingi oleh alam.
Begitu kami tiba, Makiri-sensei memarkir minivan di tempat yang telah disediakan di depan gedung.
“Sial, aku tidak menyangka pedesaan—er, daerah pegunungan—akan seperti ini,” gumam Touka saat kami semua berjalan menuju gedung.
“Sayangnya, kudengar kalau supermarket terdekat kira-kira berjarak setengah jam berkendara dari sini,” tambah Tatsumiya.
“Sialan…”
Sudah ada seorang pria yang menunggu kami di pintu masuk. Dia cukup tua, tapi jelas terlihat seperti seseorang yang bekerja di sini.
“Selamat datang di Mikura. Nama saya Yamamoto, dan saya adalah salah satu anggota staf. Tentu saja ada orang lain juga yang bekerja di sini, tapi saya akan menjadi pemandu kalian selama kalian tinggal di sini,” sapanya kepada kami, lalu melihat kelompok kami dengan heran. “Oh, ngomong-ngomong, di mana guru kalian? Kalau begitu, apakah hanya kalian para siswa?”
“Senang bertemu dengan Anda. Nama saya Makiri. Saya yakin ini adalah pertama kalinya kita bertemu, jadi saya mengerti kenapa Anda tidak mengenali saya. Saya guru mereka, dan saya yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi mereka selama kami di sini,” Makiri-sensei memperkenalkan dirinya. Meskipun dia tersenyum, suaranya tegas dan menunjukkan keseriusan. Aku yakin dia sangat tidak senang dikira sebagai murid.
“Oh! Saya minta maaf! Saya sungguh tidak sopan! Hanya saja Anda terlihat sangat muda sehingga saya bahkan tidak mempertimbangkan hal itu. Saya beranggapan bahwa Anda adalah lulusan baru perguruan tinggi. Mohon maafkan kelancangan saya,” Yamamoto meminta maaf sambil meletakkan tangannya di belakang kepala dan tertawa kecil. Namun, sebelum Makiri-sensei dapat berkata apa-apa, dia melanjutkan, “Baiklah, kalau begitu, saya akan memberikan peta tempat ini kepada semua orang. Kamar kalian sudah ditandai. Kalian dapat meletakkan barang-barang kalian di sana.”
Rupanya, laki-laki harus tinggal di lantai satu gedung, sedangkan para perempuan di lantai dua. Makiri-sensei juga memiliki tempatnya sendiri di lantai dua.
“Baiklah. Dengarkan, semuanya! Kita akan pergi ke kamar untuk meletakkan barang bawaan. Setelah selesai, mari kita semua bertemu lagi di sini sekitar… 15 menit. Kalian paham?” Makiri-sensei memerintah dengan nada dingin. Yap, dia pasti kesal dengan apa yang terjadi barusan.
Aku, Ike, dan Tanaka-senpai tiba di kamar kami, meletakkan barang-barang kami di sana, dan segera kembali ke tempat pertemuan kami.
Yamamoto sudah ada disana menunggu kami. Saat dia memperhatikan wajahku baik-baik, dia melompat sedikit. Setelah menyadari bahwa aku memperhatikannya tersentak, dia tersenyum dan terkekeh. Yah, inilah yang biasanya terjadi. Aku tidak menyalahkannya karena bereaksi seperti itu.
Para gadis membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk selesai, tapi akhirnya kami semua berkumpul kembali.
“Sepertinya semuanya sudah ada di sini. Kalau begitu, ayo pergi. Aku tahu kalian baru saja tiba, tapi kita akan melakukan pendakian panjang sekarang, jadi bersiaplah,” Makiri-sensei memperingatkan.
Yamamoto memberi kami peta lain dan menjelaskan apa yang digambarkannya.
“Baiklah. Kalian lihat checkpoint di sini, yang ditandai di peta di sepanjang jalan? Anggap saja masing-masing ini berisi teka-teki. Kami akan membagi kalian menjadi dua tim—kedua tim harus memecahkan semua misteri; setelah mereka melakukannya dan menyelesaikan trek, mereka harus kembali ke sini. Program ini dimaksudkan untuk selesai dalam waktu sekitar satu setengah jam, tapi tidak ada batasan waktu. Namun, semakin dekat kalian kembali dari waktu satu setengah jam, semakin banyak poin yang akan kalian terima. Namun, ini bukan hanya tentang siapa yang tiba lebih dulu! Itu saja tidak akan menjamin kemenangan kalian! Memecahkan teka-teki juga dapat memberikan kalian poin, jadi pastikan untuk menyelesaikan semuanya jika memungkinkan.”
Kami diberi beberapa materi sebelum diberi tahu bahwa kami harus menyerahkan ponsel dan jam tangan kami ke Makiri-sensei. Ini untuk mencegah pemantauan waktu yang akan kami perlukan dalam melakukan program.
“Mengenai tim, anggota OSIS akan membentuk satu tim—lagipula program ini ditujukan untuk mereka. Itu dimaksudkan untuk meningkatkan ikatan dan kerja sama mereka.”
“Yang artinya… Aku dan Senpai akan bersama BERDUAAN?!” teriak Touka.
“Usaha yang bagus, tapi tidak. Aku akan ikut,” jawab Makiri-sensei datar.
“Oh, benar juga…” gerutu Touka. Hah, dia pasti kecewa.
“Apakah ada pertanyaan sebelum kita mulai? Jika tidak, maka aku akan mengambil ponsel dan jam tangan kalian,” lanjut Makiri-sensei.
Tidak ada yang ingin dikatakan, jadi kami melakukan apa yang diperintahkan dan menyerahkan barang-barang kami kepadanya.
“Tim OSIS akan melakukan program searah jarum jam, sedangkan tim Makiri akan mulai berlawanan arah jarum jam. Harap tunggu sampai saya memberi kalian sinyal untuk mulai,” jelas Yamamoto. Dia melirik ke bawah ke stopwatch yang dia bawa di tangan kirinya.
“Senpai, Makiri-sensei, ayo lakukan yang terbaik, oke?” ujar Touka tiba-tiba.
“Tentu saja,” jawabku.
“Ya, Ike-san, ayo,” kata Makiri-sensei.
“Baiklah, semuanya, kalian bisa mulai sekarang!” seru Yamamoto.
Ike yang pertama bergerak. “Oke, teman-teman, sampai jumpa lagi.”
Untunglah ini dimaksudkan sebagai proyek pembinaan tim, bukan kompetisi. Aku akan tenang dan bersantai saat kami berjalan di sepanjang jalan dan memecahkan misteri kecil.
Touka banyak tersenyum saat kami berjalan, jadi aku berasumsi bahwa dia memikirkan hal yang sama denganku. “Astaga, Bu,” katanya tiba-tiba, memecah kesunyian jalan santai kami yang damai. “Saya tidak menyadarinya sebelumnya, tapi Anda, kayak, sangat berbeda ketika Anda tidak mengenakan pakaian kerja dan makeup. Saya yakin Anda benar-benar bisa mengenakan seragam siswa, dan tidak akan ada yang tahu! Maksud saya, setidaknya saya akan kesulitan membedakannya!”
Makiri-sensei mengenakan seragam sekolah? Ya ampun, sekarang aku ingin melihatnya.
“Haaa… Kurasa itu bukan sesuatu yang pantas kamu katakan di depanku, Ike,” jawab Makiri-sensei dengan dingin.
“Apakah Anda tidak senang saat orang mengira Anda lebih muda dari yang sebenarnya?”
“Hal semacam itu bukanlah hal yang menyenangkan di masyarakat saat ini. Ada banyak orang yang mengaitkan baby face dengan kurangnya kedewasaan, dan aku tidak menyukai hal itu.”
Hah, itu membuatku berpikir… Mungkinkah itu alasan dia berusaha keras untuk bersikap tegas dan serius di sekolah? Itu akan sangat masuk akal.
“Oh, ayolah—saya yakin orang-orang itu hanya iri pada Anda, Bu,” Touka mencoba meyakinkannya.
Makiri-sensei tersenyum sedikit. “Kurasa kalian berdua masih terlalu muda untuk mengerti. Pokoknya, jangan pedulikan aku. Ayo lanjutkan.”
“Oke boss!” jawab Touka dengan riang.
Kami akhirnya tiba di checkpoint pertama kami—sebuah kuil Shinto. Ada tangga yang kokoh menuju ke kuil. Setelah kami akhirnya mendaki tangga raksasa itu, kami disambut oleh tanda yang menyimpan misteri pertama kami.
“Ada berapa jumlah anak tangga seluruhnya?” bunyinya.
Kurasa itu bukan teka-teki, melainkan hanya pertanyaan sederhana. Yang harus kami lakukan adalah menuruni tangga dan menghitungnya saat turun. Semoga teka-teki lainnya sedikit lebih menantang, karena jika tidak, ini akan menjadi sangat mudah. Ditambah lagi, aku tidak begitu yakin bagian mana dari itu yang dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat tim atau semacamnya.
Setelah kami menghitung tangga, kami pun melanjutkan jalan setapak dan menuju ke arah checkpoint berikutnya.
☆
Setelah sekitar satu jam, kami berhasil menyelesaikan program tanpa masalah.
Yamamoto sedang menunggu kami dengan beberapa cangkir teh panas. Begitu dia memastikan bahwa kami sudah selesai, dia menyerahkan cangkir itu kepada kami.
Setelah menunggu sebentar, tim OSIS juga datang. Yamamoto memberi mereka masing-masing sebuah minuman.
Setiap tim memberikan secarik kertas berisi jawaban kami pada Yamamoto. Dia memeriksa setiap lembarnya dan kemudian menyatakan bahwa kedua tim menjawab pertanyaan dengan benar.
“Oke, sekarang saya akan mengumumkan berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap tim untuk menyelesaikan tantangan. Tim Makiri membutuhkan waktu tepat satu jam, 28 menit, dan 48 detik. Sangat mengesankan!”
“Sialan!” seru semua orang.
Sejujurnya, aku tidak mengira kami akan selesai dalam waktu segitu.
“Tapi tim OSIS bahkan lebih mengesankan—mereka membutuhkan waktu tepat satu jam 30 menit! Karena itu, mereka menang! Selamat!” soraknya dengan tepuk tangan meriah.
Sial, Ike itu monster. Dia tidak membawa apa-apa, namun dia berhasil tiba tepat waktu di sini. Wow. Dia layak mendapat pujian, jadi aku juga bertepuk tangan. Kurasa OSIS benar-benar ada di level yang berbeda.
☆
Senja menjelang, dan matahari terbenam. Kami pindah ke halaman utama gedung dan mendengarkan Makiri-sensei mengumumkan jadwal kami.
“Oke, semuanya, saatnya kita menyiapkan makan malam,” katanya. Kami perlu memasak makan malam kami sendiri—kari dengan nasi dan salad—jadi setiap orang memiliki tugas mereka masing-masing. “Kita memiliki semua bahan yang kita butuhkan, serta kayu untuk api unggun. Batang kayunya masih harus dipotong terlebih dahulu, jadi berhati-hatilah setiap kali kalian melakukannya. Jika seseorang tidak tahu cara menyalakan api, silakan tanyakan pada Yamamoto.”
“Saya juga akan mengawasi kalian. Dengan begitu, tidak akan ada masalah apa pun yang mungkin terjadi,” lanjut Yamamoto.
“Kuharap kari kalian dapat memenuhi harapanku,” kata Makiri-sensei sambil tersenyum.
Setelah selesai dijelaskan begitu, kami semua berkumpul.
Touka terlihat sedikit khawatir. Dia menyilangkan lengan dan cemberut, “Aku tidak pernah benar-benar ikut membantu saat kami melakukan ini di SD, jadi aku agak bingung sekarang.”
“Semuanya akan berhasil dengan usaha, kerja keras, dan tekad,” kata Tatsumiya, mencoba meyakinkannya.
“Kita harus membagi rata tugas kita. Apakah ada yang punya masukan?” tanya Ike.
“Aku sarankan untuk membagi ini menjadi beberapa kelompok,” kata Tatsumiya. “Misalnya, satu kelompok bisa fokus menyiapkan kari, sementara yang lain mengurus tugas lainnya. Tanaka-senpai dan Tomoki dapat bertanggung jawab atas memotong kayu, Suzuki dapat mencuci beras, dan—setelah api dinyalakan oleh Tomoki dan kari disiapkan—Tanaka-senpai dan Suzuki dapat menyiapkan salad. Itu artinya ketua, Touka, dan aku yang akan bertanggung jawab untuk memasak kari. Bagaimana menurut kalian semua tentang ini?”
“Aku tidak masalah,” kata Tanaka-senpai.
“Sama,” Suzuki setuju.
“Aku tidak tahu…” gumam Touka, tampak agak tidak senang dengan usul itu.
“Ada apa, Touka?”
Tidak mungkin dia mengkhawatirkan kemampuannya memasak. Maksudku, dia pernah membuatkanku bekal yang sangat enak sebelumnya, jadi aku tahu dia pandai memasak. Lalu apa yang sangat mengganggunya? Apakah dia benar-benar enggan berada di dekat Tatsumiya?
“Sudahlah,” kata Touka setelah ragu-ragu. “Aku tak masalah dengan idemu, yeah.”
“Kalau begitu, ayo.”
“Baiklah, Ketua, Touka—Aku harap aku tidak menghalangi,” kata Tatsumiya, jelas gembira karena usulannya diterima.
Kurasa dialah yang paling bahagia dengan susunan pasangan dan semacamnya sejauh ini. Dia jelas lihai dan tahu bagaimana mendapatkan apa yang diinginkannya. Salut untuknya.
Akhirnya, kami mulai melakukannya. Di bawah pengawasan Yamamoto, aku dan Tanaka-senpai mulai memotong batang kayu dan menyalakan api.
“Sial, Tomoki-kun, kamu cukup ahli dengan api. Apakah kamu sering melakukan hal-hal seperti ini?” kata Tanaka-senpai takjub.
“Tidak, aku mempelajarinya dari suatu manga dan tutorial YouToob. Aku sebenarnya sama terkejutnya denganmu bahwa aku berhasil melakukannya dengan mudah.”
Tidak akan pernah menyangka bahwa Yurui Camp dan Camping with the Boys: The Movie akan sangat membantuku—Tanaka-senpai bahkan memujiku. Terima kasih, anime!
“Oh, benarkah? Wah,” jawabnya.
“Tentu saja dia lebih baik darimu—kamu akan mati saat mencoba melakukannya sendiri, Tanaka-senpai,” canda Suzuki sambil membawa beberapa peralatan ke arah kami. Dia meletakkan tangan di bahu Tanaka-senpai dan menatapku. “Aku turut berduka cita, Tomoki.”
“Hei, jangan mengejekku. Ah Baiklah. Kurasa kita akan mulai dengan salad sekarang.”
“Yup. Sampai jumpa lagi, Tomoki!”
Mereka berdua pergi mengerjakan tugas selanjutnya. Mereka berdua akrab, ya? Aku melambai pada mereka saat mereka pergi dan kemudian mengalihkan perhatianku kembali ke api. Tidak lama kemudian, Ike datang membawa kari.
Akhirnya, Yamamoto dan semua orang berkumpul di sekitar api dan mengambil sepiring kari yang banyak. Waktunya makan.
“Wah!” Aku berteriak saat sesendok penuh kari menyentuh lidahku. Kari ini sangat enak sehingga aku tidak menyangka ini dimasak di luar di antah berantah. Ike benar-benar memiliki sentuhan magis.
“Masakanmu luar biasa, Ketua… Kamu sempurna…” bisik Tatsumiya dengan lamunan sambil melirik Ike.
☆
Setelah kenyang, kami pun mandi.
Kami memiliki sedikit waktu luang sebelum kami harus tidur, jadi hampir semua orang berkumpul di kamar kami, memainkan permainan papan yang dibawa Tanaka-senpai. Aku, di sisi lain, berada di luar.
Sangat sunyi di sini, itu sudah pasti; apalagi dibandingkan dengan hiruk pikuk sore ini. Satu-satunya hal yang bisa aku dengar adalah derik jangkrik. Aku menatap ke kerlap kerlip langit malam dan melihat tiga bintang tertentu—Altair, Deneb, dan Vega, Segitiga Musim Panas.
Saat aku duduk di sana dan memandangi bintang, aku mulai merasakan kelelahan dari acara hari ini merayapi diriku. Aku tidak lelah secara fisik, tapi ini adalah pertama kalinya aku berada di sini melakukan hal seperti ini bersama orang lain. Aku lelah secara mental lebih dari apa pun. Aku mengingat kembali ke perjalanan kemahku di SD dulu. Aku dibiarkan sendirian untuk melakukan urusanku sendiri, jadi aku tidak pernah mengalami bagaimana rasanya bekerja sama dengan orang lain sampai sekarang.
“Baa!” Touka tiba-tiba berteriak di sampingku, menekan kaleng dingin ke salah satu pipiku. “Apakah aku menakutimu setengah mati, Senpai? Ambil ini; semoga kamu suka jus jeruk.”
“Ya, aku tak keberatan. Makasih,” jawabku sambil menerima minuman itu.
Dia pun duduk di sebelahku dan mendentingkan kalengnya ke milikku. “Bersulang untuk kita, Senpai!”
“Tentu,” kataku, memperhatikannya meminum minumannya sendiri. Aku segera mengikutinya.
“Apakah kamu lelah, Senpai?”
“Yah, sedikit. Kamu yakin tidak ingin bersama yang lainnya?”
Dia tersenyum. “Tidak apa-apa. Lagipula aku bukan bagian dari kelompok OSIS mereka. Ditambah lagi, akan bohong jika aku bilang bahwa aku tidak ingin berduaan denganmu. Aku berharap kita bisa menghabiskan lebih banyak ‘waktu berkualitas’ bersama, jika kamu mengerti maksudku sih.”
“Heh,” aku tertawa kecil. Jadi, bahkan Touka pun bosan bersosialisasi. Namanya juga manusia, kurasa. “Kamu tidak terlihat begitu senang saat membuat makan malam sebelumnya. Aku sudah tahu kalau kamu tidak begitu suka berada di dekat Tatsumiya, tapi aku tidak tahu kalau sampai separah itu.”
“Oh, kamu sadar, ya? Maksudku, aku bisa memberitahumu kenapa aku tidak terlalu menyukainya,” jawabnya sambil menatapku.
“Tentu jika kamu tak keberatan.”
“Aku sudah berusaha sangat keras untuk mendapatkan waktu berduaan denganmu hari ini, tapi setiap kali aku mencoba berpasangan denganmu, seseorang malah ikut campur. Dia sudah melakukan ini beberapa kali sekarang, jadi begitulah…” gerutunya. Kemudian dia memberiku senyum nakal dan bertanya, “Senang mendengarku mengatakan itu?”
“Satu-satunya hal yang bisa aku ambil dari ini adalah bahwa kamu tidak sepenuhnya benci berada di dekatnya.”
“Ya Tuhan, Senpai, kamu sangat tidak peka! Tidak bisakah kamu mengatakan bahwa kamu, kayak, sangat bahagia dan berhenti sampai di situ saja?! Oke, baiklah! Aku memang tidak membenci gadis itu, tapi tetap saja…”
Kami terdiam, menatap langit malam bersama.
Setelah beberapa menit, Touka memecah keheningan. “Aku benar-benar senang bisa datang ke sini bersamamu, Senpai,” bisiknya. “Kita belum pernah melakukan hal seperti ini bersama sebelumnya, jadi aku masih senang dengan hasil ini. Aku sungguh bersenang-senang.”
Aku menatapnya, dan dia membalas tatapanku. Mata kami saling bertatapan.
“Bagaimana denganmu, Senpai? Apakah ini menyenangkan bagimu?” tanyanya sambil tersenyum.
Tatapan matanya dan senyum nakalnya membuat jantungku berdetak kencang.
“Ya, aku bersenang-senang. Dan itu semua karena kamu ada di sini,” jawabku.
Jawabanku membuatnya menyeringai, dan tatapannya semakin tajam. “Astaga, Senpai! Aku sudah sangat tidak asing dengan seluruh aksi Buaya Daratmu—kamu mencoba untuk memikat hatiku dengan kata-kata manismu. Mungkinkah kamu sudah jatuh cinta padaku?” tanyanya dengan nada genit.
“Itu bukan niatku, tidak. Aku tidak mencoba menggoda di sini,” jawabku sambil mengangkat bahu.
“Huh…”
Dia dengan cepat menggenggam tanganku dan meletakkannya di atas kepalanya. Aku bisa merasakan helaian rambutnya yang halus.
“Ada apa?” tanyaku padanya.
Dia memberiku senyum nakal lagi. “Kita sedang menjalin hubungan, ingat, Senpai? Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengusap kepala sambil melihat langit malam bersama!”
Oh, oke. Kurasa ini adalah ide terbarunya untuk lebih dekat denganku. Jelas bahwa dia berusaha sekuat tenaga untuk membuatku jatuh cinta padanya, seperti yang dia jelaskan sebelumnya. Yah, aku tidak keberatan. Aku hanya senang pada fakta bahwa dia cukup mempercayaiku untuk melakukan ini sebelumnya.
“Oh, baiklah… Kurasa begitu,” jawabku.
Sayang sekali kami bukan benar-benar pasangan. Tapi rambutnya terasa enak dan aku tak masalah dengan ini, jadi aku tidak akan mengeluh.
“Wah, aku tidak menyangka kamu akan setuju secepat itu! Apakah kamu baik-baik saja, Senpai?!” teriak Touka, wajahnya berubah menjadi warna merah tua aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Sudah kuduga kamu tidak akan suka aku melakukan ini! Kenapa kamu malah mencoba membuatku melakukannya?!” Aku balas berteriak, dengan cepat menarik tanganku dari kepalanya.
“Hei! Tunggu, tunggu! Aku tidak bermaksud seperti itu!” teriaknya.
Dia mengulurkan tangan, menangkap tanganku di udara. Wajah kami berakhir sangat dekat satu sama lain.
Kami saling bertatapan selama beberapa detik, lalu dengan cepat mengalihkan pandangan kami.
Ada keheningan yang menyesakkan. Aku sangat malu dengan apa yang baru saja terjadi, dan aku yakin Touka juga merasakan hal yang sama.
Kami akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu bersama menatap bintang-bintang. Suasananya sunyi, meskipun aku tidak akan menganggapnya canggung sama sekali. Kupikir Touka akan terus menggodaku lagi, tapi kurasa dia sudah puas malam ini.
Ingat ketika aku bilang bahwa aku lelah secara mental? Nah, lupakan tentang itu—aku merasa seperti berada di atas awan sekarang. Kenapa ya?