Chapter Sebelas: Perjalanan Pulang
Kami bangun pagi-pagi sekali pada pukul 7:00 keesokan harinya.
Setelah kami semua berkumpul di halaman utama, kami melakukan olahraga ringan sebelum menikmati sarapan. Makanannya sederhana, tidak terlalu mewah—bola nasi, telur dadar gulung, dan sup miso babi ringan—tapi itu masih cukup enak. Kupikir yang lainnya setuju denganku, karena mereka semua juga dengan bersemangat melahap makanannya.
“Hahahaha! Saya suka ketika saya melihat anak-anak muda makan dengan lahap. Makanlah sebanyak yang kalian suka! Kalian bisa tambah juga jika kalian mau! Ahh, senang rasanya saat masakan saya dihargai,” seru Yamamoto sambil tersenyum lebar.
Aku tidak terlalu memandang tinggi pria itu sebelumnya, tapi harus kuakui bahwa hal ini jelas menambah nilai plusnya di mataku, itu sudah pasti.
Akhirnya, kami selesai makan dan menuju ke salah satu bekas ruang kelas bangunan. Kami akan berada di sini sampai tengah hari untuk melatih keterampilan debat kami atau semacamnya. Kami umumnya akan membahas banyak masalah sekolah agar dapat menghasilkan solusi untuk meningkatkan atau menyelesaikan masalah tersebut. Awalnya, kupikir hanya anggota OSIS dan Makiri-sensei yang akan berpartisipasi, tapi ternyata aku dan Touka juga diminta bergabung.
Kami tiba di ruang kelas, dan dengan cepat diputuskan bahwa Ike akan memimpin diskusi sebagai semacam moderator. Setelah memutuskan itu, kami pun memulai diskusi kami.
Sebagian besar dari waktu diskusi, aku merasa seperti ditempatkan dalam peran sebagai orang yang suka mengiyakan. Meskipun mereka sering meminta pendapatku—mencari pandangan dari sudut pandang siswa biasa—aku tidak benar-benar merasa dapat berbicara mewakili semua orang di sekolah. Maksudku, pengalamanku benar-benar berbeda dari rekan-rekanku, dan aku tahu kalau aku tidak boleh berperan sebagai korban dan berpura-pura memiliki masalah yang sama seperti orang lain. Jadi pada akhirnya, aku kebanyakan hanya mengangguk dan setuju.
Touka, di sisi lain, memiliki pendapat yang sangat… kuat tentang masalah yang sedang kami diskusikan dan memastikan untuk mengutarakannya. Kehadirannya membuat keseluruhan acara ini jauh lebih menarik secara keseluruhan.
Dia memang tercipta untuk ini, pikirku saat aku melihatnya.
“Um, Senpai, bisakah kamu berhenti menatapku terus menerus?” tanyanya, melirik ke arahku.
“Oh, benar. Maaf,” jawabku sambil memalingkan muka.
Dia benar; Aku menatapnya terlalu sering. Aku harus berhenti melakukan itu. Bukannya selesai sampai di situ, dia entah kenapa malah semakin kesal.
“Maksudku, bukannya aku tidak suka atau apa, oke? Tapi bukankah sangat jelas bahwa itu juga memalukan untukku?” bisiknya padaku.
Aku melihat ke arahnya lagi; dia memainkan poninya dan memalingkan muka. Wajahnya sangat merah hingga mencapai telinga. Itu semua hanya mengingatkanku pada apa yang terjadi semalam—saat itu cukup memalukan, dan mengingatnya sekarang membuatku merasa lebih malu. Aku yakin itulah juga yang dia pikirkan. Sial, bahkan aku pun sekarang tersipu. Sialan.
Aku mengalihkan pandangan dan bergumam, “Benar.”
☆
Setelah beberapa saat, perdebatan berakhir tanpa ada hal penting terjadi.
Sejujurnya, aku tidak terlalu terlibat dalam keseluruhan acara. Tetap saja, ada satu hal yang aku sadari dengan pasti—setiap kali OSIS jadi serius, mereka benar-benar serius. Maksudku, sudah jelas mereka sangat peduli pada jalannya sekolah dan tugas mereka. Menurutku, pendapat yang aku berikan tidak terlalu berguna, tapi sejauh yang aku tahu, pada akhirnya semua orang cukup senang dengan hasilnya. Kurasa itu cukup bagus untukku.
Ngomong-ngomong, akhirnya waktu makan siang. Kali ini, kami makan ikan bakar, tanaman liar lokal yang digoreng garing, dan soumen—mie putih tipis. Semuanya enak dan berpadu sempurna, jadi aku tidak akan mengeluh. Dan, sekali lagi, semuanya disiapkan oleh Yamamoto.
“Hahahaha! Sepertinya kalian semua memiliki nafsu makan yang sehat! Kita masih punya banyak makanan, jadi jangan sungkan-sungkan!”
Oke, mungkin aku tidak begitu menyukai bagaimana dia bereaksi terhadapku pada awalnya, tapi satu hal yang pasti—dia jelas berhasil memikat perutku.
☆
Dan itulah akhir dari perjalanan kami ke pegunungan. Ya, sungguh. Yang tersisa sekarang adalah kembali ke sekolah.
“Kerja bagus, semuanya. Ingat, perjalanan belum berakhir sampai kalian kembali dengan selamat di rumah, jadi jaga diri kalian di luar sana,” Yamamoto mengucapkan salam perpisahan kepada kami.
Kami semua mengucapkan selamat tinggal padanya. Selamat tinggal, Yamamoto—meski aku mungkin tidak akan mengingat kesan pertamamu yang kurang bagus di mataku, masakanmu yang luar biasa akan tetap ada di hatiku selamanya. Semoga harimu menyenangkan.
Akhirnya, kami mengemasi barang-barang kami ke dalam minivan dan naik ke dalam. Ini pengaturan posisi tempat duduk yang sama seperti saat kami datang, yang berarti aku duduk di kursi depan lagi. Namun kali ini, semua orang di belakang justru tertidur. Omong-omong, aku perlu menyebutkan bahwa Tatsumiya menggunakan bahu Touka sebagai bantal dan meneteskan air liur dengan gembira.
“Kerja bagus, Tomoki-kun. Kamu bisa tidur jika kamu mau. Tidak perlu tetap terjaga demi aku,” kata Makiri-sensei sambil melihat ke depan, berkonsentrasi mengemudi.
“Tidak, saya tidak terlalu lelah,” aku berbohong—kenyataannya, aku hampir mau pingsan. Tetap saja, memiliki Makiri-sensei sebagai pendamping perjalanan adalah pengalaman yang luar biasa, dan aku ingin menikmatinya sebanyak mungkin.
“Begitu ya,” bisiknya. “Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang perjalanan ini?”
“Yah, makanannya enak. Yang lebih penting, saya bersenang-senang. Secara keseluruhan, Itu adalah pengalaman yang bagus.”
Aku melakukan banyak hal yang belum pernah aku coba sebelumnya, tapi secara keseluruhan, itu sangat menyenangkan, dan aku sangat menyukainya. Jangan salah paham—aku benar-benar lelah, seperti yang diperingatkan Touka sebelumnya, tapi aku bersenang-senang.
“Senang mendengarnya,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku merasa Makiri-sensei dan Touka lebih peduli padaku daripada kebanyakan orang. Kadang-kadang itu membuatku sedikit aneh, tapi harus kuakui… Aku suka merasa dihargai, terutama oleh mereka.
☆
Malamnya; teparnya sekitar jam 21:00. Aku sedang bersantai di kamar, berbaring di tempat tidur dan menonton beberapa video memasak di Youtoob, ketika ponselku tiba-tiba bergetar. Makiri-sensei menelponku. Kenapa dia menelponku jam segini?
“Hei, Tomoki-kun. Ini aku, Makiri,” katanya dengan suara anehnya yang penuh tekad dan energik.
“Hai. Ada apa?” tanyaku.
“Aku berada di taman yang sama dengan tempatmu menemukanku sebelumnya. Um, ke sinilah sekarang juga!” teriaknya. Apakah dia takut akan sesuatu?
“Tunggu, apa?”
“Kamu bilang padaku kalau kamu bersedia mendengarkan keluh kesahku, kan?” tanyanya dengan suara gemetar.
Dia mabuk lagi.
“Baiklah, saya akan ke sana sekarang,” kataku menenangkannya.
“Aku akan menunggumu.”
Aku pun menutup telepon dan langsung menuju ke taman tanpa repot-repot berganti pakaian terlebih dahulu.
☆
“Heeei! Aku sudah menunggumu!” teriak Makiri-sensei begitu dia melihatku memasuki taman. Dia terdengar seperti suasana hatinya jauh lebih baik sekarang daripada ketika dia meneleponku beberapa menit yang lalu.
Dia duduk di salah satu ayunan, berayun maju mundur sambil memanggilku. Sumpah, jika aku tidak mengenalnya, aku akan sulit percaya kalau dia adalah seorang guru saat ini.
“Apa yang sedang Anda lakukan?” tanyaku.
“Aku mencoba untuk sedikit sadar dari mabuk menggunakan ini. Aku m-mendengar ini efektif, tapi… bukannya begitu… ini malah hanya membuatku pusing, dan—ueergh!” dia berhenti sejenak, tangannya naik ke atas untuk menutup mulutnya.
Dia benar-benar berpikir bahwa ayunan akan membantunya sadar dari mabuk? Aku tidak percaya apa yang aku lihat. Betapa bodohnya dia?
“Bisakah Anda berdiri?” tanyaku, mengulurkan tanganku untuk membantunya berdiri. “Kamu bisa bersandar di pundakku. Aku akan membawamu pulang secepatnya.”
Dia menerima tanganku dan berdiri. Setelah terhuyung sedikit, dia berhasil bersandar di pundakku.
“A-Aku minta maaf tentang ini,” dia meminta maaf sambil menundukkan kepalanya dan tersipu. Menurutku dia terlihat imut sekarang, tapi bau alkohol agak menutupi segala sesuatu yang positif tentang dirinya saat ini.
Saat dia menggunakan pundakku sebagai penyangga, kami perlahan mulai menuju apartemennya.
“Aku akan sangat menghargai jika kamu memujiku,” gumamnya. “Kali ini, aku meneleponmu sebelum bencana terjadi.”
“Ya, jangan bercanda. Apakah Anda sering melakukan ini? Maksud saya, minum-minum sampai Anda hampir tidak bisa berdiri,” aku mengomelinya.
“Sungguh tidak sopan! Aku tidak minum sebanyak itu. Ayunan itu juga benar-benar membantuku sadar!”
“Mana ada, saya pikir itu membuat Anda menjadi tambah parah.”
Dia menggembungkan pipinya dan menatapku dengan marah. Itu imut, jangan salah paham, tapi “bau alkohol” darinya begitu kuat sehingga aku merasa sedikit mual.
Bagaimanapun juga, dia pasti punya alasan meneleponku, kan? Maksudku, alasan lain selain menggunakanku sebagai layanan pendamping pulang ke rumah. Aku akan mendengarkannya.
“Jadi ya… Apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” tanyaku.
“Kamu tidak tahu?” tanyanya dengan marah, tersipu saat dia menatapku dari sudut matanya.
Apakah aku harus membaca pikirannya? Aku tidak tahu sama sekali.
“Aku selalu ingin… oke?” gumamnya, membuatku sulit untuk memahami apa yang dia katakan.
“Ingin apa?” tanyaku.
Dia mengangkat wajahnya sedikit dan menatap lurus ke mataku. “Aku ingin menjalani masa mudaku seperti yang kalian lakukan, oke?!” tangisnya, air mata mengalir dari matanya.
Ini adalah pertama kalinya aku melihatnya menangis, dan tentu saja aku terkejut. Aku tidak menyangka, hanya beberapa jam yang lalu, kami mengobrol biasa di dalam mobil. Dia tenang dan tak tergoyahkan saat itu, seperti tidak ada yang bisa menghancurkannya.
Nah, baiklah. Aku akan memikirkan hal ini dengan serius. Bagaimana cara agar aku bisa membuatnya merasa lebih baik?
“Ayo pulang dulu, kita akan memikirkannya nanti,” kataku padanya.
“Mana mungkin bisa!” bentaknya dengan dingin. Dia terlihat jauh lebih serius daripada beberapa saat lalu. Kurasa bahkan ketika dia minum sampai mabuk pun, dia masih bisa mengendalikan diri. “Tanaka-kun dan Suzuki sepertinya akrab, celana dalam Tatsumiya selalu basah kuyup setiap kali dia berbicara dengan Ike-kun, dan kamu dan Touka jelas tercipta untuk satu sama lain. Aku melihat kalian berdua berbicara, dan… Ahh! Semua orang menikmati masa muda mereka! Bagaimana denganku?!”
Maksudku… Aku tahu kalau Tanaka-senpai dan Suzuki akrab, tapi menurutku mereka tidak sedekat yang dia katakan. Aku mungkin harus mengatakan sesuatu sebelum semuanya berubah menjadi lebih buruk.
“Hei, saya dan Touka tidak benar-benar menjalin hubungan, jadi kami tidak masuk hitungan. Ingat?”
Dia menatapku, matanya menyipit curiga, dan cemberut. “Hmph! Aku melihat kalian berdua semalam—saling berdekatan sembari melihat bintang. Kamu bahkan mengelus kepalanya! Apakah kalian berdua benar-benar memalsukan hubungan kalian?!”
Aku tak bisa berkata-kata. Aku langsung terdiam, jadi aku hanya bergumam, “Uhhh… benar. Anda melihat kami? Saya tidak tahu itu.”
“Haaaah. Aku pergi mencari kalian berdua, dan saat itulah aku melihat semuanya. Bayangkan menjadi aku dalam situasi itu: semua orang yang ada dalam perjalanan itu pada dasarnya semuanya berpasangan, dan akulah satu-satunya yang sendirian. Wanita tua yang kesepian dalam kelompok. Hiks! Aku juga tidak pernah memiliki kesempatan untuk berbicara dengan pria mana pun saat aku masih muda…”
“Sekarang saya penasaran—seperti apa pengalaman sekolah Anda, Bu?”
Mungkin dengan begini, aku bisa menghentikannya sebelum dia menggali kuburannya sendiri. Tampaknya itu berhasil, karena dia berhenti mengoceh untuk berpikir sejenak.
“Aku lebih suka tidak membicarakannya. Itu rahasiaku,” dia akhirnya bergumam sambil mengalihkan pandangannya.
Yah, cukup sudah. Kita kembali ke topik sebelumnya, kurasa.
“Pokoknya, aku merasa kacau setelah perjalanan selesai. Lalu menurutmu apa yang dilakukan ayahku begitu aku kembali?! Dia meneleponku dan mulai mengomel lagi tentang bagaimana aku harus menikah!”
“Sial, kedengarannya buruk. Apakah dia mengusulkan untuk mengatur pertemuan formal dengan calon pelamar dan semacamnya?”
Dia mengangguk perlahan.
“Iya… Dia melakukannya. Jangan salah paham—bukannya aku menentang ide itu. Aku sangat menyadari bahwa ada banyak pernikahan yang sukses dan bahagia yang dihasilkan dari perjodohan. Aku hanya… Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya benar-benar jatuh cinta. Aku tidak ingin itu dipaksakan padaku,” akunya dengan senyum kecil yang sedih. “Hei, Tomoki-kun, apa pendapatmu tentangku? Aku pasti menyedihkan kan, sudah setua sekarang tapi tidak memiliki satu hubungan pun untuk dibicarakan.”
“Yah, saya pernah membaca di sebuah artikel belum lama ini bahwa sekitar 30% wanita berusia 20-an saat ini belum pernah benar-benar menjalin hubungan apa pun, jadi itu bukanlah sesuatu yang tidak biasa. Coba saya cari dulu dimana saya membacanya…” Aku berhenti bicara saat mengeluarkan ponselku dan mulai mencari artikel yang dimaksud.
“Aku tidak mencari pembenaran melalui artikel Viki, Tomoki-kun! Aku ingin pendapatmu mengenai ini!”
“Yah, jika Anda ingin tahu, menurut saya itu tidaklah menyedihkan atau semacamnya. Saya merasa agak lucu melihat Anda bertanya kepada saya tentang hal ini—maksud saya, saya juga tidak dalam hubungan asli. Bagaimana saya bisa memiliki pendapat tentang ini?”
“Meskipun kamu selalu memiliki adik kelas yang imut dan teman masa kecil yang cantik yang memperebutkanmu sepanjang waktu? Hmm?” dia bertanya dengan nada ketus sambil melemparkan tatapan tajam ke arahku.
Untungnya, kami akhirnya tiba di depan gedung apartemennya. “Hei, kita sampai,” kataku sambil menunjukkan padanya.
Aku mempercepat langkahku, berharap percakapan ini selesai dan berakhir. Makiri-sensei membuka pintu dengan kunci kartunya dan berbalik.
“Aku akan baik-baik saja dari sini,” katanya. “Kupikir akan lebih baik bagi kita berdua jika kamu tidak terlalu sering memasuki tempatku.”
“Pfft… Maksud saya, saya sudah berada di kompleks ini, jadi saya tidak mengerti bagaimana ini bisa menjadi lebih buruk. Tapi ya, saya rasa Anda ada benarnya.”
Namun, saat dia akan memasuki ruang apartemennya, kakinya tersangkut di kusen pintu yang sedikit lebih tinggi. Dia jatuh ke depan, tapi untungnya dia berhasil mengulurkan tangan untuk mencegah agar wajahnya tidak menghantam lantai.
“Lupakan,” kataku dengan cepat, lalu masuk ke dalam dan melepaskan sepatuku. “Saya akan tetap di sini untuk memastikan kalau tengkorak Anda tidak retak secara tidak sengaja.”
“Te-Terima kasih. Aku serahkan sisanya padamu.”
Aku meraih tangannya—hanya untuk memastikan bahwa tidak ada hal buruk yang terjadi, tentunya—menuntunnya ke tempat tidur, dan mendudukkannya.
“Aku pulaaang, sayang!” serunya, melompat ke arah boneka beruang raksasa Johnny dan memberinya pelukan erat. Ya ampun, andai saja dia tidak mabuk… Andai saja…
“Jadi, eh, ya. Saya akan pulang,” gumamku, berbalik untuk pergi.
“Hei, Tomoki-kun,” Makiri-sensei memanggilku, menghentikan langkahku. “Jika kamu tidak menganggapku menyedihkan… b-bisakah kamu membelai rambutku seperti yang kamu lakukan dengan Touka semalam?”
Persetan dengan semua ini. Aku terlalu ceroboh, karena berpikir ini sudah berakhir.
“Bisakah saya hanya berpikir bahwa Anda bukanlah orang yang benar-benar menyedihkan dan cukup sampai di situ saja?” Aku memohon.
“Baiklah,” katanya, berdiri dan melompat ke arahku. “Kurasa kamu tidak memberiku pilihan lain.”
Dia mengulurkan tangannya ke arahku, tapi aku segera menangkap tangannya.
“Apa yang akan Anda lakukan?” tanyaku.
“Aku akan membelai kepalamu sebagai gantinya! Bukankah sudah jelas?! Astaga.”
Dia bodoh. Ah, aku mengatakannya.
“Tidak! Bagaimana bisa Anda sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah respons normal dalam skenario ini?!”
Matanya terlihat sayu saat ia menatap langsung ke arahku. Sial, apa aku bertindak kelewatan? Apakah aku bajingan? Kurasa tidak, tapi cukup jelas dia akan menangis sekarang. Aku tidak tahan melihatnya seperti ini, jadi aku mengalihkan pandangan dan menarik napas dalam-dalam. Lalu, perlahan, aku membawanya ke tempat tidur sekali lagi.
“Tunggu—Tomoki-kun?!” dia berteriak kaget. Itu adalah reaksi yang wajar—reaksi yang lebih sesuai dengan kepribadiannya yang dingin dan tenang.
Dia sangat menggemaskan sekarang. Aku dengan cepat meraih Johnny dan mendorongnya ke pelukannya sebelum dia salah paham.
“Saya lebih suka jika Anda tidak membelai rambut saya saat Anda sedang mabuk, terutama karena saya tahu kalau kita berdua akan menyesalinya nanti—Anda akan lebih menyesalinya daripada saya. Saya akan pulang sekarang. Jika Anda merasa diri Anda terjebak dengan keinginan membara untuk membelai saya setelah Anda sadar dari mabuk, saya akan mempertimbangkannya dengan serius. Oke?”
Mengatakan itu, saya mengambil kartu kunci dan menuju ke pintu keluar. “Oh benar, saya akan memasukkan kartu ini melalui kotak surat Anda begitu saya keluar. Jangan lupa untuk mengambilnya besok!”
Dia tidak menjawab, tapi aku tetap memakai sepatuku dan pergi. Begitu aku mengunci pintu, aku memasukkan kartu itu ke dalam kotak suratnya seperti yang aku bilang sebelumnya dan pergi.
Pikiranku dipenuhi oleh Makiri-sensei dalam perjalanan pulang. Sayang sekali aku hanya bisa melihat sisi lembutnya saat dia mabuk. Sungguh disayangkan. Aku tidak keberatan jika dia lebih terbuka padaku saat dia masih sadar, lho? Yah, setidaknya begitulah pikirku.
☆
Keesokan paginya, aku bangun oleh pesan dari Makiri-sensei yang meminta maaf atas apa yang terjadi kemarin. Kurasa setidaknya dia benar-benar ingat apa yang terjadi.
Saatnya menjawab. Aku menghela nafas berat, lalu mengetik, “Tidak apa-apa. Jangan khawatir tentang itu.”
“Aku benar-benar minta maaf soal ini,” balasnya segera. Dia pasti merasa sangat tidak enak.
Padahal kupikir dia terlalu mabuk untuk bisa mengingat apa pun, tapi jelas kalau aku meremehkannya. Bukan berarti itu akan mengubah apa pun sih—aku masih berpikir bahwa tindakannya sangat tidak bertanggung jawab, dan aku harus memberi tahu dia soal itu.
“Hei, Bu, harap baca ini baik-baik: lain kali Anda perlu meluapkan unek-unek, pastikan untuk menelepon saya SEBELUM Anda mabuk berat. Mengerti?”
Kali ini, dia membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk membalas pesan. Kurasa dia sedang memikirkan apa yang harus ditulis karena aku mencoba meluruskannya. Atau mungkin tidak. Aku tidak tahu; Sebab aku bukan pembaca pikiran.
“Jadi itu memang mengganggumu, kan?” dia akhirnya menjawab.
“Oh, jadi SEKARANG Anda sadar bahwa mungkin menelepon saya saat mabuk di tengah malam dapat mengganggu?”
“Maaf, kamu benar. Aku sangat tidak tahu malu. Aku perlu mengingat bahwa aku adalah seorang guru dan kamu adalah muridku.”
Yah, setidaknya dia tampaknya mengerti sekarang. Aku hendak memberitahunya untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri, tapi kurasa itu tidak akan terdengar tulus setelah semua omelan yang baru saja kulakukan. Ditambah lagi, dia pasti akan menepis tanggapan tersebut. Aku tidak yakin harus berkata apa, jadi aku membiarkan pesannya dibaca selama beberapa menit.
“Aku… Aku hanya ingin kamu sedikit memanjakanku, karena kamu pria yang baik,” tiba-tiba dia mengirimiku pesan.
Ini adalah pertama kalinya aku mendengar hal seperti itu dari seseorang yang lebih tua dariku, dan akibatnya, aku bingung sekarang. Aku mencoba mencari cara yang sederhana dan ringkas untuk mengungkapkan perasaanku.
“Anda selalu peduli dan membantu saya, Bu. Jadi saya tidak keberatan membantu Anda kapan pun Anda membutuhkan. Anda selalu ada untuk saya, jadi saya ingin membalas kebaikan Anda.”
Nah. Kuharap itu sudah cukup baik.
“Aku baik-baik saja dengan itu. Kuharap kamu dapat terus membantuku di saat aku membutuhkan, Tomoki-kun,” jawabnya.
Apakah dia mengirimiku itu hanya untuk menjahiliku atau semacamnya? Kalian bahkan tidak bisa membayangkan betapa malunya aku sekarang. Aku tiba-tiba teringat kembali ketika dia memanggilku “Tomoki-sensei.” Itu cukup bagus, kan? Sayang sekali dia tidak melanjutkannya.
Sepanjang sisa hari itu, aku mendapati diriku menatap pesan terakhirnya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum setiap kali aku memikirkannya.