Chapter Enam: Jenis Pengakuan Berbeda
Sekarang hari Jumat malam, sekitar waktu dimana aku suka joging malam di taman terdekat. Karena kita berada di pertengahan Juli sekarang, akhir-akhir ini suhu terasa sangat panas. Setidaknya aku memiliki taman untuk diri sendiri—asal kalian tahu, berlari di malam hari tanpa ada seorang pun pastilah yang paling enak di dunia, lho. Selain itu, ada angin sepoi-sepoi yang menyejukkan.
Pada suatu titik selama rutinitas olahragaku, aku melihat bayangan samar—orang lain ada di taman ini. Cukup aneh ada seseorang yang berada di sini selarut ini, tapi itu bukan urusanku. Aku berencana untuk mengabaikannya dan pergi, tapi kemudian aku menyadari bahwa bayangan misterius itu terus terhuyung-huyung, nyaris tidak bisa berdiri.
Aku mendekati sosok itu dari belakang dan menyadari bahwa itu adalah seorang wanita muda—seorang wanita muda yang mabuk.
Aku tahu kalau banyak orang dewasa suka pergi keluar dan mabuk-mabukan pada hari Jumat karena libur akhir pekan, jadi melihat beberapa pemabuk berkeliaran di sana-sini bukanlah hal yang mengejutkan. Tetap saja, aku mengkhawatirkannya—di sinilah dia, sendirian di tengah taman yang terbengkalai.
Aku bisa saja mencoba memanggilnya untuk membantu, tapi aku khawatir wajahku akan membuatnya takut. Maksudku, dia bisa dengan mudah salah paham. Untuk saat ini, aku akan mengikutinya dulu untuk mengetahui apakah dia baik-baik saja. Jika aku merasa bencana akan terjadi, itulah isyaratku untuk terjun dan turun tangan.
Saat aku berlari mengikuti wanita muda itu, dia tiba-tiba terjatuh. Kuharap dia tidak terluka. Jatuhnya cukup mulus, tapi aku tidak bisa tidak merasa khawatir padanya mengingat keadaannya. Aku mendekat untuk membantunya, tapi dia tidak bergerak. Sial, apakah kepalanya terbentur? Ini tidak bagus.
“Hei, kamu baik-baik saja?” tanyaku sambil berlutut di sampingnya untuk melihat lebih jelas.
Tidak ada jawaban.
Aku jadi semakin khawatir dengan seiring berjalannya waktu. Aku membalikkan tubuhnya agar dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas. Pertama-tama, aku perlu memeriksanya untuk memastikan dia bernafas… Yep. Memang samar, tapi nafasnya ada. Setidaknya dia masih hidup, dan itulah yang paling penting. Hei, tunggu sebentar—aku kenal dia!
“Makiri-sensei?!”
Apa yang dia lakukan di sini?!
Dia selalu begitu anggun dan kalem di sekolah sehingga ini membuatku terkejut mengetahui bahwa orang mabuk parah di depanku ini sebenarnya adalah dia.
“Ngh…” erangnya. Suaranya sangat seksi barusan sehingga aku jadi malu mendengarnya.
Dia bereaksi terhadap suaraku, jadi sepertinya dia masih sadar. Matanya terbuka sedikit dan melihat keadaan di sekelilingnya.
“Huh? Tomoki-kun? Kenapa kamu afa fi fempas ini?” gumamnya, napasnya bau alkohol.
Huh? Apakah ada yang mengerti apa yang barusan dia katakan dan tidak keberatan memberitahuku? Dia benar-benar melepaskan imej-nya hari ini. Yah, setidaknya aku tidak salah orang—dia jelas Makiri-sensei. Kalau tidak, bagaimana lagi dia bisa tahu namaku?.
“Aku jogging di sekitar sini setiap hari. Apa yang Anda lakukan di sini, Sensei?” balasku dengan senyum yang dipaksakan. Lebih baik langsung ke intinya dan tanyakan apa yang terjadi padanya.
“Aww, hangan hamu huga, Tomoki-kuuun…” dia dengan mabuk merengek, terlihat seperti hampir menangis.
“Apa?” Ada apa dengannya? “Um, saya tidak bisa mendengar Anda dengan baik. Bisakah Anda mengatakannya lagi?”
“Memangnya… kalau…” Makiri-sensei membisikkan sesuatu, tapi sangat pelan sehingga aku hampir tidak bisa mendengarnya.
“Uhh, maaf. Bisakah Anda mengulanginya sekali lagi?” pintaku.
Sebagai tanggapan, pipinya merona merah cerah, dan dia mulai sedikit berlinang air mata.
Setelah keheningan yang lama dan canggung, dia berteriak sekuat tenaga. “Aku akan mengatakannya lagi! Memangnya salah kalau aku masih perawan?!”
“Aku… Kurasa tidak ada yang salah dengan itu,” balasku berbisik, tidak bisa berkata apa-apa lagi.
☆
Aku benar-benar syok setelah pernyataan berani Makiri-sensei, tapi aku entah bagaimana berhasil dengan cepat kembali tenang.
“Aku mau pulang,” gumamnya, tampak marah padaku yang terdiam tercengang.
“Mau saya antar ke sana?” tanyaku.
Aku masih agak tercengang, tapi memang benar bahwa semakin cepat dia pulang, semakin baik. Dan aku lebih memilih mengantarnya—siapa yang tahu masalah seperti apa yang bisa dia hadapi jika dia pulang sendirian dalam keadaan seperti ini.
“Ngh…” erangnya sambil menggelengkan kepala. Dia mencoba untuk berdiri, tapi segera kehilangan keseimbangan dan mulai terjatuh sekali lagi. “Aduh!”
Sebelum dia jatuh ke tanah lagi, aku menyambar dan berhasil menangkapnya dalam pelukanku. Hanya merasakan kulit lembut dari sosok rampingnya saja sudah cukup untuk membuat jantungku berdebar kencang dan wajahku terbakar. Melalui bau alkohol yang kental, aku juga bisa mencium aroma samar parfum manis yang dia gunakan. Sial. Aku perlu menenangkan diri sebelum aku melakukan hal lain.
“Apakah Anda yakin Anda baik-baik saja?” Aku akhirnya berhasil bertanya.
“Kakiku sakit,” katanya sambil menggelengkan kepala lagi. Pergelangan kakinya pasti terkilir saat pertama kali jatuh.
“Anda bisa bersandar padaku. Saya akan membantu Anda pulang ke rumah,” kataku.
“Aku tidak ingin berjalan. Ini sakiiiiit. Tidak bisakah hamu menggendongku saja?”
Ya Tuhan, dia bertingkah seperti anak kecil sekarang. Aku ingin sekali mengatakan padanya untuk menahannya dan berjalan, tapi aku cukup yakin itu tidak mungkin baginya saat ini. Maksudku, dia tidak hanya mabuk, tapi dia juga terluka.
“Di mana Anda tinggal?” tanyaku.
Dia memberi tahuku alamatnya, yang ternyata sangat dekat—benar-benar dalam jarak berjalan kaki.
“Pegangan yang erat. Saya akan mengantar Anda ke sana,” kataku. Dan dengan mengatakan itu, aku pun mengangkatnya dan menggendongnya dalam pelukanku. Dia sebenarnya cukup ringan.
“Huh?! Kamu tidak akan memberiku kuda-kudaan?!” teriaknya, wajahnya menjadi lebih merah.
Aku tahu dia mabuk, tapi mungkinkah aku bertindak terlalu kelewatan? Maksudku, aku tidak yakin ingin memberinya kuda-kudaan sekarang mengingat betapa mabuknya dia—aku tidak ingin dia tiba-tiba muntah di sekujur tubuhku. Terserahlah, dia mungkin melebih-lebihkan. Aku akan mengabaikannya dan terus berjalan saja.
Pada awalnya, dia enggan dengan tindakanku itu, menggumamkan serangkaian ocehan sebagai protes. Namun, begitu dia menyadari bahwa aku benar-benar mengabaikannya, dia akhirnya diam.
Dia menyandarkan wajahnya di dadaku dan tertidur. Tidak bisakah dia setidaknya menunggu sampai kita tiba di rumahnya dulu? Sumpah, begitu dia sadar kembali, dia akan mendapatkan ceramah tentang hidupnya dariku—aku tidak peduli apakah dia guruku atau Ratu Inggris.
…Sekarang setelah kupikir-pikir lagi, aku sangat berharap aku tidak terlihat oleh polisi. Aku bisa saja akan berakhir dibawa polisi dan ditanyai, dan aku tidak bisa membayangkan semuanya akan berjalan dengan baik dalam skenario itu. Tolong, jangan biarkan aku mengalami masalah dalam perjalanan kembali ke tempatnya.
☆
Alamat yang diberikan Makiri-sensei kepadaku sebelumnya membawa kami ke sebuah blok apartemen. Aku membangunkannya agar dia bisa membantuku masuk ke dalam gedung dan mencari tahu ke arah mana tempat tujuan kami. Saat kami menaiki lift ke atas, aku bersyukur akan nasib baikku—kami belum bertemu dengan siapa pun sejauh ini. Begitu kami tiba di depan apartemennya, aku menggunakan kunci kartu untuk masuk. Baiklah, kita masuk.
Aku menyalakan lampu, yang memperlihatkan apartemen yang rapi, sederhana, dan berukuran sedang. Kamar tidur dan dapur kecil memudahkanku untuk menemukan di mana tempat tidurnya. Meskipun semuanya ditempatkan dengan rapi di tempatnya masing-masing, ada satu hal yang menonjol bagiku—ada boneka beruang besar di samping bantalnya. Dari semua hal yang bisa dia jadikan sebagai barang berharganya, boneka menggemaskan bahkan tidak ada dalam daftar di pikiranku.
Aku dengan hati-hati menempatkannya di atas tempat tidur dan menarik napas lega. Misi selesai.
Tiba-tiba, lengannya melesat dan meraih tanganku. Dia menarikku lebih dekat, dan aku begitu lengah sehingga akhirnya aku terjatuh ke tempat tidur bersamanya. Apa yang sebenarnya dia lakukan? “Apa yang sedang Anda lakukan?” tanyaku.
“Ngh… Mmhh… Johnny…” gumamnya gusar.
Huh? Johnny? Siapa sih Johnny itu?
“Kamu lebih kurus dari biasanya hari ini…” lanjutnya.
Tunggu sebentar, apakah Johnny… adalah boneka beruangnya? Aku menyerahkan boneka itu padanya, dan dia langsung menempel pada boneka itu seperti bayi.
“Johnny…” gumamnya sambil tersenyum lebar.
Dia selalu menjadi cerminan orang serius di sekolah, jadi melihatnya memeluk boneka seperti ini adalah pemandangan yang cukup aneh, setidaknya. Aku tidak tahu dia memiliki sisi kekanak-kanakan ini.
Yah, setidaknya dia aman di rumah sekarang. Aku akhirnya bisa bernafas lega.
Saat aku memandanginya, aku diingatkan bahwa dia benar-benar wanita yang sangat menarik. Tunggu dulu, kami masih berbagi ranjang yang sama. Sial! Wajahku terasa seperti terbakar, dan aku pun melompat dari tempat tidur secepat mungkin.
Aku memeriksanya sekali lagi untuk memastikan sebelum mematikan lampu. Tindakan terbaik saat ini adalah pergi, mengunci pintu dari luar, dan meletakkan kunci kartunya di kotak surat sehingga dia dapat menemukannya besok.
Tapi saat aku hendak keluar dari apartemen, aku dilanda gelombang kecemasan. Apakah dia akan baik-baik saja seperti ini? Bukan berarti kondisinya begitu buruk hingga aku perlu memanggil ambulans atau semacamnya, tapi aku tidak yakin apakah aku harus meninggalkannya sendirian di sini. Yang aku tahu, dia bisa saja muntah saat tidur dan akhirnya tersedak. Tidak, aku tidak bercanda tentang ini.
Yah, kurasa aku tidak punya pilihan lain—aku harus menghabiskan malam bersamanya dan memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi. Dan aku pun kembali ke dalam ruangan.
☆
Aku menghabiskan waktu yang lama di sisinya, mengawasinya sampai aku pun mulai menyadari bahwa sinar matahari menembus masuk melalui tirai. Saat ini aku setengah tertidur, tapi aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga kalau-kalau terjadi sesuatu pada Makiri-sensei.
“Ukh… Nnnhh…” gerutunya dan perlahan mulai terbangun. Sepertinya dia akan baik-baik saja. “Ukh. Aku terlalu banyak minum-minum semalam… Kepalaku sangat sakit…”
Dia bangkit dari tempat tidur, berbalik, dan menyadari bahwa aku ada di kamar bersamanya. “Huh?”
“Selamat pagi, Makiri-sensei,” aku mencoba menyapanya seperti biasa.
Wajahnya berkedut saat dia mulai memproses secara mental skenario di depannya, tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi ketakutan. Tunggu, apakah dia benar-benar melupakan kejadian tadi malam? Maksudku, bangun dan menemukan pria yang tidak kalian harapkan di kamar kalian memang terdengar seperti pengalaman yang cukup menakutkan, kan. Aku yakin dia lebih khawatir tentang fakta bahwa aku ada di sini, daripada kemungkinan bahwa sesuatu mungkin telah terjadi di antara kami.
Tunggu, sial! Mungkin seharusnya aku menelepon polisi tadi malam dan membiarkan mereka mengurusnya? Ukh, aku benar-benar bodoh! Andai saja aku—
“T-Tomoki-kun?” semburnya, mengganggu jalan pikiranku. “Huh?! Um… Apakah aku sedang bermimpi sekarang?”
“Kuharap begitu,” jawabku dengan senyum paksa lainnya. Tidak banyak yang bisa aku lakukan dalam situasi ini selain menunggu hukuman ilahi-ku sementara dia mencoba untuk mengurutkan peristiwa semalam.
Saat dia mulai tersadar, ekspresinya berubah beberapa kali. Pertama, dia terkejut, tapi saat semakin banyak kenangan datang kembali, dia menyembunyikan wajahnya di balik seprai. Setelah beberapa detik, dia pun akhirnya berdiri menghadapku dengan ekspresi merah padam dan mata berkaca-kaca.
“Maafkan aku karena merepotkanmu kemarin!” teriaknya sambil menundukkan kepalanya.
Fiuh, sepertinya dia mengingat semuanya. Padahal aku sudah takut akan dituduh melakukan tindak kriminal, atau semacamnya, dan menghabiskan sisa kehidupan SMA-ku di balik jeruji besi.
“Ya, Anda memang merepotkan,” jawabku dengan suara dingin. Tak perlu dikatakan lagi, aku sangat marah sekarang. Semoga dia menyesali perbuatannya.
“Aku benar-benar menyesali apa yang terjadi, sumpah. Orang tuamu pasti sangat mengkhawatirkanmu. Tolong sampaikan permintaan maafku pada mereka.”
“Tidak apa-apa. Bokap saya tidak peduli padaku, jadi saya seharusnya baik-baik saja mengenai itu.”
Makiri-sensei menatapku dengan terkejut. Kami berdiam diri selama beberapa saat— tak satu pun dari kami tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan dalam situasi ini.
Aku menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk bertanya sedikit padanya. Meskipun aku ingin menegurnya, aku juga tidak ingin memojokkannya terlalu jauh. Kalau begitu, aku akan melangkah dengan hati-hati. “Saya tahu bahwa menjadi seorang guru itu melelahkan, dan saya rasa tidak salah kalau Anda minum-minum sesekali sebagai cara untuk menenangkan diri, tapi apakah Anda selalu berakhir seperti itu setiap kali Anda pergi keluar?”
“Tidak… Itu pertama kalinya aku mabuk…” gumamnya sambil menghindari kontak mata, pipinya merona.
“Apakah Anda bertengkar dengan orang tua atau semacamnya?”
Saat aku menyebutkan orang tuanya, bahunya mulai bergetar, dan dia memiliki ekspresi gelisah di wajahnya. Dia terlihat seperti akan menangis. Apakah aku terlalu kepo? Mungkinkah dia tidak mau menjawab?
“Kamu… Kamu ingat apa yang aku katakan kemarin soal menjadi perawan, kan?!” teriaknya tiba-tiba, sekarang marah entah kenapa.
Kali ini giliranku yang malu. Aku mengalihkan pandanganku saat aku mengingat pengakuannya yang berani semalam. “Uhh, ya.”
“Aku akan menjelaskan tentang semua ini. Sekedar informasi, aku selalu menjalani kehidupan yang terlindungi. Aku menghabiskan sebagian besar hidupku di sekolah khusus perempuan, dan sampai saat ini, aku tidak punya banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan laki-laki, oke?”
“Oke?”
“Ayahku mengkhawatirkanku karena aku belum pernah berpacaran. Dia terus-menerus menggangguku soal pernikahan dan cucu masa depan, memperingatkanku tentang bagaimana aku akan berakhir menjadi gadis tua, dan seterusnya. Aku tidak terlalu pandai dalam hal berurusan dengan pria, jadi dia khawatir kalau aku akan berakhir pacaran dengan pria brengsek. Aku hanya…”
Seolah aku telah membuka bendungan, Makiri-sensei mengeluarkan banyak kata sekaligus.
“Jadi intinya, Anda ingin minum-minum untuk melupakan semua itu,” tambahku.
Yah, bahkan jika dia adalah guruku, pada akhirnya kita semua adalah manusia. Aku yakin orang lain juga akan beralih ke satu atau dua minuman tambahan untuk melupakan masalah mereka. Begitulah hidup. Tetap saja, kuharap aku bisa membantunya entah bagaimana. Aku sudah sampai sejauh ini, jadi kenapa tidak?
“Jujur saja, saya sangat marah,” kataku padanya.
“Tentu saja.”
“Dengarkan apa yang akan saya katakan, mengerti?”
Dia mengangguk.
Aku menarik napas dalam-dalam, menatap lurus ke matanya, dan berseru, “Sensei, Anda adalah wanita yang cantik, dan Anda berada di taman sepi, mabuk berat di tengah malam! Jika Anda tidak hati-hati, beberapa bajingan bisa saja menemukan Anda. Hanya Tuhan yang tahu apa yang bisa terjadi saat itu!”
Wajahnya semakin memerah mendengar pernyataanku, dan dia menundukkan kepalanya.
“Saya mengerti bahwa Anda ingin minum-minum untuk melupakan masalah, tapi setidaknya lebih bersiaplah lain kali! Naiklah taksi pulang ke rumah, atau bahkan mungkin mengajak seseorang yang Anda percaya untuk membantu Anda pulang ke rumah dengan selamat. Anda telah membantuku lebih dari yang bisa saya hitung, Sensei. Saya menghormati Anda dalam banyak hal. Saya tidak mau Anda mengalami pengalaman traumatis yang mengerikan. Jadi jika Anda memiliki masalah, atau perlu mengomel pada seseorang, Anda dapat berbicara dengan saya. Saya bersedia meminjamkan telinga untuk mendengarkan, tidak peduli apakah itu tentang ayah Anda atau apa pun yang ada di pikiran Anda.”
“Oke… Tunggu, apa? Kamu mau mendengarkan omelanku?” tanyanya, mengangkat kepalanya karena terkejut dan menatapku.
“Ya, saya mau.”
Dia tampak terkejut sesaat, tapi tepat setelah itu, dia tersenyum.
“Kenapa Anda tersenyum?” tanyaku. Apakah aku mengatakan sesuatu yang lucu?
“Oh, maaf soal itu. Aku tidak mencoba menertawakanmu atau semacamnya. Semua ini membuatku berpikir, ‘siapa sebenarnya yang guru di sini, dan siapa yang murid?’ Heh.”
Mendengar itu, amarah lenyap dari diriku. Dia sangat imut sekarang, sangat menarik—jauh lebih menarik dari dirinya yang beraura tenang.
“Terima kasih, Tomoki-kun, karena mengkhawatirkanku. Aku menghargai perhatianmu padaku, serta fakta bahwa kamu sangat menghormatiku. Serius, itu membuatku lebih bahagia daripada yang kamu kira—kamu membuat hariku menyenangkan.”
Astaga, aku sangat malu sekarang… belum lagi lelah. Malahan, aku merasa seperti akan pingsan kapan saja sekarang.
“Saya akan pulang sekarang,” kataku sebelum menuju pintu masuk.
Dia berdiri dan mengikuti di belakangku. “Aku akan mengantarmu.”
“Rumahku kurang lebih 10 menit berjalan kaki dari sini. Saya akan baik-baik saja,” kataku padanya.
“Oh, aku tidak tahu kalau kamu tinggal sedekat itu denganku.”
Tanpa repot-repot melihatnya, aku memakai sepatu lariku dan keluar.
“Oh, ngomong-ngomong—maukah kamu bertukar nomor kontak denganku?” ungkap Makiri-sensei sebelum aku pergi.
“Apa?”
“Mengapa kamu terlihat sangat terkejut? Aku tidak bisa mengomel soal hidupku padamu jika aku tidak tahu nomormu,” jelasnya sambil menunjukkan senyum nakal.
Tunggu, dia benar-benar akan menerima usulanku? Mantap.
Makiri-sensei menambahkan nomorku ke kontaknya dengan senyum lebar. Aku belum pernah melihat senyuman seperti ini di sekolah. Entah kenapa, itu membuatku sadar bahwa Makiri-sensei sebenarnya tidak jauh lebih tua dariku.
“Yah, aku harap kamu siap untuk mendengarkan banyak keluh kesahku, Tomoki-sensei,” dia memperingatkan saat dia selesai memainkan ponselnya. Dia menatap mataku tajam dan memberiku senyum nakal lagi.
“Oh, ayolah, jangan panggil saya ‘sensei’… Tapi ya—kapanpun Anda membutuhkan, saya akan ada untukmu.”
Setelah itu, aku meninggalkan apartemennya dan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan ke sana, aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri agar wajahku tidak menjadi merah padam.