Chapter Empat: Menerima Nasihat
Bel berbunyi, menandakan berakhirnya kelas pagi. Makiri-sensei meminta ketua kelas untuk melakukan rutinitas yang biasa—yah, berdiri dan membungkuk agar semua orang bisa pergi.
“Oke, semuanya, kita selesai hari ini,” dia mengakhiri, lalu segera meninggalkan kelas.
Aku mengumpulkan barang-barangku dan segera melanjutkan perjalananku juga. Namun, begitu aku melangkah keluar dari kelas, aku mendapati diriku berhadapan langsung dengan Makiri-sensei. Begitu dia melihatku, wajahnya menjadi cerah—seolah-olah dia baru ingat untuk memberitahuku akan sesuatu.
“Pas sekali, Tomoki,” katanya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Bisakah kamu meluangkan waktu untukku nanti hari ini?”
“Tentu. Maksud saya, jika Anda senggang sekarang, kita bisa melakukannya sekarang,” saranku. Aku lebih suka berbicara dengannya sekarang dan menyelesaikannya sehingga tidak menghabiskan waktuku sepulang sekolah.
“Hm…” dia berpikir sejenak. “Baiklah. Kalau begitu, maukah kamu mengikutiku ke ruang guru? Lagipula aku harus pergi ke sana.”
“Tentu saja.”
Dia tersenyum dan dengan cepat menuju ke ruang guru.
Saat aku mengikutinya, aku mengeluarkan ponselku dan mengirimi Touka pesan singkat, untuk berjaga-jaga jika dia berakhir mengkhawatirkanku. “Lagi ada urusan, jangan menungguku.” Jika aku tidak memberi tahunya, dan dia tidak melihatku di kelas ketika dia datang menjemputku untuk makan siang, dia akan sangat marah padaku. Ya, aku belajar hal itu dari pengalaman pahit.
Hampir segera setelah itu, dia mengirimiku balasan. Yah, itu bukan benar-benar “balasan”, lebih tepatnya itu salah satu emoji marah, yang ada uap menyembur dari ujung wajahnya yang merah. Dia melanjutkan dengan, “Kalau gt, ak akan mnggumu di tmpt biasa! >:(”
Ya Tuhan, berapa waktu yang dia butuhkan untuk membaca pesanku? Dua detik? Aku menjawab dengan “Oke” sederhana, dan menyudahinya di sana. Aku mematikan ponselku, yang langsung membuatku lebih sadar akan sekelilingku—khususnya, bagaimana siswa lain melihat kami berdua saat kami berjalan menuju ruang guru.
“Hei, teman-teman, kalian lihat itu?”
“Makiri-sensei memanggilnya ke ruang konseling siswa.”
“Sudah berapa kali Tomoki pergi ke sana? Suatu hari, dia pasti akan dikeluarkan.”
Aku berhasil menangkap potongan gosip singkat saat aku lewat. Aku tidak percaya bahwa aku sudah menjadi senior, dan kebanyakan orang di sekolah ini masih takut setengah mati padaku. Setiap kali aku muncul, aku tiba-tiba menjadi topik dari semua percakapan bisik-bisik mereka.
Aku menyadari bahwa Makiri-sensei telah berhenti berjalan—dia pasti mendengar pembicaraan mereka juga. Dia berbalik untuk menghadap ke beberapa tukang gibah itu dan memelototi mereka.
“Apakah kalian kebetulan punya urusan denganku atau Tomoki?” tanyanya dengan nada tegas.
“T-Tidak, tentu saja tidak…” salah satu siswa tergagap, jelas merasa terintimidasi olehnya.
Tatapannya yang tajam dan nada dinginnya membuat para siswa mundur—yang selalu terlintas di benakku bahwa dia dianggap sebagai salah satu guru paling menakutkan dan paling tegas di sini. Namun, dia selalu baik padaku.
“Bagus. Mudah-mudahan aku tidak akan menangkap kalian bergosip soal orang lain lagi.”
Aku mendengar para siswa menghela nafas lega ketika dia berbalik dan lanjut berjalan pergi. Kebanyakan dari mereka takut padanya, dan ceramahnya merupakan salah satu alasannya. Tetap saja, dia melakukannya untuk melindungiku. Jujur saja, aku merasa cukup senang tentang hal itu.
“Kenapa kamu tersenyum, Tomoki?” tanyanya tiba-tiba.
“Apakah saya tersenyum?”
“Iya,” dia membenarkan dengan anggukan.
Aku tidak sadar bahwa dia telah menoleh ke belakang untuk memeriksaku, atau pada fakta bahwa aku menyeringai. Aku merasa seperti orang yang terbuka setiap kali dia ada di dekatku.
“Maaf, tolong jangan pedulikan saya,” gumamku.
Dia memiringkan kepalanya sedikit, tapi tidak menjawab.
“Jadi apa yang ingin Anda bicarakan?” tanyaku.
“Hasil tesmu. Kamu benar-benar melampaui diri sendiri kali ini, Tomoki, dan aku ingin mengucapkan selamat kepadamu. Mendapatkan peringkat kedua bukanlah hal yang remeh,” katanya sambil tersenyum cerah.
Aku sangat bingung sekarang. Di satu sisi, rasanya senang menerima pujian itu, tapi di sisi lain, aku merasa agak aneh. Maksudku, apakah dia mengajakku bicara empat mata hanya untuk mengatakan itu padaku?
“Terima kasih. Kalau boleh jujur, ini semua berkat Ike. Dialah yang membantu saya untuk sampai di posisi sekarang. Jadi, jika Anda ingin memuji seseorang, itu seharusnya dia.”
Saat aku menyebut nama Ike, dia menatapku dengan ekspresi bingung. “Dia mungkin siswa yang luar biasa, tapi hal itu tidak menghilangkan prestasimu sendiri. Kamulah orang yang mencapai posisimu sekarang ini melalui upayamu sendiri. Kamu harus bangga dengan pencapaian ini.”
“Benar, tapi saya merasa penting untuk menyebutkan teman-teman yang membantuku. Jika bukan karena mereka, saya tidak akan bisa mendapatkan nilai setinggi itu. Tapi ya, saya akui bahwa usaha pribadi juga merupakan faktor yang sangat penting. Maksud saya, lihat saja Asakura—pria itu bekerja keras, dan dia mendapat peringkat kelima dalam ujian akhir ini.”
Begitu aku membicarakan Asakura, ekspresinya berubah.
“Sebenarnya aku juga ingin membicarakan dia,” katanya dengan nada serius. “Nilainya telah meningkat secara drastis dalam waktu yang sangat singkat, dan aku merasa itu semua berkat bantuan Ike baru-baru ini. Aku khawatir bahwa ini mungkin kesalahanku sebagai guru—bahwa mungkin saja aku tidak melakukan cukup banyak hal untuk kalian?”
“Menurut saya dia meningkat pesat akhir-akhir ini karena dia sangat termotivasi untuk menjadi lebih baik. Ditambah lagi, Ike membantunya seharian. Anda tidak boleh menyalahkan diri sendiri soal itu, karena menurut saya, itu bukanlah salah Anda.”
Terlihat jelas dia memaksakan senyum sebagai tanggapan. “Ike mengatakan hal yang sama persis ketika aku menanyakan hal ini padanya.”
“Huh. Saya tidak tahu kalau Anda sudah membicarakannya dengan Ike soal ini,” jawabku.
“Memang. Aku ingin mendengar sisi cerita yang berbeda, karena aku sudah memiliki gambaran kasar tentang bagaimana reaksimu. Jadi aku mencari perspektif lain. Jangan terlalu dipikirkan. Aku juga bertanya kepada Asakura, jika kamu penasaran.”
“Oh, oke. Dan apa yang dia katakan? Jika Anda tidak keberatan saya bertanya, itu saja.”
“Awalnya, dia hanya mengatakan padaku bahwa dia ingin menjadi baik dalam studinya seperti kamu dan Ike. Tapi setelah kami berbicara sedikit lagi, dia mulai mengoceh tentang perbedaan antara kalian bertiga. Rupanya, kamu dan Ike ‘memiliki gadis-gadis yang terus-menerus berkerumun di sekitar kalian siang dan malam,’ sementara dia ‘tidak seberuntung itu.’”
“Apakah Anda bahkan punya jawaban untuk itu?” tanyaku, tercengang.
“Yah… Aku bilang padanya bahwa ‘mendapatkan pacar’ seharusnya tidak menjadi fokus utamanya.”
“Tunggu, apakah itu hal yang benar untuk dikatakan?!” Seruku tiba-tiba, melompat tegak. “Bukankah itu akan mematahkan semangatnya!?”
Kupikir aku akan ditegur karena teriakkan kecilku, tapi dia hanya tersipu dan memalingkan muka. Apa yang sebenarnya ada di pikirannya? Aku berharap bisa membaca pikirannya sekarang.
“Uhh, Makiri-sensei?” tanyaku.
Dia melompat kaget, seolah-olah aku baru saja membangunkannya dari tidur siang. “Sebenarnya ada hal lain yang ingin aku diskusikan,” ujarnya tiba-tiba.
Jelas dia ingin berpindah dari topik sebelumnya. Okelah, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi; Aku akan mendengarkannya.
“Hal lain? Tentu, silakan.”
“Sepertinya kamu menjadi cukup populer di kalangan beberapa wanita, atau, setidaknya, itulah yang berhasil kupetik dari salah satu gerutuan Asakura…” dia terdiam sejenak, menatap lurus ke mataku. “Mungkin aku salah paham dengan situasinya, tapi bukankah kamu masih dalam hubungan palsu dengan Touka? Aku juga menyadari bahwa kamu juga tumbuh menjadi sangat dekat dengan Hasaki.”
Jika dia adalah orang lain, aku akan mengerti jika dia memiliki semacam kesalahpahaman tentangku “mendua” dengan Touka dan Kana. Untungnya, dia tahu situasiku. Malahan, dia hanya tampak bingung tentang apa yang terjadi di antara kami sekarang.
“Eh… anggap saja banyak hal telah terjadi di antara kami,” jelasku.
Aku berharap aku bisa menjelaskan lebih jauh, tapi aku tidak dapat menemukan kalimat lain saat ini. Saat aku memutar otak untuk memikirkan cara yang lebih baik untuk menjelaskan situasinya, Makiri-sensei tiba-tiba berhenti berjalan. Sepertinya kami sudah sampai di tujuan. Dia mulai membuka pintu satu demi satu, dan saat aku mengikutinya, aku merasakan deja vu. Kami berada di ruang konseling siswa. Sudah lama sejak aku terakhir ke sini.
Makiri-sensei duduk, merenungkan kata-katanya sejenak, lalu bertanya, “Jika kamu tidak keberatan, bisakah kamu menjelaskan semuanya secara detail?”
Aku yakin bahwa dia adalah seseorang yang bisa aku percayai—bahwa dia tidak akan pernah membocorkan soal hubungan palsuku dengan orang lain. Aku juga sadar bahwa dia hanya di sini untuk membantu, jadi akan lebih baik jika aku menceritakan semua yang terjadi sampai sekarang.
Jadi aku meingat-ingat segala macam perkembangan antara aku dan Kana, mulai dari masa kecil kami hingga pengakuan cintanya baru-baru ini. Jelas, aku melewatkan detail-detail kecil—seperti betapa salah pahamnya aku bahwa aku tidak menyadari dengan siapa dia jatuh cinta sebelum aku memberinya dukungan—tapi Makiri-sensei tampaknya memahami hampir semua yang aku beritahukan padanya.
“Bolehkah aku bertanya bagaimana kamu menjawab pengakuan cintanya?”
“Saya menolaknya.”
“Dan kenapa kamu melakukan itu? Menurutku dia gadis yang hebat dalam banyak hal.”
“Yah, sebagian besar karena hubungan saya dengan Touka. Itu mungkin palsu, tapi saya menghargai apa yang kami jalani sekarang. Dan untuk Kana, saya hanya melihatnya sebagai teman. Jujur saja, akan sangat jahat jika saya menerima perasaannya dengan pemikiran itu. Ditambah lagi, yah… ada hal lain yang tidak saya sadari saat itu, tapi sekarang saya menyadarinya.”
“Dan apa itu?”
Saat dia menembakku, aku sebagian besar berfokus pada perasaanku di tingkat dasar: betapa bahagianya aku, betapa buruknya perasaanku jika aku menyakitinya, dan yang terpenting…
“Saya takut. Saya tidak tahu persis kenapa, tapi diingat-ingat kembali, saya yakin bahwa saya benar-benar merasa begitu.”
Saat itu, aku tahu bahwa aku tidak perlu takut jika aku menolaknya secara langsung, tapi semacam kecemasan yang merisaukan telah menghentikanku. Aku tidak bisa menjelaskan kenapa aku merasa seperti itu, tapi itu masih menggangguku sampai hari ini. Emosiku terkadang menjadi misteri.
“Yah, aku telah mengawasimu selama satu tahun sekarang, dan kurang lebih aku telah belajar tentang keadaanmu, jadi aku rasa aku mengerti kenapa kamu bisa berkata begitu. Menurutku, kamu tidak perlu terburu-buru mengungkapkan segala sesuatu tentang dirimu, atau perasaanmu terhadap situasi tersebut. Pada akhirnya, kamu akan mengetahui semuanya. Aku sarankan untuk tidak terlalu memikirkannya, karena pada akhirnya itu hanya akan membuatmu stres.”
“Apakah itu benar-benar bagaimana aku harus menyelesaikan masalah?” tanyaku tidak percaya. Aku mencoba memahami kenapa dia berkata begitu, tapi aku tidak terlalu berhasil.
Dia memberiku senyum riang—pemandangan yang langka darinya—dan sedikit menggodaku. “Kamu berada pada usia di mana perasaanmu-lah yang lebih ditonjolkan dari sebelumnya. Pada waktunya, kamu akan belajar untuk memahami dan mengendalikannya dengan lebih baik.”
“Ya, saya rasa Anda benar. Saya akan mencoba tidak memikirkannya untuk saat ini.”
“Anak baik. Namun, jangan memperluas ini ke Hasaki—ketika menyangkut dia, jujur tentang perasaanmu adalah hal terbaik yang bisa kamu lakukan,” tambah Makiri-sensei dengan nada yang lebih serius.
“Tentu saja,” aku setuju.
“Baiklah. Aku minta maaf karena telah menyita begitu banyak waktumu. Kamu dapat kembali ke kelas sekarang—sebentar lagi jam pelajaran berikutnya akan dimulai.”
Aku mengangguk dan berdiri, bersiap untuk pergi. Sayangnya, kami berdua kebetulan berdiri pada saat yang sama dan akhirnya berdiri tidak nyaman di dekat satu sama lain.
Kami saling menatap mata.
“Huh. Saya baru sadar kalau Anda memakai lebih banyak makeup dari biasanya,” ucapku.
“Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” jawabnya dengan suara gemetar.
Sial, aku seharusnya tidak mengatakan itu. Uhh, bagaimana cara membuat ini agar terdengar kurang menjijikkan, ya?
“Maaf, saya tidak bermaksud buruk. Hanya saja, uh, Anda sepertinya lebih lelah dari biasanya akhir-akhir ini, jadi saya berasumsi itulah sebabnya Anda memakai lebih banyak makeup. Apakah Anda baik-baik saja?”
“Oh, jadi begitu. Aku baik-baik saja. Tidak perlu mengkhawatirkanku,” dia meyakinkanku sambil tersenyum.
“Itulah yang akan dikatakan orang yang lelah.”
Makiri-sensei terlihat terkejut dengan jawabanku.
“Aku baik-baik saja, sungguh. Aku hanya sedikit lelah karena aku bertengkar dengan ayahku melalui telepon kemarin. Itu saja. Yah… seperti itulah keluarga. Itu selalu sama di keluarga mana pun,” katanya, mencoba memaksakan senyum lagi.
Yah, setidaknya itu jauh lebih jujur daripada upayanya sebelumnya untuk menenangkanku. Baguslah. Makiri-sensei tahu situasi keluargaku juga bukanlah yang terbaik, jadi senang dia bisa jujur padaku seperti ini.
“Ya, saya mengerti,” jawabku dengan anggukan.
Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan menuju pintu keluar. Saat dia meletakkan tangannya di kenop pintu, dia melihat ke belakang untuk berpamitan. “Mhm. Aku menghargai kepercayaanmu padaku, Tomoki. Terima kasih telah menceritakan kepadaku tentang keluarga dan teman-temanmu. Aku harap kita bisa terus mengobrol seperti ini.”
“Tentu.”
Aku tahu ada sesuatu yang benar-benar mengganggunya, tapi aku ragu aku punya jawaban yang dia cari. Apa yang harus aku petik dari ini adalah bahwa dia benar-benar peduli padaku—hal itu terlihat jelas dari percakapan kami hari ini.