Chapter Tiga: Memeriksa Peringkat Sekolah
Beberapa hari telah berlalu sejak sesi belajar kami yang “dahsyat” di restoran keluarga.
Ujian akhirnya selesai, kertas ujian kami telah dikembalikan, dan hasil keseluruhan telah ditempel di mading agar dapat dilihat dunia. Guru yang aku lewati menunjukkan reaksi yang beragam. Beberapa senang dengan hasil siswa mereka, sementara yang lain… yah, kalian tahulah.
Bagaimanapun juga, karena hasilnya diumumkan di satu mading, semua orang di sekolah diperingkatkan bersama. Jelas, mereka yang mendapatkan skor tertinggi akan menonjol di antara kerumunan, jadi semua orang ingin tahu di peringkat mana mereka berada. Aku pun begitu, tapi karena aku tidak benar-benar ingin membuat semua orang terkencing di celana dan merusak hari mereka, aku selalu menunggu sebentar sebelum memeriksa nilaiku. Pada saat aku tiba, kerumunan sudah menghilang—sempurna.
Dalam ujian akhir ini, aku dibantu belajar oleh Ike. Aku sadar kalau nilaiku sebelumnya sangat bagus, jadi aku penasaran di peringkat berapa posisiku kali ini. Terakhir kali, aku berhasil masuk 10 besar. Dengan sedikit keberuntungan, kurasa aku mungkin bisa masuk ke lima besar pada kesempatan kali ini. Mari kita lihat…
“Sial, Asakura ada di urutan kelima.”
Kalau tidak salah, nilainya cukup rata-rata selama ujian tengah semester, tapi aku rasa sifat kompetitif dan usaha kerasnya membuahkan hasil. Ditambah lagi, dia belajar dengan Ike khusus untuk ujian ini. Menakjubkan. Itu membuatku bertanya-tanya kenapa dia tidak terlalu peduli dengan belajar sebelumnya—maksudku, dia dapat dengan mudah tetap berada di peringkat teratas dengan sedikit usaha lebih.
“Tapi pada akhirnya, itu tidaklah berarti…” gumam seseorang di belakangku.
Aku tersentak kaget dan melihat Asakura bersandar di dinding di sampingku, bergumam pahit pada dirinya sendiri.
“Kau datang dari mana?” tanyaku
“Aku sedang menunggumu memeriksa peringkat sehingga kita dapat membandingkan bagaimana hasilnya.”
“Oh, oke. Yah, sepertinya kamu memenangkannya kali ini. Kurasa aku harus mengucapkan selamat padamu, sob. Kamu melakukannya dengan baik.”
Dia telah melakukan yang terbaik sejak sesi belajar itu. Dia benar-benar layak untuk menang.
“Oh, tapi memangnya aku sudah menang sekarang? Haah…” katanya sambil memejamkan mata.
“Yeah. Maksudku, aku mungkin bisa belajar lebih sering karena aku tidak ikut ekskul, tapi tidak mungkin aku bisa melebihi itu. Peringkat kelima benar-benar sesuatu.”
Dia tertawa. Apakah aku mengatakan sesuatu yang lucu? Aku tidak benar-benar tahu apa yang dia maksud, tapi dia menunjuk ke arah mading lagi. Mungkinkah aku melewatkan sesuatu?
“Aku kalah, Bung,” kata Asakura sederhana.
Aku memeriksa mading lagi. Sepertinya aku berada di peringkat kedua. Oh.
“Jadi itu maksud reaksimu… Aduh.”
Itu bukan niatku untuk terdengar seperti bajingan tengik sebelumnya, tapi memang begitulah yang aku pikirkan. Aku hanya berasumsi aku tidak akan pernah bisa masuk lima besar, apalagi peringkat dua.
“Kamu berhasil, bung. Kamu adalah orang nomor satu di sekolah,” katanya, berusaha terlihat tidak kesal.
“Oke, Vegeta. Kita semua tahu bahwa Gok—maksudku, eh, Ike adalah yang nomor satu. Selalu begitu, dan akan selalu begitu.”
“Dia tidak dihitung karena dia akan selalu berada di puncak. Jika kita mengesampingkannya, maka secara teknis kamulah yang terbaik,” gumamnya sebelum dengan cepat berbalik untuk kembali ke kelas.
Ya Tuhan, aku sangat berharap dia tidak dendam padaku soal ini. Sungguh, aku tidak bermaksud buruk mengatakan itu.
“Hei, Yuuji-kun! Di sana kamu rupanya! Kami bertanya-tanya kenapa kamu tidak kembali ke kelas!” teriak sebuah suara yang terdengar tidak asing.
“Aku hanya sedang memeriksa peringkat,” jawabku.
Huh, aku tidak tahu Kana dan Ike juga mencariku. Yah, setidaknya aku tidak akan sendirian.
“Aku sendiri sudah memeriksanya beberapa waktu lalu. Selamat atas peringkat kedua!” seru Kana dengan seringai ceria dan mengacungkan jempol. “Tidak akan ada yang bisa melampaui Haruma, jadi itu akan membuatmu menjadi nomor satu sekarang!”
Wow, benar-benar deja vu; Asakura baru saja mengatakan hal yang sama persis. Kurasa semua orang sudah berasumsi bahwa Ike akan medapatkan peringkat pertama. Tidak bisa disalahkan sih.
“Terima kasih, tapi pujian harus diberikan kepada yang pantas mendapatkannya—lagipula, itu semua berkat Ike hingga aku berhasil mencapai posisiku saat ini.”
“Yah, itu tidak mengubah fakta bahwa kamu telah meluangkan waktu untuk membantu Touka, Kana, dan orang lain yang membutuhkan bantuan. Tidak perlu meremehkan pencapaianmu! Sungguh, aku berpikir bahwa kamu luar biasa—bisa mendapatkan peringkat kedua adalah hal yang patut dipuji!” tambah Ike.
Aku masih berpikir bahwa prestasimu-lah yang harus lebih diakui, Ike—karena dia adalah pria yang menjadi juara yang tak terkalahkan sejak dia tiba di sekolah ini. Itu luar biasa.
“Orang dengan nilai bagus sangat keren! Maksudku, Haruma hanya berada di tingkatan yang sepenuhnya berbeda, tapi kamu masih sangat hebat, Yuuji! Aku benar-benar serius!” ujar Kana.
Aku tidak tahu apakah aku harus merasa disemangati atau terhina oleh itu, tapi aku akan tersenyum saja sehingga dia tidak curiga. Dan meski aku ingin terus berbicara dengan mereka berdua, aku dapat melihat bahwa seorang gadis sedang menunggu dengan sabar di pojokan. Dia jelas ingin melihat hasilnya, tapi aku yakin dia tidak kemari karena ada aku. Aku harus pergi.
“Ayo kembali ke kelas,” aku angkat bicara.
“Sebenarnya, aku harus pergi ke ruang guru untuk mengambil beberapa materi untuk kelas berikutnya. Kalian berdua kembalilah duluan,” beritahu Ike tepat saat aku akan pergi.
“Kamu tidak membutuhkan bantuanku atau semacamnya?” tanyaku
“Tidak. Itu hanya sekumpulan kertas. Aku bisa mengatasinya sendiri,” ujarnya sambil bergegas menuju ruang guru.
“Dan dia pun pergi,” kataku saat sosoknya dengan cepat menghilang dari pandangan kami.
“Dan sekarang kita berdua. Hanya kamu dan aku,” gumam Kana dengan mata anak anjing khasnya.
Sayang sekali dia tidak menyadari bahwa kami sebenarnya tidak berdua—orang lain baru saja tiba.
“Kamu Yuuji Tomoki, kan? Bolehkah aku meminta waktumu sebentar?” pendatang baru—gadis di pojokan itu—bertanya.
Awalnya, aku berasumsi dia hanya ingin melihat mading, tapi terlalu takut untuk melakukannya. Namun, aku segera menyadari bahwa aku tidak mengenalinya sama sekali, jadi aku tidak tahu dari mana keberaniannya untuk mendekatiku itu berasal. Aku merasa sangat bingung sekarang.
“Uhh, tentu saja,” jawabku ragu-ragu.
Dia menghela nafas lega. Berdasarkan penampilannya, dari posturnya yang sopan hingga rambut hitamnya yang terawat rapi, dia terlihat berasal dari keluarga kelas atas. Dia memiliki aura seperi itu di sekelilingnya.
“Aku harus memperkenalkan diri. Namaku Otome Tatsumiya.”
Dia tidak takut padaku? Yah, itu patut dipuji. Dia punya nyali besar.
Aku mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Bisakah aku mengganggumu untuk mengobrol singkat?” tanyanya sambil menyeringai.
“Tentu. Ada apa?”
Namun, sebelum Otome bisa menjawab, Kana tiba-tiba menyela kami.
“Tidak banyak waktu yang tersisa sebelum jam pelejaran berikutnya, Tatsumiya. Apakah kamu tak masalah dengan itu?”
Sekarang setelah dia menyebutkannya, ya, hanya tersisa sekitar lima atau enam menit lagi. Apa pun yang ingin dia bicarakan denganku, dia harus melakukannya dengan cepat. Meski aku tidak bisa membayangkan itu akan menjadi percakapan yang panjang, sih.
“Ya, Hasaki, itu seharusnya lebih dari cukup. Aku hanya ingin menanyakan satu pertanyaan sederhana padanya.”
Entah kenapa keduanya jelas sudah saling mengenal.
“Kamu kenal dia?” bisikku pada Kana.
Sebagai balasan, dia tersentak, tersipu, dan menutupi telinganya. “K-Kamu tidak boleh begitu saja berbisik manis seperti itu tiba-tiba! Kamu akan membuat jantungku meledak!”
Itu bukan niatku, tapi jelas aku yang salah di sini. Sial, melihat wajahnya berubah menjadi 50 warna merah yang berbeda membuatku merasa agak canggung.
“Maaf, aku akan mengingatnya lain kali. Ngomong-ngomong, kalian berdua saling kenal?”
Kana tenggelam dalam pekirannya selama beberapa detik sebelum dia menjawab. “Ya, dia adalah wakil ketua OSIS, dan dia selalu berada di dekat Haruma. Aku pernah berbicara dengannya beberapa kali.”
“Oh, jadi dia wakil ketua. Oke.”
Masih belum ada yang teringat, tapi aku akan mencatatnya.
“Aku sangat mengenal siapa kamu. Kita pernah bertemu di ruang OSIS beberapa kali sebelumnya, tapi—dilihat dari ekspresimu—aku berasumsi bahwa kamu tidak ingat,” sela Tatsumiya dengan cepat. Dia jelas mendengarkan bisikan kami, tapi dia tetap memasang wajah datar. Yah, sepertinya dia tidak marah padaku karena lupa.
“Maaf, aku payah dalam mengingat wajah,” aku meminta maaf.
Itu sebenarnya bohong, tapi orang biasanya akan panik ketika aku memberi tahu mereka bahwa aku mengenali mereka. Pada akhirnya seperti, mengapa aku bisa mengingat mereka? Apa yang mungkin aku rencanakan? Dalam benak mereka, aku mungkin telah memasukkan mereka ke dalam semacam daftar masalah mental.
“Sebenarnya, ya—kurasa itu memang membuatku teringat,” tambahku. “Ngomong-ngomong, apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Aku ingin membahas peringkat ujian baru-baru ini. Jika aku tidak salah ingat, tahun lalu, kamu menempati peringkat 10. Tahun ini, kamu berhasil mencapai peringkat keenam saat ujian tengah semester. Sekarang, kamu telah berhasil mengamankan peringkat kedua. Jelas bahwa kamu selalu menjadi siswa teladan, tapi nilaimu tahun ini… sangat patut diteladani. Aku bertanya-tanya apakah kamu dapat membocorkan rahasiamu—bagaimana tepatnya kamu bisa meningkat secara drastis?” tanyanya dengan tatapan tajam.
Nada suaranya yang sedingin es yang sinkron dengan matanya menusuk jiwaku, dan aku merasa merinding di sekujur tubuhku. Daripada ditanyai pertanyaan yang murni karena rasa ingin tahu, rasanya seperti aku sedang berada di tengah-tengah interogasi yang intens sekarang. Dia tidak mungkin benar-benar menyindirku melakukan itu, kan?
“Apakah kamu menyiratkan bahwa aku telah berbuat curang?” tanyaku
“Apa?! Kau pasti bercanda, Tatsumiya! Yuuji-kun tidak akan pernah melakukan hal seperti itu!” Kana ikut campur untuk membelaku.
Tatsumiya awalnya terkejut dengan teriakan Kana, tapi dengan cepat terkikik.
“Sejak awal, bagaimana mungkin aku berasumsi seperti itu?” jawabnya. “Aku sudah memastikan bahwa kamu tidak diragukan lagi adalah siswa teladan. Aku hanya berasumsi bahwa kamu mungkin mengikuti semacam bimbel, atau memiliki beberapa metode lain untuk belajar. Aku hanya ingin tahu tentang metode yang kamu gunakan hingga dapat meningkat begitu pesat, tidak lebih.”
“Benarkah? Karena sejujurnya aku merasa seperti sedang diserang sekarang,” lanjutku. Aku tahu kalau aku seharusnya tidak berasumsi yang terburuk di sini, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia cukup jengkel dengan apa pun yang telah aku lakukan. Apa lagi yang harus aku simpulkan di sini, selain bahwa dia jelas-jelas sedang berbohong kepadaku?
“A-aku minta maaf untuk itu,” dia tergagap, akhirnya membuang muka. “Aku akui bahwa aku telah berusaha menyembunyikan ketidakpuasanku pada keadaan peringkat saat ini. Tidak diragukan lagi itulah sebabnya aku terdengar seolah-olah aku tidak senang padamu.”
“Sejak awal, kenapa kamu marah padaku?” tanyaku
Dia menatap mataku lagi, sedikit tersipu, dan tersenyum.
“Sejak aku diterima di sekolah ini, tujuanku selalu untuk menjadi Ketua OSIS terbaik. Sayangnya, usahaku tahun lalu sia-sia. Aku yakin bahwa tahun ini akan berbeda, tapi sekarang aku mengetahui bahwa bahkan kamu pun telah melampauiku. Karena itulah aku mengharapkan beberapa saran untuk meningkatkan hasil akademikku dan mengatasi rintangan ini.”
Oh, jadi itu sebabnya dia kesal. Dia hanya tidak mau mengakui bahwa aku telah melakukannya lebih baik daripada dia meskipun dia telah berusaha keras. Aku merasa kasihan padanya—dia jelas telah berusaha keras untuk mendapatkan nilai setinggi yang dia bisa.
“Sampai sekarang, Tatsumiya selalu menjadi yang terbaik di peringkat sekolah… itu jika kita tidak menghitung Haruma, sih. Kamu mengunggulinya kali ini,” bisik Kana kepadaku.
Itu sungguh membuatku kesal ketika semua orang dengan begitu entengnya mengabaikan pencapaian Haruma. Maksudku, mereka hanya secara otomatis berasumsi bahwa dia akan selalu menjadi yang terbaik. Tidak bisakah dia diapresiasi sesekali?
“Baiklah, aku akan memberi tahumu mengenai apa yang aku lakukan. Lagipula, tidak ada yang perlu disembunyikan,” jawabku.
Wajahnya cerah saat aku setuju untuk bekerja sama dengannya. “Kamu mau memberitahuku?!”
“Yeah. Seperti yang aku bilang, aku tidak menyembunyikan apa pun. Nilaiku menjadi lebih baik berkat bantuan Ike. Itulah intinya.”
“Berkat Ketua? Bisakah kamu menjabarkannya?” tanyanya.
“Dia telah membantuku belajar sejak UTS terakhir. Pada awalnya, aku tidak pernah repot-repot meminta bantuan, terutama dengan soal-soal yang membuatku kesulitan. Jelas, itu juga berarti aku tidak pernah dapat menyelesaikan soal itu. Sejak aku mulai meminta bantuan Ike, aku sudah bisa memahami materi yang benar-benar membuatku bingung yang telah menurunkan nilaiku sebelumnya. Selain itu, dia memiliki cara yang sangat efisien dalam melakukan sesuatu—itu sangat cocok dengan metode belajarku. Itulah sebabnya aku berhasil meningkat.”
“Kamu… Kamu belajar dengan ketua sepulang sekolah?! Agh, kuharap akulah yang ada di sa—maksudku, begitu, ya! Jadi, kamu memiliki cara belajar yang efisien, tapi kamu meminta bantuannya ketika kamu menemukan pertanyaan sulit yang sulit kamu pahami. Apakah benar begitu?”
Huh, dia kehilangan ketenangannya sesaat barusan. Dia jelas naksir pada Ike. Bagus untuk Ike—dia sepenuhnya pria idaman wanita, meskipun dia tidak pernah bermaksud seperti itu.
“Ya, benar,” jawabku.
Dia mengangguk. “Sayangnya, itu bukanlah metode yang bisa aku gunakan.”
“Kenapa tidak? Kecuali kamu secara aktif berusaha menghindarinya, entah karena alasan apa, aku yakin dia akan membantumu. Yang perlu kamu lakukan hanyalah meminta padanya.”
Saat aku mengusulkan ide itu, dia tersenyum, tapi jelas senyum yang dipaksakan. “Akan aneh dan agak tidak sopan jika aku meminta bantuannya hanya agar aku bisa mengalahkannya, kan?”
Sekarang aku mengerti kenapa dia menunggu Ike pergi sebelum dia mendekati kami. Kupikir dia takut padaku, tapi sebenarnya, dia malu untuk menanyakan ini padaku dengan adanya Ike di dekatku. Itu sebenarnya membuatku lega. Bahkan Kana pun terlihat puas dengan jawabannya.
“Sayangnya, aku tidak bisa membantumu selain itu,” jawabku dengan senyum yang dipaksakan yang sama.
Dia mengingatkanku pada Kana, dalam artian: dia adalah seorang gadis yang benci kalah melawan orang lain, terutama dalam hal apapun yang dia perjuangkan. Aku benar-benar bisa bersimpati padanya karena itu.
Tatsumiya membungkuk sedikit untuk mengakhiri percakapan kami. “Kalau begitu, aku harus pergi. Aku ucapkan sampai lain kali. Sampai nanti, Tomoki dan Hasaki.”
Dia berbalik dan mulai kembali menuju kelasnya sendiri. Tunggu sebentar, “sampai nanti”? Apakah dia berencana untuk berbicara dengan kami lagi atau semacamnya?
“Dia cukup cantik, kan?” bisik Kana.
“Ya, dia manis,” jawabku. Akan bohong jika aku mengatakan sebaliknya, terlepas dari siapa yang bertanya padaku.
“Um… Apa pendapatmu tentang gadis seperti dia, Yuuji?” tanyanya dengan suara rendah, agak tertekan.
Yah, kejujuran adalah prinsip terbaik. Mudah-mudahan, dia tidak membenciku setelah aku mengutarakan pendapatku.
“Yah, menurutku kamu berada di tingkatanmu sendiri—maksudku, kamu memiliki orang-orang sesekolah yang mengejarmu. Kamu sangat ceria dan ramah kepada semua orang. Menurutku, kepribadianmu yang hangat itulah yang membuatmu menarik. Sementara itu, dia menarik dalam… cara yang tidak biasa. Dia lebih dingin dan jauh lebih sopan, jadi dia memberikan kesan yang sepenuhnya berbeda. Maksudku, ini pasti pertama kalinya aku melihat seseorang seusia kita secara tidak ironis mengatakan ‘sempai lain kali’ bukannya sampai jumpa. Itu agak membuatku terkejut.”
Bukannya kaget dan memukulku seperti yang kuduga, dia malah semakin tersipu dari sebelumnya dan mulai sedikit gemetar.
“Hei, kamu baik-baik saja?!” teriakku.
“B-Bagaimana aku bisa baik-baik saja?!” gumamnya dengan panik. “Bagaimana aku bisa baik-baik saja setelah kamu bilang kalau aku menarik?! Aku tidak pernah tahu kalau kamu memandangku seperti itu!”
Oh, tunggu… Apa aku telah tidak sengaja mengatakan sesuatu yang memalukan? Sekarang setelah kupikir-pikir, aku mungkin sudah begitu. Sial.
“Uhh, maaf soal itu. Lupakan apa yang aku katakan,” ceplosku.
“Oh, tidak, aku tidak akan pernah melupakannya. Tidak akan. PERNAH,” ucapnya dengan berani sembari mengunci tatapannya dengan tatapanku. Dia tersenyum dan menghela nafas lega. “Senang mendengarnya. Kurasa aku seharusnya tidak perlu terlalu mengkhawatirkan soal dia.”
Bagaimana aku harus bereaksi dalam situasi ini? Seseorang tolong aku… Aku tidak ingin memperburuk keadaan, jadi aku akan diam saja untuk saat ini.
“Mau kembali ke kelas?” saranku, mencoba mengubah topik sambil juga berusaha menghilangkan apa yang baru saja dia katakan dari pikiranku. Mulus, Yuuji. Benar-benar mulus.
“Ya. Sebaiknya kita cepat, atau kita akan terlambat.”
Kami pun bergegas kembali ke kelas kami, berhasil sampai tepat sebelum bel berbunyi.