[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 3 Chapter 19 Bahasa Indonesia

Guruku

Chapter Sembilan Belas: Guruku


Setelah kami mandi bersama, aku dan Sennouji kembali ke tempat Makiri-sensei berada.

“Kalian berdua benar-benar menikmati waktu kalian,” ucap Makiri-sensei.

“Hmph! Kami hanya menikmati percakapan yang panjang, antar pria,” keluh Sennouji, menyilangkan tangan dan memalingkan muka. “Kamu sendiri juga harus mandi, Chiaki. Sudah lama sejak kamu mandi di sini.”

“Aku menghargai tawaran itu, tapi tidak.”

“Tidak perlu malu-malu. Sementara itu, Ayah akan memastikan untuk menghibur Yuuji. Malahan, bagaimana kalau kalian berdua menginap saja? Atau lebih tepatnya, Ayah bersikeras ingin kalian menginap.”

Makiri-sensei menghela nafas. Tidak seperti ayahnya, yang sedang penuh semangat, dia tampak agak lelah. “Kurasa kami sudah cukup lama di sini hari ini, dan aku benar-benar harus mengantar Tomoki-kun pulang. Kita tidak ingin menahannya lebih lama lagi. Kita hanya akan merepotkannya jika seperti itu.”

“Seriusan? Kamu baru khawatir merepotkannya sekarang?” bisik Sennouji. Makiri-sensei memberinya tatapan tajam, dan Sennouji tampak ciut. “Kurasa Yuuji masih pelajar. Bukan hal baik baginya untuk pulang terlambat.”

Makiri-sensei berdiri dan tersenyum sekali lagi. “Aku sangat senang bahwa kita dapat membicarakan semuanya, Ayah. Kami pulang sekarang, oke?”

Hmph! Setidaknya izinkan Ayah untuk mengantarkan kalian keluar rumah.”

Kami bertiga menuju ke luar, dan Sennouji berdiri dan menunggu di gerbang depan saat aku dan Makiri-sensei masuk ke dalam mobil.

“Pastikan kalian berkunjung lagi kapan-kapan untuk menemaniku. Kalian berdua selalu diterima di sini.”

“Ku… Kuharap hari itu segera datang, tapi siapa yang tahu?” jawab Makiri-sensei, matanya bengkak dan merah, seolah dia akan menangis.

Sennouji, di sisi lain, memberi kami senyum cerah.

Dia mempercayai cerita buatan kami pada akhirnya. Semua berakhir dengan baik, mungkin.

“Sampai jumpa lagi, ayah.”

“Berhati-hatilah saat pulang. Yuuji, semoga kita bisa segera bertemu lagi,” kata Sennouji sambil tersenyum.

Aku mencoba untuk menyamai seringai ramahnya, tapi malah memaksakan seringai paling canggung di dunia. “Saya juga,” jawabku.

Makiri-sensei menyalakan mobil, dan kami pun pergi. Tanpa lama, Sennouji tidak lagi terlihat. Kami tetap diam untuk sementara waktu. Aku lelah, dan aku yakin dia juga tidak jauh berbeda. Mungkin aku harus memikirkan topik untuk mencairkan suasana dan menghiburnya sedikit…

“Apakah kamu keberatan jika kita mengambil jalan memutar kecil dalam perjalanan pulang?” tanya dia tiba-tiba.

“Tentu, silakan,” jawabku.

Mungkinkah dia perlu membeli beberapa barang dari minimarket terdekat? Setelah beberapa menit, Makiri-sensei menghentikan mobilnya di depan sebuah taman.

Dia keluar dari mobil, dan aku—yang benar-benar bingung—melakukan hal yang sama. Wajahku langsung ditampar oleh udara musim panas yang tebal dan lembap. Kami sebelumnya menikmati kemewahan AC di dalam mobil, jadi aku mulai berkeringat begitu berada di luar.

“Jadi ini tempat yang ingin Anda kunjungi terlebih dulu?” tanyaku.

Tamannya memang bagus, tapi bagiku itu masih terlihat seperti taman biasa pada umumnya. Tidak ada yang benar-benar menonjol di tempat ini yang membedakannya dari taman lain yang pernah aku lihat. Sebenarnya, ada satu hal yang menonjol—yaitu tidak ada satu orang pun yang terlihat.

“Ya, ini tempatnya,” jawabnya lembut.

Dia berjalan maju, menjelajah lebih dalam ke taman, dan aku pun mengikuti dari belakang. Akhirnya, kami sampai di ujung jalan, di mana terdapat pagar besi untuk mencegah kami jatuh dari sisi tebing. Di balik itu ada pemandangan menakjubkan yang disajikan di depan kami—pemandangan seluruh kota di malam hari. Jadi inilah yang membuat tempat ini begitu istimewa.

“Saat aku masih sekolah dulu, aku sering datang ke tempat ini sendirian,” jelas Makiri-sensei sambil mencondongkan tubuh di pagar. Dia melihat ke arah kota dengan senyum misterius di wajahnya.

“Jadi, saya rasa Anda mampir ke sini untuk melihat pemandangan?” tanyaku.

Dia mengangguk. “Ya. Meski diingat-ingat lagi, aku tidak bisa bilang bahwa tempat ini menyimpan banyak kenangan indah.”

“Kalau begitu, kenapa harus datang ke sini? Apa gunanya mengunjungi tempat yang hanya mengingatkan pada hal-hal buruk?”

Makiri-sensei sepertinya agak tertekan oleh pertanyaanku. “Aku ingat bahwa setiap kali aku melihat kota ini, aku selalu fokus pada lampu-lampu rumah. Itu membuatku merasa sendirian.”

Aku melirik ke tempat yang dimaksud. Tempat itu hanya area perumahan, tidak ada yang istimewa. Tetap saja, kurasa aku mengerti apa yang dia maksud ketika aku menatap kepulan asap tebal yang mengepul dari cerobong asap dan lampu-lampu yang berkelap-kelip dengan meriah. Setiap rumah itu pasti memiliki keluarga di dalamnya—keluarga yang bahagia.

“Aku tidak pernah khawatir soal uang sepanjang hidupku. Di sisi lain, aku tidak pernah punya teman, dan ayahku selalu pulang larut malam, sehingga hampir tidak mungkin untuk bertemu dengannya. Kehilangan ibuku ketika aku masih kecil sangat menyakitkan. Aku selalu sendirian… begitu sendirian,” jelasnya dengan sedikit menyipitkan mata. Mungkin lampu-lampu ini terlalu terang, terlalu ceria. Itulah sebabnya itu sangat menyakitkan baginya. “Aku masih bisa merasakan bekas luka—semua sakit hati dan kesepian—setelah bertahun-tahun ini. Itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah aku lupakan. Itulah alasan… alasan kenapa aku berharap untuk menjadi seseorang yang dapat mengulurkan tangan kepada orang lain yang sama sepertiku. Aku ingin membantu mereka yang menderita saat masih muda agar mereka dapat berdiri tegak dan memiliki apa yang tidak pernah aku miliki. Itulah sebabnya aku menjadi seorang guru.”

Dia berhenti sejenak, dan aku juga tetap diam. Akhirnya, dia berbalik dan menatap mataku. Dia tersenyum, tapi aku tahu dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri agar tidak menangis. “Tomoki-kun—kamu telah mengatakan berkali-kali bahwa aku telah menyelamatkanmu, tapi aku yakin kamu salah.”

“Apa maksud Anda?” tanyaku.

“Semua yang telah aku lakukan untukmu—campur tangan atas namamu, mencoba membantu memperbaiki hubunganmu dengan ayahmu, membantumu mendapatkan teman baru—semuanya tidak lebih untuk memuaskan egoku yang rapuh dan tidak berarti. Meskipun dalam prosesnya kamu mungkin mendapat manfaat dari keberadaanku di sana, aku selalu percaya bahwa kamulah yang menyelamatkanku dari lubang gelap tempatku terjebak. Kamu mengizinkanku untuk membantumu.”

“Apa?”

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan saat ini. Bahwa aku palsu, bahwa aku mengkhianatimu,” gumamnya sambil melihat ke bawah, menghindari kontak mata.

Aku berpikir sejenak tentang kata-katanya sebelum menjawab.

“Terlepas dari niat Anda, faktanya tetap Andalah yang berperan dalam mengembalikan hidup saya ke jalurnya. Ini semua berkat Anda bahwa saya masih di sini hari ini.”

“Apa?”

Kenapa dia begitu terkejut dengan jawabanku? Kurasa aku perlu menjelaskan maksudku lebih jauh.

“Mungkin Anda tidak menyadari perkataan Anda sendiri, tapi menurut saya apa yang baru saja Anda katakan kepada saya sangat menunjukkan betapa baiknya Anda. Terlepas dari betapa kesepiannya Anda selama bertahun-tahun itu, dan terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada yang pernah mengulurkan tangan kepada Anda, Anda tetap memutuskan untuk membantu orang lain. Anda adalah orang yang luar biasa bagi saya. Kenapa Anda tidak bisa melihat hal itu?”

Dia masih terlihat kaget seperti sebelumnya dan terus diam.

“Oke, eh, biar saya simpulkan,” kataku, merasa sedikit canggung. “Haaah… Saya yakin Anda adalah seseorang yang patut dihormati, dan saya bangga memiliki Anda sebagai guru. Jadi ya, begitulah.”

Sangat memalukan untuk berterus terang tentang perasaanku, tapi tak apalah jika ini yang perlu dia dengar… Ditambah lagi, dia juga terbuka padaku tentang masa lalu dan emosinya. Menurutku aku dapat memberikan kepercayaan yang lebih dari cukup padanya pada saat ini untuk membalasnya. Aku harap perkataan kecilku dapat membantu, tapi aku masih tidak yakin apakah aku sudah mengatakan semuanya dengan benar. Pada akhirnya, yang paling aku inginkan adalah dia bangga akan siapa dia dan pekerjaannya.

Aku melihat Makiri-sensei. Bahunya gemetar, dan dia hampir menangis. Sebelum aku sempat bereaksi, dia melemparkan dirinya ke arahku dan membenamkan kepalanya di dadaku.

“Terima kasih, Tomoki-kun,” gumamnya.

“Um, Anda baik-baik saja?”

“Aku tahu sudah terlambat untuk mengatakan ini, tapi aku tetap ingin menjadi panutan yang baik untukmu. Aku serius. Dan aku… Aku… hiks!”

Bendungan telah jebol, dan dia sekarang menangis. Kurasa itulah sebabnya dia menempelkan dirinya ke arahku: karena dia tidak ingin aku melihat wajahnya.

“Biarkan aku tetap seperti ini lebih lama lagi, kumohon,” ucapnya sembari cegukan di antara isak tangis.

“Tentu saja.”




Aku benar-benar tidak tahu bagaimana perasaannya tentang seluruh cobaan ini—toh tidak sepenuhnya. Hal terbaik untuk dilakukan di sini adalah diam saja, biarkan dia melepaskan semua emosinya sebanyak yang dia mau, dan dengarkan apa yang dia katakan.


“Aku harus minta maaf, Tomoki-kun. Aku seharusnya menjadi panutanmu; seseorang yang bisa kamu banggakan. Tapi akhir-akhir ini, yang kulakukan hanyalah mengandalkanmu,” katanya tiba-tiba. Suaranya teredam karena dia masih menempel erat di dadaku, tapi aku bisa mendengar suaranya sedikit bergetar.

“Tidak apa-apa. Sungguh. Maksud saya, saya memang bilang bahwa saya akan ada di sini untuk Anda jika Anda membutuhkannya.”

Dia menarik napas dalam-dalam, mengangkat kepalanya, dan menatap mataku.

“Kata-katamu membuatku menjadi wanita paling bahagia, Tomoki-kun. Lagipula kamu membuatku sadar bahwa pilihan hidupku tidaklah salah.” Pipinya merona merah muda, dan tatapannya yang penuh gairah menusukku. “Terima kasih, Tomoki-kun.”

Kurasa aku telah berhasil menghiburnya, dan pada akhirnya hanya itulah yang paling penting.


Kami tetap berdiam di tempat sedikit lebih lama sebelum kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan pulang.

Kami berkendara dalam diam lagi selama beberapa saat. Aku masih malu dengan apa yang terjadi di sana—maksudku, dia menempelkan dirinya padaku. Dia mungkin sama malunya denganku. Alih-alih berbicara, Makiri-sensei malah menginjak penuh gas. Kami benar-benar ngebut di jalan.

“Kamu pasti lelah setelah semua yang terjadi hari ini. Kamu sebaiknya tidur sebentar,” katanya tiba-tiba.

“Tidak, saya akan tetap terjaga bersama Anda.”

“Tidurlah.”

Perintah singkatnya memberi tahuku semua yang perlu aku ketahui: dia malu.

Aku tidak ingin memperburuk situasi lebih jauh, jadi aku hanya mengangguk. “Oke, kalau begitu saya akan mencoba menutup mata.”

“Bagus. Aku akan membangunkanmu begitu kita tiba. Cobalah untuk beristirahat sebanyak mungkin untuk sementara waktu.”

Aku memejamkan mata dan mendapati diriku tertidur hanya dalam beberapa menit. Sial, kurasa aku benar-benar lelah seperti yang dia katakan.


Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi akhirnya aku membuka mataku lagi. Hal pertama yang kulihat adalah Makiri-sensei memalingkan muka dariku. Aku menatap ke luar jendela dan menyadri bahwa mobil tidak bergerak. Kami berhenti di suatu tempat dekat gedung apartemennya.

“Apakah kita baru saja sampai?” gumamku, masih setengah tertidur.

“Oh, um! Y-Ya! Ya, kita baru sampai! Sebenarnya aku hendak membangunkanmu, tapi kamu terbangun begitu tiba-tiba sehingga aku terkejut! Ya! Ngomong-ngomong, aku akan mengantarmu pulang. Pimpin jalannya!”

“Tidak apa-apa. Rumah saya hanya berjarak lima menit berjalan kaki dari sini. Saya bisa pulang sendiri.”

Aku membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.

“O-Oh, benar. Baiklah kalau begitu. Hati-hati dalam perjalanan pulang…” katanya dengan nada sedih.

Ketika aku berbalik menghadapnya, aku melihat wajahnya diterangi oleh lampu jalan terdekat. Aku tidak menyadari sebelumnya dalam kegelapan malam, tapi wajahnya semerah tomat.

“Kenapa wajah Anda semerah itu? Apakah Anda baik-baik saja?” tanyaku.

Dia melompat karena terkejut. “A-Aku baik-baik saja!”

“Saya rasa Anda sangat lelah setelah semua yang terjadi. Anda tidak memaksakan diri, kan?”

“T-Tentu saja tidak. Aku menghargai perhatianmu, tapi kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku sudah tahu alasan atas hal ini,” jawabnya dengan tatapan tajam.

Yah, setidaknya dia tidak terlihat sakit atau semacamnya. Aku membungkuk ke arahnya dan berkata, “Ngomong-ngomong, saya akan pulang sekarang. Anda juga berhati-hatilah saat pulang, Sensei.”

Aku dapat melihat dia ragu akan sesuatu untuk sesaat. Setelah beberapa detik, dia memanggilku. “Hei, Tomoki-kun, aku akan terus mengandalkanmu sesekali, jadi…”

“Dan saya akan ada untuk Anda. Kenapa Anda mengungkitnya sekarang?”

Dia berhenti sejenak dalam bingung, lalu melanjutkan, “Maksudku adalah bahwa jika kamu membutuhkan bantuanku juga, aku ingin kamu datang meminta nasihat padaku. Oke?”

“Tentu. Lagian saya sudah melakukan itu selama setahun terakhir, jadi…”

Dia memalingkan muka, pipinya masih merah cerah. Aku tidak tahu apakah dia sengaja bertingkah seperti ini, tapi dia benar-benar menggemaskan.

“Um, sebenarnya, Tomoki-kun… Ada satu hal terakhir yang ingin kutanyakan padamu sebelum kamu pergi.”

Saat itulah dia menghantamku dengan sesuatu yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan.



Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Bahasa Indonesia [LN]

There’s no way a side character like me could be popular, right?
Score 9.1
Status: Ongoing Type: Author: Artist: , Released: 2018 Native Language: Jepang
“Karena aku sangat mencintaimu, Senpai!” Namaku Tomoki Yuuji, siswa SMA kelas dua. Aku bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang siswa yang cukup normal, kecuali fakta bahwa semua orang menghindariku seperti wabah karena aku terlihat seperti haus darah. Ike Haruma adalah satu-satunya yang tidak menjauhiku. Dia tipikal ‘pria sempurna’ dalam segala hal; protagonis tanpa cacat yang biasa kau lihat di setiap cerita. Kehidupan di sekolah terus berjalan seperti biasa… sampai suatu hari, adik perempuan Haruma yang super populer itu menyatakan cinta padaku tiba-tiba?! Meskipun dia kemudian mengklarifikasi bahwa perasaannya terhadapku sama sekali tidak romantis dan dia memiliki motif tersembunyi, au akhirnya menerima peran baruku sebagai ‘pacar palsu’ sebagai bantuan untuk Haruma. Percaya atau tidak, saat aku mulai berkencan dengannya, teman masa kecil Haruma yang seperti idol dan guruku yang super cantik ikut terlibat denganku juga! Tunggu sebentar. Ini tidak mungkin skenario rom-com impian yang diatur sendiri untukku, kan?! Maksudku, tidak mungkin karakter sampingan sepertiku bisa menjadi populer, kan?  

Comment

Options

not work with dark mode
Reset