Chapter Empat Belas: Saat Aku Sekolah Dulu
“Um… bisakah kamu pergi, Tomoki-kun?” pinta Makiri-sensei dengan nada kaku.
Aku melakukan apa yang dia katakan, berbalik ke arah pintu keluar. Sayangnya, tepat ketika aku akan memasuki ruang ganti, aku mendengar sepasang pria tua masuk.
“Hah, tempat ini terlihat sepi seperti biasanya.”
“Yah, tidak heran—tempatnya sulit untuk dijangkau. Ditambah lagi, pemiliknya sangat uzur hingga umurnya mungkin sebentar lagi habis.”
Suara mereka pasti terdengar oleh Makiri-sensei juga, karena tiba-tiba aku mendengar percikan air di belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri dari pemandian, berusaha sebaik mungkin untuk menutupi tubuhnya dengan lengan sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa.
“Apa-apaan ini? Ada dua pria lain di ruang ganti wanita?! Apa artinya ini?!” teriaknya, setelah kehilangan ketenangan.
Bagaimana aku harus menangani hal ini? Jika kami pergi sekarang, kami akan menghadapi situasi yang sulit. Aku juga tidak ingin meninggalkannya begitu saja—jika memungkinkan, aku tidak ingin kedua kakek-kakek itu melihatnya.
“Akan kujelaskan nanti,” gumamku buru-buru. “Untuk sekarang…”
Aku berhenti bicara dan melompat ke pemandian air panas bersama Makiri-sensei.
“Huh?!” teriaknya.
Aku membuat punggungnya bersandar di punggungku untuk menyembunyikannya. Dia lebih kecil dariku, jadi bukan itu masalah sebenarnya di sini. Masalahnya lebih ke arah fakta bahwa Makiri-sensei telanjang dan bersandar di dekatku. Berkat selimut uap yang tebal, aku tidak bisa melihat tubuhnya sama sekali. Tetap saja, itu tidak bisa menjadi alasan situasi sulit yang aku alami, dan aku berjuang untuk tetap tenang.
Kedua pria itu masuk ke ruangan, membilas diri, dan masuk ke pemandian terbuka bersama kami.
“Oh, wow, ada anak muda di sini. Nah, itu mengejutkan,” ujar salah satu dari mereka, menyipitkan matanya.
Mereka terlihat berusia setidaknya 70-an. Kami secara teknis duduk bersebelahan, dan mereka tampaknya masih kesulitan melihat wajahku. Ditambah lagi, mereka juga berbicara cukup keras.
Nah, berkat masalah pendengaran dan penglihatan mereka, mereka tidak menyadari Makiri-sensei yang bersembunyi di belakangku.
“Oh? Nah, tunggu sebentar…” salah satu dari mereka agak berteriak, mencondongkan tubuh lebih dekat untuk melihatku baik-baik.
Apakah aku mengacau? Apakah bahasa tubuhku membuatku ketahuan? Tolong, Tuhan, aku mohon di sini—tolong jangan biarkan mereka mengetahuinya.
“Dia pasti seorang anggota baru Yakuza atau semacamnya. Dia tidak berbicara,” simpulnya.
“Hm? Yah, dia memang terlihat seperti itu,” ucap yang lain setuju.
Setelah mengatakan itu, mereka memutuskan untuk mengabaikanku dan berbicara satu sama lain. Kurasa mereka takut pada wajahku? Aku sekarang agak terlalu sibuk mematung untuk menjaga ekspresiku tetap terkendali; tampaknya saat aku gugup, aku terlihat seperti mau membunuh seseorang.
Yah, untungnya mereka tidak menyadari keberadaan Makiri-sensei ada di sini. Kurasa ini bisa dianggap kemenangan bagi kami.
“Bisakah kamu setidaknya menjelaskan apa yang terjadi?” bisik Makiri-sensei di belakangku.
Mempertimbangkan kakek-kakek itu hampir tidak dapat saling mendengar kecuali mereka berteriak, kurasa tidak masalah untuk menjawab dengan pelan.
“Saya melihat kakek yang mengelola tempat ini mengganti spanduk tepat sebelum saya masuk. Saya rasa dia tidak sadar bahwa sudah ada seseorang di dalam,” jelasku. Aku tahu ini terdengar seperti omong kosong sembarang yang aku buat dengan cepat, tapi mudah-mudahan dia mempercayaiku.
Dia tidak sepenuhnya salah jika dia menganggap pemandiannya sedang kosong—seperti yang kubilang sebelumnya, sejujurnya aku terkejut tempat ini belum gulung tikar.
“Asaga, itu agak… Yah, mengingat mereka berdua yang baru saja masuk, dan aku tahu kalau kamu tidak akan begitu saja masuk ke pemandian wanita tanpa alasan yang kuat, maka kamu pasti mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak menyalahkanmu untuk ini,” katanya dengan nada pasrah.
Aku senang dia tidak marah, tapi kenapa hal ini terjadi padaku? Maksudku, ini adalah jenis skenario yang akan terjadi pada protagonis—seseorang seperti Ike. Jadi kenapa aku terjebak dalam skenario canggung ini? Sejujurnya, aku tidak merasa berterima kasih di sini. Malahan, aku lebih menganggapnya sebagai kesialan.
“Aku juga sering menyusahkanmu akhir-akhir ini. Aku seharusnya bertindak seperti panutan bagi kalian anak-anak, bukan seperti… yah, seperti bagaimana aku bertindak,” gumamnya, jelas kesal.
“Bukan salah Anda atas apa yang terjadi di sini,” aku mencoba meyakinkannya. “Ditambah lagi, Anda selalu menjadi panutan bagi kami… tentu saja, kecuali saat Anda mabuk.”
“Hmph! Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya marah.
“Yah, Anda menjadi sangat kikuk saat mabuk. Itu, uh, cukup imut…” Aku berhasil berkata, semerah tomat.
“Kamu benar-benar nakal, Tomoki-sensei,” jawabnya dengan nada lembut.
Aku tidak menjawab, karena saat ini aku terlalu sibuk berusaha untuk tidak meledak karena malu.
“Bukankah tempo hari kamu bertanya soal masa-masa sekolahku dulu? Kamu bertanya begitu, kan?” tanya dia, berbalik untuk mengintip wajahku.
“Saya memang bertanya begitu, tapi Anda menolak untuk membicarakannya.”
“Oh. Nah, masa bodo dengan itu—aku akan memberi tahumu jika kamu mau. Mengingat situasi kita saat ini, tidak banyak yang tersisa untuk disembunyikan.”
Aku benar-benar berharap dia tidak menyebutkan “situasi kami saat ini”, karena aku telah berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkannya. Tapi memang benar bahwa aku sangat ingin mendengarkan apa yang dia katakan.
“Maksud saya, tentu. Jika Anda tidak keberatan,” jawabku.
“Baiklah. Mari kita lihat. Mulai dari mana, ya…? Yah, ibuku meninggal ketika aku masih sangat kecil. Ayahku harus membesarkanku seorang diri, yang menurutku itulah yang membuatnya terlalu protektif terhadapku. Itulah salah satu alasan aku masuk ke sekolah khusus perempuan,” jelasnya.
“Oh, begitu ya,” aku berhasil menjawab, tidak benar-benar tahu harus berkata apa lagi.
“Aku selalu tahu bahwa ayahku bertindak seperti itu karena cinta dan perhatiannya padaku. Itulah sebabnya aku tidak pernah benar-benar menentang keputusan atau tuntutannya seumur hidupku. Aku tidak pernah benar-benar memiliki keinginanku sendiri tumbuh, jadi aku memutuskan untuk mengikuti gaya hidup ketat yang diterapkan ayah untukku. Aku ingin menyenangkannya, maksudku… ingin dia bangga padaku. Nah, pada akhirnya, semua yang dihasilkan dari itu hanyalah sebuah pendidikan tanpa teman atau rekan untuk diceritakan. Begitulah. Cukup menyedihkan, kan?”
Makiri-sensei berhenti dan bersandar padaku, membuat wajahku memerah seperti lobster. “Punggungmu sangat lebar, Tomoki-kun—itu sangat mengingatkanku pada punggung ayahku. Ketika aku masih sangat kecil, kami akan mandi bersama, dan aku akan membasuh punggungnya. Aku berharap aku bisa menjadi orang dewasa yang selayaknya. Seseorang dengan lebih… emosi, mungkin. Seseorang yang lebih lembut dengan orang lain. Apakah kamu tahu maksudku?”
Apa yang dia bicarakan? Dia menyelamatkanku berkali-kali. Ditambah lagi, dia baru menjadi guru selama lebih dari setahun sekarang. Mungkin ini hanya ungkapan rasa tidak percaya dirinya—ketakutannya atas tidak bisa menjadi apa yang dia klasifikasikan sebagai “orang dewasa normal.”
“Anda memang orang yang tegas, tapi saya tidak akan menganggap Anda tidak punya emosi atau semacamnya. Jangan merendahkan diri Anda seperti itu,” kataku sambil berbalik sedikit untuk melihat wajahnya. Aku sangat peduli padanya, jadi menyakitkan bagiku melihatnya terlihat sangat sedih.
“Kamu tidak perlu mencoba menghiburku. Aku baik-baik saja, sungguh.”
“Bukan itu yang saya coba lakukan di sini. Percayalah pada diri Anda sendiri! Lebih percaya dirilah!” teriakku. Ups, kurasa aku baru saja kehilangan ketenanganku sejenak. Baiklah, karena aku sudah terlanjur mengatakan pendapatku, sebaiknya aku memperkuat argumenku selagi masih bisa. “Menurut saya, Anda adalah panutan yang Anda cita-citakan. Anda adalah orang baik yang adil kepada semua orang. Tentu saja, itu tidak berlaku saat Anda mabuk, tapi tetap saja.”
Dia menatapku kaget sesaat, lalu cekikikan. “Kamu benar-benar nakal, sumpah. Tapi, terima kasih atas kata-katamu—kata-kata itu sangat berarti bagiku. Aku akan berusaha untuk lebih percaya diri, Tomoki-kun.”
Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa kakek-kakek itu telah pergi. Kapan mereka pergi? Dengan tidak adanya mereka, kami keluar dari pemandian secepat mungkin.
☆
Aku dan Makiri-sensei berhasil lolos dari kesulitan itu tanpa menimbulkan masalah. Setelah kami berganti pakaian, kami kembali ke ruangan tempat teman-temanku berada.
“Oh! Halo, Makiri-sensei! Kebetulan sekali! Saya tidak tahu Anda ada di sini juga!” seru Kana kaget saat dia melihat kami berdua memasuki ruangan.
Perhatian semua orang beralih ke kami.
“Ya, sungguh mengejutkan,” katanya mengikuti alur. “Aku kebetulan bertemu Tomoki-kun tepat setelah aku selesai mandi.”
“Mau bermain dengan kami, Sensei?” tanya Ike.
Makiri-sensei menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Tidak, terima kasih. Aku akan pulang sekarang. Kalian tetaplah di sini dan bersenang-senanglah.”
Dan dengan sikap elegan dinginya yang biasa, dia meninggalkan ruangan.
“Sialan, bung, dia sedingin biasanya,” gerutu Asakura begitu dia yakin Makiri-sensei sudah pergi. “Akan menyenangkan untuk dekat dengannya melalui beberapa pertandingan. Ditambah lagi, dia seksi—maksudku, melihatnya baru keluar dari pemandian agak merangsang, kalian paham maksudku, kan?”
“Aku tidak menyangka dia datang ke tempat seperti ini sendirian di akhir pekan,” tambah Touka. “Maksudku, kita pasti mengira dia datang bersama pacar atau semacamnya. Ataukah mungkin dia datang ke sini untuk menyendiri? Ahh, itu hanya, kayak… bagaimana mengatakannya, ya? Itu sangat dewasa! Aku menyukainya!”
Aku ingin mengatakan sesuatu soal menganggap dia punya pacar itu tidak sopan, tapi aku berusaha menahan diri. Aku akui bahwa sulit untuk tidak berpikir begitu, mengingat betapa menariknya dia.
“Jangan katakan itu di depannya, maka kita akan baik-baik saja. Kita tidak ingin dia menjadi depresi karena itu,” aku malah bergumam, tidak bisa menahan diri.
“Apa maksudmu dengan itu, Senpai?” tanya Touka, menatapku seolah-olah aku terlihat tidak sehat.