Cerita Tambahan Satu: Final Sword
Ini hanyalah hari Minggu musim panas lainnya. Aku sedang mengambil beberapa barang di minimarket saat kebetulan bertemu dengan Makiri-sensei, yang mengenakan pakaian kasual.
“Oh, Tomoki-kun. Kebetulan sekali.”
“Selamat pagi. Ya, sungguh kebetulan.”
“Apakah kamu berencana membayar semua itu dengan dompet digitalmu? Aku tahu aku mungkin tidak boleh terlalu mencampuri urusan orang lain, tapi cobalah untuk menggunakannya dengan bijaksana jika bisa,” katanya ketika dia melihatku membayar di kasir.
“Tidak apa. Saya sebenarnya hampir tidak pernah menggunakan ponsel untuk membayar apa pun selain untuk keperluan sehari-hari. Lagian limit-nya hanya seribu yen, jadi begitulah. Saya bahkan tidak bisa menghabiskannya untuk game seluler meskipun saya mau.”
“Oh, begitu ya. Aku ingat kamu pernah bilang padaku tempo hari bahwa kamu bukan ‘gamer’ yang aktif, tapi apakah ada game yang sesekali kamu mainkan?”
“Ya, memang ada beberapa, tapi seperti yang Anda bilang, bermain game bukanlah hobi saya. Tapi ada satu game yang saya benar-benar tertarik untuk mencobanya, yang disebut Final Sword.”
“Oh, sepertinya aku tahu yang itu. Aku telah melihatnya disebutkan di beberapa artikel, dan ditampilkan di The Lord of Entertainment tempo hari. Pembawa acaranya, Nori Janai, juga berkata bahwa dia berpikir untuk mencoba game itu.”
“Ya. Saya ingat pria itu pernah streaming di Twit. Itu mengeluarkan sensasi yang sangat bikin merinding, jadi saya harus mencobanya,” jawabku sambil mencoba memaksakan senyum.
Makiri-sensei berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku… Sejujurnya, aku sendiri sedikit tertarik dengan game itu. Jika kamu tidak keberatan, bisakah kamu menunjukkan padaku seperti apa gameplay-nya?”
Wajahnya terlihat memerah, dan itu tidak mengherankan. Itu bukanlah sesuatu yang biasanya diminta oleh seorang guru pada salah seorang muridnya.
“Tentu saja bisa.”
“Itu… Lega rasanya. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat terdekat sehingga kita dapat mencobanya di sana?”
Aku pun mengangguk tanpa kata.
☆
Kami menemukan restoran keluarga terdekat dengan tempat duduk yang lapang, nyaman dan dapat memesan minuman isi ulang tanpa batas. Aku menyibukkan diri dengan membeli game menggunakan dompet digital-ku dan mengunduhnya di ponsel. Lalu aku dan Makiri-sensei memesan minuman.
“Oke, aku akan memulai game-nya sekarang,” ucapku. Aku menempatkan diriku di depan Makiri-sensei dan mengarahkan ponselku ke arahnya agar dia bisa melihat layarnya dengan lebih baik.
Dia menyipitkan matanya sedikit dan berkata, “Masih agak sulit untuk melihat layarnya.”
Setelah mengatakan itu, dia berdiri dan duduk tepat di sebelahku, membawa aroma parfum yang manis.
“A-Apa ada yang salah?” tanya dia.
“Oh, bukan apa-apa. Saya hanya berpikir tentang bagaimana Anda bisa duduk di sebelah saya, dan, yah…”
“Apa?! Yah, a-aku hanya ingin…” dia terdiam, dengan panik menggelengkan kepalanya yang merah padam.
“Anda pasti sangat tertarik dengan game ini jika Anda sampai mau duduk sedekat ini dengan saya. Apakah Anda berpikir untuk membelinya jika game ini kelihatannya bagus?”
“Mungkin begitu,” gumamnya dengan wajah datar. Hah? Ke mana perginya semua rasa antusiasmenya itu? Apa yang terjadi?
Bagaimanapun juga, aku mulai bermain game. Sejak awal, teks game, dialog, dan terminologi sepertinya ditulis oleh remaja edgy lebay. Bos pertama yang aku hadapi adalah sejenis monster yang terlihat seperti kantong. Sayangnya, hitbox-nya hampir tidak masuk akal, dan bilah HP-nya sangat kacau dan diimplementasikan dengan buruk sehingga tidak bergerak sama sekali meskipun aku sudah menyerangnya beberapa kali.
Setelah apa yang terasa seperti keabadian berlalu, sesuatu akhirnya terjadi.
“Mati. Game over,” gerutuku, lelah dan frustasi dengan game-nya. Yah, setidaknya itu memenuhi harapanku. Setelah aku mendapatkan game over lagi yang menambah jumlah kematianku, aku menutup game tersebut. “Jadi bagaimana, Sensei?”
Aku melihat ke arahnya, dan dia mengangkat kepalanya pada saat yang bersamaan. Mata kami bertemu, dan aku menyadari betapa dekatnya wajah kami satu sama lain. Sungguh situasi yang canggung. Aku merasa sangat gugup saat ini, tapi Makiri-sensei tampak tenang seperti biasanya.
“Kurasa setelah menyaksikanmu memainkannya, aku tidak akan membelinya. Tetap saja, aku sangat menikmati menghabiskan pagi ini bersamamu,” katanya dengan senyum yang menenangkan.
“Yah, saya rasa itu setidaknya satu hal positif yang saya dapatkan dari membuang-buang uang saya untuk game ini.”
“Kamu ‘rasa’?! Hmph!” serunya, menyilangkan tangannya dengan ekspresi tidak senang.
Tunggu, kenapa dia tiba-tiba marah? Bisakah seseorang memberi tahuku apa yang sedang terjadi?
☆
Aku akhirnya terus memainkan game tersebut sampai aku mengalahkannya. Meskipun ada beberapa kekurangan, aku sebenarnya cukup menikmati game-nya. Aku menceritakan semuanya pada Makiri-sensei, tapi—anehnya—dia sepertinya tidak terlalu antusias dengan game itu lagi.