[LN] Psycho Love Comedy Volume 4 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Sayap-Sayap Patah / "Fear, and Loathing for Loss"

Adegan 2 – Sayap-Sayap Patah / “Fear, and Loathing For Loss”


13 Agustus (Selasa) Cerah

Hari ini, aku hampir mati kelaparan.

Tanpa pilihan lain aku harus keluar tapi, kenapa aku diganggu begitu aku meninggalkan kamar?

Itu adalah Michirou-kun yang selalu berbicara tentang lengan kirinya.

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

Tepat saat aku tidak tahu harus berbuat apa, Bob-chan datang untuk menyelamatkanku.

Chihiro-chan juga ada di sana.

Lalu kami berempat nongkrong bersama (Michirou-kun ikut).

Kami makan dan mengerjakan PR bersama.

Juga mengobrol tentang banyak hal.

Chihiro-chan hampir memakanku beberapa kali.

Untungnya Bob-chan menyelamatkanku.

Michirou-kun menggunakanku sebagai perisainya berkali-kali.

Orang-orang ini sangat aneh.

Tapi bersama mereka itu menyenangkan.

Semoga besok seperti hari ini.



“Selamat pagi, semuanya! Apakah kalian semua tidur nyenyak tadi malam? Foosh–”

Keesokan paginya. Setelah melipat futon mereka, Kyousuke dan rekan-rekannya disambut dengan kedatangan Renko, yang dipimpin oleh dayang. Seperti biasa, di pagi hari Renko sangat bersemangat.

Tidak seperti Kamiya bersaudara yang masih memakai piyama, dia telah berganti memakai tank top dengan jeans robek-robek. Dengan limiter yang juga dipasang dengan benar, pakaiannya yang biasa sudah terpasang.

“……Pagi.”

“Selamat pagi, Renko-san!”

Mata Kyousuke masih mengantuk sementara Ayaka menyapa dengan penuh semangat. Renko berkata “ya ampun?” dan memiringkan kepalanya. Rambut konyol di atas kepalanya bergetar beberapa kali.

“Kau kelihatannya masih ingin tidur, Kyousuke. Bukankah kau langsung pergi tidur setelah tadi malam?”

“Umm, tidak–”

“Meskipun kita selesai pada tengah malam, aku baru tertidur saat fajar.”

Karena terbangun pada jam 7 pagi, Kyousuke sebenarnya hanya tidur selama tiga jam. Menggosok kelopak matanya yang berat, dia menguap.

“Ini semua salah Ayaka karena tidak membiarkanku tidur.”

“Ehehe, sudah lama sekali sejak Ayaka tidur bersama Onii-chan, makanya! Ayaka benar-benar harus menikmatinya, jadi begitulah.”

“Ehhhhhhhhhhhhhhhhh!? Apa yang kalian dua bersaudara lakukan!?”

“Kusukusu. Rahasia. Bahkan Renko-san tidak boleh diberi tahu!”

“……Mencurigakan.”

Sebenarnya tidak ada yang mencurigakan. Mereka hanya mengobrol sambil berbaring.

Setiap kali Kyousuke akan tertidur, Ayaka akan menepuk pipinya. Keduanya berbagi selimut, sedekat biasanya. Kadang-kadang, adiknya itu akan meminta kontak yang sedikit intim–Meskipun Kyousuke tidak sepenuhnya tidak peduli, dia merasa bahwa dia memiliki hati nurani yang bersih.

Mengesampingkan Renko yang sepertinya memiliki masalah besar dengan itu, Kyousuke bertanya pada dayang di ambang pintu.

“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Eiri? Apakah dia masih tidur?”

Dayang itu menggelengkan kepalanya yang di tutup topeng Noh dan berkata dengan gaya formal:

“Tidak. Saya telah memanggilnya barusan. Dia seharusnya datang sekarang.”

“…Begitu ya. Lalu bagaimana kalau kita menyegarkan diri?”

“Ya!? Renko-san, kau pergi dan lakukan senam radio itu dulu, oke?”

–Tiga puluh menit berlalu.

“…….Dia masih belum ada di sini.”

“Tentu. Apa yang dia lakukan?”

“Satu, dua, tiga? Empat!”

Kyousuke dan Ayaka baru saja menggosok gigi, menyegarkan diri dan berganti pakaian. Senam radio Renko telah mencapai putaran kelima tapi masih belum ada tanda-tanda Eiri akan muncul. Apakah dia menghabiskan waktu untuk merapikan diri?

Kembali setelah membawa pergi futon, dayang itu melihat sekilas ke sekeliling ruangan dan berbicara:

“Eh, jadi Eiri-sama belum datang? Beliau mungkin kembali tidur. Saya akan memanggilnya lagi.”

“TUNGGU!”

Renko menghentikan senamnya dan memanggil dayang yang akan pergi itu.

“Jawab aku, apakah kau sedang menuju kamar Eiri sekarang?”

“Ya, Anda benar.”

“Kalau begitu tolong tolong! Aku juga ikut, oke?”

“Jangan menyusahkan orang lain. Selain itu, bukankah Eiri benar-benar membenci hal itu–?”

“Aku juga, aku juga, aku juga? Ya, Ayaka ingin pergi juga! Ayo kita bangunkan Eiri-san!?”

Ayaka menyela Kyousuke dan menyetujui permintaan Renko.

Dayang itu setuju.

“Sesuai kehendak Anda. Kalau begitu saya akan memimpin jalan.”

“Hei hei…”

Dayang itu mulai berjalan bersama Renko dan Ayaka yang mengikuti dengan gembira.

Terlambat untuk memanggil mereka agar berhenti, Kyousuke yang tertinggal, menggaruk kepalanya.

“…Sheesh. Jangan salahkan aku jika kalian dimarahi, oke?”

Dia bergumam pada diri sendiri sebelum berlari untuk mengejar Renko dan Ayaka.

Ngomong-ngomong, Kyousuke akan ikut mengawasi mereka berdua dan mencegah mereka lepas kendali, daripada ingin tahu tentang seperti apa kamar Eiri–kamar perempuan–terlihat.

“Kalian berdua dengarkan baik-baik. Jangan melakukan hal aneh setelah memasuki kamar, oke?”

“Bukankah sudah jelas?”

“Tidak juga.”

“Foosh–Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Benarkan, Ayaka-chan?”

“Itu benar. Kami hanya ingin tahu secara detail seberapa berantakannya kamar itu, seperti apa gaya perabotannya, dan apakah ada hal-hal yang mencurigakan atau memalukan.”

“T-Tolong, aku mohon pada kalian untuk menjaga sikap…”

…Setelah Ayaka mulai menggeledah, tidak ada yang lolos darinya.

Dulu, majalah gravure Kyousuke, disembunyikan di tempat yang dia yakini aman, ditemukan dalam sekejap–

‘Bagaimana kalau ini menjadi laukmu untuk malam ini, Onii-chan?’

Dengan cara ini, dia pucat ketakutan seperti hantu ketika dia melihat majalah di atas meja makan. Dasar nasib, orang tua mereka juga ada di rumah malam itu. Kyousuke bahkan tidak ingin mengingat tragedi apa yang terjadi malam itu, mengarsipkannya sebagai insiden “Ini kesalahan gravure idol sehingga aku tidak punya lauk untuk makan malam itu.”

Salah satu dari sedikit kasus trauma mental Kyousuke yang tidak dapat disembuhkan.

Saat dia menderita dari ingatan masa lalu ini, mereka mencapai tempat yang cukup jauh dari kamar tamu. Rombongan itu tiba di pojok rumah utama, jauh lebih mewah dari kediaman sekunder.

“Kita sudah sampai.”

Di depan pintu masuk yang tertutup rapat, Kyousuke dan rekan-rekannya berhenti. Ruangan itu sunyi. Mereka tidak bisa mendengar sedikit pun suara yang datang dari dalam. Kemungkinan besar, Eiri masih tertidur…

Renko menempelkan telinganya ke pintu geser dan membuat tanda “OK” pada Ayaka yang berdiri di samping. Ayaka kemudian menjawab dengan “siap” dan mereka melihat ke arah Kyousuke bersamaan.

Mereka sepertinya meminta izinnya.

Kyousuke menutup matanya dan mengambil nafas dalam-dalam.

–“Serang.”

Dia mengangguk, menggerakkan ibu jarinya dan menunjuk ke ruangan.

Renko dan Ayaka masing-masing berdiri di kiri dan kanan. Mereka membuka pintu segera setelah menerima perintah. Saat berikutnya, pemandangan tertentu memasuki bidang penglihatan Kyousuke–

Dimensi yang berbeda.

Itu adalah dunia fantasi yang dipenuhi dengan warna putih dan merah muda.

“ “ “……..” ” ”

Seseorang membeku begitu mereka masuk–Renko dan Ayaka. Berdiri di tengah pintu geser yang terbuka, menjadi komandan yang sebenarnya, Kyousuke menyilangkan tangannya. Mulutnya yang menganga lebar tidak bisa menutup.

Pemandangan di depan matanya ini adalah ruangan Jepang yang telah didekorasi dengan gaya barat. Lantainya dilapisi karpet putih bersih sedangkan dindingnya dilapisi wallpaper merah muda.

Perabotan seperti meja atau lemari semuanya berwarna seragam, dihiasi dengan aksesoris lucu dan karakter kartun. Sedangkan untuk atapnya, bahkan lampu gantungnya pun bergaya berkilauan.

Ruangan itu dipenuhi dengan bau jelita yang memusingkan. Di sudut kamar yang seperti kamar tuan putri ini–

“…Zzz… Zzz.”

Suara nafas hidung yang ringan berasal dari tempat tidur kanopi tapi pemandangan itu tertutup oleh tirai renda putih. Meski pemandangannya tidak jelas, tidak diragukan lagi, targetnya jelas-jelas ada di sana.

“ “ “——” ” ”

Kyousuke dan yang lainnya saling bertukar pandang dalam diam lalu jalan berjinjit ke sana.

Memimpin jalan, Renko meraih tirai dan perlahan mengangkatnya.

“…Shuko.. Shuko… Hmm…”

Tebakan mereka ternyata benar. Mengenakan piyama, Eiri sedang tidur di sana.

Tidak menyadari Kyousuke dan yang lainnya yang masuk tanpa izin, dia bernapas dengan damai.

Dia juga memeluk boneka beruang raksasa.

“…Dasar sok.”

Ayaka langsung mengejek begitu dia melihat pemandangan itu.

Dari samping, Eiri memeluk boneka yang hampir seukuran anak kecil, benar-benar tertidur lelap. Renko mencolek pipinya dengan hati-hati tapi Eiri tidak bangun. Bahkan ketika wajahnya ditampar, dia tidak bangun.

Dia tidak bangun meskipun wajahnya dicubit ke sana kemari. Tidak ada reaksi apapun yang terjadi.

“Shuko– …Sepertinya dia tertidur lelap.”

“…Ya. Ngomong-ngomong, apakah dia benar-benar Eiri? Mungkinkah dia hanya seseorang yang terlihat sangat mirip?”

“Hmm, aku juga terpikir begitu. Mungkinkah dia ini saudara kembarnya atau semacamnya…”

Kyousuke dan Renko memasang ekspresi mereka berurutan, melihat makhluk yang mirip dengan Eiri.

Bulu mata panjang di kelopak matanya. Untaian rambut merah karat menempel di wajahnya.

Bibirnya setengah terbuka, air liur transparan menggantung di sisi mulutnya. Wajahnya menempel erat di wajah boneka beruang itu sementara tangannya berpelukan dengan kuat.

Mungkin bergerak dari tempatnya saat dia sedang tidur, bahkan keliman dasternya tergulung ke atas, memperlihatkan pahanya yang indah. Tipisnya kain daster menambahkan lebih banyak bensin ke api, hampir menyingkapkan banyak bagian.

Eiri tidak akan pernah membiarkan dirinya terlihat seperti ini saat bangun. Saat ini, dia benar-benar lengah dan rentan.

“U-Umm… Apakah kita akan membangunkan… nya?”

“Rasanya dia akan membunuh kita di tempat.”

“K-Kau benar… Anggap saja kita tidak melihat apa-apa dan pergi?”

“Ayo lakukan itu! Kita tidak melihat apa-apa, tidak tahu apa-apa. Kamar Eiri tidak ada. Mari serahkan sisanya pada para pelayan dan segera pergi–”

“BANGUN DAN BERSEMANGATLAH, EIRI-SAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN!”

Mengesampingkan Kyousuke dan Renko yang ketakutan, Ayaka berteriak sekeras yang dia bisa.

“……Hmm… mmm…?”

Diteriaki dengan marah oleh seseorang, Eiri bergerak sedikit.

“Apa yang kau lakukan? Bukankah itu akan membangunkannya!? Itu sangat berbahaya, bisakah kau berhenti bertingkah sembrono!?”

“Ya, benar sekali, kita sudah mati sekarang! Ayo lari, oke!? Hei, ayo lari sekarang!?”

Bahkan ketika Kyousuke dan Renko menyuruhnya untuk berhenti, Ayaka sepenuhnya mengabaikan mereka.

Menggoyang-goyangkan bahu Eiri, dia berteriak lebih keras.

“Matahari sudah terbit, ini sudah pagi lho~~~~ ? Berapa lama lagi kau akan tidur!? Cepat bangun, bangun dan bersemangatlah, waktunya keluar dari kasuuuuuuuuur!”

Namun, Eiri menolak untuk bangun. Dia mengerutkan kening, berkata “nnnnnnnnn~~~~” dan memeluk boneka itu erat-erat.

Kyousuke bisa mendengar suara dari sesuatu yang muncul di pelipis Ayaka.

Dia membidik lengan lembut boneka beruang itu, meraihnya dengan kedua tangan untuk menariknya dengan kasar–

“Heyyyyyyyyyyyyyyy, berhentilah bersikap begitu menyebalkan! Bukankah aku sudah meyuruhmu untuk banguuuuuuuuuuuuun!?”

Ayaka mulai menarik dengan keras. Eiri melawan pada awalnya, tapi dalam keadaan setengah sadar, boneka itu perlahan-lahan terlepas dari genggamannya dan akhirnya dicuri.

Kemudian terjadi di saat berikutnya.

“…Puutaro?”

Kelopak mata Eiri sedikit terbuka. Membuka matanya, menyeka air liur dari sisi mulutnya, dia kemudian menyadari hilangnya boneka beruang di tangannya. Tiba-tiba, ekspresi wajahnya berubah menjadi kegelisahan.

Dia duduk dengan kuat dan mulai mengamati kasur tempanya tidur—

“Puutaro!? Kemana kau pergi, Puutaro!? Jawab aku, Puuta–”

“ “ “——” ” ”

Ketika dia melihat Kyousuke dan yang lainnya berdiri di sana, tertegun di tempat, dia langsung membeku.

Warna darah memudar dari wajah Eiri, berubah dari putih menjadi pucat mengerikan.

“Ap… A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-Ap…”

Bibirnya gemetar sementara tubuhnya perlahan memerah dari bawah ke atas…

“Ugyaaaaaaah! Kalian semua, kenapa kalian ada di sini!?”

Seluruh wajah Eiri menjadi merah padam. Saat berikutnya, dia berteriak dengan nyaring.

Memeluk bantalnya, lari ke tepi tempat tidurnya, dia mengalihkan pandangannya dengan cepat–

“Eh, tidak… t-t-t-t-tidak mungkin, bagaimana ini bisa terjadi!? Bagaimana orang-orang ini bisa muncul di kamarku!? Terlalu aneh, ini terlalu aneh, b-b-b-bagaimana… Tunggu. Beri aku waktu, tolong! Aku perlu berpikir, berpikir… Bagaimana ini bisa terjadi, bagaimana ini bisa terjadi, apa yang terjadi!? Ahhhhhhhhhhhhhhhhh…”

Sementara itu, Kyousuke, Renko dan Ayaka terkejut sendiri.

Menatap Eiri yang berjuang mati-matian, memeluk bantalnya, mereka berdiskusi–

“…Puutaro? Jadi beruang ini dinamai dengan karakter seperti itu?”

TL Note: Digunakan sebagai nama boneka beruang di sini, Puutaro juga bahasa gaul untuk gelandangan atau pengangguran.

“Mungkin tidak, itu seharusnya hanya nama boneka beruang itu. Eiri-san mungkin menamainya sendiri, kan?”

“Ehhhh!? Aku tidak percaya kau menamai bonekamu.. Berapa umurmu sekarang?”

“Oooooooh… Hentikan itu! Berhentilah menatapku seperti itu!”

Eiri tampak seperti ingin melepaskan diri dari tatapan mereka, membenamkan wajahnya ke bantal.

“Oh? Sepertinya kau sangat menyukainya, si Puutaro ini… Memeluknya saat tidur.”

“Sungguh sok. Tapi memang benar, sangat nyaman memeluk sesuatu yang lembut dan halus… Lembut dan halus.”

“Arghhh, tidak adil! Biarkan aku memeluknya juga!”

“Hei… Apa yang kalian lakukan tanpa izin!? Kembalikan Puutaro-ku!”

“Hyah!?”

Eiri mendongak dengan niat membunuh dan merebut Puutaro dari tangan Ayaka. Setelah berhasil mendapatkannya kembali, dia mengembalikan Puutaro ke posisi semula dan memeluknya erat.

“…Kasarnya,” kata Ayaka dengan cemberut.

“Kau terlalu suka memonopoli, Eiri-san. Kau bertingkah seperti singa pemarah yang dagingnya baru saja dicuri, lho? Seberapa dalam kau menyukai benda ini, si Puutaro ini?”

“D-Diam!”

Wajahnya memerah, Eiri mengencangkan pelukannya dan menatap Ayaka.

“Ya, aku mencintai Puutaro! Tanpa dia, aku tidak bisa tidur nyenyak! Maaf karena terlalu kekanak-kanakan, oke!? Ini salahku karena sok, oke!? Ya ya, aku yang harus disalahkan, aku selalu disalahkan… Jadi memangnya menyukai boneka bisa menyinggung perasaan orang lain!? Kayak itu penting saja, siapa peduli!? Ini sangat lucu, masalah dengan itu!? Sekarang apa? Memasuki kamar seseorang tanpa izin dan menertawakannya, apa yang kalian inginkan!? Matilah saja sana!”

Eiri meraung dan berteriak liar, matanya benar-benar terbuka.

Kelopak matanya, yang biasanya setengah tertutup, tidak menunjukkan tanda-tanda terkulai sama sekali. Dengan kata lain, Eiri selalu terlihat mengantuk di sekolah karena dia tidak punya boneka ini di asrama…?

“…Aku benar-benar ingin mati.”

Di dalamnya, didekorasi dengan kebanyakan warna putih dan pink

Eiri menangis dengan wajah terkubur di dada Puutaro sementara Kyousuke dan yang lainnya mengawasinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

× × ×


“…Argh, sangat menyebalkan, ini yang terburuk. Mutlak yang terburuk.”

Di meja makan di aula besar, Eiri menggerutu dengan sangat tidak senang, setelah berganti pakaian kasual. Nasi multigrain, acar ringan, ikan panggang, sup miso, lauk pauk–Sarapan disajikan di atas meja tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan menggerakkan sumpitnya.

Sejak duduk, dia tetap dalam depresi, memegangi kepalanya.

“Aku tahu aku akan diejek, itulah sebabnya aku ingin menyembunyikannya… Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa kalian datang hanya untuk membangunkanku? Ahhhhhhh… Aku ingin menghilang. Benar-benar ingin menghilang~~~~~~~~!”

Eiri menggeliat dalam penderitaan. Melihat itu, Kyousuke tersenyum kecut.

Sambil mengaduk natto-nya, Kyousuke memberikan kata-kata yang menghibur padanya.

“Sebenarnya, kau tidak perlu terlalu depresi. Boneka itu sangat lucu. Sama untuk gaya kamarnya, itu sangat feminim. Secara pribadi, menurutku tidak masalah.”

“Ehhhhh– …Benarkah?”

Ayaka langsung bereaksi sesaat setelah Kyousuke mencoba menghibur Eiri.

Menatap buku catatannya di atas meja, Ayaka mulai membaca isinya.

“Sebuah boneka beruang raksasa, setinggi satu meter, bantal berbentuk hati, jam alarm stroberi, indirect lightning berbentuk bunga, kotak perhiasan yang berkilauan, berbagai macam junk food, setumpuk manga shoujo di rak buku–”

“Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh… Aku tidak dengar–”

Eiri menutupi telinganya dengan tangan.

“…Ini sungguh bermacam-macam setelah menambahkan semuanya. Berlebihan dengan hal yang kecewek-cewekan. Manisnya memuakkan, manis sampai buat mulas. Ayaka secara pribadi berpikir itu mengerikan dan tidak baik-baik saja! Bagaimana menurutmu, Renko-san?”

“Eh, aku? Y-Yah… Sebenarnya, itu tidak buruk. Yeah.”

Renko menjawab dengan ragu-ragu lalu menyeruput minuman jeli miliknya.

Kyousuke sudah mengira dia akan membuat masalah besar dari hobi kecewek-cewekan Eiri tapi tidak mengira kalau responnya adalah rasa malu yang biasa.

Tidak peduli seberapa tidak sensitifnya, Renko tetap tahu bahwa dia tidak bisa mengolok-olok topik ini dengan mudah. Respon Renko membuat Eiri semakin merasa malu, seluruh tubuhnya meronta.

“Hentikan! Jangan coba-coba menghiburku juga, oke!? Kalian seharusnya cekikikan dan mengejekku saat ini, kan? Kenapa kalian sungguh-sungguh mencoba untuk memikirkanku… Tidak, tidak, tidak, tidak! Ini membuatku merasa lebih buruk. H-Hentikan ini… Tolong, jangan ganggu aku…”

“…Kenapa harus malu, Nee-san?”

Kagura telah makan dalam diam. Pada saat ini, dia berkomentar tidak setuju.

Kagura melontarkan pandangan jijik pada Eiri yang lesu.

“Hobi femininmu bukanlah hal baru, kan? Bukankah dulu Nii-sama dan yang lainnya mengejekmu sepanjang hari?”

“Huh?”

Tamparan tiba-tiba itu menyebabkan Eiri mendongak dengan sigap.

Kagura dengan anggun makan nasi sambil berbicara:

“Tidak puas hanya dengan merombak kamarmu, kau bahkan mengubah caramu berpakaian saat itu, kan? Secara pribadi, aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan, Gotik & Lolita apalah itu… Sesuatu seperti itu? Aku ingat kau dulu memakai gaun dengan banyak renda, membuat dirimu terlihat aneh. Memegang payung bahkan saat tidak hujan… Selera yang tidak bisa dimengerti. Kau tidak memakainya lagi, kan, Nee-san?”

“Ap–”

Mata Eiri terbelalak. Kyousuke dan yang lainnya semua menatapnya.

…Berpakaian Gothic Lolita di rumah murni bergaya Jepang? Meskipun mungkin terlihat bagus dengan penampilannya, tidak diragukan lagi, imej itu akan sangat berbenturan dengan lingkungannya. Kyousuke membayangkan dia terlihat sangat tidak pada tempatnya di rumah ini.

Pada saat ini, Ayaka bergumam pada diri sendiri: “Sekarang setelah kau menyebutkannya, lemarinya mungkin dikemas dengan berbagai macam gaya…”

“Seperti gaun berenda, rok panniergarter belt… hiasan kepala dan topi, atau bahkan bando bertelinga kucing!”

“Itu benar. Akan baik-baik saja jika dia memakainya untuk kepuasannya sendiri, tapi aku tidak percaya dia secara paksa mendandaniku juga… Sweet Lolita, apalah itu namanya? Membuatku terlihat sangat seperti bayi ketika dia selesai, dan bahkan mengambil banyak foto. Aku masih mengingat semua itu dengan jelas bahkan sampai sekarang. Tidak ada penghinaan yang lebih besar dari itu…”

Mengepalkan sumpit, tangan Kagura mulai bergetar.

Eiri berkata “Hah!?” dan cemberut.

“Kau menyebut itu penghinaan…? Kau-lah yang jelas-jelas bersikeras ingin memakainya, oke!? ‘Sungguh tidak adil, hanya Nee-san yang boleh memakai pakaian lucu’ ‘Kagura ingin berdandan juga~’ Kau bahkan mengatakan hal-hal seperti itu.”

“Apa–”

Kali ini, giliran Kagura yang tidak bisa berkata-kata.

“J-Jangan mengada-ada! Aku tidak ingat hal seperti itu. Jangan mengarang masa lalu, oke!?”

Kagura meletakkan sumpitnya dan menatap Eiri.

“Coba saja kau mengejekku lagi. Awas atau aku akan mengungkapkan fakta bahwa kau pernah menulis novel percintaan sambil membayangkan dirimu sendiri sebagai pemeran utamanya.”

“Apa maksudmu, awas..!? Bukankah kau baru saja mengungkapkannya!?”

Eiri membanting telapak tangannya ke atas meja dan mulai menghadapi Kagura.

“Sekarang kau membuatku marah! Memperlakukanku seperti orang bodoh sepanjang hari… Bukankah kau dulu anak cengeng yang lemah, selalu memanggil “Nee-saa~n?” Dengan ingus mengalir, mengikutiku berkeliling kemana-mana!? Aku tidak ingin dikritik oleh orang seperti itu.”

“Ingus siapa yang ngalir!? B-Bohong… Dan lihat siapa yang bicara, orang yang berkata “Aku terlalu takut untuk tidur sendirian” di malam hari setelah menonton acara horor dan naik ke tempat tidur orang lain?”

“Oh, itu. Aku ingat kalau itu kau, Kagura, bukan aku, tahu? Tapi aku sama sekali tidak takut dengan cerita-cerita horor itu. Kau-lah yang membangunkanku di tengah malam sambil bilang kalau kau ‘terlalu takut untuk pergi ke toilet sendirian’ itulah sebabnya aku harus mengantarmu, kan? Sungguh berani kau mengungkitnya.”

“Guh–”

Kekuatan Kagura langsung melemah. Kata-kata tersangkut di mulutnya. Pipinya merah padam sementara alisnya terangkat. Dia terlihat sangat kekanak-kanakan sesuai dengan usianya.

Selanjutnya, si kembar yang duduk di sebelah Kagura, yang sedang sarapan, saling memandang–

“Ngomong-ngomong, Kagura-oneechan dulu sangat mencintai Eiri-oneechan, kan, Ran-chan?”

“Sepertinya begitu, Ryou-kun, meskipun kenangan sulit didapat. Terasa sangat sulit dibayangkan!”

“Ya, sangat sulit dibayangkan. Sangat mengejutkan, Ran-chan.”

“Yup. Benar-benar mengejutkan, Ryou-kun!”

“Aku tidak mencintainya sama sekali.”

Sementara si kembar dipenuhi dengan imajinasi mereka, Kagura menatap jijik pada mereka.

Dan juga, Fuyou rupanya tidak ada di rumah, pergi keluar pagi-pagi sekali untuk menyambut putra tertuanya yang pulang kerja. Tanpa ada yang bisa diajak bicara, Busujima makan sarapan dalam diam sepanjang waktu.

Tidak ada yang menengahi untuk meredakan situasi.

“Hmph… Siapa yang akan mencintai seseorang seperti Nee-san. Sungguh masa lalu yang memalukan.”

Kagura mengeluh kesal dan mulai makan lagi.

Melihat dia minum sup miso dengan cemberut, Ayaka tertawa.

“Hei, Kagura sampah, kau sebenarnya tsundere kan? Kau benar-benar terlihat seperti hanya bertingkah pemalu.”

“Aku tidak bertingkah malu. Tutup mulut bodohmu, Ayaka brengsek.”

Ayaka dan Kagura menambahkan gelar yang tidak perlu ke nama satu sama lain. Mereka sepertinya saling membenci tapi itu terasa berbeda dari bagaimana Kagura menghadapi Eiri.

Meskipun lidahnya tajam dan tanpa ampun, Kagura akan terlihat sangat hidup saat menceritakan pengalaman masa lalunya dengan Eiri, memberikan kesan seperti dia menikmatinya. Mungkin dia membenci Eiri saat ini, tapi Kyousuke tidak bisa menghilangkan perasaan itu dan membayangkan kakak adik ini rukun di masa lalu–Jadi, interaksi mereka membuat senyuman di wajah Kyousuke.

“…Apa-apaan itu, kau menatap wajah orang lain dan tertawa sekarang?”

“Tidak, tidak apa-apa.”

‘…Ck. Kalian semua sama.”

Kagura mendecakkan lidahnya dan mengunyah acar dengan keras.

Dihadapkan dengan Kagura yang cemberut, Kyousuke memulai percakapan dengannya.

‘Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang ada di pikiranku… Seperti apa cerita novel Eiri sebelumnya, kurang lebihnya?”

“Hmm– Kyousuke… Sepertinya kau benar-benar ingin mati?”

Sesaat setelah Kyousuke mengungkit masa lalu, aura Eiri meneriakkan rasa haus darah. Seketika itu juga, Kagura meletakkan sumpitnya seolah menjawab “pertanyaan bagus’ dan mulai berbicara dengan sombong.

“Oh, kau bertanya tentang karya gadis Nee-san? Judulnya sangat langsung, ‘The Assassin’s Love.’ Novel itu menceritakan seorang pemuda biasa yang menjadi targetnya dan Nee-san sebagai si assassin, jalinan sebuah kisah cinta terlarang–”

× × ×


“……Tak bisa dimaafkan.”

Setelah mengungkit berbagai kisah tanpa ragu-ragu, yang membuat Eiri ingin membenturkan kepalanya ke dinding karena malu, Kagura pergi dengan wajah puas–

Terkapar di atas meja yang telah dibersihkan, Eiri menggeram dengan ganas.

“Kau benar-benar harus membayar untuk ini, Kyousuke.”

“Aku?”

“…..Siapa lagi?”

Dagu Eiri ada di atas meja sementara dia balas menatapnya dengan jijik.

“Aku tidak akan menderita penghinaan seperti ini jika kau tidak melemparkan topik itu padanya tanpa berpikir…. Berhenti melakukan hal-hal yang tidak perlu, dasar idiot. Matilah saja sana.”

Kyousuke sedang menyeruput teh barley di sampingnya, bersantai, ketika dia tiba-tiba ketakutan oleh tatapan kesal wanita itu.

“M-Maaf…. Tapi ceritanya ditulis dengan baik! Eiri telah berkomitmen, tidak sanggup untuk membunuh target, pada akhirnya, dia dengan air mata mengungkapkan perasaannya.”

“Yeah yeah! ‘Sebelum aku bisa membunuhmu, kau sudah masuk ke dalam hatiku (senyum masam)’ adalah kalimat yang bagus, seperti sentuhan tingkat jenius atau semacamnya.”

“Dan orang itu menjawab ‘Tidak sama sekali, akulah yang sudah terbunuh sejak lama olehmu. Pertama kali aku melihatmu, hatiku langsung dicuri (senyum berseri).’ Kalimat ini juga tidak ada duanya.”

“…….”

Komentar Kyousuke membuat Renko dan Ayaka bergabung mengatakan pujian mereka.

Sudut mata Eiri berkaca-kaca.

“Kyousuke~~~~~!?”

“M-Maaf… Aku memilih metode yang salah.”

Dia telah menanyakan pertanyaan sulit pada Kagura sebelumnya karena dia ingin melihat Kagura mengenang masa lalu bersama Eiri–tapi akhirnya malah menginjak ranjau besar secara tidak sengaja.

Dia tidak menyangka akan menggali kenangan yang memalukan seperti itu…

Selain dari karya gadis Eiri, Kagura juga mengungkapkan banyak kejadian masa lalu, hampir mengungkapkan seluruh kehidupan Eiri.

Dengan wajah menghadap ke meja, seluruh tubuh Eiri kekurangan tenaga.

“…Haaah. Hari ini benar-benar bencana.”

Eiri bergumam pada diri sendiri lalu mengangkat dirinya untuk duduk.

Setelah melakukan peregangan di tempat, dia berdiri.

“Selanjutnya, aku mau ziarah ke kuburan… Apa rencana kalian?”

“Kami? Coba kupikir–”

“Petualangan lain di kamar Eiri-san, Ayaka ingin menggali harta karun!”

“Menggali harta karun? Oh, Ayaka-chan, maksudmu naskah asli ‘The Assassin’s Love’!? Bagus, aku juga akan membantu. Jika kita beruntung, kita mungkin akan menggali lebih banyak hal menarik!”

“…Benarkah? Okelah. Aku akan meminta para pelayan untuk menjaga kamarku dengan benar, oke? Mereka akan menjaganya dengan sangat aman sehingga serangga pun tidak akan bisa masuk.”

“ “Eh–” ”

Ayaka dan Renko secara bersamaan berseru dengan kecewa sementara Eiri mendecakkan lidahnya dengan tidak setuju.

“Jangan ‘eh-eh’ padaku. Aku mungkin akan kembali sekitar satu jam lagi. Tidak bisakah kalian menjaga sikap dan menunggu di kamar kalian? Akan sangat merepotkan jika aku harus menggeledah rumah untuk menemukan kalian.”

“ “Eh–” ”

“Seperti yang kubilang, jangan ‘eh-eh’ padaku! Kyousuke, aku serahkan sisanya padamu, oke?”

“Dimengerti. Aku akan mengawasi mereka berdua, jadi jangan khawatir.”

“…Ya, makasih.”

Sebagai catatan tambahan, pengawas kustodian yang seharusnya menjaga mereka tidak ada. Begitu selesai sarapan, dia berkata “Aku akan jalan-jalan” dan pergi.

Dia mungkin berpikir dia bisa memantau mereka secara diam-diam tanpa menggunakan makhluk beracun itu. Bagaimanapun, Busujima jelas lebih suka bekerja sendiri. Atau mungkin dia tidak begitu suka ditemani orang lain.

“–Hmm.”

Pada saat ini, aura Eiri tiba-tiba berubah.

Si kembar, yang awalnya bermain di halaman, berkeliling mengejar kupu-kupu, berhenti bergerak saat ini.

Shishi-odoshi miring karena berat air dan menghasilkan suara ketukan yang menyegarkan.

“Aku pulang.”

Detik berikutnya, seorang pria muncul.

Dia mengenakan hakama merah tua dengan haori merah. Seorang pria muda di usia belasan tahun akhir. Rambutnya merah dan hitam dengan highlight, dengan sisi kanan dikepang. Dia memiliki tindik telinga perak sementara haori-nya diikat dengan rantai perak.

Dengan wajah setampan model, dia tersenyum tipis.

“…..Nii-san.”

“ “Basara-oniichan!” ”

Eiri berbisik pelan sementara si kembar berlari ke arahnya.

Pria yang mengenakan hakama merah tua—Basara–mengusap kepala adik-adiknya secara bergantian dan berkata:

“Sudah empat hari. Bagaimana kabar kalian berdua?”

“ “Baik!” ”

“Haha. Respon kalian sangat selaras.”

Dia menyipitkan mata berwarna tembaga dan menatap ke arah Eiri.

Seketika, senyum Basara lenyap.

Dia menjauhkan tangannya dari kepala Ran dan berjalan menuju Eiri–

“Lihat siapa di sini, Eiri…. Kalau kau, sudah setengah tahun, kan? Rasanya seperti kau telah berubah. Hanya sedikit sih…. Izinkan aku untuk memastikannya, oke!?”

Dia memasuki ruangan dan tiba-tiba berakselerasi sambil menendang lantai tatami.

Basara merentangkan tangannya dan melompat–

“Maaf tapi aku harus menolak.”

Eiri dengan cepat mengelak.

Lengan Basara hanya menangkap udara, menyilang di depan dadanya dalam pelukan kosong.

“…Ck. Sungguh adik yang tidak berperasaan. Pelukan ini tidak akan membuatmu kehilangan tangan atau kaki.”

“Ew. Nii-san, parfummu terlalu bau.”

“Eh. Tidak mungkin, apa kau serius? (Endus endus).”

Terkejut, Basara melebarkan matanya dan mulai mencium bau tubuhnya sendiri.

“Bagiku, sebanyak ini hanya menghasilkan aroma yang samar… Dan juga, ini bukan parfum tapi dupa, lho? Untuk bersantai. Bukankah aroma ini menyegarkan?”

“…Tidak sama sekali. Kau mencolok seperti biasanya, Nii-san.”

“Adapun dirimu, dingin seperti biasanya. Namun–”

Basara berhenti berbicara dan menyilangkan tangan di depan dadanya. Dia mulai memeriksa Eiri dari kepala hingga kaki.

Menggosok dagu dan menyipitkan matanya–

“Kau tidak berubah sama sekali. Masih seksi, ya?”

“…Apa yang kau lihat?”

“Kaki. Paha.”

“Jangan berikan jawaban yang vulgar, oke?”

“Tidak juga, itu… begitu, kan? Hot pants yang kau gunakan mengatakan ‘lihat aku sekarang.’ Bukankah aneh jika menyuruhku ‘berhenti menatapnya’?”

“Huh?”

“Bukankah ini contoh klasik dari itu? Meskipun jelas ingin orang lain melihatnya, tapi terlalu malu untuk memintanya secara langsung, itu sebabnya kau mengisyaratkan dengan pakaianmu daripada mengatakannya, kan? Sungguh adik tsundere yang pemalu!”

“…Apa kau mencoba membuatku kesal, Nii-san?”

“Aku ingin menjilatmu.”

“Matilah saja sana.”

Eiri mengomelinya lalu segera memalingkan wajahnya ke samping.

Basara memejamkan mata, bertepuk tangan dan menjawab “Terima kasih untuk suguhan pertama ‘matilah saja sana’-ku hari ini.” Ketika dia membuka matanya lagi, dia melihat ke arah rombongan Kyousuke, bukan pada Eiri.

“…Ngomong-ngomong, orang-orang ini adalah tamu yang disebutkan tadi, kan? Hmm? Hmm? Aku mengerti. Ini benar-benar–”

Kyousuke, Ayaka, Renko… Tatapan Basara memandang mereka secara bergantian.

Tatapannya tiba-tiba berhenti ketika dia mencapai Renko.

“…….”

Ekspresi wajahnya menghilang. Menyipitkan satu mata, dia mengamati dan berkata:

“…..Kau berada dalam ranah ini, kan?”

Untuk menduga kalau dia akan memahaminya dengan satu lirikan.

“ “Eh?” ” Kamiya bersaudara kaget. Renko tersenyum dengan “foosh” dan bertanya pada Basara.

“Oh? Bagaimana kau bisa tahu?”

“Bagaimana? Hmph… Hal semacam itu bisa dilihat sekilas. Seseorang setingkat kekuatanku bisa melihat semuanya dalam satu tatapan. Bahkan sebagai hitungan kasar, setidaknya tiga digit…. Betapa menakutkannya dirimu untuk memiliki prestasi yang luar biasa seperti itu di usia semuda ini. Sangat jarang bagiku untuk dapat melihat anak-anak luar biasa sepertimu. Darahku belum pernah semendidih ini begitu lamanya.”

“Ap..!?”

–Pria ini bahkan bisa mengetahui jumlah korban Renko?

Kyousuke sangat ketakutan tapi bagian terbaiknya belum datang.

“Tentang kenapa kau memakai topeng, sebenarnya sederhana… Masker gas itu bukanlah imej aneh yang kau inginkan. Itu untuk menyembunyikan wajahmu–Identitasmu yang sebenarnya, kan? Namun, sungguh memalukan… Aku telah mengetahuinya. Aku telah mengetahui semuanya.”

Basara tersenyum dengan arogan.

Menatap Renko dengan seksama–

“Memang, kau bukanlah amatir… Sebaliknya, kau adalah seorang gravure idol yang menyembunyikan wajahnya dengan topeng!”

“ “ “ “——” ” ” ”

Keheningan halus turun setelah Basara membuat pernyataannya.

Shishi-odoshi mengeluarkan suara yang lucu.

“…Nii-san? Omong kosong apa yang kau keluarkan dari mulutmu?”

Wajah Eiri memerah karena malu, bahunya gemetar karena marah saat dia menanyainya.

Basara berkata “hmph” dan menyisir rambutnya dengan tangan, menjawab dengan sombong:

“Apa yang aku bicarakan? Identitas sebenarnya gadis ini. Tidak peduli seberapa baik dia menyembunyikannya, aku bisa tahu hanya dari sepasang galon besar ini. Ukuran payudaranya mungkin mendekati tiga digit. Dengan nenen raksasa seperti itu–tidak, tetek penghancur seperti itu– bagaimana mungkin gadis seperti itu hanyalah seorang amatir!? Meskipun SMP atau SMA, tingkat pertumbuhan ini luar biasa!”

“Salah, Nii-san. Yang luar biasa adalah–Otakmu.”

Eiri menekankan tangan ke dahinya sendiri seolah-olah sedang mengalami sakit kepala.

Renko menghela nafas “shuko–…” dan mengangkat dada agung itu.

“Maaf, tapi aku bukan gravure idol, oke? Aku bukanlah siapa-siapa dengan payudara raksasa yang indah.”

“Apa… katamu?”

Basara terbata-bata karena keterkejutan di wajahnya.

Dia menatap payudara raksasa Renko yang kehadirannya telah diangkat dan ditekankan–

“Seorang amatir meski berpayudara besar… huh? Hei, apa kau bercanda, Dynamic Honey? Ini level yang sangat berbeda dibandingkan dengan Eiri-ku. S-Sungguh luar biasa… Dan lagi payudara raksasa yang indah!? Tapi tidak, aku tidak akan percaya hanya dengan kata-kata, aku harus memastikannya dengan mata kepalaku sendiri–”

“Tunggu.”

“Owwwwwwww!?”

Basara membungkuk dengan tangan gelisah tapi Eiri memelintir telinganya.

“Sakit, woy!? Jangan pikir kau bisa menghentikan Onii-chan!”

“Aku sudah menghentikanmu, tolong tunjukkan akal sehatmu, oke? Apa kau idiot? Jika kau bergerak, tanganku akan terpeleset dan kukuku akan mengiris telingamu.”

“…..Di~ mengerti.”

Basara dengan enggan menyerah untuk melawan.

Eiri mendecakkan lidahnya dan menarik tangannya dari pangkal telinga Basara.

“Sungguh luar biasa cabul…. Mengulurkan tangan kotormu kepada siapa pun yang kau temui tanpa sedikit pun tanda. Kau benar-benar perlu memperbaiki tingkah lakumu, oke?”

“Sungguh kasar! Aku hanya tertarik pada cabe yang cukup seksi. Dan apanya yang mengulurkan tangan kotorku? Aku bahkan tidak memanjangkan kuku. Ngomong-ngomong, aku akan memberi tahumu kalau aku bukanlah seorang pedofil, oke? Tidak peduli betapa imutnya mereka, jika seorang gadis seperti Ran atau gadis di sana yang bahkan belum melewati masa puber, aku lebih baik mati daripada bernafsu pada mereka!”

Sambil menunjuk Ayaka, Basara membela diri dengan penjelasan yang tidak begitu membersihkan nama baiknya.

Ekspresi Ayaka langsung menghilang. Pupil hitamnya tidak menunjukkan cahaya sama sekali.

“Orang ini benar-benar menjengkelkan… Kau bilang kau lebih baik mati daripada nafsu, jadi kamu ingin mati?”

“Hei hei, berhenti mengatakan sesuatu yang begitu berbahaya! Kendalikan dirimu, Ayaka.”

Ayaka telah mengambil gelas kosong dan baru saja akan berdiri ketika Kyousuke dengan panik menghentikannya.

“–Ngomong-ngomong,” kata Basara, melihat ke arah Kyousuke.

“Sungguh pemandangan yang langka melihat Eiri membawa pulang anak laki-laki. Mungkin pertama kalinya? Aku tidak percaya dia berteman dengan laki-laki di luar keluarga. Seberapa jauh perkembangan kalian?”

“…Apa yang kau maksud dengan perkembangan?”

“Apa itu perlu dipertanyakan? Tentu saja, yang aku bicarakan tentang berciuman, bersentuhan dan ngen–”

“Matilah saja sana.”

Diiringi dengan suara, sebuah tangan kanan diayunkan pada saat bersamaan. Basara mengelak tepat waktu.

“Nyaris! Kepalaku akan hancur, oke!?”

“Siapa juga yang menyuruhmu mengatakan omong kosong!?”

Wajah Eiri memerah dan menempelkan kukunya di dada.

“Apanya yang berciuman, bersentuhan… Aku dan Kyousuke tidak memiliki hubungan seperti itu! Kami hanya teman sekelas biasa! S-S-S-Siapa, juga yang mau melakukan itu dengan orang mesum semacam ini…”

“…Mesum? Oh benarkah? Jadi dia punya fetish tertentu.”

“Tidak.”

Kyousuke merasa sangat bingung dengan Basara yang menatapnya seolah-olah mereka adalah sukma yang sama.

“Hmm… Baik, terserahlah. Mari kita tinggalkan detailnya untuk makan siang. Aku baru saja kembali dari misi, jadi aku lelah.”

Mengatakan itu, Basara menguap.

Tak perlu dikatakan, sudah jelas apa yang dimaksud Basara dengan misi.

Ekspresi Eiri sedikit berubah. Basara menyeringai dan berkata:

“Hei kau, andai saja kau tumbuh lebih cepat—Kuku Berkarat?”

Untuk sesaat, dia menunjukkan ekspresi yang cukup sadis sambil berbisik pelan.

Basara menyelinap melewati Eiri yang diam dan bergerak menuju beranda.

“Sampai jumpa, oke? Ayo ngobrol lagi nanti. Maaf karena terlambat memperkenalkan diri, tapi aku putra tertua keluarga utama Akabane–Akabane Basara. Umur delapan belas tahun. Saat ini aku punya pacar tapi aku masih mencari yang lain. Kuharap dapat bersenang-senang bersama kalian semua seperti yang aku lakukan bersama Eiri… Para pembunuh dalam pelatihan. Bagaimanapun, aku akan pergi tidur untuk saat ini.”

Basara menyapa tanpa mengharapkan jawaban lalu melambaikan tangannya, pergi dengan senyuman.

“ “Basara-oniichan, Basara-oniichan!” ”

Si kembar mengejar Basara dan mulai bertanya dengan buru-buru.

“Berapa banyak yang kamu bunuh kali ini?” “Berapa banyak bilah yang kamu gunakan?”

“Sebanyak sepuluh termasuk pengawalnya. Satu per orang, jadi tepatnya sepuluh bilah.”

. “Apakah mereka kuat?” “Apakah mereka lemah?”

“Aku tidak perlu menjawabnya, kan?”

“Berapa banyak pacar yang kamu miliki?” “Lebih dari jumlah pembunuhanmu? Atau kurang?”

“Rahasia.”

“ “Eh—Beritahu aku!” ”

Segala macam pertanyaan. Si kembar didorong oleh rasa ingin tahu yang besar. Basara menjawab dengan lancar.

Kedengarannya seperti obrolan biasa dari luar, tapi topik sebenarnya kebanyakan cukup berdarah. Pada dasarnya, pembunuhan adalah kehidupan sehari-hari keluarga Akabane. Mungkin ini adalah “normal”-nya mereka.

“……”

Bahkan ketika trio berisik itu sudah keluar dari jangkauan pendengaran, Eiri masih menggigit bibirnya dengan kuat sepanjang waktu.

× × ×


Daerah tempat tinggal utama Akabane sangat luas.

Tanah datar yang digunakan untuk membangun rumah besar tidak perlu dikatakan lagi, tapi bahkan sejumlah gunung ikut termasuk. Tanah itu sepenuhnya milik pribadi dan dilarang masuk tanpa izin.

Mereka hampir tidak pernah berinteraksi dengan penduduk di kaki gunung. Hanya beberapa orang tertentu seperti dokter keluarga dan guru privat yang diberi izin untuk memasuki mansion.

Selain itu, tidak ada orang yang tidak terkait dengan sisi gelap masyarakat yang mengetahui rahasia asal-usul sebenarnya keluarga Akabane. Keluarga Akabane tidak terlibat dalam “menipu dari luar.” Sebagai orang dari dua dunia, hidup mereka tidak pernah bersinggungan.

Anggota keluarga Akabane membunuh untuk mencari nafkah. Oleh karena itu, mereka menilai dan menangani banyak hal melalui lensa “membunuh” atau “tidak membunuh.”

Dan orang yang memegang semua otoritas ini adalah–

“Okaa-sama selalu tampak begitu tenang dan lembut… Tapi sebenarnya, dia benar-benar tanpa ampun saat dia menyerang, tahu? Memusnahkan semua keberadaan yang berbahaya bagi Akabane, dia tanpa ampun akan membunuh siapa pun, tidak peduli siapa itu, selama itu bermanfaat bagi Akabane.”

–Akabane Fuyou. Ibu Eiri sekaligus kepala keluarga Akabane ke-29.

Mungkin karena otoritasnya terlalu besar, setiap kali Eiri berbicara tentang dia, nada suara Eiri membawa lebih banyak rasa takut dan hormat daripada kasih sayang keluarga terhadap ibunya.

Mereka meninggalkan kediaman sekunder, melewati beranda dan bergerak menuju kediaman utama. Setelah berziarah, Eiri memimpin Kyousuke dalam tur mansion sambil menjelaskan beberapa hal.

Penjelasannya mencakup lingkungan tempat dia dibesarkan serta berbagai hal sepele tentang keluarganya.

“Menurutku, menebak pikiran Okaa-sama itu hal yang mustahil. Ekspresi dan sikapnya tidak pernah berubah. Tidak ada cara untuk membaca emosinya… Itulah yang menakutkan. Seperti ketika aku gagal dalam pekerjaanku, reaksinya sama. Aku jelas-jelas sudah pergi beberapa kali namun selalu gagal membunuh, tapi yang dia katakan setiap kali adalah ‘oh sayang, apa yang harus aku lakukan dengan anak ini’ sambil tersenyum kecut dengan cara yang riang… Namun, ketika aku gagal untuk yang keenam kalinya, Okaa-sama tidak melakukan apa-apa. Dia membiarkanku sendirian begitu saja, jadi aku selalu percaya kalau dia sudah menyerah padaku… Namun dia melakukan langkah ini. Tiba-tiba memanggilku pulang dan menyambutku seolah-olah tidak ada yang terjadi… Sungguh, aku tidak tahu apa niatnya.”

Bergumam pelan, Eiri terlihat sangat murung. Setelah bertemu Basara kemudian kembali dari ziarah kuburnya, Eiri telah bertingkah seperti ini sepanjang waktu.

Bagi Eiri, rumah leluhurnya mungkin bukan tempat yang nyaman. Mungkin setelah berpisah dari Kyousuke dan yang lainnya, menghabiskan waktu sendirian dalam pikirannya yang gelisah, dia mungkin menemui jalan buntu.

Kyousuke melangkah menuju Eiri yang memimpin jalan dan berjalan di sampingnya–

“Jika kau tidak tahu, kenapa tidak mencoba bertanya secara langsung? Menurutku dia bukan tipe orang yang mustahil untuk diajak berkomunikasi, kan?”

“……Haaah, kau tidak salah.”

Eiri membuat ekspresi pahit.

Memelintir rambut menggunakan jari telunjuknya dengan gelisah, Eiri menjawab dengan enggan.

“Aku tidak pandai berurusan dengan Okaa-sama…. Sejak aku kecil, dia telah menempatkanku dalam standar tinggi melalui metode ekstrim atas nama ‘membesarkan’ seorang assassin. Itu selalu latihan, latihan, latihan, latihan tidak peduli apakah aku sedang tidur atau bangun, melatihku sampai aku pingsan, menambah kesulitan lebih lanjut padaku ketika aku bangun lagi. Membuangku sendirian jauh di dalam pegunungan, mengikat balok timah padaku lalu melemparkanku ke air terjun, menyerangku dengan hujan pedang, melepaskan binatang buas untuk menyerangku, menempatkan pengekangan aneh padaku, memaksaku untuk bertahan hidup dalam keadaan seperti itu……. Pelajaran sekolah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pendidikan super Spartan-ku. Aku berada di ambang kematian tidak hanya sekali atau dua kali.”

“….Apa kau serius? Itu bukan pendidikan tapi penganiayaan.”

“Ya. Okaa-sama menjelaskannya sebagai ‘Aku harus membuatmu hidup dengan kematian di sisimu agar mencegahmu terbunuh oleh orang lain di kemudian hari’ tapi siapa yang tahu apa kebenarannya….. Akan baik-baik saja jika sikapnya tanpa ampun seperti Kurumiya, tapi ketenangannya itu membuatnya semakin menakutkan.”

“K-Kau benar tentang itu.”

Kontras yang tidak menyenangkan. Kyousuke bisa mengerti kenapa Eiri menganggap ibunya sulit untuk diatasi.

Cara dia menyimpan motif tersembunyi di dalam dirinya, dia jelas merupakan ibu yang gila.

“–Namun, Otou-sama berbeda.”

Eiri berbicara dengan lembut dan sudut mulutnya mereda.

Suaranya sangat lembut, membawa warna nada yang belum pernah didengar Kyousuke sebelumnya.

“Tatapannya sangat tajam dan ekspresinya cukup tegas. Dia terlihat seperti selalu marah. Biasanya diam dan sedikit bicara, dia sangat keras saat meneriaki orang. Setiap kali dia memarahiku, aku sangat takut hingga aku tidak bisa bergerak sama sekali. Kebalikan dari Okaa-sama, dia adalah orang yang sangat tegas dengan temperamen yang berapi-api. Namun…”

Suaranya menunjukkan kesepian dan kerinduan.

Dengan cinta yang dalam pada suaranya, Eiri melanjutkan ceritanya.

“Dia orang yang sangat baik. Karena pekerjaan, dia sering jauh dari rumah, tapi setiap kali aku menangis atau berkecil hati, dia diam-diam akan mengelus kepalaku dan menemaniku sepanjang waktu. Dia bahkan membawaku keluar diam-diam dari Okaa-sama.”

“…Sungguh ayah yang hebat.”

“Ya. Aku diberitahu bahwa dia awalnya bekerja di ranah bodyguard, sama sekali tidak berhubungan dengan Akabane, jadi prinsipnya juga berbeda… Aku merasa aman hanya dengan adanya Otou-sama di sisiku. Tangan Otou-sama sangat besar dan terasa sangat kokoh saat disentuh. Bahkan sekarang aku masih dapat mengingatnya dengan jelas–”

Mengatakan itu, Eiri menatap telapak tangannya sendiri.

Kesedihan muncul di matanya.

“…Aku mengingat semuanya.”

Kemudian mengulangi kata-katanya dengan suara yang hampir tak terdengar, dia menundukkan kepalanya.

“Eiri…?”

Kyousuke menoleh untuk melihat ke arah Eiri yang telah berhenti berjalan. Mengikuti mereka, Renko dan Ayaka menyusul dan menatap wajah Eiri.

“Ya ampun, kau baik-baik saja? Jika kau ingin menangis, aku bisa meminjamkan dadaku yang besar ini.”

“Eiri-san, jadi kau benar-benar mengidap father complex… Kau harus merelakan masa lalu.”

“D-Diam!”

Eiri mulai berjalan seolah mencoba melepaskan diri dari usikan Renko dan Ayaka lalu merentangkan tangan untuk menepuk pipinya dengan tangan.

“Aku baik-baik saja. Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit sentimen karena sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berziarah… Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Eiri melontarkan kata-kata itu lalu berjalan melewati Kyousuke.



Kyousuke melihat sekilas sisi wajahnya, yang terlihat tegang karena tidak senang.

“…Benarkah? Kalau begitu, ya sudah.”

“Shuko–… Kau tidak membutuhkan payudara besarku lagi? Sayang sekali.”

“Giliran Ayaka, giliran Ayaka, Ayaka akan menggantikan Eiri-san… Terima itu! Elus elus elus elus.”

“Hyah!? A-Ayaka-chan… Kau membuatku sulit berjalan. Lepaskan sekarang– Hyau!?”

“Hehehe. Sungguh sepasang payudara raksasa kelas atas, begitu besar dan sensitif. Bagaimana? Apa rasanya enak? Apa kau merasa enak!?”

“Apa yang kalian lakukan sebagai perempuan, kalian berdua…”

Mengakhiri percakapan mereka tentang ayah Eiri, Kyousuke mengejar Eiri.

Namun, ketika dia melewati ruangan bergaya Jepang tertentu–

“…….Hmm?”

Kyousuke berhenti lagi.

“Hei. Bukankah kita sebaiknya masuk ke sini untuk melihat-lihat?”

Itu adalah ruangan yang menyerupai aula kuil Buddha.

Pintu gesernya terbuka. Interiornya berukuran delapan tikar tatami. Aroma dupa yang samar melayang di udara di dalam sana. Sebuah meja persembahan disiapkan di depan altar Buddha dengan buah-buahan dan sayur-sayuran serta benda-benda lain seperti tanaman lentera Cina.

Meja persembahan itu adalah altar penyambutan jiwa nenek moyang, tentu saja termasuk ayah Eiri, yang akan hadir selama Festival Bon–Setidaknya, itulah kepercayaannya. Dalam hal ini, Eiri harus memberikan doa di sini daripada di kuburan.

“……”

Untuk beberapa detik, tatapan Eiri berkeliling saat dia ragu-ragu untuk berbicara—

“—Sama saja? Aku sudah ke sana.”

Dia menjawab dengan acuh tak acuh lalu pergi.

“…Begitu ya.”

Mengangguk, Kyousuke lanjut berjalan. Dia melihat ke meja persembahan ketika melewati pintu.

Seperti sarapan yang mereka makan pagi ini, makanan ditempatkan di piring merah terang sebagai persembahan di atas meja. Makanan, yang telah menjadi dingin, ditinggal tidak tersentuh. Kyousuke melihat ke persembahan pada leluhur lalu ke punggung Eiri yang sosoknya perlahan-lahan menjauh sebelum menghela nafas. Kyousuke merasakan sesuatu secara naluriah.

Eiri mengaku sudah ke sana.

Itu mungkin bohong–

× × ×


Setelah tur ke kediaman utama, Kyousuke dan teman-temannya melewati pintu masuk untuk pergi keluar.

Tanah yang dikelilingi tembok batu tinggi itu sangat luas. Di luar mansion, terdapat bangunan penyimpanan seperti lumbung serta gudang tanah dan bahkan berbagai fasilitas seperti rumah teh atau kuil di mana-mana.

Di antara fasilitas tersebut, yang paling sering digunakan oleh keluarga Akabane adalah dojo seni bela diri.

Dibangun di dekat kediaman utama, dojo memiliki fasilitas cuci tangan dan toilet di depannya. Jalan setapak batu membentang di atas tanah kerikil merah.

Saat pemandangan ini terlihat saat mereka melewati hutan bambu, Eiri langsung bergumam pelan:

“…Sepertinya ada seseorang di sana. Apakah itu Kagura?”

Pada saat itu, Eiri tampak ragu-ragu antara pergi melihat kesana atau tidak…

“Hyahahhhhh! Itu air, air!”

“Airnya sangat dingin!?”

“Hei!?”

Ketika Eiri tiba-tiba berhenti, Renko dan Ayaka melewatinya dan berkompetisi untuk mendapatkan tempat di fasilitas cuci tangan. Melihat mereka mengambil centong dan memercikkan air, Eiri merasa energinya terkuras.

“…Apa yang kalian berdua lakukan? Urutannya salah.”

Eiri mengambil centong dari tangan Renko dan mengisinya dengan air bersih untuk mencuci tangan kirinya. Kemudian dia mengalihkan centongnya ke kiri dan mencuci tangan kanannya. Kemudian berpindah tangan lagi, dia menuangkan air ke telapak tangannya, menyesap dengan tenang dan membilas mulutnya sebelum memuntahkan airnya. Akhirnya, dia mengembalikan sendok ke tempatnya dengan kedua tangan.

Gerakannya cukup lancar dan seseorang bisa tahu kalau dia sudah pernah melakukannya berkali-kali.

“Kaliian harus menyelesaikannya dengan satu centong air. Mengerti?”

“Slurp… Slurp… Slurp… Slurp…”

Eiri memasang ekspresi bangga di wajahnya ketika dia menoleh untuk melihat mereka. Renko telah memasukkan sedotannya ke dalam baskom air, menyedot air tanpa berpikir. Di sebelahnya, Ayaka sedang menyendok air dengan kedua tangannya untuk diminum.

“…Dengarkan saat orang lain bicara dengan kalian.”

“Uwah, dingin sekali! Apa yang kau lakukan, Eiri!?”

“Cukup! Bagaimana bisa kalian begitu tidak memiliki akal!?”

Eiri memercikkan air dingin ke kedua gadis itu lalu mengembalikan centongnya sambil berkata “…Hmph.” Setelah melakukan itu, dia meninggalkan tempat cuci tangan dan berjalan menuju dojo.

Kyousuke hanya mencuci tangannya seperti yang ditunjukkan lalu mengikuti Eiri.

“Wow, tempat ini sangat besar…”

Segera setelah itu, mereka mencapai pintu masuk utama. Itu adalah bangunan megah yang diatapi genteng. Secara alami, warnanya merah.

Di balik pintu kisi-kisi, suara yang menyerupai suara kaki menghentak lantai bisa terdengar selain teriakan seperti “urya!” atau “sorya!”

“…Itu Ryou dan Ran? Mereka energik seperti biasa.”

Eiri tersenyum kecut dan membuka pintu masuk dojo.

Lalu–

“Ya ampun, ternyata kalian. Selamat datang, selamat datang.”

Seorang pemuda berpakaian hakama merah tua dan haori merah tersenyum pada mereka dengan cara yang santai. Kyousuke langsung membeku. Di sebelahnya, Eiri mendecakkan lidahnya.

“Jadi kau masih belum tidur, Nii-san. Kenapa kau tidak cepat-cepat pergi tidur?” 

“Jangan seperti itu. Aku ingin tidur sebelumnya, tapi mereka berdua tidak mau melepaskanku…”

–Sungguh merepotkan. Dia memiringkan kepalanya, saat bilah putih melesat melewati sampingnya. Merunduk untuk menghindari bilah yang berayun di detik-detik terakhir, Basara tertawa:

“Apa boleh buat. Hidup sebagai pria populer tentu hal yang sulit.”

“…Benarkah? Kalau begitu, kenapa kau tidak tidur saja sekarang? Aku akan membuatmu tidur untuk selama-lamanya.”

“Ahaha. Sebenarnya, ada beberapa saat ketika itu hampir terjadi. Aku begadang semalaman dan benar-benar ingin tidur… Kenapa tidak langsung memberikanku cedera? Itu akan membangunkanku.”

Basara menutupi mulutnya dengan tangan kanan sambil menguap dan sedikit memiringkan tubuhnya ke samping.

Bilah hitam melintasi lokasi lengannya sedetik sebelumnya. Hampir bersamaan, ayunan bilah putih menyerang tapi sia-sia, hanya menebas bayangan Basara.

“I-Ini…”

“Lihatlah, kalian berdua. Serangan kalian semakin lamban, tahu? Kalian bahkan tidak akan bisa mengenai kupu-kupu jika kalian menebasnya dengan sangat lambat.”

“Sangat menyebalkan. Matilah saja sana, Basara-oniichan!”

“Mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati, Basara-oniichan!”

“ “Matilaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!” ”

“……Apa yang mereka lakukan?”

Di depan Kyousuke dan yang lainnya yang kebingungan, di tengah dojo, Basara berdiri disana dengan wajah bosan.

Si kembar menyerang dengan ganas, mencoba menebas Basara saat dia berdiri di sana.

Bilah hitam dan putih menari di tangan mereka saat menyerang Basara, menghasilkan kilatan bilah yang tak terhitung jumlahnya.

Pedang ganda yang dipegang di tangan si kembar sepertinya adalah hasil dari  gunting mereka yang dibongkar. Gagang bulatnya berputar saat mereka bergantian antara forward dan reverse grip, beralih dengan cara yang membingungkan. Si kembar juga melompat-lompat dengan bebas sesuka hati.

Karena kembar, koordinasi tanpa kata mereka juga sangat luar biasa. Terkadang bergerak serempak, menyerang secara sendiri pada kesempatan lain, mereka kadang-kadang selaras, kadang-kadang menyesuaikan waktu mereka sendiri, dua bersaudara yang melakukan tebasan sambil mencari celah–

“Hei, jangan hanya berdiri dan menonton. Bagaimana kalau ikut bergabung?”

“…Tidak, terima kasih, Nii-san. Aku tak ikut.”

“Eh—Dasar adik yang dingin.”

Basara berbicara sambil terus menghindar, menggunakan gerakan kaki minimal dan memutar tubuhnya. Dia tampak cukup percaya diri dan tenang.

Pedang si kembar bergerak seperti badai tapi bahkan tidak bisa menyentuh pakaian Basara.

–Pemandangan ini membuat para pengunjung meragukan apa yang mereka lihat.

Mengintip ke dalam dojo, tidak ada pengecualian untuk Renko dan Ayaka. Keduanya terpaku di tempat dengan takjub. Hanya Eiri yang terlihat sama seperti biasanya, melihat keluarganya mencoba saling bunuh.

“Hei Eiri… Apa yang mereka lakukan?”

“Apa kau tidak tahu hanya dengan melihatnya?”

“Aku bertanya karena aku tidak tahu…”

“Mereka sedang bermain.”

“…Huh…?”

“Ini adalah hal biasa di keluargaku. Pedang asli digunakan sebagai peralatan rekreasi. Mereka hanya menggunakan benda-benda itu untuk bersenang-senang. Itu sama untuk Ryou dan Ran, mereka tidak mencoba untuk benar-benar membunuh kakak mereka. Bahkan jika mereka benar-benar ingin membunuhnya dan menantangnya, mereka mungkin tidak akan berhasil, kurasa? Perbedaan levelnya terlalu besar.”

“Sungguh analisis yang menyeluruh.”

Basara menunjukkan senyum lebar menanggapi Eiri lalu mulai mengambil tindakan.

Melengkungkan tubuh bagian atasnya, dia menyelinap melewati celah dalam serangan tebasan itu—

“Kyah!?”

“Uwah!?”

Basara mengangkat tangannya, mengulurkan tangan dan menyentuh Ran. Hanya gerakan ini sajalah yang menyebabkan si kembar jatuh bersama di tengah udara.

Dahi mereka saling bertabrakan, lalu mereka jatuh.

Melepaskan senjata mereka, mereka berguling-guling di tanah kesakitan.

“Ooooooooooh, sakit… Sakit banget, Ran-chan.”

“Aku juga kesakitan, Ryou-kun… Ooooooooooh.”

“Ahaha! Mereka terlihat identik bahkan dalam cara mereka berteriak kesakitan. Kalian berdua terlalu sinkron, yang membuat itu mudah untuk dilawan, tahu? Lagi-lagi, semuanya sudah berakhir sebelum kalian bisa memaksaku untuk menarik pedang, eh, Ryou? Ran?”

“ “Ooooooooooooooh~~~~~~!” ”

Si kembar mengerang sambil memelototi Basara yang tersenyum puas.

Basara dengan santai berkata “hmm” dan meregangkan tubuh.

“Sial, aku sangat ngantuk… Super ingin tidur. Onii-chan ingin tidur! Jadi aku ingin minta bantuan, Eiri–Bisakah kau membantuku menghilangkan rasa kantukku?”

“Aku menolak. Pergi tidur saja jika kau ingin tidur.”

“Ya ampun, itu benar, tapi rasanya agak tidak lengkap jika aku tidur sekarang. Kita sudah setengah tahun tidak bertemu satu sama lain, lho? Sebagai kakak, aku harus memastikan pertumbuhanmu.”

“…Tidak juga. Tidak seperti ada perubahan besar.”

“Maaf, aku tidak membicarakan payudara–”

“Aku tahu.”

Eiri menjawab dengan tidak senang lalu membalas dengan pelan “…Jelas-jelas ada pertumbuhan disana.” Renko segera menyindir, “Aku sangat meragukan itu.”

Eiri berkata “Huh!?”, wajahnya memerah dan berbalik ke arah Renko.

“Aku tidak berbohong! Ini tumbuh sekitar satu sentimeter–”

“Oke, kau mati.”

“…….!?”

Saat berikutnya, tubuh Eiri bergetar, bereaksi dengan sangat terkejut.

Kyousuke menatap baik-baik untuk melihat bahwa Basara telah mengayunkan tangannya yang tersembunyi di lengan kiri kimononya. Mempertahankan pose seolah-olah dia baru saja melempar sesuatu, dia mengejek.

Menyipitkan satu mata, Basara membidik punggung Eiri—Membidik secara akurat untuk menembus jantungnya dari belakang.

“Kau baru saja lengah, kan? Apa aku salah? Seorang pendekar pedang tidak mungkin menunjukkan punggungnya kepada musuh kecuali dia lengah. Aku awalnya bertanya-tanya apakah kau mencoba memancingku dengan tipuan, tapi janganlah mati begitu cepat.”

“……Ah.”

Eiri mengulurkan tangannya ke punggung.

Kemudian dia perlahan melihat ke arah Basara.

“Terbiasa dengan lingkungan yang santai, menghabiskan waktu dengan sekelompok orang yang sama santainya, menerima pendidikan yang lambat….. Kau telah menjadi lamban, bukankah begitu, Eiri? Daripada tidak berkembang, Kau malah mengalami kemunduran…. Berhenti membuatku tertawa, Kuku Berkarat. Kau bahkan tidak memiliki keberanian untuk membunuh. Jika keahlianmu dikecualikan, apa lagi yang tersisa di dirimu?”

Dimarahi tanpa ampun, Eiri menggigit bibirnya dengan keras.

–Tidak ada yang menusuknya dari belakang.

Basara hanya melakukan gerakan melempar senjata tersembunyi. Dia belum benar-benar melemparkan apa pun.

Namun, niat untuk membunuh dalam tatapan dan ujung jari Basara adalah asli.

Seandainya Basara benar-benar melempar senjata, jantung Eiri akan tertusuk dari belakang dan mati–Niat membunuh itu cukup untuk memastikan fakta ini, menusuk Eiri sebagai pengganti pisau.

“Sheesh. Aku tidak yakin seperti apa skillmu saat ini, tapi pikiranmu sudah kehilangan keunggulannya, Eiri? Aku sangat kecewa… Ah, sayang sekali.”

Basara menurunkan tangannya dan menghela nafas. Niat membunuhnya secara bertahap menghilang.

Dia berjalan menuju pintu masuk tempat Eiri dan yang lainnya berada.

“Hmm? Ya. Aku jelas mengantuk. Aku akan tidur sampai tengah hari… Huuuuaaah.”

Meregangkan tubuh, Basara melewati Eiri. Dia memakai bakiak kayunya dan pergi dengan cepat. Eiri tidak bisa memberikan reaksi apapun saat itu juga.

“U-Umm… Maaf tentang yang barusan, oke? Tapi payudaramu, umm… Bukankah itu tumbuh sedikit? Jika itu satu sentimeter, pastinya, ya.”

“Itu benar! Jangankan satu sentimeter, bisa jadi dua atau bahkan tiga, bukankah itu mungkin!? Pria genit seperti itu penuh omong kosong. Abaikan dia!”

Renko menepuk bahu Eiri untuk menyemangatinya sementara Ayaka mencoba yang terbaik untuk menghiburnya.

Hanya berdiri di sana dalam keadaan tak sadar dengan kepala menunduk, Eiri sepertinya tidak bisa mendengar ucapan kedua gadis itu.

× × ×


“Baiklah, biarkan alirannya dimulai!”

Di dalam taman tempat bunga-bunga merah bermekaran, suara ceria Fuyou terdengar.

Putih murni dan indah seperti sutra, mie mengalir dalam arus air yang stabil.

Seketika mie ini ditarik dengan sumpit merah tua tanpa lolos, lalu dimasukkan ke dalam cairan berwarna kuning. Setelah dicampur dengan kuah yang berisi bubuk wijen, daun bawang, jahe jepang, jahe mentah, mie kemudian diangkat. Tepat saat orang itu menggunakan sumpit untuk memasukkan mie ke mulutnya–

“Shuko–… Topengnya menghalangi, aku tidak bisa makan.”

Dihalangi oleh topeng gas yang hitam pekat, dia meletakkan mienya dengan murung. Ditempatkan di hilir (bawah) Renko, Ayaka berkata “…Lalu kenapa kau mengambil mie-nya?” Memegang sumpit, dia memasang ekspresi jijik pada Renko.

Di depan mereka ada potongan bambu, dibelah menjadi dua secara vertikal, dengan air murni dan transparan yang mengalir dengan lembut. Bambu itu dipasang miring. Di tempat paling hulu (atas), Fuyou tersenyum sambil memegang sumpit panjang.

“Ketahuilah bahwa kami telah menyiapkan banyak mie. Semuanya, makanlah sepuasnya dan nikmatilah.”

Sang dayang bersiaga, memegang ember kayu berisi air es dan banyak mie tawar. Fuyou mengambil mie dari ember lalu memasukkannya ke dalam saluran bambu.

Ini dikenal sebagai nagashi-soumen, atau “mie mengalir.”

“Nih, Ayaka-chan. Katakan ah–”

“Umph! Lembutnya~~~~” 

“Enak?”

“Ya, sedingin esnya enak! Rasanya sangat menyegarkan.”

Baru saja mengambil beberapa mie, Renko sekarang menyuapinya pada Ayaka.

Mie melewati dua gadis yang rukun dalam harmoni itu, mengalir ke depan–

“Ini dia.”

Kyousuke mengambil mie itu. Kemudian–

“Untukmu. Cerialah.”

 –Dia menempatkan mie ke dalam mangkuk Eiri, yang sedang melamun.

Eiri melihat ke atas dan menatap Kyousuke.

“Tentu… M-Makasih.”

Setelah berterima kasih, dia makan mie dengan tenang. Waktu saat ini baru lewat tengah hari. Kira-kira satu jam telah berlalu sejak insiden baku hantam di dojo.

Lebih jauh ke hilir dari Eiri yang lesu, Kagura mendengus dan berkata “…hmph.”

“Kau bahkan tidak bisa mengambil mie sendiri, Nee-san? Playboy itu meremehkanmu karena kau seperti ini. Sungguh tidak kompeten.”

Kagura mengangkat sumpitnya dan mengambil mie yang mengalir, lalu mulai makan dengan gelisah.

Basara tidak ada, tampaknya sedang tidur. Ryou dan Ran mungkin merasa kalau mie mengalir terlalu merepotkan dan menikmati mie di beranda dengan makan secara normal.

Busujima sedang menunggu di ujung saluran bambu di tempat paling hilir dengan keranjang bambu.

Di bawah langit biru yang luas, ekspresi Eiri gelap dengan kontras.

“Maaf karena tidak kompeten…”

“Apa gunanya meminta maaf, aku tidak tahan denganmu… Di mana semangatmu? Seberapa banyak aib yang mau kau buat sampai kau puas? Sungguh idiot tanpa harapan.”

“……Maaf.”

“Seperti yang kubilang, meminta maaf tidak ada gunanya. Apa hanya itu kata yang bisa kau ucapkan? Menunjukkan ekspresi mati itu… Kau bahkan tidak bisa menahan beberapa kata dari orang itu? Nee-san, pikiranmu terlalu rapuh, aib bagi keluarga utama Akabane. Ahhh, sungguh memalukan.”

“Hei Kagura–”

“Apa lagi?”

Kyousuke menyela, menyebabkan Kagura memelototinya.

“Bisakah orang luar tidak terlibat dalam percakapan pribadi antar saudara? Dan juga, berhentilah sok akrab. Aku tidak menyangka kau memanggil seorang gadis yang baru kau temui dengan nama depannya….. Rasanya semenjijikkan seperti Basara-niisan. Apakah kau seorang playboy juga?”

“Huh? Bagaimana mungkin–”

“Kalau begitu biarkan aku bertanya, kenapa kau satu-satunya pria di sini?”

Suara Kagura turun beberapa derajat, memotong jawaban Kyousuke.

“Ada Nee-san, gadis bertopeng gas dan si brengsek Ayaka…. Kecualikan gurunya, kau dikelilingi oleh perempuan, kan? Mengesampingkan Nee-san, dua orang lainnya benar-benar menyayangimu. Apa kau mencoba membuat Nee-san menurunkan kewaspadaannya sehingga kau bisa memakannya seutuhnya?”

“….Memakannya seutuhnya?”

“Itu benar. Mencabulinya.”

“ “Huh!?” ”

Kyousuke dan Eiri berseru serempak.

“O-Omong kosong! Sesuatu yang segila itu tidak pernah terlintas di pikiranku, oke!?”

“Men… cabuli… Ayolah, berhentilah menggunakan kata-kata seperti itu dengan  entengnya!”

Sebaliknya, Kagura secara cepat mengambil mie dengan acuh tak acuh.

“Nee-san… Kenapa aku harus malu? Aku hanya menyebutkan kata ‘mencabuli.’ Pikiranmu masih kayak gadis lugu seperti dulu… Jelas terlalu menggelikan bahwa kau hanya tumbuh di penampilan, cuma pernah melihat ciuman di manga shoujo, kan?”

Kagura mengejek dan dengan anggun memakan mie nya.

Terintimidasi, Eiri menggeram “…ooh.”

“Dengarkan baik-baik, Nee-san. Apa yang kita sebut laki-laki sebenarnya adalah binatang buas. Meskipun orang ini langsung menyatakan kalau itu tidak pernah terlintas di pikirannya… Itu benar-benar bohong. Itu cuma janji di bibir. Sebenarnya, mau tidur atau bangun, pikirannya dipenuhi dengan pikiran-pikiran kotor. Melihat kakimu yang indah, pinggang yang langsing, tulang selangka yang halus, leher yang seksi, Nee-san, seluruh tubuhnya terangsang dalam nafsu, seekor binatang cabul.”

“Apanya yang binatang cabul–”

–Di mana dia belajar bahasa seperti itu? Bukankah dia baru berusia tiga belas tahun?

Mengabaikan Kyousuke yang terkejut, Kagura terus menyuarakan pendapatnya.

“Apakah kau akhirnya memenuhi kepuasan binatang itu atau tubuhmu dinodai, aku sama sekali tidak peduli. Tapi tolong jangan mencemari garis keturunan Akabane.”

“…A-Aku tahu.”

“Apa kau benar-benar mengerti? Kau harus menggunakan alat kontrasepsi dengan benar.”

“ “Kontrasepsi!?” ”

“Itu benar. Jangan lakukan itu tanpa pengaman.”

“Apa maksudmu, tanpa pengaman…”

“Hal-hal semacam keluar di dalam akan buruk, oke?”

“…..Hei hei–”

Berhenti menggunakan bahasa simbolis yang berlebihan…. Meski terlibat dengan bagian bawah masyarakat, pada akhirnya dia adalah seorang pekerja. Mungkin dia sudah dewasa dalam berbagai hal.

Saat Kyousuke memikirkan hal itu, Eiri mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

“H-Hmph… Sepertinya kau telah banyak belajar sembarang kata dalam enam bulan terakhir di luar penglihatanku? Semua hal yang kau katakan padaku mungkin dipengaruhi oleh sesuatu yang disebut ‘buku tipis’ itu.”

“–Hah?”

Mendengar istilah itu, ekspresi Kagura langsung berubah ketakutan.

Mengambil mie yang mengalir, Eiri melanjutkan ucapannya dengan ragu-ragu.

“Pagi ini, aku mengintip ke dalam kamarmu sebelum berziarah…. Aku tidak sengaja menemukannya. Bagaimana aku harus menjelaskannya, pada dasarnya…. Aku menemukan beberapa manga mesum. Dalam hal konten…. Hmm. Aku diam-diam menaruhnya kembali ke tempat semula setelah melihat sampul dan judulnya… M-Maaf, oke?”

“Apa!?”

Sumpit jatuh dari tangan Kagura sementara kuah mie nya juga tumpah.

“K-Kau… Berani-beraninya kau menggeledah kamarku… Masuk tanpa izin ke kamarku begitu saja–”

“…..Maaf.”

Kagura mendekati Eiri yang sedang melihat ke bawah dan menghindari kontak mata—

“Apa judul buku yang kau lihat?”

“A-Aku tidak tahu…. Terlepas dari pikiranku.”

“Seperti apa sampulnya?”

“T-Tidak yakin…”

“Jawab sekarang!”

Kagura memegang bahu Eiri. Tatapan Eiri kesana-kemari.

Kagura menundukkan kepalanya dan memaksakan senyum tipis.

“…Benarkah? Jadi sepertinya kau berencana berpura-pura bodoh sampai akhir?”

Poni merah karatnya menjuntai, membuat bayangan gelap menutupi matanya.

Tangan kanan Kagura perlahan meraih sabuknya–

“Kalau begitu, jangan salahkan aku. Doujin mana tepatnya yang kau lihat… Buku mana yang kau lihat, aku akan mengetahuinya bahkan jika aku harus menggunakan kekerasan–Nee-san!”

Seketika, Kagura mengeluarkan kipas logamnya.

Mengejar Eiri, yang telah melompat mundur untuk kabur, dia mengayunkan senjatanya.

“Tunggu… Seperti yang kubilang, aku tidak ingat lagi! A-Aku benar-benar lupa–”

“Bohong! Kalau begitu jawab aku, kenapa kau bersikap sangat malu!?”

“A-aku tidak–”

“Sebaiknya tidak!”

Eiri menunduk untuk menghindari serangan. Sebuah pohon kecil di taman ditebang dan diterbangkan menggantikannya.

Kyousuke diabaikan saat dia melihat kakak adik itu berkelahi. Apakah orang-orang dari keluarga Akabane tidak mampu makan dengan benar…

Eiri melarikan diri sementara Kagura mengejarnya.

Dari kejauhan, Kyousuke melirik kedua gadis yang sepertinya sedang bermain-main dan bertindak serius. Renko dan Ayaka mendekat ke sampingnya.

“Foosh–Eiri terlihat bersemangat lagi? Luar biasa, luar biasa.”

“Awww. Tidak mudah memberinya waktu berduaan dengan Onii-chan… Tapi seseorang yang tak diperlukan menghalangi. Kagura sampah itu selalu menempel pada Eiri-san meski terus mengomel, kan?”

Renko menyedot kuah mie melalui sedotan sedangkan Ayaka menyeruput mie. Mereka mengapit Kyousuke di kiri dan kanannya masing-masing. Di sisi beranda, Ryou dan Ran saling menyuapi mie, mengobrol dengan ramah.

“Kerja bagus, Kagura-oneechan. Aku ingin bermain dengan Eiri-oneechan juga!”

“Kerja bagus, Eiri-oneechan. Aku ingin bermain dengan Kagura-oneechan juga!”

“…Ayo bermain dengan mereka, Ran-chan?”

“Ya. Ayo pergi bermain, Ryou-kun!”

“ “Waaaaaaaaaaaai!” ”

Si kembar berdiri, memegang gunting dan menyerang Eiri dan Kagura tanpa beralas kaki.

“Jangan ikut campur! Awas atau aku akan membungkam kalian lebih dulu, oke!?”

“S-Sungguh menyebalkan… Aku hanya ingin kembali makan mie–”

“ “Ahahahahahahahahahahahahahaha!” ”

Permainan kejar-kejaran antara saudari seketika berubah menjadi tawuran yang kacau dalam sekejap mata.

Masing-masing dari mereka mengayunkan senjata tajam, mencoba untuk mengalahkan lawan mereka. Melihat anak-anak berlarian di taman, Fuyou terus mengeluarkan mie dan tersenyum kecut “ara ara.”

“Jelas-jelas ini waktunya makan, ya ampun… Anak-anak mana yang tidak bisa tenang. Tolong perhatikan dan berhentilah membuat masalah untuk tamu kita, oke?”

“Suara bilah tanpa angin yang terdengar, sungguh puitis… Oh, yang ini rasa plum!”

Mengambil mie merah muda, Busujima dengan santai menikmati “mie keranjang bambu.”

Meskipun situasinya cukup kacau, Kyousuke adalah satu-satunya yang terkejut dengan mata terbelalak. Semua orang menikmati suasananya, sama sekali tidak terpengaruh–

(…Apakah hanya aku satu-satunya yang normal di sini?)

Mengingat teman sekelasnya yang memiliki kepekaan orang normal, Kyousuke mau tidak mau merasa kangen.

Tidak dapat memproses situasi di depan matanya, Kyousuke melihat ke langit biru musim panas yang berawan sementara pikirannya tertuju pada Maina yang saat ini tinggal di sekolah.

× × ×


“…..Sangat lelah baik jasmani maupun rohani.”

Ambruk di beranda, Eiri bergumam dengan suara lemah.

Meskipun tidak terluka, dia telah menghindari pedang si kembar dan interogasi tanpa henti dari Kagura sepanjang waktu. Eiri terlihat sangat lesu setelah cobaan itu.

Dengan berlumur keringat, dia berbaring telungkup di tanah sementara Renko mengipasi dia dengan kipas angin.

“Kau pasti lelah, Eiri. Mau jus semangka?”

“…Tidak, makasih. Aku akan makan semangkanya langsung.”

Menyingkirkan gelas berisi cairan merah, Eiri duduk. Di sisi lain Renko, di sebelah kanannya, Ayaka dan Kyousuke sedang duduk bersebelahan, mengunyah buah yang dipotong setengah lingkaran.

“Wow, semanis ini!? Enak, mendinginkanmu sampai ke hati, Onii-chan.”

“Ya. Makan semangka adalah suatu keharusan di musim panas di Jepang.”

“Ya, benar sekali! Makan semangka adalah suatu keharusan~~~~~~Ngomong-ngomong, Kyousuke, setelah menikmati semangka yang lembut dan berair, kau benar-benar harus–”

“Memotong semangka?”

“Shuko!? Arah mana yang kau lihat saat bicara, Eiri! Semangka-ku lembut dan halus, jadi kuharap kau memperlakukannya dengan lembut, oke!?”

“…Ya bodo amat.”

Eiri menjawab Renko dengan setengah hati dan meraih semangka. Sebuah nampan ditempatkan di beranda dan dari nampan itu, dia mengambil seperdelapan buah semangka dan mulai memetik bijinya dengan hati-hati menggunakan kuku jarinya.

“W-Woah… Kau makan seperti wanita kecil yang gemulai, Eiri-san! Membuang bijinya akan memakan waktu lama, jadi makan sajalah.”

“Pikirkan urusanmu sendiri. Terserah padaku mau memilih bagaimana caraku makan semangka.”

“Ya, setiap orang punya cara makannya sendiri. Ngomong-ngomong, metode Eiri sangat mirip dengan Busujima-sensei.”

Renko menunjuk ke suatu tempat. Busujima sedang bergumul dengan semangka di beranda yang agak jauh.

Menggunakan satu tangan untuk menyendok biji semangkanya, dia sedang memberi makan makhluk beracun yang berkumpul di kakinya. Eiri membeku sesaat.

“…Aku akan mulai makan sekarang.”

Eiri menghentikan gerakan tangannya dan menggigit semangka. Dia tampak sangat jijik pada pemikiran mirip dengan Busujima. Kyousuke mau tidak mau mengasihani kurangnya popularitas Busujima yang ekstrim di antara siswa perempuan.

Tidak seperti Kurumiya, dia tidak pernah terlibat dalam campur tangan aktif. Dari sudut pandang Kyousuke, Busujima bukanlah seseorang yang bisa dibenci…

Saat Kyousuke tenggelam dalam perasaan simpati, ketiga gadis itu mengelilingi Kyousuke dan mengobrol dengan bahagia dalam harmoni.

Pada saat ini, Kyousuke melihat keluar ke arah taman dimana jejak dari permainan berbahaya sebelumnya tetap ada di semua tempat–

“Ngomong-ngomong, anggota keluargamu tampaknya cenderung emosional? Apakah mereka dilahirkan seperti itu, mencoba membunuh satu sama lain hari demi hari?”

“…Ya. Anggota keluarga Akabane mulai memegang pedang pada usia sekitar tiga tahun dan mulai bertarung satu sama lain pada usia lima tahun. Sejak saat itu, kami saling menarik pedang dengan sedikit provokasi… Umur sepuluh tahun adalah saat kami dikirim ke lapangan untuk pertama kalinya. Begitu kami mencapai usia dua belas tahun, kami diharapkan aktif sebagai assassin sepenuhnya.”

“Ehh, kedengarannya luar biasa… Berapa tadi umur si sampah Kagura itu?”

“Dia lahir di tahun yang sama denganmu. Dia akan berusia empat belas, tahun ini. Dalam hal pengalaman assassin, pengalamannya tiga tahun lebih sedikit.”

“Bagaimana dengan si kembar?”

“Mereka berusia sembilan tahun. Sudah hampir waktunya bagi mereka untuk turun ke lapangan.”

Ayaka menjawab “oh…” dan melahap semangka. Renko meminum jus semangka sambil menyeruput. Eiri menunduk, menatap ujung jarinya dengan saksama.

“…Sudah, enam belas.”

Setelah beberapa saat, dia secara tidak sengaja bergumam pada dirinya sendiri.

Kering, serak, pecah-pecah. Suaranya terdengar seperti akan hancur.

Tidak perlu dengan sengaja menanyakannya. Yang dia maksud dengan enam belas adalah usianya setelah melewati hari ulang tahunnya musim panas ini. Seandainya dia bekerja sebagai seorang assassin, berdasarkan usianya, dia akan memulai tahun keenamnya.

Namun, Eiri–

“…Haaa. Ngomong-ngomong, bahkan kedua anak itu akan menyusulku. Pertama kali aku dikirim untuk membunuh, mereka baru saja mulai memegang pedang… Fufu. Sungguh menggelikan. Aku sepernuhnya seorang aib, itu menggelikan.”

“Eiri…”

“–Sudah enam tahun lho? Tidak bisa membunuh, aku masih berusaha sekuat tenaga. Dalam sekejap, enam tahun sudah berlalu. Tapi aku tidak membuat kemajuan sedikit pun… Aku masih tidak bisa membunuh. Dikirim ke institusi yang tidak dapat dimengerti, aku jadi mengenal kalian, akhirnya makan semangka dengan santai di sini… Apa yang kulakukan? Apakah aku harus menjadi Kuku Berkarat sampai akhir hayatku?”

“ “ “…..” ” ”

Eiri mengolok-olok dirinya sendiri dengan nada suara yang ceria dan tertawa.

Melihat Eiri seperti ini, Kyousuke benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

Renko berada dalam situasi yang sama dengan Eiri tapi ia mampu membunuh orang semudah bernapas.

Ayaka berada dalam situasi yang sepenuhnya berbeda, namun dia tidak memikirkan kehidupan orang-orang yang tidak berhubungan dengannya.

Lalu ada Kyousuke yang tumbuh di lingkungan yang sepenuhnya berbeda dengan Eiri dan masih menganggap pembunuhan sebagai hal yang tabu.

Tiga orang, tiga rangkaian keadaan yang berbeda, masing-masing dengan perbedaan kecil mereka sendiri.

Eiri ingin membunuh tapi tidak bisa, siapa yang bisa mengerti dilema ini?

Untuk memahami kegelisahan yang disimpan Eiri dalam hatinya selama enam tahun terakhir…

(…… Hmm?)

Tiba-tiba, fakta tertentu terlintas di benak Kyousuke.

Enam tahun. Itu adalah jumlah tahun yang Eiri habiskan setelah mengetahui kalau dia tidak bisa membunuh.

Enam tahun lalu, Eiri baru saja mencapai usia sepuluh tahun, kan? Kalau begitu…. Itu adalah usia ketika Eiri dikirim untuk melakukan pembunuhan pertamanya–

“Geh!? Apa-apaan ini, tidak ada satupun sisa dari nagashi-soumen!?”

Sesuatu mengganggu pikiran Kyousuke. Suara laki-laki yang agak gelisah.

Di belakang Kyousuke dan teman-temannya yang sedang duduk di beranda, seorang pria muda dengan hakama merah berdiri tepat di belakang Eiri, bahunya terkulai karena kecewa.

“Uwah, sayang sekali… Aku seharusnya memaksakan diri untuk tetap bangun jika aku tahu kita akan melakukan nagashi-soumen. Sengaja membangunkanku setelah acara itu untuk memberitahuku, si Kagura itu sudah kelewatan, kan!? Apakah dia menyimpan dendam besar padaku? Merendahkanku karena aku melewatkan makanannya!?”

“Nii-san–”

“Yo, selamat pagi. Eiri. Apa nagashi-soumennya menyenangkan?”

“…Tidak juga.”

“Ya, sebaiknya begitu. Kalian sudah beralih ke semangka, sialan kalian semua!”

“Hei… H-Hentikan itu!”

Basara mengusap kepala Eiri secara sembarangan, menyebabkan Eiri menepis tangannya dengan tidak senang.

Basara tertawa “haha” lalu mengambil sepotong semangka dari piring—

“Aku pinjam kursi di sebelahmu, Dada Raksasa.”

Kemudian dia duduk bersila di samping Renko.

Seketika, Ayaka bangkit dan memarahinya.

“Oh ayolah! Apa sih yang kau lakukan, duduk di sebelah Renko-san hanya dengan sembarang bicara!? Sampah sepertimu tidak layak duduk di sana. Pergilah!”

“Sampah!? Kenapa kau tiba-tiba marah padaku…”

“Ini semua karena kau tanpa malu duduk di sebelah Renko-san! Tidak hanya itu, kau juga mengganggu Eiri-san dan memperlakukannya seperti idiot. Kau bahkan bilang pada Ayaka–”

“Oh, aku mengerti! Pertama kali kita bertemu, aku menyebutmu belum tumbuh dan berkata aku tidak tertarik atau omong kosong semacam itu, jadi sekarang kau merajuk? Maaf yo… Sebenarnya aku merasa kau cukup manis, loh? Hanya saja aku tidak bisa tertarik ketika usianya terlalu muda! Tidak seperti Kagura, tingkat kekanak-kanakanmu sesuai dengan usiamu.”

“…Kau benar-benar ingin kepalamu hancur seperti semangka, ya?”

Mata Ayaka kehilangan cahayanya. Melihat Ayaka akan mengamuk, Renko langsung mencoba menghiburnya.

“Jangan marah, jangan marah. Duduk di sampingku bukanlah masalah besar. Jadi, jangan terlalu marah–Oke?”

“Muu. Ayaka akan melepaskanmu karena Renko-san berkata begitu.”

Ayaka cemberut dan duduk kembali.

Basara berseru “Wow!” dan bahagia, tersenyum pada Renko.

“Terima kasih, Dada Raksasa–Tidak tunggu, Renko-chan! Aku sangat senang ada yang membelaku. Aku selalu dikelilingi oleh para jalang yang mudah marah seperti ini. Kebaikanmu sangat menyentuh…”

“Foosh. Memiliki dada raksasa, membuatku memiliki hati yang sangat besar, Onii-san.”

“Oh, aku mengerti! Sekarang setelah kamu mengatakannya, Eiri, Kagura dan Ayaka-chan semuanya memiliki kesamaan sebagai gadis berdada rata dengan kepribadian yang pemarah. Kata-katamu sungguh bijak.”

“Tititmu mau dipelintir.”

“…Matilah saja sana.”

Ayaka mengumpat sementara Eiri menyumpahinya.

Basara menjawab “woah, menakutkan sekali…” dan menggigit semangka.

“Mari kita lupakan payudara untuk saat ini. Renko-chan, kenapa kau tidak memanggilku langsung ‘Basara’ saja? Kau tidak perlu menggunakan sebutan kehormatan. Seharusnya jauh lebih mudah untuk mengobrol seperti ini.”

“Iya aku tahu, Basara. Bicara dengan wanita cantik mungkin bikin gugup, jadi jangan terlalu kaku oke?”

“Tidak, aku tidak akan gugup karena topeng gasmu mencegahku untuk melihat wajahmu! Kamu lebih menunjukkan payudara daripada wajah! Ngomong-ngomong, itu terlihat sangat besar. Pemandangan indah ini membuat kaku bagian lain dari diriku…”



“Ooooooooooooooooooh~~~~~~!”

Niat Basara sangat jelas. Ayaka menggeram melihat pemandangan itu.

Menarik lengan baju Kyousuke dengan keras, dia berkata:

“Onii-chan, onii-chan! Apa kau tak masalah membiarkan pria genit seperti itu memperdaya Renko-san!? Apa kau tidak merasakan apa-apa saat Renko-san dilirik dengan mesum!?”

“…..Hmm.”

Kyousuke baru menyadarinya saat didesak oleh Ayaka. Saat ini, emosi di dalam hatinya sangat gelisah. Itu setelah dia melihat Renko dan Basara–mengobrol dan tertawa dengan pria lain.

Untuk berpikir bahwa emosi yang tidak disangka-sangka mirip dengan rasa cemburu ini muncul di hatinya.

Dia sangat terkejut mengetahui hal ini.

(Tidak, tidak, tidak, tidak! Mustahil, mustahil, mustahil, mustahil, bagaimana ini bisa terjadi!?)

Kyousuke langsung menyangkalnya dan menggelengkan kepalanya.

Mustahil itu mungkin. Yang mustahil pasti sama sekali tidak menjadi mungkin..

Kyousuke adalah seseorang yang benar-benar biasa. Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta dengan pembunuh psiko yang akan membunuhnya begitu perasaan mereka sama?

Sesaat setelah dia mengakui perasaan ini, hidup Kyousuke akan berakhir. Tidak ada jalan untuk kembali. Menuruni lereng kehancuran, dia akan segera menyerah pada akhir yang sangat buruk dari “perhentian hidup.”

Dia sama sekali tidak tertarik pada akhir seperti ini. Oleh karena itulah–

“…Nah? Aku tidak merasakan apa-apa. Itu hanya payudara, semua pria pasti ingin melihatnya. Tidak perlu ribut-ribut soal itu. Biarkan saja.”

Kyousuke mengalihkan pandangannya dari Renko dan Basara yang akrab, mengobrol tanpa henti, lalu mulai makan semangka.

Ayaka berkata “huh?” dan mengayunkan twintail-nya.

“…Onii-chan, apa kamu merasa gelisah?”

“Huh? Tentu saja tidak.”

“J-Jelas-jelas kamu…”

“Gak.”

Kyousuke berhenti memperhatikannya dan mengunyah semangka.

Ayaka berkedip dulu lalu bertanya pada Eiri di sisi lain.

“…Dia gelisah, bukankah kau setuju, Eiri-san?”

“Ya, itu pasti, Jelas, tidak peduli bagaimana kau melihatnya… Hmph.”

“Itu aneh. Kenapa kau tampak gelisah juga, Eiri-san?”

“Tidak.”

“B-Benarkah…”

Dihadapkan dengan bantahan dingin, Ayaka menggaruk wajahnya–

“Fufu. Baik Onii-chan dan Eiri-san sangat suka sok kuat… Baiklah, Ayaka juga merasa itu hal yang menyenangkan untuk ditonton dari pinggir!”

Dia tersenyum puas.

Kemudian membuka rahangnya lebar-lebar, dia menggigit semangka.

“–Ngomong-ngomong, apa rencana kalian selanjutnya?”

Setelah beberapa saat, yang tersisa di piring hanyalah kulit semangka. Saat itulah Basara bertanya.

Renko menyilangkan lengannya dan berkata “hmm”–

“Kupikir tidak ada rencana khusus? Aku berpikir untuk meminta seseorang membawa kami berkeliling ke tempat lain, tapi tidak ada yang lebih dari itu. Kami masih punya tiga hari lagi, yang mungkin akan dihabiskan di waktu senggang seperti ini.”

“…Kau benar. Tinggal PR yang tersisa.”

“Kedengarannya seperti sesuatu yang sepele, tapi jumlah PR-nya bukanlah sesuatu yang bisa kau lakukan setengah-setengah, lho?”

Liburan musim panas di Sekolah Rehabilitasi Purgatorium hanya seminggu singkat, tapi jumlah PR yang diberikan sangat mengejutkan.

Selain buku laporan, penelitian mandiri, ada juga buku latihan berjudul “musuh liburan musim panas” yang hampir setebal kamus.

Kyousuke telah bekerja sama dengan teman-temannya untuk menyelesaikan semuanya selain dari buku latihan sebelum berangkat dari sekolah, tapi kemajuan buku latihannya kira-kira hanya setengahnya sejauh ini. Dia akan terbunuh kecuali dia bergegas.

–Setidaknya itulah yang Kyousuke pikirkan.

“Musuh liburan musim panas? Aku sudah mengalahkan makhluk itu berabad-abad yang lalu.”

“Kamu masih belum mengalahkannya, Onii-chan?”

“Huh?”

Seperti yang diharapkan dari peringkat satu dan tiga tahun angkatam. Sementara semua orang mempertaruhkan nyawa mereka untuk melawan musuh yang tangguh, mereka sudah mengurus makhluk-makhluk itu dengan mudah…

“Aku masih tersisa hampir seribu halaman–”

“Lambatnya! Dan kamu bertindak sangat tidak pintar.”

“Apa… katamu?”

Kyousuke terkejut mendengar hinaan dari Eiri, yang berada di urutan kedua dari belakang di tahun angkatan.

–Tak bisa dipercaya. “Musuh liburan musim panas” Eiri mencakup semua mata pelajarannya yang gagal. Dengan kata lain, dia seharusnya memiliki musuh sebanyak sembilan buku.

Terlepas dari itu, apa-apaan ketenangannya itu…

“Cukup salin dari orang lain dan selesai.”

“…Kau sadar kalau kau akan dibantai jika ketahuan kan?”

“Dungu-Bane-san tidak mungkin bisa menjawab semuanya dengan benar. Game akan langsung berakhir.”

“Apa kau akan kembali ke nama panggilan, Ayaka-chan? Tapi memang benar bahwa Eiri itu dungu.”

“Tidak perlu khawatir tentang itu.”

Eiri tersenyum percaya diri.

“Setiap beberapa ratus halaman, aku akan menjawab pertanyaan sendiri dan membiarkan yang lain kosong seolah-olah aku tidak tahu jawabannya. Jika aku mengikuti pola ini, satu buku latihan dapat diselesaikan dalam waktu singkat, mengerti?”

“…Begitu ya.”

Kyousuke yakin Eiri akan dihajar. “Wow, luar biasa–” Ayaka mengungkapkan kekagumannya dengan nada suara bodoh sementara Renko mengangguk “Ya. Sungguh idiot.”

Meski begitu, dihadapkan dengan tiga ribu halaman dikalikan dengan sepuluh buku latihan, menyalin semuanya sama sekali tidak mungkin. Mungkin akan tidak benar untuk menyatakan bahwa metode Eiri sepenuhnya salah.

Mengenai pendisiplinan, itu kemungkinan besar tidak terhindarkan…

“Hahaha! Jadi sepertinya kalian tidak memiliki rencana pasti.”

Basara tertawa setelah mendengarkan percakapan mereka, sudut bibirnya melengkung.

Dia mulai menggeledah di lengan kimononya dan akhirnya menemukan selembar kertas–

“…Bagaimana kalau menghadiri ini malam ini jika kalian tidak punya rencana? Aku menemukan ini tertempel di papan pengumuman di kaki gunung pagi ini.”

Saran Basara membuat Kyousuke dan teman-temannya saling bertukar pandang. Ditulis dengan jelas di kertas yang ditunjukkan oleh Basara adalah–

‘Festival Tari Bon Malam Musim Panas’

× × ×


Sebuah desa yang tenang. Warga jarang mengunjungi keluarga Akabane sedangkan di sisi lain, anggota keluarga Akabane akan sesekali turun ke desa, membeli makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya di sana.

Sebagai catatan tambahan, itu semua adalah pekerjaan untuk pelayan. Sebelum menjadi orang dewasa sepenuhnya–dengan kata lain, assassin sepenuhnya–anggota keluarga utama seperti Eiri hampir tidak pernah diizinkan keluar sampai usia dua belas tahun.

Karena putra tertua, Basara, putri tertua, Eiri dan putri kedua, Kagura, semuanya berusia lebih dari dua belas tahun, mereka dapat meninggalkan mansion selama kepala keluarga, Fuyou, memberi izin.

Di sisi lain, sebagai terpidana pembunuhan di tengah menjalani hukuman mereka (?), Kyousuke dan teman-temannya bertanya pada Busujima dan mendapati–

‘…Pergi keluar? Tentu tidak apa-apa jika kalian ingin meninggalkan rumah, tapi aku harus menemani kalian sepanjang waktu, itu saja.’

–Itulah jawaban yang mereka dapatkan. Tidak perlu dikatakan bahwa ini berlaku untuk Renko dan Ayaka, yang secara resmi dibebaskan bersyarat, tapi bahkan Kyousuke dan Eiri bisa diperlakukan dengan cara yang sama. Sepertinya tidak ada masalah selama Busujima menemani mereka. Itulah keseluruhan ceritanya–

“Woohoo, merdeka!”

“Kami bebas~~~~~~!”

Dayang membuka pintu masuk utama untuk rombongan mereka.

Ayaka dan Renko berlomba untuk berlari keluar, mengungkapkan kegembiraan di hati mereka dengan berteriak.

“Bukankah mereka terlalu senang?”

“…(Menguap).”

Kyousuke dan Eiri sedang berdiri di dalam pintu, melihat ke arah Renko dan Ayaka yang berteriak dan menjerit.

“Wah, ini luar biasa… Pemandangan seperti itu benar-benar indah!”

Basara menjulurkan ibu jari dan jari telunjuknya untuk membuat bingkai persegi panjang sambil menyipitkan mata berwarna perunggu. Menyadari perilakunya, Eiri menoleh ke belakang dan mengerutkan kening.

“…Apa yang kau lakukan, Nii-san?”

“Fufufu. Aku ingin menanam gambar ini ke dalam film hati dan jiwaku. Renko-chan, Ayaka-chan dan Eiri yang mengenakan yukata! Lehermu terlihat sangat cantik…”

Basara menarik kembali fokusnya dan mengecilkan bingkai untuk merekam leher Eiri.

Eiri mendecakkan lidahnya dengan tidak senang dan kabur dari pandangannya.

“Sungguh, kau benar-benar sampah cabul. Tolong jangan jadikan aku subjek tatapan cabulmu.”

Menatap Basara, Eiri berpakaian tradisional Jepang, bukan pakaian barat. Dia mengenakan yukata dengan latar merah yang cocok dengan pola peony. Rambutnya, setelah ditata, dijepit dengan aksesori bunga putih.

Dalam tampilan yang jarang, Eiri berias tipis dan memiliki penampilan yang sangat bersih dan rapi secara keseluruhan. Melihatnya mengenakan yukata, Kyousuke telah memberikan pujian tanpa akhir, tapi…

‘H-Hmph… Benarkah? Dipuji oleh orang sepertimu sama sekali tidak membuatku senang. Aku tidak senang, oke!? Aku tidak memakai riasan tipis karena dirimu, mengerti!?’

–Dia menjadi sasaran omelan yang begitu kejam.

Dimarahi seperti halnya Kyousuke oleh Eiri, Basara menggelengkan kepalanya dan berkata “Ya ampun.”

“Sungguh tidak jujur, wahai adikku… Terserahlah, kurasa itulah yang membuatmu imut?”

Selain itu, Eiri bukanlah satu-satunya orang yang telah berganti pakaian.

Masing-masing, Kyousuke dan Busujima telah berganti ke pakaian kasual Jepang, set jinbei, sedangkan Renko dan Ayaka mengenakan yukata.

Renko berhenti segera setelah keluar, melihat ke bawah untuk memeriksa pakaiannya–

“Ini benar-benar pertama kalinya aku mengenakan pakaian Jepang. Rasanya sedikit berangin? Sangat tidak nyaman. Tidak mengenakan apa-apa di balik ini, rasanya… memalukan.”

“Fufu. Ayaka tidak akan menyebutkannya kepada orang lain, tapi Renko-san, kelimanmu sangat pendek. Mau bagaimana lagi kalau itu mengganggumu. Ngomong-ngomong, kenapa kau memilih gaya ini?”

Ngomong-ngomong, gaya yukata yang dikenakan Ayaka terdiri dari kain ungu muda dengan motif bunga iris. Dilihat baik-baik, Kyousuke melihat aksesoris bunga ungu tua di dasar twintailnya.

Jika tampilan yukata Eiri dikategorikan “cantik”, maka tampilan Ayaka memberikan kesan “imut”.

Adapun apa yang dikenakan Renko–

“Tipe ini!? Tidakkah menurutmu gaya ini keren!? Shuko–!”

–Ada topeng gas dan headphone yang dia pakai setiap hari.

…Jika Kyousuke mencoba maklum sebanyak mungkin, dia bisa mengabaikan kedua objek itu.

Namun, bahkan pilihan pakaiannya kali ini cukup aneh. Yukata-nya berwarna biru cerah dengan hiasan kelopak bunga sakura berwarna putih dan merah muda. Secara keseluruhan, itu lebih mirip seperti rok mini.

Renda yang bahkan dijahit sampai ke kerah, lengan, keliman, dan sabuknya.

Dengan tangan di pinggul, Renko membuat pose, membuat Ayaka merespon dengan sangat jijik.

“Benarkah? Tidak peduli betapa besarnya Ayaka mendukung Renko-san, pakaian ini tetap… terasa sangat murahan, juga seperti cosplay… Seperti seseorang yang bekerja di industri seks.”

“Industri seks!? Tidak bisakah kamu memilih kata-kata yang lebih baik!?”

“Renko-san, kaulah yang harus memilih lebih baik. Apa-apaan penampilan aneh ini…? Ayaka benar-benar tidak bisa memahami seleramu. Orang yang membeli yukata semacam ini saja sudah cukup aneh.”

“Oh, yang itu? Aku yang membelinya.”

Basara mengangkat tangannya, mengakui tanggung jawabnya akan itu.

“Aku bermaksud agar pacarku memakainya. Itu sangat seksi, kan? Menurutku itu pasti akan terlihat bagus pada Renko-chan yang seksi. Menggabungkan yukata dengan topeng gas sangat inovatif, hanya melihatnya saja sudah membuatku bergairah. Pakaianmu benar-benar membuatku bahagia, Renko-chan!”

Basara menyeringai dan memujinya. Mendengarnya, Renko tertawa dengan “foosh–”

“Ya, sudah kuduga, kan!? Anak laki-laki menyukai penampilan seperti ini. Kamu sebenarnya menyukainya, kan, Kyousuke?”

“…Um.”

Kyousuke tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Sejujurnya, Kyousuke tidak terlalu menyukai penampilannya. Dibandingkan dengan rok mini, yukata biasa akan menang langsung dalam pandangannya. Bahkan dari segi dekorasi, renda di mana-mana pun menjadi masalah karena tidak cocok dengan pakaian Jepang. Itu terlihat sangat aneh.

Selain itu, ada topeng gas di wajahnya yang merusak segala macam suasana.

Tidak ada yang menarik dari kepala hingga kaki. Tapi meski begitu, ada apa dengan reaksinya?

“…K-Kurasa kau benar. Rasanya tidak buruk, kurasa? Aku tidak membenci… nya.”

Kata-kata seperti itu keluar dari bibirnya secara otomatis.

Kyousuke sendiri tidak mengerti kenapa. Namun, dia secara misterius merasa tidak senang ketika bayangan Basara yang memuji Renko langsung muncul di benaknya—Tanpa dia sadari, dia sudah berbicara.

Renko dengan senang berkata “sungguh!?” dan mengangkat tangannya untuk bersorak.

“Yay, itu luar biasa! Kyousuke memujiku!? Foosh–Lihat lihat, seleraku dalam memilih yukata memang bagus, Ayaka-chan. Sudah kubilang kan!”

“Haaa, itu karena kaulah yang memakainya, Renko-san. Itu tidak ada hubungannya dengan yukata… Apa kau tidak memperhatikan reaksi aneh Onii-chan saat melihatnya?”

“Eh, bukankah itu perbedaan yang sangat besar? Sungguh aneh… Aku ingat kamu begitu sulit memuji. Renko-chan, mungkinkah kau telah ‘menangkap’ Kyousuke-kun!?”

“……”

Ayaka menjawab Renko dengan tenang sedangkan Basara melihat ke kiri dan ke kanan antara Renko dan Kyousuke. Adapun Eiri, dia menggembungkan pipi dengan cemberut, memelintir helai rambut di kuncir kudanya dengan jarinya.

“Terima kasih telah menunggu, maaf atas keterlambatannya.”

Kagura kemudian muncul.

Seperti Eiri dan para gadis, dia juga mengenakan yukata. Di kain putih, ada burung merah terbang. Secara alami, senjata samarannya dimasukkan ke dalam sabuknya–Bilah kipas itu, Red Bird.

“Aku berlatih sampai tiba waktunya untuk bersiap-siap. Apakah sudah waktunya untuk pergi?”

“Ya, perlu sepuluh menit dari rumah ke kaki gunung menggunakan mobil. Kemudian dari sana ke lokasi tersebut membutuhkan dua puluh menit berjalan kaki, jadi kita akan tiba tepat waktu.”

“Hmph.”

Basara menjawabnya tapi Kagura bereaksi dengan jijik.

Lalu dia menghela nafas.

“…Basara-niisan. Kau punya hobi yang sangat aneh. Jauh-jauh menghadiri festival rakyat jelata di kaki gunung, jangan bilang kalau kau mau ke sana untuk pergi mengincar cewek?”

“Haha. Tidak, tidak, aku hanya ingin mengalami ‘musim panas’ di kerumunan yang hidup ini, itu saja.”

Basara tersenyum dan merentangkan tangannya lebar-lebar.

Sebuah acara malam musim panas diadakan di SMP di kaki gunung dari jam 6 sore sampai jam 9 malam–Festival Tari Bon. Kyousuke dan teman-temannya berkumpul di sini untuk menghadiri acara tersebut.

Karena orang tertentu adalah orang yang menawarkan untuk pergi, Kyousuke dan Eiri sebenarnya tidak benar-benar ingin pergi…

‘Festival Tari Bon!? Belum pernah dengar, benar-benar ingin pergi, super ingin pergi! Foosh–’

‘Ayaka juga, Ayaka ingin pergi! Ayaka ingin pergi menyendok ikan mas bersama Renko-san dan makan es serut bersama-sama!’

Desakan Renko dan Ayaka terlalu menakutkan, sehingga pada akhirnya mereka sepakat untuk pergi kesana.

Berganti ke pakaian pinjaman, mereka semua berkumpul di depan pintu masuk utama.

“Ngomong-ngomong…” kata Basara sambil melihat ke arah Kagura.

“Agak mengejutkan kalau kamu ikut, lho? Kau selalu berlatih tanpa henti selama kau bangun, Kagura, jadi ini sangat tidak biasa mengingat kepribadianmu yang dingin. Angin apa yang membawamu ke sini?”

“Tidak ada.”

Kagura memalingkan wajahnya dengan jijik.

“Fuyou-sama menyuruhku ikut. Dia bilang aku perlu santai sesekali… Tidak ada alasan lain. Bukan seperti aku sendiri yang memutuskan untuk ikut.”

“Benarkah?”

Meninggalkan Basara yang menyeringai ringan, Kagura mulai berjalan sendiri.

Limosin merah diparkir tepat di depan pintu masuk utama. Dayang membuka pintu ke kursi belakang. Ayaka bersorak dan memasuki mobil bersama Renko untuk duduk.

“Baiklah, ayo masuk juga.”

“Oh, oke…”

Kyousuke diintimidasi oleh gaya mewah keluarga Akabane dan mengikuti Eiri.

Orang terakhir yang tersisa adalah Basara dan Busujima.

Melirik pria paruh baya yang tampak miskin itu, Basara menekankan telapak tangannya ke dahinya.

“Eh, sungguh aneh. Aku berharap bisa merangkul gadis ber-yukata di kiri dan kanan, membuat mereka menjerit untukku… Tapi jangankan seorang wanita di setiap lengan, bukankah kita tersisihkan, Sensei?”

“Eh, aku tersisihkan lagi!?”

“…Benar. Sensei, kamu tidak pernah bergabung dalam percakapan mereka selama ini.”

“Eh!? K-Kurasa kau benar–”

“…Tidak ada harapan. Sepertinya aku harus mengikuti saran Kagura dan menggoda gadis-gadis.”

Busujima sangat terkejut sementara Basara merasakan gelombang kelelahan. Di dalam limusin, Kyousuke dikelilingi oleh para gadis, menarik perhatian mereka menggantikan Basara.

× × ×


Setelah mencapai kaki gunung, rombongan meninggalkan limusin dan menuju tempat tersebut. Dayang meminta mereka menunggunya di lokasi yang sama untuk perjalanan pulang. Setelah berpisah dengannya, Kyousuke dan rekan-rekannya berjalan ke desa yang sunyi.

Di samping ada pemandangan pedesaan yang dipenuhi tanaman hijau dengan tidak banyak rumah. Dengan lekukan hijau tajam sebagai latar belakang, ada deretan menara logam abu-abu tua.

Menjelang matahari terbenam, langit musim panas memiliki rasa ketenangan dengan sinar matahari yang lembut.

Jalan desa ditutupi dengan lapisan aspal. Dipimpin oleh Basara, iring-iringan berbaris di sepanjang jalan.

Kyousuke, Renko, Ayaka, Eiri, Kagura, Basara, Busujima… Formasi yang luar biasa. Semua penduduk lokal yang lewat melompat ketakutan, tatapan mereka terfokus pada rombongan itu, saling berbisik di antara mereka.

“Hei, lihat itu–” “Orang-orang itu terlihat sangat asing.” “Salah satu dari mereka menutupi wajahnya.” “Apakah orang-orang ini dari desa?” “Tidak mungkin? Mereka dari sana, yang tinggal di pegunungan–” “Oh, menurutku mereka disebut… Akabane. Orang bilang mereka sangat kaya.” “Benar! Aku pernah melihatnya sebelumnya secara kebetulan. Limo merah yang sangat berkelas melaju ke pegunungan.” “Haruskah kita mencoba berbicara dengan mereka?” “Aku terlalu takut!” “Kakek menyuruhku untuk tidak terlibat dengan orang-orang itu.” “Nenekku mengatakan hal yang sama.” “Ibu–wanita di sana itu memakai topeng, kan? Terlihat menyenangkan, kan?” “Hush! Berhenti menatapnya!”

Kerumunan terus mengobrol dan berkomentar. Ini karena rombongan Kyousuke berpakaian glamor dan sangat mencolok. Semakin dekat mereka mencapai tempat Festival Tari Bon, semakin banyak pejalan kaki, mengalihkan pandangan penasaran mereka ke arah rombongan Kyousuke.

Namun, matahari secara bertahap mulai terbenam. Suara musik tari Jepang dan gendang bisa didengar. Di bawah naungan langit malam yang redup, semakin sedikit orang yang memperhatikan mereka.

“Eh? …Sepertinya lebih ramai dari yang diperkirakan!”

Mungkin karena ada banyak tanah kosong di pedesaan, lokasi acara tersebut, SMP itu cukup luas. Dipusatkan di sekitar panggung yang didirikan di lapangan olahraga, ada banyak lentera yang digantung untuk dekorasi. Cahaya oranye mewarnai cahaya senja di langit.

Di pinggiran ada banyak stan, menjual mie goreng, ayam goreng, jagung bakar, kentang keju dan warung permainan seperti pancing balon air atau menyendok ikan mas, semuanya berbaris bersama dalam kerumunan yang ramai.

Tempat di belakang Basara dipenuhi dengan orang-orang yang datang dan pergi. Dia menoleh ke arah rombongan Kyousuke dan berkata:

“Oke, bagaimana kita akan berkeliling? Tujuh orang itu agak banyak, jadi mari kita bagi menjadi dua kelompok di sini–”

“Pemandangan yang luar biasa, pemandangan yang terlalu menakjubkan! Apa-apaan pemandangan ini, sungguh mengagumkan–!”

Renko berteriak kegirangan dan meraih tangan Kyousuke.

“Terlihat sangat menyenangkan! Ayo cepat dan pergi ke sana, oke, Kyousuke!?”

“Woah!? Hei, berhentilah menyeretku–”

“Ayo, ayo, kamu akan ketinggalan jika kamu menundanya lebih lama lagi!? Cepatlah, Onii-chan!”

Ayaka dengan cepat meraih tangan Kyousuke dan berjalan melewati Basara. Jadi, mereka bertiga menuju ke stan-stan itu. Eiri berkata “oh, tunggu aku, oke!?” dan mengejar mereka.

“……”

Melihat mereka berempat perlahan-lahan menghilang di kejauhan, Basara menoleh untuk melihat kelompok yang tersisa, memaksakan senyum kaku dan menggaruk pipinya…

“Oh–Hmm. Seharusnya jadi dua kelompok, hahaha… Jika kalian tidak keberatan, aku akan keluar dan pergi sendiri?”

“…Tidak masalah. Aku tidak peduli, Basara-niisan. Aku juga ingin jalan-jalan sendiri daripada tetap bersama kalian.”

“Hah? Kenapa jadi pisah-pisah begini? Maka tidak ada gunanya datang ke sini sebagai rombongan…”

Basara memberikan sarannya dengan wajah serius dan Kagura menerimanya dengan sangat mudah.

Meninggalkan Busujima yang terkejut, mereka berdua berjalan menjauh ke arah yang berbeda.

“Itu benar, sejak awal aku ingin jalan-jalan sendirian. Mana mungkin aku ingin melihat-lihat kios jualan dengan rombongan Nee-san… Hmph, menggelikan sekali!”

“Aku tidak pernah menyangka gadis-gadis itu akan dibawa pergi… Sekarang karena sudah begini, aku hanya harus menggoda cabe-cabean lagi! Kyousuke-kun, tunggu saja–!?”

“…Kurasa aku akan membeli bir.”

Setelah Kagura dan Basara berangkat, Busujima berjalan menuju lapangan olahraga.

Sistem pengumuman publik memainkan iringan tarian Jepang dengan musik drum. Tawa riang orang bercampur di antaranya.

× × ×


“Kyousuke, Kyousuke! Apa itu?”

“Itu permen kapas. Mereka menjualnya di dalam kantong karakter kartun.”

“Itu luar biasa? Lihat, ada makanan merah yang seperti ruby?”

“Itu manisan apel. Kamu melapisi apel dengan lapisan gula–”

“Uwahhhhhhhhh!? Cepatlah lihat, mereka sepertinya menjual sesuatu yang tidak senonoh di sana!?”

“…Itu sosis, bukan sesuatu yang tidak senonoh.”

“Ohhh, di sana juga!? Begitu banyak benda hitam dan tebal!”

“Itu adalah pisang coklat. Berhentilah menggunakan deskripsi aneh seperti itu, oke?”

“Hei Kyousuke… Apa kau tidak mencium bau cumi-cumi?”

“Mereka memanggangnya tepat di depanmu! Ayolah, kau pasti membuat komentar ini dengan sengaja, kan!?”

Renko terlihat seperti baru pertama kali menghadiri festival semacam ini, menunjuk segalanya dan mengajukan pertanyaan. Kyousuke tersenyum kecut.

Dandanan Renko masih cukup menonjol, tapi topeng gas bisa diartikan sebagai topeng yang dijual oleh vendor, sehingga terlihat tidak terlalu mencolok.

Kyousuke kemudian bertanya pada Renko yang memeluk lengan Kyousuke.

“…Ngomong-ngomong, apakah kau ingin makan sesuatu? Jika ada yang menarik, katakan saja padaku–”

“Dia tidak bisa makan, Onii-chan.”

Menarik lengan baju Kyousuke di sisi berlawanan Renko, Ayaka berkata pada Kyousuke.

Mendengar itu, Kyousuke teringat sesuatu.

Dia melihat topeng gas di wajah Renko.

“Oh benar, bagus… Maaf. Kalau begitu, bagaimana dengan minuman? Atau bermain game seperti melempar lingkaran atau menembak sasaran? Kita harus bersenang-senang sekarang karena kita sudah di sini!”

“Tidak bisa bermain, Onii-chan. Kita tidak punya uang satu sen pun, kan?”

“–Oh.”

Oh benar. Meskipun mereka ingin memainkan beberapa dari permainan kecil itu, tragisnya, mereka tidak punya uang.

Dengan kata lain, yang bisa mereka lakukan hanyalah menatap dari pinggir…

Jilat jilat.

“…Hei, apa itu?”

Saat Kyousuke sedang berpikir, dia melihat Eiri menjilati manisan apel pada sebatang bambu.

Eiri memberikan tatapan “Kau tidak tahu?”.

“Apa maksudmu dengan, ‘itu’? Ini manisan apel.”

“Apa kau mencurinya!?”

“…Hah? Mana mungkin.”

“Kalau tidak, kau pasti menggunakan metode semacam itu, untuk meminta satu dari penjual, kan!? Tidak peduli seberapa cantiknya dirimu, kau tidak boleh menggunakan metode semacam itu–”

“Ambil ini.”

Mengganggu Kyousuke yang lehernya memerah, Eiri mengulurkan dompet padanya.

“…Ini uangnya. Okaa-sama bilang padaku ‘habiskan sesukamu’. Jumlahnya lima puluh ribu yen. Aku sudah membeli manisan apel, jadi tersisa 49700 yen.”

“Eh.”

–50000 yen? Itu terlalu berlebihan untuk membeli minuman di kios penjual.

Kyousuke melompat karena terkejut sementara Ayaka mengambil dompet itu dengan senyuman.

“Wow, makasih~! Eheheh… Tapi apakah ini benar-benar tak apa?”

“Ya. Lagian, itu hanya uang saku. Habiskan sesuka kalian.”

Eiri menjawab acuh tak acuh dan menjilat manisan apelnya.

Dengan mata berkedip, Ayaka berkata “…bagaimanapun juga dia gadis kaya” dan menggenggam dompet itu erat-erat. Kyousuke benar-benar kagum oleh sikap keuangan keluarga Akabane dan menundukkan kepalanya dengan panik, berterima kasih.

“Terima kasih atas kemurahan hati Anda, Nona Eiri.”

“Jangan panggil aku seperti itu. Ngomong-ngomong, Okaa-sama adalah orang yang harusnya kau ucapkan terima kasih, kan?”

“Kami perlu berterima kasih pada Eiri dan Bibi, terima kasih kalian berdua! Berkat kalian berdua kita dapat menikmati Festival Bon ini secara maksimal. Aku mencintaimu, Eiri! Aku mencintaimu~~~~~~! Foosh–”

“Tunggu… Berhenti menempeliku, kau sangat menyebalkan, oke!?”

Eiri berusaha keluar dari pelukan Renko dan mendecakkan lidahnya.

Kemudian dia menjilat manisan apelnya seolah-olah mencoba untuk mendapatkan kembali ketenangannya—

“…Ngomong-ngomong, kalian harus pergi membeli sesuatu, kan?”

“Ya. Mari kulihat–”

“Hei, hei.”

Saat Kyousuke melihat sekeliling, Renko menarik lengan bajunya.

“Kyousuke, apa itu?”

Renko menunjuk ke suatu objek, sebuah akuarium dangkal yang diletakkan di atas tanah. Di depannya ada dua anak yang mengenakan yukata, berjongkok sambil melihat makhluk-makhluk di dalam tangki, berfokus bersaingan akan sesuatu.

“…Oh, itu menyendok ikan mas. Ini tantangan untuk melihat berapa banyak ikan mas yang bisa disendok menggunakan kertas yang mudah sobek saat basah.”

“Hmm? Kedengarannya sangat menyenangkan. Aku ingin mencobanya!”

“Oh baiklah. Bagaimana denganmu, Ayaka…? Huh, aneh?”

Saat Kyousuke mengalihkan pandangannya dari Renko, dia tidak dapat menemukan Ayaka dimana pun.

Dompet itu ada dengan Ayaka, jadi jika terus begini, mereka bahkan tidak bisa bermain menyendok ikan mas. Mencari Ayaka yang telah menghilang di suatu tempat, Kyousuke melihat sekeliling untuk beberapa saat–

“Maaf membuat kalian menunggu!”

–Ayaka berlari kembali.

Dia memegang dua botol di masing-masing tangan. Botol kaca biru yang bentuknya ramping. Ayaka mengangkat botol itu ke samping wajahnya dan menyeringai.

“Berbicara tentang kios penjual, ini harus dibeli–Nih, nikmatilah!”

“Oh, oke… Makasih.”

“…Terima kasih.”

“Apa itu?”

Renko menerima botol dari tangan Ayaka dan memeriksa sampingnya, menatap dengan heran. Kondensasi menetes dari tubuh botol sementara Renko menerangi botol itu menggunakan cahaya lentera–

“Biar kutebak, ini seharusnya… minuman, kan? Minuman bersoda? Tapi bentuknya aneh. Bagian tengahnya sempit sekali! Apa ini, Ayaka-chan?”

“Ini disebut Ramune.”

“…RAMUNE?”

“Ya. Kau harus meminumnya saat pergi ke festival.”

“Benarkah? Karena kamu bilang begitu, ini dia… Eh, umm. Darimana aku harus memulainya?”

“Kau harus membuka botolnya seperti ini, lihat?”

Renko langsung bingung setelah menyiapkan sedotannya. Kyousuke mendemonstrasikan sekali. Membuka bungkusnya, dia mengarahkan alat pembuka botol ke tutup minuman dan menekannya sekaligus.

–Kyupon! Setelah suara yang sangat tajam, marmer yang menutupi leher botolnya didorong ke bawah sementara gelembung muncul dari minuman bersoda tersebut. Renko berteriak “shuko!?” dan bersandar karena terkejut.

“Wow, sepertinya ada sesuatu yang keluar… Apakah itu kristal?”

“Sebuah manik kaca. Cantik, kan?”

“Ya, sangat cantik… Tampak luar biasa. Aku juga akan mencobanya!”

Renko bersemangat dan mulai membuka Ramune-nya sendiri.

Meniru Kyousuke, dia merobek pembungkusnya dan mengarahkan pembuka botol ke lubang–

“Uwahhhhhh!?”

Saat pembuka botol didorong masuk, gelembung muncul dengan keras, menyembur keluar.

Minuman di dalam menetes keluar, membuat Renko panik, tidak yakin apa yang harus dilakukan selanjutnya.

“A-Apaaaaaa yang terjadi!? Ini barusan meletus!? Hanya milikku yang meletus!? Uwahhhhhh… Cepat dan bantu aku~~~!”

“Ohh? Seperti yang kuharapkan…”

“Kusukusu. Tidak bagus, jika kau tidak menekannya dengan tenaga yang tepat–”

“Kyah!?”

“Bahkan kau juga tidak tahu caranya, Eiri-san!?”

“M-Matilah saja sana…”

Tangan Eiri menjadi basah dan lengket oleh minuman bersoda Ramune. Dia memelototi botol yang menggelinding di tanah. Sepertinya dia secara tidak sengaja melepaskan botol itu ketika itu mengejutkannya saat dia membukanya.

Ayaka mengambil botol dan mengerutkan kening, bergumam “mubazir?”

“Mulut botolnya kotor. Bagaimana kalau Ayaka membelikan yang baru untukmu?”

“…Tidak, terima kasih. Aku akan membelinya sendiri.”

“Jangan khawatir! Foosh–”

“Kau tidak dalam posisi untuk bilang begitu padaku.”

“Hahaha. Sudahlah, mau bagaimana lagi karena aku belum terbiasa. Ini pertama kalinya untukmu juga, kan, menghadiri Festival Tari Bon?”

“Aku–”

Di tengah kalimat, Eiri tiba-tiba tergagap.

Dia sepertinya memikirkan sesuatu dengan tenang untuk beberapa saat sebelum berkata:

“…Ini sudah yang kedua kalinya. Tapi hampir seperti datang ke sini untuk yang pertama kalinya.”

Setelah mengatakan itu, Eiri berbalik.

Mengambil botol Ramune miliknya sendiri dari tangan Ayaka, dia mulai berjalan pergi.

“Oh–Hei, mau kemana?”

“Aku akan membuang botolnya… Kalian akan menyendok ikan mas, kan? Ada banyak kolam di rumahku, jadi jangan khawatir tentang menangkap ikan terlalu banyak.”

× × ×


“Terima itu!”

Meringkuk di depan akuarium, Renko berteriak sekuat tenaga sambil mengayunkan benda di tangannya. Dengan kekuatan yang luar biasa, sendok plastik tersebut langsung menuju ikan mas bermata besar di dalam air lalu keluar dari air.

Air terciprat kemana-mana. Meringkuk di samping Renko, Ayaka berseru “dinginnya!?” dan melompat ke samping.

“…Eh? Sudah sobek?”

“Tentu saja. Kenapa kau tiba-tiba menggunakan kekuatan penuh… Ini akan sobek begitu menyentuh air, kan?”

Kertas di sendok Renko sudah berlubang besar. Menyeka pipinya yang basah dengan lengan yukata, Ayaka menyiapkan sendok di tangannya.

“Dengarkan baik-baik, Renko-san. Menyendok ikan mas sebenarnya adalah permainan yang membutuhkan keterampilan yang presisi. Pertama-tama kau harus memilih targetmu. Temukan model yang sedang melamun di dekat permukaan air. Jika kau menyendok dari ekor, mereka akan melarikan diri, jadi lebih baik memulainya dari kepala. Kau harus memperhatikan situasi tekanan air sambil menggerakkan sendokmu, lalu angkat semuanya sekaligus… Seperti ini!”

–Setelah sedikit terpeleset, ikan mas itu meluncur dari kertas dan lolos dari sendoknya.

Membeku selama beberapa detik, Ayaka kemudian menunjukkan senyum malu di wajahnya.

“Umm, ehhhh… Aneh? Mungkin sudah terlalu lama, jadi tangan Ayaka sudah karatan. Oke, Ayaka akan menyendok lagi… Perhatikan!”

–Pelarian licin lainnya. Dia telah membidik ikan mas yang sama tapi berhasil lolos.

Menatap ikan mas itu, ekspresi Ayaka menjadi kosong.

“……”

Untuk sementara, dia diam-diam mengayunkan sendok itu. Namun, dia bahkan tidak menangkap ikan itu sekali pun. Tampaknya mulai gelisah, gerakan tangan Ayaka berubah semakin kasar–

“ “Ah!?” ”

Akhirnya, kertasnya pecah.

Cahaya sepenuhnya lenyap dari iris mata Ayaka, yang sendoknya tidak lagi bisa digunakan untuk melawan ikan mas merah yang berenang dengan anggun di depan matanya. Saat berikutnya, dia bertingkah keterlaluan.

“…Saatnya bersikap baik, Tuan Ikan Mas. Biarkan permainan ini berakhir di sini–!?”

Ayaka mencelupkan sendok yang rusak ke dalam air.

Mengincar ikan mas yang telah lepas dari tangannya berkali-kali, dia menyapu sendok ke samping–

“Lihat? Ayaka sudah menangkapnya, kan? Kusukusu…”

Menjepit ikan mas di antara sendok dan dinding akuarium, dia memencetnya dan menangkapnya.

Ditangkap dengan cara seperti ini, ikan mas terengah-engah saat terkena udara, sebelum akhirnya dilempar ke dalam mangkuk. Ikan mas yang malang itu tampak sangat lemah, mengambang di air dengan lemas.

“–Oke, begitulah caramu menyendoknya! Mengerti?”

“Ya. Kau tidak melakukan sesuatu dengan presisi sama sekali, aku mengerti sepenuhnya.”

“…Ikan mas adalah makhluk hidup juga, lho? Jangan menyiksa mereka.”

“Dilarang menggunakan dinding akuarium, nona kecil. Tapi karena kamu manis, aku akan mengabaikannya.”

“Ehehe. Maaf?”

Diingatkan oleh pemilik warung, Ayaka menjulurkan lidahnya. Kyousuke memperingatkannya “jangan menyebabkan terlalu banyak masalah untuk orang lain, oke?” dulu dan membayar pemilik kios uang seribu yen.

“Ngomong-ngomong, ini bayarannya. Tolong biarkan dia bermain lagi.”

“Tidak masalah. Apakah kau tidak akan mencobanya juga?”

“Tidak, terima kasih, aku tidak berencana mencobanya… Aku sudah cukup senang dengan menonton dari samping.”

Tangan Kyousuke kasar hingga setingkat dewa penghancur dan sangat buruk dalam menyendok ikan mas.

Renko menerima sendok baru dari pemilik kios dan bersemangat.

“Hmph, shuko–! Lain kali, aku pasti akan menangkapnya. Aku akan menunjukkan keahlianku yang sebenarnya!”

“Kusukusu, Ayaka merasakan keterampilannya telah kembali! Ayaka akan menghasilkan gerakan pamungkas yang melampaui tembok dan membawa kembali tangkapan besar ikan mas.”

Dengan senyum jahat yang muncul di wajahnya, Ayaka menyiapkan sendok barunya.

–Setelah itu, para gadis menghabiskan banyak waktu berburu ikan mas.

Renko memulai dengan buruk tapi segera mengerti triknya. Mulai dari sendok ketiganya, dia terus menangkap ikan mas satu demi satu.

Di sisi lain, ikan mas terus lolos dari genggaman Ayaka dan dia gagal menangkap satu ikan mas pun untuk waktu yang lama. Di tengah jalan, dia menyerah pada metode yang sah dan beralih ke cara curang.

Terkadang menggunakan sendok untuk memukul ikan mas, menggunakan mangkuk untuk menyendok ikan bersama dengan airnya, atau menggunakan gagang sendok untuk menyodok ikan mas sampai lemas, hingga akhirnya mengulurkan tangannya untuk menangkap ikan sepuasnya saat pemilik kios tidak melihat.

Renko dan Ayaka bersenang-senang sementara Kyousuke memperhatikan mereka dari belakang.

Pada saat ini, di depan matanya—

“…Ambil ini, ini untukmu.”

Satu porsi mie goreng ditaruh di depan wajahnya. Saat dia bertanya-tanya apa yang terjadi, dia menyadari kalau Eiri yang membawanya. Selain mi goreng, Eiri juga membawa takoyaki, okonomiyaki, dan sosis.

Saat dia bingung kemana Eiri pergi begitu lama, ternyata dia pergi mengunjungi kios lain.

“Oh terima kasih. Aku baru saja mulai lapar… Ngomong-ngomong, bagaimana kau membayarnya, Eiri?”

“Aku menyimpan 10.000 yen untukku. Akan terlalu ceroboh untuk membiarkan satu orang yang memegang semua uangnya, kan?”

“Oh–Aku mengerti… Hei, kau tampaknya sangat bijaksana bahkan dalam detail kecil.”

“Bukan apa-apa.”

Eiri dengan dingin memalingkan wajahnya–

“…Mereka berdua sudah menyendok ikan mas sepanjang waktu?”

Dia mengalihkan pandangannya ke arah Renko dan Ayaka. Kedua gadis itu asyik berburu ikan mas, sama sekali tidak menyadari bahwa Eiri telah kembali.

Menggunakan giginya untuk merobek sumpit sekali pakai, Kyousuke menjawab:

“Ya. Mengulanginya lagi dan lagi, mereka sudah bermain sekitar lima kali sekarang. Bagaimana kalau kau juga mencobanya?”

“…Hmm. Tidak tertarik.”

Eiri menjawab dengan tidak tertarik, pipinya dipenuhi dengan takoyaki.

Kyousuke mulai makan mie goreng–Hebat. Sausnya harum, sayurannya manis, dagingnya enak dan dengan hiasan bubuk rumput laut, memainkan harmoni rasa yang luar biasa.

Setelah menghabiskan beberapa hari ini dengan makan makanan lezat seperti itu, Kyousuke merasa bahwa kembali ke kehidupan di sekolah akan menjadi sulit.

Yang mereka makan hanyalah makanan sisa lagi dan lagi…

“Rasanya tidak bisa dipercaya.”

Kyousuke tiba-tiba mulai berbicara pada diri sendiri. Mendengarnya, Eiri mengerutkan kening.

Dia mengembalikan sosis yang akan dia makan kembali ke dalam kotaknya sambil bertanya:

“…Tidak bisa dipercaya bagaimana?”

“Seperti ini, pergi bersama kalian ke tempat yang biasa dikunjungi orang normal.”

“Oh, itu benar… Bagimu, kehidupan seperti ini yang kau sebut normal, kan?”

Berbicara dengan lembut, Eiri mengalihkan pandangannya ke sekelilingnya.

Orang-orang datang dan pergi, dengan suami dan istri yang membawa anak, anak remaja yang tersenyum, pasangan mesra. Ada pria dan wanita, tua dan muda, berkumpul di sekitar panggung untuk menonton tari. Terakhir, ada lentera yang mengeluarkan cahaya oranye.

Dan juga–

“…….”

Tatapan Eiri akhirnya tertuju pada bayangan gedung sekolah, yang menjulang di belakang tempat festival.

Fasilitas itu tidak mirip dengan Sekolah Rehabilitasi Purgatorium. Sebaliknya, itu sangat normal–sekolah yang dimasuki anak-anak masyarakat normal. Lahir di sisi gelap masyarakat, tumbuh di sisi gelap masyarakat, Eiri masih hidup di sisi gelap masyarakat. Baginya, tempat ini tidak biasa, dunia yang tidak biasa dia kunjungi. Eiri terus menatap gedung sekolah dengan seksama seolah-olah dia akan tersedot ke dalamnya. Kyousuke bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Eiri sekarang…

“Oh, Eiri!”

Kyousuke menjadi terpesona oleh sisi wajah Eiri, baru sadar kembali saat Renko memanggil.

Eiri berkata “…Hmm” dan dibawa kembali ke kenyataan.

“Kapan kau kembali? Dan kau mengambil kesempatan untuk membeli banyak makanan! Hebat, itu terlihat sangat enak. Aku ingin memakannya juga… Tapi aku tidak bisa!”

Menatap sosis dan okonomiyaki, Renko menginjak-injak tanah dan merajuk.

Ayaka berkata “ah–!” dan menunjuk ke arah Eiri.

“Eiri-san, sangat tidak adil! Untuk berpikir kamu membeli begitu banyak makanan–”

“Nih.”

Ayaka berdiri sebagai protes dan Eiri menyerahkan okonomiyaki dengan satu set sumpit sekali pakai. Rupanya, dia tidak lupa menyiapkan bagian untuk Ayaka.

“…Apanya yang tidak adil? Bukan berarti aku membeli semuanya untuk kumakan sendiri, kan? Melihat kalian begitu sibuk menyendok ikan mas, aku pergi duluan membeli makanan untuk semuanya.”

Mengatakan “Eiri-san…” dengan mata berkilauan, Ayaka mengulurkan tangan untuk menerima seporsi okonomiyaki.

Renko menggerutu dengan tidak puas:

“Ooooooh. Tidak mungkin, tidak ada untukku? Jangan bilang tidak ada yang bisa dimakan dengan masker gas!?”

“…Ya ada, seperti es serut. Tapi akan meleleh saat aku membawanya kesini dan aku tidak tahu rasa apa yang kau suka, itulah kenapa aku tidak membelikannya. Belilah itu sendiri.”

“Hrmph. Jika itu alasannya, aku tidak keberatan…”

Setelah menggumamkan keluhannya, Renko mengembalikan sendoknya yang sobek ke pemilik kios. Ayak juga mengembalikan sendoknya. Dengan sekantong ikan mas tergantung di tangan mereka sebagai rampasan kemenangan mereka, rombongan Kyousuke meninggalkan kios.

“Foosh–Ngomong-ngomong, kita benar-benar menangkap banyak.”

“Tak perlu dikatakan lagi. Ayaka dan Renko-san adalah pasangan yang kuat!”

“…Si pemilik kios itu pasti sangat kelimpungan.”

Ketika mereka pergi, Kyousuke merasa bahwa senyum bisnis pria itu mengejang.

Tepat ketika rombongan itu akan membeli es serut untuk Renko dan mendiskusikan kios permainan apa yang akan dimainkan selanjutnya–

“–Oh?”

Mereka menemukan seseorang yang tak asing.

Seorang gadis berpakaian yukata putih dengan burung merah terbang—Kagura–berdiri di depan sebuah kios, menerima manisan apel dari pemiliknya. Mata merah karat itu tampak bosan, saat mata itu menangkap pemandangan rombongan Kyousuke–

“…Hmph.”

–Dia segera mengalihkan pandangannya bersama dengan wajahnya.

Sebelum mereka bisa memanggilnya, dia pergi tanpa melihat ke belakang.

“Jangan bilang dia jalan-jalan sendirian?”

“…Yang lainnya sama. Sangat normal untuk berjalan-jalan sendiri, kan?”

Eiri menggerakkan dagunya ke arah tertentu, dimana tiga gadis asing berkumpul di sekitar Basara yang sedang bermain game menembak. Menyadari rombongan Kyousuke sedang menatapnya, Basara langsung membuat ekspresi puas dan menyesuaikan pistol di tangannya. Apakah dia mau pamer tentang betapa berhasilnya dia menggoda cewek-cewek…?

Kyousuke menatap lebih jauh untuk melihat Busujima melamun dengan bir di tangannya, terlihat seperti dia bergumam pada diri sendiri.

Memang, bergaul dengan keduanya sepertinya tidak terlalu menyenangkan.

“Tapi bahkan jika itu benar, jalan-jalan sendirian itu sepi, kan? Lebih baik bertanya padanya–”

“Aku sudah bertanya padanya.”

“Huh?”

“Aku bertemu dengannya sebelumnya ketika aku membuang botol. Aku bertanya apakah dia ingin bergabung dengan kita tapi dia menolak seolah-olah akan menyebalkan untuk berjalan-jalan bersamaku sebagai pasangan. Jadi jangan pedulikan dia.”

“……..Begitu ya.”

Tidak ada gunanya jika dia langsung menolak. Ngomong-ngomong, kalau begitu, kenapa dia ikut kemari?

Meskipun itu adalah saran Fuyou, itu tidak seperti menerima perintah …

“Ini tidak berhasiiiiiiil, aku tidak bisa menyedotnya menggunakan sedotan! Jadi aku harus menunggu dengan sabar sampai es-nya meleleh?”

Saat pikiran ini terlintas di benak Kyousuke, Renko meratap dengan tragis.

Dia telah memasukkan sedotannya ke dalam es serut rasa Hawaii berwarna biru, bermaksud untuk menyedot, tapi tampaknya tidak berjalan dengan baik. Ayaka menerima es serut lemon dari penjual dan terkikik.

“Benar-benar bencana, Renko-san. Bagaimana kalau kau mencoba melakukan percobaan bunuh diri yang gagal untuk memaksa limiter-nya terlepas?”

“Ide bagus! Aku akan mencoba mati dan segera kembali.”

“Tahan dulu.”

Kyousuke meraih kerah Renko dari belakang dan menghentikannya. Bukan lelucon jika limiter-nya dilepas di tempat seperti ini. Seluruh tubuh Kyousuke menjadi ketakutan. Ayaka menyerahkan es serut padanya.

“Ini dia, Onii-chan! Ada satu untuk Eiri-san juga.”

“Terima kasih.”

“…Makasih.”

Es serut Kyousuke rasa melon sedangkan Eiri rasa stroberi.

“Manis sekali… Tapi enak. Bolehkah aku mencoba rasa lemonmu?”

“Silakan! Jika kau tak masalah, cobalah sedikit punya Onii-chan juga?”

“Hmm. A-aku tak mau…”

“Fufu. Apakah kau malu dengan ciuman tidak langsung?”

“Huh!? T-T-T-T-T-Tentu saja tidak, oke!? Apa kau bercanda!?”

Saat Kyousuke dan yang lainnya tidak sabar untuk menikmati es serut mereka, Renko menggaruk kepalanya dengan histeris.

“Oooooooh. Apa-apaan ini, apa-apaan ini!? Sungguh mengerikan kalian bisa makan semuanya! Aku juga ingin makan es serut yang baru disiapkan! Mau makan mie goreng, mau makan takoyaki, mau makan cumi panggang, mau makan okonomiyaki, mau makan sosis, mau makan pisang cokelat, crepes, aku mau makan manisan apel!!”

“…Lepaskan saja topengnya jika kau ingin makan, nona?”

“Diam!”

Renko menjawab dengan marah pada penjual yang membalas tanpa mengetahui cerita di dalamnya.

× × ×


Setelah menghabiskan es serut mereka, kelompok Kyousuke tiba di kios pemancingan balon air.

Merah, biru, kuning, hijau, putih, merah muda… Di dalam kolam tiup itu ada balon air dengan warna berbeda yang harus dipancing dengan alat berkait

Ini adalah permainan yang relatif sederhana dibandingkan dengan menyendok ikan mas. Renko dan Ayaka mampu memancing balon air sesuai keinginan mereka. Renko memancing balon merah, pink dan merah sementara Ayaka memilih balon ungu dan oranye. Seperti menyendok ikan mas, Eiri tidak ikut serta, jadi kedua gadis itu memancing balon merah dan putih untuknya.

Berikutnya adalah permainan tembak tapi Eiri masih terus menonton tanpa ambil bagian.

Kali ini, bahkan Kyousuke mencoba mengajaknya–

“…Tidak, makasih. Pistol bukanlah keahlianku.”

–Eiri menolaknya seperti itu. Dengan balon air menggantung di tangannya, dia menyaksikan permainan menembak sambil melamun. Dia tidak makan atau minum dan sepertinya pikirannya melayang entah kemana.

Kyousuke merasa sangat kepikiran tentang Eiri, membuatnya tidak dapat fokus membidik target. Terjepit di antara Renko dan Ayaka yang bersemangat dan berisik, Kyousuke merasa sedikit tidak tenang–

“—-”

Saat ini, Eiri diam-diam meninggalkan kios.

Kyousuke meletakkan pistol mainannya dan memanggil Eiri.

“Hei Eiri! Mau kemana?”

Eiri menunduk sejenak lalu berkata:

“Kamar kecil.”

“Oh, oke… begitu ya.”

Setelah menjawab dengan acuh tak acuh, Eiri pergi tanpa melihat ke belakang. Setelah meneriakkan “hati-hati”, Renko dan Ayaka segera kembali bermain game menembak.

Kyousuke menerima penjelasannya untuk saat ini, tapi saat dia akan lanjut menembak–

“Oh– …Maaf, aku harus pergi ke kamar kecil juga.”

–Sangat khawatir dengan sikap Eiri, Kyousuke meletakkan pistol mainan itu lagi.

Renko dan Ayaka hanya memikirkan permainan menembak…

“Berhati-hatilah, oke? Ya, kali ini aku harus mengenai target… Sialan, kenapa tidak jatuh!?”

“Pasti begitu. Mereka pasti melakukan sesuatu di belakang target. Sombong sekali… Mari kita fokus menembak untuk memecahkannya… Oh. Hati-hati, Onii-chan.”

Sambil mengisi ulang senjatanya dengan gabus, Ayaka merespon dengan tergesa-gesa dan menyusun strategi. Menilai dari bagaimana Ayaka fokus, Kyousuke memutuskan tidak apa-apa meninggalkannya untuk sementara waktu.

“Kalian berdua teruskan saja jika aku tidak segera kembali, oke?”

Mengucapkan kata-kata ini, Kyousuke meninggalkan kios permainan menembak.

Dia menoleh dan mencari Eiri tapi tidak bisa menemukannya pada awalnya. Setelah maju ke arah di mana Eiri pergi, dia melihat dengan baik-baik–

“Eiri!”

“……Kyousuke?”

Melewati kerumunan yang padat, Kyousuke akhirnya berhasil menyusul Eiri di pinggiran lapangan olahraga.

Eiri melihat ke belakang karena terkejut.

“Kenapa kau mengikutiku? Apa kau ada perlu denganku?”

“Tidak juga, kebetulan aku juga perlu ke toilet.”

“Benarkah?”

Sikap Eiri tampak lebih dingin dari biasanya.

Dia menunjuk ke kanan Kyousuke–

“…Kamar kecilnya ada di sebelah sana. Sampai jumpa.”

Eiri mulai belok kiri setelah memberitahukan posisi kamar kecil. Kakinya membawanya ke pintu keluar–dengan kata lain, gerbang sekolah. Kyousuke dengan cepat mengejarnya.

“Hei, kamu mau kemana!?”

“Tidak ke mana-mana.”

“Tunggu!”

Meskipun dia memanggilnya, Eiri tidak berhenti berjalan. Dia tidak mengindahkan panggilan Kyousuke dan dengan cepat meninggalkan lapangan olahraga. Kyousuke mengikutinya tanpa henti dan bertanya:

“Bukankah kau mau ke kamar kecil?”

“Kau sendiri.”

“…Urusanku tidak begitu penting sekarang.”

“Kalau begitu, tidak ada yang penting juga tentang urusanku, kan?”

“Salah.”

“…Kenapa?”

“Karena aku mengkhawatirkanmu.”

“–Hah?”

Eiri berhenti dan menatap Kyousuke.

“Mengkhawatirkanku… Huh? Tidak ada tentangku yang perlu kau khawatirkan. Tidak bisa dimengerti… Rasanya sangat menjengkelkan untuk menarik perhatian yang tidak perlu, jadi hentikanlah.”

“K-Kenapa kau menganggapku menjengkelkan…?”

“Ini sangat menjengkelkan.”

Eiri membuang muka dan mulai memelintir helai rambutnya.

“…Apakah aku mengatakan sesuatu? Aku tidak mengatakan apa-apa, kan? Tapi kau hanya langsung membuat kesimpulan dan ikut campur, ikut campur dalam sesuatu yang bukan urusanmu… Apa-apaan itu? Kau ingin dipotong? Aku sudah mengakomodasi kebutuhan semua orang dengan sengaja, kenapa kau masih harus–”

“Kau terlalu banyak mengakomodasi, tolol.”

Eiri terus menggerutu karena kesal tapi Kyousuke memotongnya.

Kata-katanya mengandung sedikit amarah–

“Kau terlalu mengakomodasi kebutuhan orang-orang di sekitarmu… Bagaimana mungkin kau bisa bahagia seperti itu? Kau tidak pernah tersenyum sekalipun sepanjang waktu di sini, dan sekarang kau bahkan tidak membiarkan orang lain mengkhawatirkanmu? Berhentilah meminta hal yang tidak mungkin… Sengaja berbohong hanya untuk menghabiskan waktu sendirian. Bahkan jika kau tidak mengatakan apa-apa, aku tahu semuanya.”

“Hmm–”

Eiri menggigit bibirnya.

Berdiri di depannya, Kyousuke mencoba menghalangi jalannya dan melanjutkan:

“Dulu ketika aku ada masalah dengan Ayaka, apa yang kau katakan padaku? Kau bilang tidak apa-apa jika kau memanjakanku… Aku kembalikan kata-kata yang sama kepadamu. Cobalah untuk lebih mengandalkanku, Eiri. Meskipun aku tidak tahu apakah aku dapat membantumu, aku tidak menganggapmu merepotkan sama sekali. Jika kau merasa terganggu atas sesuatu dan menderita, kuharap kau tidak menyimpan semuanya di dalam hatimu. Ceritakanlah padaku!”

“Kyousuke…”

Eiri menatap Kyousuke.

Dia terus menatap lalu terdiam beberapa saat–

“…Hmph. Sudah kuduga, kau tidak memiliki harapan sebagai pria yang luar biasa baik.”

Dia berkata dengan mengejek dan mendorong Kyousuke menyingkir. Kemudian dengan langkah kaki yang cepat, dia langsung menuju ke gerbang sekolah.

“H-Hei–”

“Ayo pergi ke tempat lain, oke?”

Eiri menghela nafas dan menghentikan Kyousuke untuk memanggilnya.

× × ×


Bulan sabitnya tipis dan tajam, menggantung tinggi di langit malam yang biru keperakan.

Hanya sedikit jauh dari tempat festival, lampu jalan jauh lebih sedikit dan kerumunan telah surut. Hiruk pikuk Festival Bon semakin jauh sementara simfoni katak dan serangga berangsur-angsur terdengar lebih jelas.

Mengejar Eiri yang terus berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Kyousuke melakukan perjalanan di sepanjang jalan pedesaan.

Tanaman hijau di ladang tertiup angin, memainkan suara yang menyegarkan.

“Hei Kyousuke…”

Eiri berbicara dengannya. Dia berbalik sepenuhnya…

“–Bagaimana kalau kita kabur dari sini?”

–Dia bilang begitu. Berbeda dengan nada suaranya yang bercanda, ekspresi wajahnya sangat serius.

Ditatap oleh matanya yang tidak bisa dipahami, Kyousuke tidak tahu harus berbuat apa.

“Kabur di sini, apa kau… serius?”

“Tidak.”

Dia menyangkalnya tanpa berpikir. Eiri berbalik, membelakangi Kyousuke.

Tatapannya jatuh ke kakinya–

“Aku tahu betul… tidak ada tempat untuk lari.”

Itu adalah bisikan. Begitu sunyi hingga hampir menghilang.

Di sepanjang jalan pedesaan yang sepi ini, Eiri menarik napas dalam-dalam.

“Ku… hitung lagi, itu enam tahun yang lalu. Hari itu, aku kebetulan keluar seperti ini juga.”

Selanjutnya, dia mulai menceritakan keseluruhan cerita.

Eiri mengungkapkan apa yang telah dia simpan di lubuk hatinya selama ini–

“Saat itu aku baru berusia sepuluh tahun dan akan dibawa keluar demi memperluas wawasanku untuk pertama kalinya… Aku menghabiskan latihan setiap hari dari pagi sampai malam, mengasah keterampilanku. Aku adalah putri tertua keluarga Akabane. seluruh klan menaruh harapan padaku. Jadi saat itu, aku benar-benar tidak boleh gagal.”

Eiri menatap langit malam saat dia bicara. Kuncir kudanya berkibar tertiup angin…

“Melihatku seperti itu, Otou-sama mengatakan ini padaku: ‘Malam ini, ayo jalan-jalan.’ …Kurasa dia mengkhawatirkanku, tapi aku tidak punya mood sama sekali. Sampai saat itu, aku menghabiskan seluruh hariku di rumah, pikiranku terfokus pada pembunuhan saja. Tapi setelah benar-benar pergi keluar dan menghadiri Festival Tari Bon, perasaan itu tersapu pergi.”

Dia mungkin mengenang perasaannya dulu.

Suara Eiri dipenuhi dengan nada yang lembut.

“Segala sesuatu di depan mataku begitu baru dan segar, begitu menarik, begitu merangsang. Aku sama bersemangatnya dengan Renko. Memegang tangan dewasa ayahku, aku berjalan di dekat kios. Karena kami menyelinap keluar, dia tidak dapat mengizinkanku melakukan apa pun yang akan meninggalkan bukti. Ada satu permintaan yang aku paksakan apa pun yang terjadi dan terus memohon padanya–Bisakah kamu menebak apa itu?”

Ditanyakan oleh Eiri, Kyousuke mengerahkan pikirannya.

Melihat balon air yang dibawa di tangan Eiri, dia berkata:

“Memancing balon air?”

“Salah.”

“…Menyendok ikan mas?”

“Salah lagi.”

“Kalau begitu… permainan menembak?”

“Hampir.”

Eiri tersenyum nakal.

“Itu adalah boneka.”

“…Boneka?”

“Ya. Permainan menembak memiliki hadiah, sebuah boneka ekstra besar… Aku sangat menginginkannya, jadi aku memintanya untuk membantuku menembak boneka itu. Dan boneka itu adalah Puutaro– hadiah terakhir yang aku terima dari Otou-sama.”

“Oh…”

Mendengar dia mengatakan itu, Kyousuke ingat.

Eiri tidur sambil memeluk Puutaro.

‘Tanpanya, aku tidak bisa tidur nyenyak!’ Boneka itu menenangkannya. Bagi Eiri, itu pasti harta yang dipenuhi kenangan akan ayahnya.

Namun, ayah yang lebih dicintai Eiri daripada Puutaro telah–

“Minggu itu setelah Festival Bon berakhir, Otou-sama pergi menjalankan misi. Dia memintaku untuk menunggunya kembali dan dia akan membawaku bersamanya lain kali… Pada akhirnya, dia tidak pernah kembali. Sebaliknya… ketika dia kembali, Otou-sama tidak lagi dapat dikenali. Dia tidak lagi terlihat seperti dirinya.”

“……Jadi itulah yang terjadi.”

Eiri terus mengenang. Nada suaranya sangat pelan.

Suaranya terdengar seperti dia menekan emosinya dan juga serak karena terlalu banyak menggunakan emosinya. Suaranya adalah warna nada abu-abu dan melankolis.

“–Aku ingin membunuh musuh, itulah yang kupikirkan saat itu. Orang yang telah melakukan itu pada Otou-sama, aku ingin dia merasakan sakit yang sama. Hari demi hari, aku mengayunkan pedangku, tenggelam dalam latihan…. Namun terlepas dari itu.”

Pada titik ini, emosinya muncul ke permukaan.

Bahu ramping Eiri mulai bergetar.

“Meskipun itu yang seharusnya aku lakukan, aku tidak bisa membunuh siapa pun. Jangankan membalaskan dendam Otou-sama, aku bahkan tidak bisa membunuh orang biasa yang tak berdaya! Tepat saat bilahku akan memotong bagian vital, aku teringat Otou-sama–Apa yang aku rasakan ketika Otou-sama meninggal…. Perasaan seperti itu tumpang tindih dengan target! Bagaimanapun, aku sadar dengan sangat jelas di hatiku. Pada suatu titik, ketika sesuatu yang berharga tiba-tiba dicuri oleh seseorang, betapa dalamnya guncangan itu. Betapa sedih dan berdukanya…. Aku tahu itu lebih baik daripada siapa pun.”

“Eiri…”

Ingatan Kyousuke tentang apa yang Eiri katakan padanya di UKS sebelumnya.

Menahan isak tangisnya, dia memberitahukan padanya bahwa dia tidak bisa membunuh siapa pun.

Kata-kata itu membawa kebenciannya terhadap pembunuh ayah yang paling dicintainya dan kesedihan berat yang tidak pernah bisa dihilangkan oleh kebencian.

Eiri tertawa mencela diri sendiri dan mulai mengutuk dirinya sendiri.

“…Aku sangat bodoh, kan? Lebih mementingkan orang yang tidak ada hubungannya daripada membalaskan dendam ayahku, membuat diriku tidak dapat melakukan serangan. Aku terlalu baik demi kepentinganku sendiri bahkan lebih dari dirimu… Karena itulah, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa membuktikan diriku berguna di mana pun. Terlalu memalukan. Benar-benar… aib. Aku aib bagi Okaa- sama, Kagura, Nii-san, Muramasa, Ryou, Ran, keluarga cabang. Aku aib bagi Otou-sama.”

“……”

Seperti yang dia duga, Eiri tidak pergi ke meja persembahan untuk memberi penghormatan.

Karena rasa bersalahnya terhadap keluarga Akabane dan ayahnya, dia tidak sanggup untuk mendekati tempat kembalinya roh orang mati. Sebaliknya, dia pergi mengunjungi kuburan.

“–Dengarkan ini.”

Kyousuke berbicara kepada Eiri dalam kondisinya saat ini.

Dia menanyakan sesuatu yang selama ini mengganggunya.

“Apakah keluargamu benar-benar ingin kau menjadi seorang assassin? Apakah mereka benar-benar mengharapkanmu untuk membalaskan dendam? Ayahmu–”

“Tak perlu dikatakan lagi.”

Eiri menjawab tanpa berpikir dan berbalik menghadapnya.

Yang berada di matanya adalah cahaya yang seperti kilatan mata pisau.

“Keluargaku terkenal sebagai assassin tahu? Melatih keterampilan assassin sejak dini, lalu membuat percikan dalam dunia penuh pertumpahan darah… Semua generasi telah melalui ini. Bagaimana mungkin mereka tidak mengharapkanku untuk membunuh!? Bagaimana mungkin mereka tidak mengharapkan itu! Tentunya hal yang sama juga berlaku untuk Otou-sama… Dia berharap aku menjadi seorang assassin sejati, untuk melenyapkan orang yang telah membunuhnya.”

“Bagaimana denganmu?”

“…..Huh?”

“Menurutmu bagaimana dengan dirimu sendiri, Eiri? Apakah kamu benar-benar ingin menjadi seorang assassin bahkan jika itu berarti berkubang dalam perasaan menderita? Apakah kamu benar-benar sebegitunya ingin membunuh orang? Abaikan tradisi keluargamu, didikan dan apa yang dipikirkan orang lain. Apa yang sebenarnya kau inginkan–”

“Aku benar-benar ingin membunuh!”

Saat berikutnya, Eiri meraung.

Lalu dia berbalik dengan kuat dan menatap Kyousuke secara langsung–

“Aku ingin memusnahkan orang yang membunuh Otou-sama! Aku ingin merenggut nyawa manusia! Aku ingin menjadi seorang assassin sejati untuk memenuhi harapan semua orang! Aku ingin hidup dengan kepala tegak sebagai putri tertua di keluarga utama! Aku ingin menjadi kepala keluarga, untuk melindungi semua orang…. Untuk melindungi mereka yang berharga bagiku. Untuk mencapai semua ini, aku harus membunuh… Aku tidak punya pilihan lain selain membunuh! Karena itulah, aku–”

Eiri baru saja akan melepaskan semua kata di hatinya dalam satu hembusan nafas tapi berhenti di tengah jalan dan membeku.

Dia berkata “….Ah” dan melebarkan matanya, menatap sisi lain kegelapan malam.

Suara bakiak kayu bisa terdengar di aspal.

Jalan pedesaan melewati ladang dan membentang lurus. Seseorang sedang berjalan perlahan di sepanjang jalan. Di bawah lampu jalan yang tampak akan menghilang, sosok ambigu orang itu muncul–

“Aku mengerti sekarang. Kalau begitu cepat dan selesaikan pekerjaannya, Nee-san.”

“Kagura….”

Orang yang baru datang itu memiliki mata merah karat yang mirip dengan Eiri. Mata yang tajam.

“….Gadis itu, siapa dia?”

Menahan tatapan yang hampir tampak menusuk dirinya, Eiri bertanya.

Kagura tidak datang sendirian. Dia membawa serta seorang gadis yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Mungkin usianya kurang dari sepuluh tahun. Memegang tangan Kagura, dia melihat ke arah Kyousuke dan Eiri dengan tatapan tidak percaya.

Kagura menatap gadis itu dan menjawab “Anak ini…”

“Dia tersesat. Dia datang berbicara padaku tepat ketika aku merasa bosan kemudian menempel padaku. Kupikir dia dipanggil Hina-chan atau semacamnya.”

“Kagura-neechan, siapa mereka?”

Gadis itu mengenakan yukata kuning muda. Menunjuk pada Kyousuke dan Eiri, dia bertanya.

Seolah kepribadiannya berbeda, Kagura menjawab dengan sikap lembut.

“Itu kakak perempuanku dan temannya, Hina-chan.”

“Eh, aku mengerti sekarang!”

“ “…?” ”

Tatapan penasaran gadis itu membuat Kyousuke dan Eiri saling bertukar pandang.

Eiri mengerutkan kening dan bertanya:

“H-Hei… Kenapa kau membawa anak itu ke tempat seperti ini?”

“Jalan-jalan. Aku mengikutimu dan dia akhirnya mengikutiku. Berpikir kalau itu sempurna, jadi aku membawanya.”

“Sempurna?”

“Tepat. Mungkin dia akan berguna.”

–Segera setelah dia selesai.

Kagura mengangkat telapak tangannya dan memukul dada gadis itu. Gadis itu mengeluarkan teriakan redup lalu pingsan. Terkapar di tanah, dia tidak bergerak lagi.

“Kau…” Ekspresi Eiri berubah karena gelisah.

“Kagura!? Bagaimana bisa kau melakukan itu pada anak kecil–”

“Buatlah keputusan.”

“Huh?”

Kagura melanjutkan dengan acuh tak acuh.

Dia pertama-tama melirik gadis yang tidak sadarkan diri itu lalu menatap Eiri yang bingung–

“Untuk membunuh atau tidak membunuh gadis ini. Silakan putuskan di sini dan jalankan keputusanmu sampai akhir.”



“…..Huh?”

Dua pilihan tiba-tiba dilemparkan.

Selanjutnya, Kagura mengungkapkan ultimatumnya.

Mengambil kipas logam dari ikat pinggangnya, dia menunjuk ke arah Kyousuke yang berdiri di depan Eiri.

“Ngomong-ngomong, jika kau memilih pilihan kedua–aku akan membunuh laki-laki itu.”



Psycho Love Comedy Bahasa Indonesia [LN]

Psycho Love Comedy Bahasa Indonesia [LN]

Psycome
Score 8.9
Status: Ongoing Type: Author: Artist: Released: 2013 Native Language: Jepang
Dihukum dengan tuduhan palsu, Kamiya Kyousuke dipaksa untuk mendaftar di “Sekolah Rehabilitasi Purgatorium” di mana para narapidana remaja dikumpulkan. Di sekililingnya termasuk gadis-gadis cantik dengan kaki yang indah atau rambut yang berkibar … Tapi mereka sebenarnya adalah pembunuh. Mendapatkan perhatian ekstra di sekolah sebagai ‘Pembunuh Massal Dua Belas Orang’ yang istimewa, Kyousuke juga menarik perhatian si cantik ber-masker gas, Hikawa Renko. Untuk lulus dengan selamat, akankah Kyousuke dapat menahan godaan yang dicampur dengan kematian!? Setiap teman sekelasnya adalah pembunuh. CINTA=Bunuh! Semakin dalam cinta, semakin besar risiko kematian, komedi romantis hardcore !! Mari kita mulai pelajarannya!

Comment

Options

not work with dark mode
Reset