Babak 3: Istri Game Online Adik Perempuanku Berkunjung ke Rumah
3
Kemudian;
Setelah menilai soal latihan yang aku buat sendiri, aku menjelaskan jawabannya dan kemudian meminta mereka memecahkan soal serupa. Dan saat aku selesai menjelaskan kumpulan soal kedua, dua jam pun telah berlalu.
Ini sudah waktunya makan siang. Aku berada di rumah Takase, jadi jika memungkinkan, aku ingin mencoba masakan buatannya.
“Jadi, apa rencana makan siang kita?”
“Kita bisa memesan makanan, tapi menurutku Fujisaki-kun lebih memilih makan masakan Mahocchi, kan?”
“Eh? Masakanku?”
“Ya. Kamu pasti ingin mencobanya juga, iya kan, Fujisaki-kun?”
Gawat. Alur percakapan ini ke arah masakan Momoi. Aku perlu menggiring ini ke arah masakan Takase.
“Aku sih ingin saja makan masakan buatan Honey, tapi Honey tidak tahu apa-apa tentang dapur, kan? Bukankah lebih baik jika Takase yang masak?”
“Benar. Sebaiknya begitu.”
“Tapi, yah, aku tidak terlalu pandai memasak, lho. Ngomong-ngomong, Fujisaki-kun, seberapa lapar kamu?”
“Aku bisa mati kelaparan.”
Aku ingin dia masak yang banyak, jadi aku mengatakan itu dengan sedikit berlebihan.
“Kalau begitu, ayo masak bersama, Mahocchi. Kita bisa membuat yang banyak jika kita bekerja sama.”
“Aku yang akan bayar, jadi bagaimana kalau kita memesan makanan saja?”
Momoi sepertinya tidak ingin memasak. Dia mungkin tidak ingin membuang-buang waktu untuk memasak, tapi dengan dua lawan satu, maka telah diputuskan bahwa mereka harus memasak sendiri. Aku akan mengajarinya lagi nanti jika dia membutuhkan bantuan dalam belajar, jadi harap mengalahlah dulu.
“Ayo anggap saja ini sebagai selingan.”
“Tapi, aku… Kamu tahu, kan?”
Entah kenapa, Momoi melirik ke arahku, dan Takase pun tersenyum padanya.
“Jangan khawatir. Fujisaki-kun, sementara itu, kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau! Nah, ayo!”
Momoi tampak enggan, mungkin karena dia ingin lanjut belajar, tapi Takase menggiringnya keluar kamar.
“……”
Dan aku pun ditinggalkan sendirian di kamar. Meski aku diberitahu bahwa aku bisa melakukan apapun yang aku mau, tapi aku tidak bisa bergerak sesukaku. Jika aku sembarangan menyentuh barang-barang yang ada di dalam kamar ini, aku akan dicap sebagai orang mesum. Untuk saat ini, kurasa aku akan fokus belajar dengan tenang sajalah.
Lalu aku pun lanjut mengerjakan kumpulan soal matematika.
× × ×
“Kamu boleh turun sekarang!”
Sekitar satu jam kemudian, suara Takase terdengar dari bawah. Mengingat bahwa dia mengaku tidak pandai memasak, dia benar-benar membutuhkan waktu yang cukup lama.
Aku turun ke lantai satu dan sampai ke ruang makan dengan mengikuti aroma yang menggoda.
Di atas meja untuk empat orang, terdapat spaghetti dan nasi goreng. Sepertinya kami harus menyajikan porsi kami masing-masing dengan piring terpisah.
Dilihat dari tampilannya, mereka sepertinya tidak memasak kedua hidangan tersebut bersama-sama, melainkan setiap orang membuat satu hidangan.
Tanpa harus diberitahu, sekilas terlihat jelas siapa yang membuat yang mana. Tidak ada yang istimewa dengan spaghetti-nya, tapi nasi gorengnya jelas terlihat lembek. Sayurannya juga dipotong besar-besar, jadi aku ragu apakah itu sudah benar-benar matang.
Makanan ini benar-benar terlihat seperti dibuat oleh orang yang tidak pandai masak… Apakah ini masakan buatan Takase?
Dia benar-benar tidak pandai masak, ya? Meski begitu, dia sudah berusaha keras untuk membuatnya… Aku senang sekali.
“Kelihatannya sangat enak! Bolehkah aku memakannya sekarang!?”
“Ya, silakan. Makanlah sepuasnya.”
“Tentu saja.”
Begitu aku menaruh nasi goreng di piring, wajah Momoi menjadi muram.
Jangan memasang wajah seperti itu. Aku tidak menunda makan spaghetti-mu karena kelihatannya tidak enak, kok. Aku akan memakannya nanti.
“Selamat makan!”
Aku menepuk kedua tanganku dan memasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutku.
“Nguh!?”
Apa-apaan ini!? Apa ini benar-benar nasi goreng!? Aku tidak bisa merasakan garam, merica, atau kecapnya sama sekali! Dan bukan itu saja. Nasinya lebih lembek dari kelihatannya, tekstur wortelnya keras dan renyah, dan karena potongannya yang tebal, rasa pahit pada paprika masih terasa!
Aku merasa ini akan membuatku sakit perut, dan naluriku menyuruhku untuk tidak memakannya lagi.
Namun, ini adalah masakan buatan Takase yang sudah lama kuimpikan. Sayang sekali jika tidak kuhabiskan. Maksudku, mana mungkin tidak kuhabiskan, kan. Aku tidak ingin melihat wajah terluka Takase, meski itu di dalam mimpi sekali pun! Jika ini adalah masakan buatan Takase, aku pasti akan memakannya!
“Bagaimana? Nasi gorengnya enak?”
“Ini luar biasa lezat!”
“Baguslah! Makanlah sebanyak yang kamu mau!”
“Baiklah, kalau begitu aku akan makan semuanya!”
Aku tahu kalau melakukan itu pasti akan membuat perutku sakit, tapi aku melakukannya untuk membuat Takase bahagia. Aku memakan nasi goreng lembek itu dengan penuh semangat, butiran keringat dingin mengucur di dahiku.
“L-Lezat! Ini sangat lezat!”
“A-Apakah seenak itu?”
“Ini adalah makanan terlezat yang pernah kumakan! Aku benar-benar ingin memakannya setiap hari! Ah, lezatnya~!”
Sementara Takase dan Momoi memakan spaghetti, aku berhasil melahap segunung nasi goreng sendirian. Aku sudah kenyang, tapi demi Momoi, aku tidak boleh melewatkan spaghetti-nya.
Karena spaghetti yang tersisa tidak sampai satu porsi, aku pun akhirnya memakannya langsung dari piring saji. Saat aku memasukkannya ke dalam mulut, aku merasakan rasa saus tomat yang lembut.
“Terima kasih atas makanannya. Ah, ini enak sekali!”
“Kamu makannya banyak, ya, Fujisaki-kun. Mana yang lebih enak? Nasi goreng atau spaghetti?”
“Nasi goreng,” jawabku tanpa ragu.
Kami seharusnya pacaran, jadi kupikir akan lebih baik jika aku memuji masakan Momoi, tapi karena belum diungkapkan siapa yang membuat hidangan apa. Seharusnya tidak akan ada masalah jika aku tidak memuji spaghetti buatannya.
Yang terpenting, ini adalah kesempatan yang bagus untuk meningkatkan rasa suka Takase padaku. Mana mungkin aku tidak memilih masakan buatan Takase, kan.
Takase tampak senang, seolah-olah aku berhasil meningkatkan rasa sukanya, dan kemudian—
“Wow! Kalian berdua memang pasangan yang serasi!”
…Eh, pasangan?
Curiga, aku melirik ekspresi Momoi dan melihat dia dengan malu-malu memainkan ujung rambutnya dengan jari-jarinya.
“J-Jadi, kamu sebegitunya menyukai masakanku, ya…”
“…Masakan Honey?”
“Ya. Aku benar-benar tidak pandai masak, dan aku bahkan tidak bisa membuat nasi goreng yang enak hari ini… Namun, aku tidak menyangka kamu akan memakannya dengan begitu lahap.”
“Sudah kubilang, kan. Kalau itu Fujisaki-kun, dia pasti akan suka masakan Mahocchi. Lagipula, dia kan pacarmu!”
Itu berarti…? Nasi goreng ini buatan Momoi? Dan spaghetti ini buatan Takase?
Apa-apaan ini… Aku tidak menyangka Momoi sepayah ini! Bukannya aku berpikir Momoi pandai memasak, tapi karena Takase bilang dirinya tidak pandai masak, aku jadi salah paham… Aku tidak menyangka dia hanya bersikap rendah hati.
“Sayang sekali, Takase. Aku tidak bisa makan banyak spaghetti-mu. Tapi rasanya enak kok.”
“Tidak apa. Sebenarnya aku senang kamu memakan nasi gorengnya. Mahocchi selalu khawatir karena dia tidak pandai memasak. Itulah sebabnya aku senang melihat Fujisaki-kun memakannya dengan lahap!”
Momoi tentu saja senang, tapi Takase juga tampak senang karena masakan temannya dipuji. Aku berhasil membuat mereka berdua senang, jadi aku rasa itu hal yang bagus.
“Ngomong-ngomong, toilet ada di mana?”
“Di sana.”
Perutku sudah mencapai batasnya. Aku kemudian berlari ke kamar mandi, dan ketika aku kembali ke ruang makan, peralatan makan ternyata sudah dibereskan.
“Maaf. Aku akhirnya hanya makan.”
“Jangan dipikirkan. Ini ucapan terima kasih karena telah mengajari kami. Nah, kurasa kita cukupkan saja sampai di sini.”
“Eh, sudah selesai?”
“Berkat Fujisaki-kun, sepertinya aku bisa terhindar dari nilai merah. Dan aku juga merasa tidak enak pada Mahocchi karena harus terjebak bersamaku terus.”
“Kamu tidak perlu memikirkanku. Lagi pula saat pulang, palingan aku hanya akan bersantai di rumah.”
“Tapi aku tetap tidak enak. Mahocchi juga, terima kasih atas segalanya sejak hari Senin. Aku akan mendapatkan nilai terbaik yang pernah kudapat!”
“Ya. Semoga berhasil.”
Sekarang saatnya bubar.
Aku ingin tetap di rumah Takase sedikit lebih lama lagi, tapi kalau terlalu lama, aku mungkin akan bertemu keluarganya…
“Sampai jumpa di sekolah~”
Setelah membereskan materi belajar kami, aku dan Momoi pun pergi keluar rumah sementara Takase mengantarkan kami keluar.
Saat kami menuju Stasiun Aida, Momoi dengan takut-takut memulai percakapan.
“Hei, apakah yang kamu katakan sebelumnya itu benar?”
“Sebelumnya?”
“Soal pulang dan bersantai di rumah.”
“Rencananya begitu.”
Perutku masih belum terasa enak. Aku akan rebahan di tempat tidur sebentar, belajar ringan di malam hari, dan pergi tidur lebih awal.
“Kalau begitu, bolehkah aku mampir ke rumahmu sekarang, Haruto-kun?”
“Mampir ke rumahku? Kamu mau belajar?”
“Tidak. Aku ingin menonton OVA ‘Maison de Night’ yang kita bicarakan sebelumnya.”
A-Apa-apaan itu? Maison de Night? Dan kalau OVA, itu artinya anime kan?
“Ah, iya, Maison de Night, ya. Apakah kamu tidak punya?”
“Aku tidak punya. Aku sebenarnya terkejut kamu ternyata memilikinya. Kalau ada yang jual, aku pasti akan langsung membelinya, tapi produksinya terbatas, dan tidak ada yang mau menjualnya. Sebenarnya tidak harus hari ini sih, tapi karena kita sudah terlanjur bersama, kupikir aku bisa bersantai dan menontonnya bersamamu.”
“Jika kamu benar-benar ingin menontonnya, tentu saja tak masalah, tapi…”
Meski ada risikonya, selama kami hanya menonton anime bersama, dia tidak mungkin sadar bahwa aku ini hanya pengganti. Bahkan di bagian diskusi pun, selama itu adalah anime yang kami tonton bersama, aku seharusnya bisa mengatasinya.
Yang lebih pentingnya lagi, Momoi datang ke rumahku adalah sebuah kesempatan besar. Jika aku bisa dengan cerdik mengajak Kotomi ikut nonton bareng, mereka mungkin akan menjadi teman.
Tapi ada satu hal yang menggangguku.
“Kamu tidak masalah datang ke rumahku?”
“Memang kenapa?”
“Soalnya, kamu benci laki-laki, kan?”
Jika dia memaksakan diri karena ingin menonton anime itu, aku bisa meminta Kotomi untuk meminjamkannya ‘Maison de Night.’ Itu mungkin akan menjauhkannya dari Kotomi, tapi itu dapat mengurangi risikoku ketahuan sebagai peran pengganti.
“Aku tidak benci laki-laki, kok.”
“Seriusan? Jika kamu tidak benci laki-laki, kenapa kamu bersikap dingin pada mereka?”
“Itu karena aku cantik.”
Dia tiba-tiba menyombongkan diri.
“Kamu bersikap dingin pada laki-laki karena kamu cantik…?”
“Benar――yah, pernyataan itu mungkin agak bikin salah paham. Maksudku begini, Haruto-kun, kamu itu kasus spesial, tapi biasanya, laki-laki akan jatuh cinta apabila ada gadis cantik yang memperlakukan mereka dengan baik, kan?”
“Yah begitulah.”
Dia benar. Aku pun juga jatuh cinta pada seorang gadis cantik yang berbicara padaku sambil tersenyum.
Jika urutannya dibalik—jika Momoi yang memperlakukanku dengan baik, dan bukan Takase—aku mungkin akan jatuh cinta pada Momoi.
“Itulah sebabnya aku berusaha untuk bersikap dingin. Kalau aku terlalu baik seperti waktu SMP dulu, para laki-laki akan salah paham dan akhirnya menembakku.”
“Tapi, kamu cukup menolak mereka saja, kan?”
“Mungkin tidak masalah kalau hanya satu atau dua orang, tapi tidak seperti digoda di jalan biasa, aku tidak bisa mengabaikan mereka begitu saja… Selain itu, ketika ditembak oleh banyak laki-laki, perempuan lain akan merasa iri. Terutama jika lelaki yang kutolak itu memiliki fan club,” kata Momoi dengan murung.
Karena sepertinya itu bukan topik yang menyenangkan, aku tidak menanyakan detailnya, tapi aku kurang lebih bisa menebak apa yang telah terjadi.
Aku tidak tahu apakah itu parah atau tidak, tapi sepertinya Momoi pernah ditindas oleh gadis-gadis yang iri padanya. Jadi, untuk menghindari hal yang sama terulang kembali di SMA––agar dia dapat menjalani kehidupan sekolah yang menyenangkan––dia mungkin bersikap dingin pada laki-laki sebagai bentuk perlindungan diri.
“Maaf. Aku hanya berpikir kamu orang yang dingin tanpa mengetahui keadaanmu yang sebenarnya.”
“Tidak apa, kok. Aku akan kerepotan jika orang-orang tidak berpikir seperti itu. Aku masih tidak akan mengubah sikapku di sekolah, tapi jangan khawatir, oke? Aku tidak membencimu. Atau lebih tepatnya, tidak ada pria yang aku benci.”
Jika seorang pria mendengar ini, dia mungkin akan menangis kegirangan, dan menembaknya, tapi tidak ada orang lain selain aku yang mendengar kalimat ini.
“Yah, meski aku tidak membenci pria, tetap saja, pergi ke rumah seorang pria masih terasa tidak nyaman sih.”
“Kalau begitu, kenapa kamu mau datang ke rumahku?”
“Kalau rumah teman beda lagi.”
“Teman?”
“Ya, menurutku begitu. Apakah kamu tidak berpikir begitu… Haruto-kun?”
Mata biru Momoi bergetar gelisah.
Namun, aku menggelengkan kepalaku.
“Aku juga berpikiran begitu, kok. Bahwa kita adalah teman.”
Sampai baru-baru ini, aku mengira Momoi adalah orang yang menyebalkan, tapi sekarang tidak lagi. Aku jadi cukup menyukai Momoi sehingga dapat menerimanya sebagai teman tanpa ragu.
Dan kuharap, Kotomi pun juga dapat berpikir begitu…