Babak Satu: Bertemu Luring dengan Istri Game Online Adik Perempuanku
1
Hari ini adalah hari Jumat di pertengahan Mei.
Pagi itu. Setelah jam pelajaran berakhir, ruang kelas menjadi lebih ramai dari biasanya. Itu karena hari ini adalah hari penataan ulang tempat duduk pertama kami di kelas dua SMA.
Kemarin, wali kelas kami mengumumkan bahwa dia akan menyiapkan undian untuk penataan ulang tempat duduk, dan aku pun menyempatkan diri untuk mengunjungi kuil sepulang sekolah. Tidak masalah apakah aku mendapat tempat duduk dekat jendela atau dekat koridor, di barisan depan atau belakang. Semua itu tak masalah asalkan aku bisa duduk di sebelah gadis yang kusuka—Narumi Takase. Aku berdoa dengan sungguh-sungguh untuk itu.
Kemudian tibalah saat yang menentukan. Aku dengan gugup menarik undian, dan――
“Mohon bantuannya, Fujisaki-kun.”
Dan begitulah, aku berhasil mengamankan tempat duduk di sebelah Takase. Terima kasih, Tuhan!
Ngomong-ngomong, kami duduk di baris kedua dari belakang dekat jendela――dan Takase duduk di sebelah kiriku. Sinar matahari, yang bersinar menembus jendela, membuat rambut cokelat Takase terlihat transparan. Kurasa inilah yang mereka sebut sebagai perempuan dengan kecantikan alami.
“Mohon bantuannya juga. Aku terkejut kamu tahu namaku.”
“Tentu saja aku tahu, lho~ Meskipun kita tidak banyak berinteraksi, tapi kita juga sekelas tahun lalu, kan? Sebaliknya, apakah kamu tahu namaku, Fujisaki-kun?”
“Narumi Takase, kan?”
“Wow, kamu ingat nama lengkapku!”
Takase sangat imut.
Sebagai pria yang tinggi dan memiliki wajah yang menyeramkan, sangat jarang seorang gadis tersenyum padaku.
Jika mereka sudah mengenalku, mereka akan memperlakukanku secara normal, tapi pada pertemuan pertama, mereka pasti akan takut padaku. Namun Takase, sejak awal masuk sekolah, menyapaku dengan senyuman dan berkata, “Wow, kamu tinggi, ya. Keren!”
Dan aku pun jatuh cinta padanya.
Apakah ada laki-laki yang tidak akan jatuh cinta ketika seorang gadis imut, meskipun dia hanya bersikap sopan, tersenyum dan berkata, “Kamu keren”? Aku bisa pastikan bahwa tidak ada laki-laki yang seperti itu.
Sudah satu tahun satu bulan sejak aku jatuh cinta dengan Takase. Aku tidak cukup beruntung untuk dapat duduk di sebelahnya tahun lalu, tapi sekarang aku akhirnya mendapatkan tempat duduk yang ideal. Aku pasti akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya!
“Ngomong-ngomong, apakah kamu tahu nama lengkapku, Takase?”
“Hmmm… Tunggu, biar kutebak!”
“Butuh petunjuk?”
“Jika kamu tidak keberatan.”
“Baiklah, ini petunjuknya. Itu nama yang terdengar seperti matahari.”
Saat Takase bergumam, “Matahari, matahari…” dan menekan ujung jarinya ke kening, merenung dalam pose yang mengingatkan pada karakter Ikkyu-san, aku mau tidak mau terpikat oleh penampilannya yang menggemaskan.
TLN: Ikkyu-san itu karakter anime jadul. Bisa dicari di google bagi yang belum tahu.
“Naru-chan, mau beli jus?”
Tepat ketika aku sedang mengukir sosok imutnya ke dalam ingatanku, seorang gadis yang duduk di kursi depan Takase menyela.
Seorang gadis berambut pirang, bermata biru—Momoi—memanggil Takase, dan menghentikan pose Ikkyu-nya.
Apa-apaan yang kau lakukan itu, Momoi?! Menurutmu sudah berapa lama aku menunggu kesempatan untuk berinteraksi dengan Takase? Satu tahun satu bulan, lho! Satu tahun satu bulan! Tidak bisakah kau pergi membeli jus sendiri?! Jika mau, aku bahkan akan membelikannya untukmu nanti!
“Apa kau lihat-lihat?”
“Bukan apa-apa, kok.”
“Kalau begitu berhentilah lihat-lihat.”
“…”
Bukannya aku takut. Hanya saja Momoi adalah sahabat Takase. Selain itu, meski dia bukan temannya pun, aku tidak bisa beradu bacot dengan seorang wanita di depan gadis yang kusukai.
Dan sungguh, tidak perlu melototiku seperti itu. Momoi sepertinya benar-benar membenci laki-laki.
“Saat ini, aku sedang bermain tebak-tebakan nama Fujisaki-kun. Apakah kamu mau ikut juga, Mahocchi?”
“Namanya Tarou, kan?”
“Haruto, tau.”
“Itu informasi paling tidak berguna yang pernah aku dengar tahun ini.”
Setelah mengatakan itu dengan sangat acuh tak acuh, Momoi pun meninggalkan kelas bersama Takase.
“Beruntungnya kamu, Fujisaki, bisa mengobrol dengan Momoi,” kata Yamada sambil menatap punggung Momoi dengan ekspresi terpesona di wajahnya.
“Itu tidak bisa dihitung sebagai obrolan.”
“Hanya bisa berbicara dengan Momoi itu sudah luar biasa. Berapa banyak karma baik yang kau kumpulkan di kehidupanmu sebelumnya?”
“Jika itu adalah hasil dari karma baik yang kukumpulkan di kehidupanku sebelumnya, maka aku tidak bisa membayangkan orang seperti apa aku ini.”
“Fujisaki, kamu benar-benar tidak tertarik dengan Momoi, ya? Memangnya seberapa tinggi standarmu itu?”
“Ini bukan masalah standar, aku hanya tidak tertarik pada Momoi.”
Yah, aku bisa mengerti kenapa Yamada dan yang lainnya begitu terpesona dengan Momoi.
Lagipula, Momoi adalah wanita cantik setengah Jepang, berambut pirang, dan memiliki payudara yang besar. Selain itu, dia tinggal di apartemen menara mewah dan memiliki kemampuan atletik yang luar biasa. Tapi, dia bukan manusia super yang sempurna; dia agak lemah di bidang akademik, yang mana itu menambah pesonanya. Selain itu, dia peduli dan aktif mendekati perempuan yang terlihat mengalami masalah.
Namun, kebaikan Momoi hanya terbatas pada perempuan. Jika dia ramah pada laki-laki maupun perempuan, akan ada banyak laki-laki yang mendekatinya, tapi Momoi terkenal akan ketidaksukaannya pada laki-laki.
Mereka yang mengenal Momoi juga tahu soal ketidaksukaannya pada laki-laki, jadi tidak pernah terdengar rumor yang mengatakan seseorang pernah menembaknya. Yah, kami tidak mendengarnya, tapi mungkin ada seseorang yang diam-diam menangis setelah ditolak.
“Hei, Fujisaki, ayo tukaran tempat duduk.”
“Tidak, terima kasih.”
“Kau bahkan belum bertanya di mana tempat dudukku.”
“Di mana pun itu, aku tidak mau.”
“Aku akan mentraktirmu makan siang, lho!”
“Aku menolak. Aku suka kursi ini.”
“Tapi ayolah, kamu tidak tertarik dengan Momoi, kan? Kamu mau bertukar tempat duduk denganku tahun lalu, tapi kenapa sekarang tidak mau?”
“Bukan apa-apa. Hanya saja…”
Untuk menyembunyikan perasaanku pada Takase, aku mengalihkan pandanganku ke kanan.
Di sebelahku, ada seorang gadis mungil yang sedang membungkuk bersandar di meja.
Dia adalah adik kembarku, Kotomi Fujisaki, dengan rambut hitam panjangnya yang diikat dua di belakang.
Yamada menyeringai seolah dia mengerti situasinya.
“Ah, jadi kamu ingin dekat dengan adikmu, ya?”
“Kurang lebih seperti itu. Tapi aku bukan siscon, lho.”
“Ya, ya. Tapi hei, karena kalian kakak adik, kamu bisa mengobrol dengan adikmu di rumah sebanyak yang kamu mau, kan…? Meski aku tidak bisa membayangkan adikmu berbicara, sih.”
Bisa dimengerti kenapa Yamada mengatakan itu, mengingat Kotomi tidak berbicara di sekolah.
Dia pemurung, pemalu, dan penyendiri. Dia selalu menghabiskan waktu istirahat dengan berpura-pura tidur. Mungkin karena itu, bahkan Momoi yang baik hati kepada perempuan pun mengabaikannya.
Dia dapat berbicara secara normal di rumah, dan jika dia bisa bersikap di sekolah dengan cara yang sama seperti saat dia di rumah, dia akan dapat dengan mudah berteman… Namun, selama beberapa hari terakhir ini, dia tidak seperti biasanya, dan tingkat energinya di rumah sama rendahnya dengan di sekolah, dan itu membuatku khawatir.
Aku tidak merasa bahwa dia tiba-tiba menjadi pemalu di rumah, jadi pasti ada sesuatu yang mengganggunya. Misalnya, dia mungkin berencana keluar untuk membeli merchandise anime pada hari libur. Karena tempo hari, dia dengan cemas pernah berkata, “Aku bertanya-tanya apakah akan ada angin topan saat hari Sabtu,” jadi dia mungkin khawatir tentang cuaca pada hari itu.
Perkiraan turunnya hujan pada hari Sabtu adalah 0%, jadi dia seharusnya tidak perlu khawatir, tapi, karena dia adalah orang yang penakut, jadi kecemasannya itu tidak mudah hilang.
“Meski begitu, sangat jarang kakak adik bisa berada di kelas yang sama. Saat aku SMP dulu, ada juga anak kembar di sana, tapi mereka tidak pernah sekelas sekali pun selama tiga tahun.”
“Setiap sekolah memiliki aturannya masing-masing dalam penempatan kelas.”
Aku mengatakan itu untuk melindungi kehormatan Kotomi, tapi alasannya mungkin karena para guru mengkhawatirkannya.
Kotomi sangat pemalu, dan setahuku, dia tidak punya teman sejak SD hingga sekarang. Di kelas satu, Kotomi sangat tertutup sehingga guru wali kelas, yang mengkhawatirkannya, mengatur agar dia berada di kelas yang sama denganku.
Aku merasa kasihan pada guru yang sudah repot-repot untuk membantu, dan aku sedih melihat adikku sendirian, tapi aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak terlibat dengannya di sekolah.
Bukannya aku jahat. Hanya saja Kotomi yang memintaku begiu. Meskipun kami bersaudara, itu tetap akan menarik perhatian jika orang-orang melihatnya terlalu dekat dengan pria, jadi dia ingin agar aku membiarkannya sendirian.
Namun, meskipun kami lahir di hari yang sama, aku adalah kakak laki-lakinya.
Selain itu, aku tahu bahwa Kotomi menginginkan seorang teman.
Itulah sebabnya aku ingin membantunya.
Lebih tepatnya membantunya mendapatkan teman.
Jika Kotomi memiliki teman, dia akan bisa menjalani kehidupan sekolah yang menyenangkan.
Idealnya, aku ingin dia berteman dengan Takase. Jika aku bisa pacaran dengan Takase dan menjadi jembatan penghubung antara dia dan Kotomi, maka kami berdua bisa menjalani kehidupan sekolah yang bahagia.
…Yah, Takase adalah seorang gadis yang gemar berolahraga di luar ruangan, sedangkan Kotomi adalah seorang kutu buku di dalam ruangan, jadi agak diragukan mereka bisa akrab. Terlebih lagi…
“Minggirlah, Tanaka. Kau menghalangi.”
“Ah, maaf, aku Yamada lho.”
“Aku tidak peduli siapa namamu,” maki Momoi saat kembali dan Yamada pun dengan riang pergi. Sementara itu, para pria memandang Yamada dengan iri.
Jika rencana pertemanan itu berjalan dengan baik, masalahnya terletak di Momoi, ya…
Takase dan Momoi adalah teman baik. Jika rencana pertemanan itu berhasil, Kotomi kemungkinan akan berhubungan dengan Momoi juga.
Memiliki lebih banyak teman adalah hal yang baik.
Aku tidak terlalu menyukainya, tapi jika dia bisa akrab dengan adikku, bahkan Momoi pun dipersilakan.
Namun, Kotomi hanya bisa berbicara tentang anime, manga, dan game…
Tidak peduli seberapa ramahnya Momoi pada perempuan, kurasa dia tidak akan senang mengobrol dengan Kotomi.
Tepat setelah obrolan beralih ke topik fashion atau selebriti, Kotomi akan menjadi seperti patung. Aku sudah bisa membayangkan masa depan dimana dia akan merasa canggung dan akhirnya meninggalkan grup.
Kalau saja Momoi adalah seorang otaku, aku tidak akan memiliki kekhawatiran seperti itu, tapi masalahnya dia tidak begitu.
Dan seperti itulah pikiranku saat itu—