Babak Satu: Berjuang Keras demi Adik Perempuanku dan Istri Game Online-nya
3
Keesokan harinya, Sabtu.
Siang hari. Setelah selesai makan siang lebih awal, aku dan Kotomi naik kereta menuju pusat perbelanjaan terdekat.
Tujuan kami adalah toko serba 100 yen di lantai dua. Meskipun ada kain flanel di dalam perlengkapan oshinui, tampaknya Kotomi sudah menggunakan semuanya untuk membuat gaun sebelumnya, jadi kami datang ke sini untuk membelinya lagi.
“Apakah menurutmu ada kain flanel di toko serba 100 yen?”
“Mungkin ada.”
Aku tidak begitu yakin, tapi aku merasa pernah melihat kain di toko serba 100 yen sebelumnya. Jika tidak ada di toko serba 100 yen, kami selalu dapat memesannya secara online, tapi ulang tahun Momoi tinggal delapan hari lagi. Kami tidak punya banyak waktu, dan kami ingin memulai proyek ini sesegera mungkin.
Kami naik eskalator ke lantai dua dan tiba di toko serba 100 yen. Saat kami berkeliling toko, kami menemukan pojok kain flanel.
Kotomi menghela nafas lega saat melihat berbagai kain warna-warni yang tersusun rapi di dalam tabung.
“Syukurlah. Di sini ada banyak.”
“Dengan begini, kita seharusnya bisa mulai mengerjakannya hari ini. Apakah menurutmu warnanya cukup?”
“Hmmm… Baju merah, celana hitam, gaun putih…” kata Kotomi sambil mengambil kain flanel berwarna merah, hitam, dan putih.
“Apakah kita juga akan membuat sepatu?”
“Ya. Itu jelas akan sulit, tapi aku ingin memperhatikan setiap detailnya. Itulah sebabnya aku juga ingin membuatnya sedang memegang es krim lembut dan mengenakan celana dalam, tapi… Haru-nii, menurutmu warna apa yang bagus?”
“Celana dalam Nekketsu-chan dan Binetsu-chan?”
Mengangguk, Kotomi berkata,
“Tidak ada adegan yang memperlihatkan celana dalam di karya aslinya, jadi semuanya bergantung pada imajinasi kita, tapi akan lebih realistis jika mereka mengenakan pakaian dalam yang mungkin akan mereka kenakan.”
Memang benar bahwa realisme itu penting, tapi meskipun itu untuk boneka, aku tidak ingin membicarakan soal celana dalam di tempat seperti ini.
“Warna apa pun tak masalah, kan.”
Aku mencoba mengakhiri topik itu dengan jawaban seadanya, tapi Kotomi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak boleh!”
“Kita harus berhati-hati dalam memilih warna! Karena akan aneh jika Nekketsu-chan memakai celana dalam berwarna hitam! Mahorin pun akan mengerutkan keningnya!”
“Aku tidak mengerti kenapa dia mengerutkan keningnya karena hal seperti itu, tapi… Apakah otaku tidak menyukai celana dalam hitam?”
“Mereka menyukainya! Otaku suka celana dalam hitam! Karena itu terlihat seksi!”
“A-Aku mengerti, tapi jangan membuat pernyataan tidak senonoh seperti itu di sini.”
Untungnya, tidak ada orang di sekitar kami, tapi jika ada yang dengar, mereka mungkin akan salah paham. Saat aku menegurnya, Kotomi terlihat menyesal.
“Uh, maaf karena terbawa suasana… T-Tapi, ini masalah penting terkait penyelesaian bonekanya…”
“Aku mengerti kenapa kamu bersemangat. Tapi, jika otaku menyukai warna hitam, maka hitam saja tidak ada salahnya, kan?”
“T-Tidak, itu tidak bagus. Nekketsu-chan adalah gadis yang cantik tampak luar, tapi tampak dalam, dia memiliki karakter yang tomboy. Hitam itu seksi, dan itu tidak cocok untuk Nekketsu-chan.”
Kotomi berbicara dengan penuh semangat meski suaranya tetap rendah. Meski itu tidak terlalu penting, tapi aku bisa mengerti apa yang ingin dia sampaikan. Memang benar aku akan sedikit terkejut jika melihat Takase yang polos dan riang mengenakan celana dalam berwarna hitam. Tapi tentu saja, itu juga memiliki daya tarik tersendiri.
“Jadi, warna apa yang akan kamu gunakan?”
“Uum…”
Kotomi terdiam sejenak, lalu menatapku seolah dia mendapatkan ide cemerlang.
“Haru-nii, apakah ada gadis yang mirip seperti Nekketsu-chan dan Binetsu-chan di antara kenalanmu?”
“Hmm? Yah… Apakah kamu tahu Kotobuki?”
“Kotobuki-san yang tinggi itu?”
“Ya. Kotobuki itu cantik tapi tomboy, jadi dia mungkin mirip Nekketsu-chan. Dan, apa kamu kenal Aoki?”
“Aoki-san dari klub hobi fotografi?”
“Ya, Aoki yang itu. Dia selalu terlihat lesu, jadi menurutku dia agak mirip Binetsu-chan.”
“Kotobuki-san dan Aoki-san… Hmm… Kalau tidak salah… Putih dan hitam, ya?”
Mengingat konteks percakapan kami, putih dan hitam kemungkinan besar mengacu pada warna pakaian dalam mereka. Aku merasa seperti baru saja mendengar sesuatu yang seharusnya tidak kudengar.
Ngomong-ngomong soal itu,
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Karena kelas kita pernah melakukan pelajaran renang gabungan dengan kelas 2-4, jadi kami berganti pakaian bersama. Kotobuki-san mencolok, dan Aoki-san mendekatiku sambil berganti pakaian, dan berkata, ‘Apakah kamu mau bergabung dengan Klub hobi fotografi bersama kakakmu?’ Tapi aku menolaknya…”
Aoki adalah satu-satunya anggota Klub Hobi Fotografi, dan dia sedang mencari anggota agar dapat meningkatkannya menjadi ekskul. Aku menolaknya sekali, tapi sepertinya dia belum menyerah.
“Jadi, Nekketsu-chan putih dan Binetsu-chan hitam… Tapi, apakah hitam tak masalah untuk Binetsu-chan? Dia kan bukan tipe yang seksi.”
“Pakaian dalam hitam pada gadis pendiam adalah gap yang bagus.”
Aku kurang paham, tapi kalau Kotomi puas, ya tidak apalah.
“Selanjutnya adalah kancing. Aku bertanya-tanya apakah di sini ada.”
Kemarin dia bingung antara menggunakan velcro atau kancing jepret untuk gaunnya, tapi sepertinya dia sudah memutuskan untuk menggunakan kancing.
“Mari kita mulai dengan mencari pojok kancing.”
Setelah Kotomi mengangguk, kami pun menjelajahi toko dan berhasil menemukan kancing jepret. Saat kami mengambilnya dan menuju ke meja kasir, seorang gadis jangkung muncul dari sudut rak pajang.
“Oh, ada kakak beradik Fujisaki rupanya.”
Itu adalah gadis dengan rambut hitam sebahu yang diikat kuncir kuda―gadis yang dulu satu SMP denganku, teman sekelasku tahun lalu, dan seorang anggota ekskul bola voli, dia adalah Ran Kotobuki.
Kotobuki mengenakan seragam, mungkin dalam perjalanan pulang dari aktivitas ekskulnya.
“Yo, Kotobuki. Kebetulan sekali.”
“Kenapa kamu membuang muka?”
“Aku hanya sedang melihat barang di sana.”
Aku merasa canggung karena aku baru saja mendengar tentang pakaian dalamnya.
“Itu aksesoris mobil, lho. Fujisaki, kamu belum punya mobil, kan?”
“Aku hanya sedikit tertarik. Tolong jangan ditanya lagi.”
“Yah, sudahlah.”
Lalu, Kotobuki menatap tangan Kotomi dengan penuh minat.
“Jadi, kalian berdua datang ke sini untuk membeli kain flanel juga, ya?”
“Apakah itu artinya kamu juga, Kotobuki?”
“Ya, begitulah. Aku akan membuat jimat untuk kegiatan klub. Itu adalah tradisi di ekskul kami, di mana siswa kelas dua membuat jimat untuk siswa kelas satu di sekitaran waktu ini setiap tahunnya.”
“Kedengarannya sulit.”
“Kamu benar. Menjahit bukanlah keahlianku… Tapi sekali lagi, aku juga tidak boleh membuat jimat yang jelek.”
Kotobuki menghela nafas, lalu menatapku dan Kotomi secara bergantian.
“Ngomong-ngomong, kalian akan buat apa?”
“Kami akan membuat pakaian untuk boneka.”
Aku tidak tahu banyak tentang Kotobuki selain dia adalah ace tim voli, tapi dia berteman baik dengan Takase dan Momoi. Orang bilang teman adalah cerminan diri, jadi karena mereka berteman, Kotobuki mungkin tidak akan mengolok-olok kami membuat pakaian boneka.
Saat aku memberitahunya dengan jujur, Kotobuki mengangkat alisnya karena kagum.
“Wah, luar biasa. Membuat pakaian boneka pasti sangat sulit. Fujisaki, apa kamu yang akan membuatnya? Atau adikmu?”
“Eh, um…”
Kotomi, yang dari awal pemalu, tersentak saat Kotobuki yang tinggi menatap ke bawah ke arahnya. Karena akan tidak sopan jika terang-terangan bersembunyi, Kotomi hanya berdiri di sampingku, tapi wajahnya menunduk, benar-benar menyusut.
Saat aku hendak menjawab menggantikannya—
“Ran-chaaaan, maaf membuatmu menunggu!”
Sebuah suara imut terdengar.
Itu adalah suara Takase, yang sedang berlari ke arah kami. Takase, yang sepertinya habis mampir ke toko buku, datang sambil memegang paper bag di tangannya dan tersenyum pada kami.
“Fujisaki-kun dan Fujisaki-san rupanya! Apakah kalian kakak beradik sedang belanja bareng? Kalian sangat dekat, ya~”
Sama seperti Kotobuki, Takase mengenakan seragam, mungkin karena dia juga ada aktivitas ekskul di pagi hari. Aku beruntung dapat melihat Takase di hari libur.
“Apakah kamu berbelanja dengan Kotobuki, Takase?”
“Ya! Dia mengajakku setelah kegiatan ekskul-ku selesai. Dia bilang dia akan mentraktirku kue jika aku membantunya membuat jimat.”
“Eh? Membuat jimat?”
“Benar. Aku pandai menjahit, lho.”
“Benarkah!? Kamu pandai menjahit!?”
“Wow, itu reaksi yang sempurna. Benar, meskipun penampilanku begini, aku pernah mendapat penghargaan sebelumnya, lho.”
“Penghargaan!? Itu luar biasa!”
“Ahaha, aku jadi malu kalau kamu terlalu memujiku. Meski aku bilangnya penghargaan, tapi itu hanya cerita saat aku masih SD. Aku membuat buku bergambar dari kain untuk tugas kerajinan bebas selama liburan musim panas, dan aku dipuji di depan seluruh siswa. Ketika aku mengingatnya lagi sekarang, itu bukanlah hal yang istimewa.”
Takase tersipu malu dan berkata dengan rendah hati.
Meski aku belum pernah melihat karyanya, tapi kenyataan bahwa dia dipuji berarti dia berhasil membuatnya dengan sangat baik. Dan Takase sepertinya akan mengajari Kotobuki cara menjahit.
Ini adalah kesempatan emas. Jika aku belajar dari Takase, aku akan bisa membuat pakaian dengan baik dan mempererat persahabatan kami. Ini adalah situasi sekali dayung dua pulau terlampaui.
“Takase, aku ada permintaan…”
“Jika ada yang bisa kulakukan, aku akan membantumu,” kata Takase sambil tersenyum.
“Aku belum mengatakan apa pun, lho.”
“Ayolah, Fujisaki-kun, kamu membantuku belajar, ingat? Itu sangat membantuku, jadi anggap saja ini sebagai caraku untuk membalas budi. Nah, apa yang bisa kubantu?”
“Jika kamu tidak keberatan, aku ingin kamu mengajariku dan Kotomi cara menjahit.”
“Kalian berdua?”
Takase tampak terkejut dengan permintaan tak terduga itu.
Aku menunjuk ke tangan Kotomi dan berkata,
“Kami ingin membuat pakaian boneka dengan kain flanel ini, tapi baik aku maupun Kotomi tidak pandai menjahit. Akan sangat membantu jika kamu bisa mengajari kami.”
Takase mengacungkan jempolnya padaku.
“Kalau begitu, aku akan dengan senang hati mengajari kalian.”
“Terima kasih!”
Hore! Aku bisa menghabiskan hari libur bersama Takase! Ini adalah awal hari libur yang sempurna!
Saat aku sedang gembira, Kotomi menarik ujung bajuku. Dia menatapku dengan ekspresi khawatir di wajahnya.
…Oh, iya, benar juga. Kami seharusnya pergi ke rumah Nenek pada jam 14.00 hari ini.
Nenek akan kecewa jika kedua cucunya tidak ada yang muncul, jadi kurasa aku akan mempelajari beberapa tips dari Takase dan kemudian mengajarkannya pada Kotomi.
“Kotomi ada urusan lain setelah ini, jadi hanya aku yang akan belajar…”
“Oke. Fujisaki-kun, apa kamu punya rencana setelah ini?”
“Tidak ada. Bagaimana dengan kalian berdua?”
“Kami akan makan siang.”
“Begitu. Kalau begitu, aku akan pulang sebentar. Aku perlu membawa boneka dan perlengkapan lainnya. Jam berapa dan di mana aku harus menemui kalian?”
“Bagaimana kalau kita ketemuan di rumahku jam 15.00?”
Rumah Kotobuki adalah kafe tersembunyi. Letaknya di belakang Stasiun Koigishi, dan dapat dicapai dengan berjalan kaki dari rumahku.
“Oke. Sampai jumpa jam 15.00.”
Kami sepakat, lalu aku dan Kotomi pun membayar belanjaan kami dan meninggalkan pusat perbelanjaan.