Babak Satu: Berjuang Keras demi Adik Perempuanku dan Istri Game Online-nya
4
Dan lima menit sebelum waktu janjian—Di bawah langit cerah, aku menyusuri sepanjang jalan perumahan di belakang Stasiun Koigishi. Saat aku berjalan di bawah udara yang lembab, aku bisa melihat kafe tersembunyi di seberang jalan.
Bangunan itu tampak seperti memiliki toko di lantai satu dan tempat tinggal di lantai dua. Di bawah atapnya ada pot bunga bergaya yang indah, dan seorang gadis jangkung berdiri di sampingnya.
Itu adalah Kotobuki. Dia mengenakan kaos putih dan celana jeans, mengepakkan leher bajunya seolah kepanasan.
Aku tidak ingin membuat Kotobuki menunggu, jadi aku berlari ke arahnya.
“Maaf. Apakah kamu menunggu lama?”
“Tidak, aku baru saja keluar.”
“Baguslah. Ayo segera masuk.”
“Tapi, masalahnya, kafe ramai hari ini. Semua meja sudah terisi. Jadi, kita akan menjahit di kamarku.”
“Apa tak masalah aku masuk ke kamarmu, Kotobuki?”
Meskipun Kotobuki berkepribadian tomboy dan berpenampilan maskulin, dia adalah seorang perempuan. Aku belum pernah melihatnya berinteraksi dengan banyak laki-laki sejak SMP, dan kurasa dia tidak akan nyaman mengundang lawan jenis ke kamarnya.
“Aku sebenarnya tidak ingin membiarkan laki-laki masuk ke kamarku, tapi aku akan membuat pengecualian khusus untukmu, Fujisaki.”
“Karena kita dulu satu SMP?”
“Bukan, tapi karena kamu pacarnya Maho. Jika kamu mempunyai pacar seimut dia, menurutku kamu tidak akan mempunyai pikiran macam-macam meskipun kamu masuk ke kamarku, kan?”
Dia tersenyum lebar, seolah mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dan memintaku mengikutinya ke belakang.
Aku mengikuti Kotobuki ke dalam rumah melalui pintu belakang. Aku bisa mendengar suara yang ramai dari kafe saat aku menaiki tangga dan dibawa ke kamar di sudut.
Itu adalah kamar ber-AC dengan lantai kayu yang berukuran sekitar 10 tikar tatami. Kamar sederhana dengan tempat tidur, meja belajar, rak buku, meja rendah, dan seorang malaikat yang sedang duduk di tengah kamar.
“Oh, kamu sudah datang.”
Takase, yang sedang memainkan ponselnya, menoleh ke arahku sambil tersenyum. Sepertinya dia langsung datang kemari setelah dari pusat perbelanjaan karena dia masih mengenakan seragam sekolahnya.
Saat aku terpesona oleh senyum manisnya, Takase memberikan gestur tangan padaku untuk mendekat.
“Ayo, jangan hanya berdiri saja. Duduklah. Tidak perlu malu-malu!”
“Rasanya jadi kayak kamu yang punya kamar, Takase.”
“Yah, aku sudah datang ke sini berkali-kali. Jadi, bisa dibilang ini kamarku.”
“Tapi, ini kamarku, tau.”
Kotobuki tersenyum kecut mendengar lelucon Takase dan berkata, “Duduklah dimanapun kamu suka.”
Di meja persegi panjang, ada gelas yang sudah diminum setengah diletakkan di seberang Takase. Satu-satunya area yang kosong adalah sisi meja belajar dan sisi rak buku. Dimana pun aku duduk, jarak antara aku dan Takase tetap sama, jadi aku memilih duduk di sisi rak buku.
“Aku akan mengambilkanmu minuman, kamu mau apa?”
Sudah ada jus jeruk di dekat Takase, jadi kurasa dia bertanya padaku.
“Bolehkah aku minta es kopi?”
“Siap. Aku juga akan membawakanmu kue. Kopi saja akan terasa sedikit menyedihkan, kan?”
“Makasih, ya!”
“Oke. Narumi, kamu mau kue apa?”
“Apa pun yang Ran-chan rekomendasikan tidak masalah.”
“Oke.”
Kotobuki pun meninggalkan kamar, meninggalkanku berduaan bersama Takase. Tiba-tiba, Takase mencondongkan tubuh ke arahku, seolah ingin melakukan pembicaraan rahasia. Aku merasakan wajahku memanas saat dia mendekat tiba-tiba.
Dia pasti banyak berkeringat karena habis dari aktivitas ekskul, tapi baunya enak sekali…
“Bagaimana kabarmu dengan Mahocchi akhir-akhir ini?”
“B-Bagaimana… apanya?”
“Maksudku ciuman. Apakah kalian ciuman?”
Meskipun sekarang aku berpura-pura pacaran dengan Momoi, awalnya dia mengarang cerita dan tidak berencana memperkenalkan pacarnya kepada teman-temannya. Selama itu, rupanya ia juga mengarang cerita momen mesra seperti dipanggil ‘Honey’ oleh pacar fiktifnya dan berciuman di depan umum.
Akibatnya, aku akhirnya harus mencium pipi Momoi untuk menjaga konsistensi cerita. Momoi tidak ada di sini sekarang, jadi aku tidak perlu menciumnya, tapi aku tetap harus menunjukkan betapa mesranya kami agar ceritanya tetap konsisten.
“Kami sering berciuman.”
“B-Benarkah? Kalian sering berciuman?”
Takase sedikit tersipu, mungkin merasa malu meski dia sendiri yang menanyakan pertanyaan itu.
“Tapi, kenapa kamu malah bertanya padaku?”
“Sulit rasanya untuk bertanya pada Mahocchi tentang hal itu.”
“Sulit? Bukankah kalian berdua sahabat?”
“Memang benar, tapi… Setiap kali aku bertanya pada Mahocchi, dia selalu mengelak.”
“Mengelak?”
“Ya,” katanya sambil mengangguk. “Sebelumnya, dia biasa berbicara tentang ciuman dan pelukan, tapi sejak dia memperkenalkan Fujisaki-kun, setiap kali aku bertanya tentang hal itu, dia mulai mengatakan hal-hal seperti, ‘kami bersenang-senang, kok,’ dan dengan cepat mengubah topik pembicaraan.”
Mungkin saja dia hanya malu membicarakan pacar fiktifnya setelah aku diperkenalkan, tapi… mungkin juga Momoi sedang bersiap-siap putus denganku.
Alasan perpisahan kami adalah perbedaan pendangan, dan kami telah berdiskusi dan memutuskan sebelumnya bahwa kami akan putus secara baik-baik—bahwa kami akan kembali menjadi teman, bukan lagi kekasih. Jadi, mungkin saja dia berusaha menghindari pembicaraan tentang hal-hal romantis apa pun sambil tetap mengatakan bahwa kami bersenang-senang.
Kalau begitu, mungkin aku juga harus menahan diri untuk tidak menunjukkan betapa mesranya kami…
“Aku hanya khawatir bahwa mungkin hubungan kalian berdua sedang tidak baik-baik saja akhir-akhir ini…”
Gadis yang kusuka terlihat khawatir. Kami belum memutuskan kapan tepatnya akan putus, tapi untuk meredakan kekhawatiran Takase, aku perlu menunjukkan kalau hubungan kami tetap lancar.
“Jangan khawatir, kami baik-baik saja.”
“Benarkah?”
“Ya. Hanya saja, ketika sudah pacaran cukup lama, kita akan jadi terbiasa. Meskipun kami terlihat mesra menurut orang luar, tapi rasanya sudah tidak seperti itu lagi… Bukan bertarti kami bosan atau semacamnya, hanya saja, tidak ada yang bisa dikatakan kecuali kami ‘bersenang-senang.’”
“Begitukah?”
“Begitulah. Aku rasa kamu akan mengerti ketika kamu mulai pacaran, tapi… apakah kamu punya rencana untuk itu, Takase?”
“Hmm, saat ini aku tidak terlalu tertarik dengan percintaan. Aku ingin fokus pada kegiatan ekskulku.”
Syukurlah. Sepertinya aku bisa menghindari skenario di mana Takase mendapat pacar di saat aku masih pacaran dengan Momoi.
Aku juga ingin mengambil kesempatan ini untuk mencari tahu pria seperti apa yang dia sukai. Untungnya, pembicaraan kami sudah tentang cinta, jadi tidak akan aneh jika aku menanyakannya sekarang.
“Ngomong-ngomong, cowok seperti apa yang kamu suka, Takase?”
“Aku tidak pernah benar-benar memikirkannya, sih, tapi… Sepertinya aku ingin seseorang yang baik hati, cerdas, dan sayang keluarga.”
“Bagaimana kalau seleramu secara fisik?”
“Fisik, ya… Kurasa seseorang yang tinggi dan memiliki tubuh yang kencang itu terlihat keren.”
Jadi begitu. Seorang pria yang tinggi dan tubuh yang kencang, ya――
“…Aku, dong.”
Takase tertawa geli saat kata-kata itu refleks keluar dari mulutku.
“Ahahaha, kamu benar. Tipeku persis seperti kamu, Fujisaki-kun.”
“Wow, aku tidak menyangka kalau aku adalah tipemu, Takase.”
Aku menjawab dengan nada enteng, tapi di dalam hati, aku sangat senang sampai-sampai ingin melompat kegirangan.
Saat aku berusaha mati-matian menahan keinginan untuk menyeringai, senyuman di wajah Takase tiba-tiba menghilang, dan dia menoleh ke arahku dengan ekspresi serius.
“Tapi, jangan beritahu siapa pun apa yang baru saja aku katakan, oke? Jika Mahocchi tahu, dia mungkin akan khawatir.”
“Aku mengerti. Aku akan merahasiakannya.”
Namun kenyataannya, aku dan Momoi sebenarnya tidak pacaran. Bahkan jika Momoi mengetahui tipe Takase pun, dia tidak akan merasa cemas atau cemburu.
“Maaf membuat kalian menunggu.”
Kotobuki pun kembali. Melihat kue di atas nampan, Takase bertepuk tangan dan berkata, “Ini yang kutunggu-tunggu~!”
“Ini untukmu, Narumi, kue keju.”
“Hore~. Makasih, Ran-chan!”
“Fujisaki, apakah kamu tak apa dengan shortcake dan Mandailing?”
“Mandailing? Apa itu?”
“Itu kopi dengan rasa pahit yang kuat. Kupikir rasa pahit akan cocok dengan kuenya.”
“Itu kombinasi sempurna!” kataku, menerima kopi dan kue itu.
Dia juga membawakan susu dan gula, tapi untuk saat ini, aku akan menikmati yang biasa dulu.
Aku menempelkan mulutku di atas gelas dan menyesap kopi. Tepat setelah itu, rasa pahit langsung menyebar ke seluruh mulutku. Aromanya yang kuat benar-benar memberikan sensasi minum kopi. Meski after taste-nya pahit, namun itu membuat manisnya kue jadi menonjol.
Karena ini adalah kombinasi sempurna, aku memutuskan untuk terus menikmatinya dalam warna hitam.
“Enak~. Kue Ran-chan memang yang terbaik.”
“Aku senang kamu menyukainya.”
“Aku ingin menikah dengan Ran-chan! Lalu aku bisa makan kue sepuasnya tiap hari!”
Syukurlah Kotobuki seorang perempuan… Dia tinggi dan memiliki tubuh yang kencang. Jika dia laki-laki, dia akan menjadi saingan terberatku.
“Baiklah, mari kita mulai.”
Saat aku sedang menikmati kopi dan kue, Kotobuki mengatakan itu.
Aku setuju, lalu mengeluarkan perlengkapan menjahit dari tas, dan meletakkannya di atas meja. Dan saat aku juga mengeluarkan boneka, Kotobuki bertanya padaku seolah dia baru saja teringat sesuatu.
“Omong-omong, aku lupa bertanya tadi, tapi apakah itu punya Fujisaki?”
“Ini punya Kotomi.”
Momoi adalah seorang otaku tersembunyi, jadi aku tidak bisa mengungkapkan bahwa ini adalah hadiah ulang tahun untuknya.
Tapi… kalau dipikir-pikir lagi, bukankah akan sulit untuk memberikan ini pada Momoi di pesta ulang tahunnya? Mungkin kami bisa memasukkannya ke dalam kantong dan berkata, ‘Buka nanti saja’ atau semacamnya? Kotomi masih belum diundang ke pesta ulang tahunnya, tapi aku perlu bertanya pada Kotomi apa rencananya nanti.
“Apa kamu menjahit untuk adikmu?”
Aku mengangguk pada Kotobuki, yang tampak terkesan.
“Aku hanya membuat prototipe-nya saja. Aku akan mempelajari triknya di sini dan mengajarkannya pada Kotomi nanti.”
Kalau tidak begitu, itu bukan lagi hadiah dari Kotomi. Aku perlu menyiapkan hadiahku sendiri untuk Momoi, tapi untuk saat ini, boneka ini adalah prioritas.
“Fujisaki-kun, kamu sangat sayang dengan keluargamu, ya.”
“Kamu orang yang baik, tidak seperti penampilanmu.”
Aku merasa malu ketika kedua gadis itu memujiku.
“Ngomong-ngomong, apakah kamu sudah memutuskan pakaian seperti apa yang akan kamu buat?”
“Ya. Kotomi memintanya.”
Aku memainkan ponselku dan menunjukkan padanya gambar clear file itu.
Kotomi juga tidak terang-terangan mengumumkan bahwa dia adalah seorang otaku, tapi itu hanya karena dia belum memiliki kesempatan atau orang untuk diajak bicara. Dia mengizinkanku untuk membawa boneka ini, dan tidak seperti Momoi, dia sepertinya tidak berusaha untuk menyembunyikannya. Sejak awal, aku tidak merasa bahwa salah satu dari mereka akan berprasangka buruk hanya karena mereka berdua otaku, tapi Momoi terlalu mengkhawatirkan hal itu.
“Karakter dalam gambar ini, Nekketsu-chan dan Binetsu-chan… Nah, dua karakter ini. Jika bisa, aku ingin membuat ulang tidak hanya pakaiannya, tapi juga sepatu dan es krimnya…”
Takase, yang telah mengamati gambar itu dengan wajah serius, mengangguk dengan percaya diri.
“Aku bisa membuatnya kalau hanya begini.”
“Seperti yang diharapkan dari Takase, aku mengandalkanmu!”
“Hmm, hmm. Jangan ragu untuk mengandalkanku. Jadi, apakah kamu membawa pena kapur?”
“Ya, aku bawa.”
“Kalau begitu, mulailah dengan membuat pola-nya dulu.”
“Kalau aku, apa yang harus aku lakukan?”
“Jimat macam apa yang akan kamu buat, Ran-chan?”
“Nah… Yang seperti ini.”
Kotobuki mengeluarkan selembar kertas dari laci dan meletakkannya di atas meja. Tampaknya para anggota ekskulnya telah membuat desainnya bersama-sama, dan kertas tersebut memiliki desain jimat yang digambar di atasnya.
Desainnya menyerupai seragam. Bentuknya berupa kaos, dengan nama di bagian depan dan gambar bola voli di bagian belakang.
“Kamu juga Ran-chan, mulailah dengan membuat pola-nya dengan pulpen kapur.”
“Siap. Fujisaki, bolehkah aku meminjam pulpenmu?”
“Silakan. Ngomong-ngomong, berapa lama pengerjaanku saat ini?”
Itu tergantung seberapa payahnya Kotobuki, tapi aku memiliki beban kerja yang lebih banyak darinya. Jika kami bubar setelah Kotobuki selesai, kami akan bubar saat pekerjaanku masih setengah jalan.
“Akan sedikit kejam jika aku menyuruhmu pulang saat masih setengah jalan, tapi aku juga tidak bisa membiarkanmu menginap. Narumi, berapa lama kamu bisa mengajari kami?”
“Aku tidak keberatan dengan waktunya, tapi menurutku punya Fujisaki-kun akan selesai pada jam 7 malam.”
“Begitu, ya.”
“Kalau begitu, aku akan tetap disini sampai jam 7 malam.”
“Oke. Aku akan membiarkanmu disini demi almamater SMP kita.”
“Syukurlah aku bersekolah di SMP Koigishi Barat.”
“Itu sekolah yang bagus, kan? Sekolah itu punya kolam renang dalam ruangan dan gedung olahraga yang besar. Meski lagu sekolahnya aneh sih.”
“Bener banget. Lagunya terus menyebutkan kata gunung berulang-ulang.”
“Iya, padahal tidak ada gunung di dekat sana, kan.”
“Mungkin dulu ada—”
“Hei kalian berdua, fokuslah pada pekerjaan kalian!”
Setelah Takase memperingatkan kami dengan nada bercanda, kami pun kembali berkonsentrasi pada pekerjaan kami.