12. Malam Sebelum Pertempuran yang Menentukan
“Bagaimana menurutmu, Isshiki-kun?”
Touko-senpai, yang berdiri di sampingku dengan tatapan sedikit gugup, menanyakan itu padaku.
“Ya, ini enak. Sangat enak!”
Kata-kata itu bukan sekadar sanjungan; itu adalah pujian yang jujur. Jika ini adalah hidangan yang dia sajikan, aku tidak sedikit pun ragu dengan itu.
“Yeeeay!”
Touko-senpai tersenyum dan membuat pose kemenangan kecil yang kekanakan.
Saat ini, dia sedang mengenakan celemek dan tidak seperti biasanya, rambutnya yang panjang diikat dengan scrunchie. Cara dia mengepalkan tinju di depan dadanya sambil membungkukkan tubuh membuat Touko-senpai terlihat sangat imut.
“Ini baru pertemuan ketiga kita, tapi aku tidak menyangka kamu meningkat sepesat ini! Seperti yang diharapkan darimu, Touko-senpai.”
“Ehehe, aku yakin ini semua berkatmu.”
Touko-senpai menjawab dengan senyum puas.
Sudah sekitar 2 minggu sejak Touko-senpai mengatakan bahwa dia ingin bisa memasak dengan baik untuk persiapan hari-H. Pada hari-H, dengan kata lain, pada Malam Natal, semua anggota perkumpulan kami yang bisa datang akan berkumpul dan mengadakan pesta.
Touko-senpai mengatakan kalau dia ingin berlatih memasak masakan rumahan yang akan para gadis sajikan di sana.
“Aku akan berlatih memasak di rumah, dan aku ingin kamu mencicipinya, Isshiki-kun.”
Setelah diberitahu begitu, aku dengan riang gembira menuju rumah Touko-senpai.
“Sedang tidak ada siapa-siapa di rumah, jadi masuklah.”
Saat aku mendengar kata-kata sambutan Touko-senpai yang seperti itu, mau tak mau aku memiliki harapan aneh.
“Sungguh rumah yang luar biasa.”
Aku mengungkapkan pikiranku dengan jujur begitu diundang ke ruang tamunya.
Rumah itu sendiri besar dan megah dari luar, tapi jelas terlihat bahwa interiornya juga cukup mewah.
“Tidak terlalu buruk, kan? Yah, kedua orang tuaku bekerja full time sih.”
“Bolehkah aku bertanya apa pekerjaan orang tuamu?”
“Orang tuaku dua-duanya adalah dokter. Ayahku membuka rumah sakit jiwanya sendiri di Tokyo dan ibuku bekerja di rumah sakit yang berfokus pada bedah kosmetik.”
…Ha ha, jadi begitu…
Anehnya aku merasa tidak heran.
“Orang tuaku tampaknya ingin aku mengikuti jejak mereka dan masuk ke sekolah kedokteran juga, tapi aku tidak tertarik menjadi dokter.”
“Jika kedua orang tuamu bekerja full time, bagaimana soal tugas rumah tangga dan yang lainnya?”
“Kami punya pembantu rumah tangga yang datang tiga kali seminggu. Selain itu, rumah orang tua ibuku dekat, jadi nenekku datang hampir setiap hari untuk memasak dan mencuci pakaian.”
Jadi, itulah sebabnya Touko-senpai tidak bisa memasak, ya?
Omong-omong, aku anak tunggal dan kedua orang tuaku semuanya bekerja, tapi aku tahu bagaimana mengurus segala hal mulai dari memasak hingga membersihkan rumah.
Lalu, aku teringat sesuatu.
“Kalau tidak salah, kamu memiliki saudara perempuan yang 3 tahun lebih muda darimu, kan? Apakah dia tidak ada di rumah hari ini?”
“Gadis itu tidak peduli dengan orang lain dan hanya melakukan apa yang dia suka. Tidak mungkin bagi kita untuk mengetahui apa yang dia lakukan setiap saat. Kurasa dia sedang keluar bermain di suatu tempat hari ini.”
Dengan senyum khawatir di wajahnya, Touko-senpai menghidangkan makanan di depanku.
“Nah, cobalah. Aku ingin kamu memberikan pendapat jujurmu.”
Tapi, ketika aku melihat sekilas makanan di depanku, aku sudah bisa memprediksi hasilnya.
Sejujurnya, aku bahkan tidak perlu memakannya. Karaage yang menghitam, nikujaga yang tidak berbentuk, dan iga yang hangus di sana-sini. Satu-satunya hal yang tampaknya hampir layak untuk dimakan adalah nikujaga-nya.
“Apakah ini perpaduan makanan Jepang dan Barat?”
Aku langsung bertanya padanya, dan dia menjawab dengan kurang percaya diri:
“Ya, aku hanya ingin mencoba dan mengetahui mana yang lebih mudah kubuat dan berpikir untuk membuat keduanya…”
Aku mulai dengan menggigit nikujaga. Sedikit saja sudah cukup bagi lidahku untuk segera memberi tahukan bahwa rasanya tidak enak.
Pokoknya, rasanya terlalu asin.
“Bagaimana?”
Touko-senpai bertanya dengan gugup.
“Y-yah. Tidak terlalu manis, atau mungkin kecap asinnya…”
Aku menjawab dengan cara yang samar dan tidak jelas.
Atau lebih tepatnya, ini bukan nikujaga tetapi “niku dan jaga yang direbus kecap asin.”
“Bicaralah yang jelas!”
Touko-senpai mendesakku bicara.
“Hmm, ya. Mungkin ini tidak cukup gula atau cuka beras. Menurutku rasa kecap asinnya terlalu kuat.”
“…Begitu ya…”
Touko-senpai tampak agak sedih.
Selanjutnya, aku mengambil segigit karaage hitam. Untuk warna segelap ini, ayamnya tidak memiliki banyak rasa.
Kehitaman ini pasti berasal dari digoreng dalam minyak bersuhu tinggi. Mungkin karena itulah dagingnya gosong sampai kering.
“Kupikir kamu mungkin terlalu lama menggorengnya. Dan menurutku kamu sebaiknya membumbui ayamnya lebih banyak…”
“Begitukah…?”
Suaranya memiliki nada tertekan yang jelas, seperti yang kuduga.
Terakhir adalah iga yang tampak hangus dipermukaannya. Meski begitu, ini adalah yang terburuk dari semuanya.
Saat aku mencoba memotongnya, cairan merah mengalir keluar dari dalam.
Begitu aku melihat ke dalam potongan yang kubuat, aku menyadari bahwa bagian yang paling dekat dengan tulang masih mentah.
Karena yang kita bicarakan ini adalah iga babi, memakannya mentah tidak enak.
Aku berkata takut-takut, sambil memastikan kondisi Touko-senpai.
“Um, Touko-senpai. Apakah kamu mengeluarkan ini dari lemari es dan langsung memasaknya? Permukaannya hangus terbakar, tapi bagian tengahnya masih mentah.”
Ketika Touko-senpai melihat ini, dia juga mengatakan “ah” dengan terkejut.
“Benar. Karena semua permukaannya sudah matang, jadi kupikir tak ada masalah.”
“Aku minta maaf untuk mengatakan ini, tapi jika kamu hanya mengeluarkan daging dari lemari es dan tidak membiarkannya mencapai suhu ruang sebelum memasaknya, ada kemungkinan besar hal seperti ini bisa terjadi. Selain itu, aku yakin kamu mungkin tidak cukup memanaskan oven-nya sebelumnya.”
“…Maaf…”
Touko-senpai benar-benar menyusut dalam kesedihan sekarang.
Mengingat sikap Touko-senpai yang biasanya, aku tidak menyangka dia akan sesedih seperti ini.
“Jangan berkecil hati. Semua orang seperti ini pada awalnya. Karena memasak adalah aktivitas yang membuat kita menjadi lebih baik dengan adanya kesalahan.”
Aku menyemangati Touko-senpai yang depresi dengan mengatakan itu.
Namun, sepertinya Touko-senpai sangat depresi kali ini.
Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya.
“Apakah kamu masih memiliki sebagian tepung yang kamu gunakan untuk ayam dan karaage?”
“Ah, ya.”
Mendengar itu, aku pun berdiri.
“Apakah kamu ingin memasak bersama? Aku yakin paling tidak itu seharusnya bisa membuatmu belajar cara menggoreng makanan.”
Aku pergi ke dapur bersama Touko-senpai.
“Potong ayamnya menjadi potongan-potongan kecil, bumbui, dan kemudian, menurutku kamu harus membiarkannya sekitar satu jam. Meski, akhir-akhir ini, tepung karaage yang tersedia di pasaran juga sudah disiapkan dengan baik, jadi meskipun kamu langsung menggorengnya setelah mencelupkannya ke dalam tepung, rasanya tetap akan enak.”
Touko-senpai dengan penuh perhatian memperhatikan tanganku sepanjang waktu.
“Suhu antara 170C dan 180C adalah yang terbaik untuk memanaskan minyak. Setelah kamu menyetelnya pada suhu itu, tunggulah sekitar 4 menit.”
Aku memasukkan beberapa potong ayam yang sudah dilumuri tepung karaage ke dalam minyak yang sudah dipanaskan.
“Jika kamu memasukkan terlalu banyak potongan sekaligus, suhu minyak akan menurun. Oleh karena itu, kamu harus menempatkannya 2 atau 3 sekaligus dan mengukur keadaan…”
Aku kemudian mengeluarkan potongan karaage, yang telah berubah warna seperti aburaage, dari wajan penggorengan dan membariskannya di nampan samping, di atas rak penguras minyak.
TLN: Aburaage adalah tahu goreng
“Sebenarnya, daripada mengeluarkannya dari wajan dan meletakkannya di atas nampan, akan lebih baik meletakkan rak di atas wajan dan membiarkannya mengeringkan minyak berlebih saat perlahan-lahan mendingin.”
“Kamu sudah mengeluarkannya dari minyak saat baru berwarna seperti ini? Bukankah karaage biasanya memiliki warna yang lebih gelap?”
“Itu karena kita membuatnya dengan bumbu berdasarkan garam dan merica. Jika itu bumbu berdasarkan kecap, ini akan memiliki warna yang lebih dalam. Belum lagi sisa panas akan memasaknya jauh di dalam juga.”
Setelah mendinginkan karaage selama sekitar lima menit, kami mulai mencicipinya.
“Enak! Kamu benar! Meskipun bagian dalamnya telah dimasak dengan matang, karaagenya masih sangat berair!”
“Kamu akan berakhir memasak karaage-mu kematangan, bagaimana pun caranya jika kamu terus membayangkan warna karaage yang kamu lihat di pasaran. Dan begitu kamu melakukan itu, sangat mudah sarinya mengering.”
Touko-senpai menatapku dengan mata berbinar.
“Terima kasih, Isshiki-kun. Aku akan mencoba melakukannya dengan cara yang sama seperti yang kamu ajarkan padaku.”
Kali kedua aku dipanggil, menunya adalah kaarage, salad kentang dan chiffon cake.
Dibandingkan dengan percobaan terakhir, karaage-nya telah meningkat pesat. Salad kentang juga telah disiapkan dengan luar biasa.
Plester pada jari-jari di kedua tangannya menunjukkan bekas perjuangan keras yang dia jalani dalam mempersiapkannya.
Tapi, chiffon cake-nya sama sekali tidak enak.
“Apakah tidak seperti yang aku bayangkan?”
Touko-senpai bertanya dengan sedih, sepertinya dia menebaknya dari ekspresiku saat aku memasukkan kue itu ke dalam mulut.
Kuenya tidak mengembang, semuanya keras, seperti chiffon yang tergencet.
Selain itu, ada gumpalan tepung di beberapa tempat di dalamnya.
“Chiffon-nya tidak mengembang. Dan tepungnya menggumpal di beberapa tempat.”
Aku mengatakannya secara terus terang tentang hal itu. Dan Touko-senpai sekali lagi mendapati dirinya murung.
“…Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki itu?”
“Aku tidak tahu… Aku sendiri belum pernah membuat kue.”
Dan begitulah, di saat yang ketiga, aku dapat mencicipi dengan nikmat masakan buatan Touko-senpai.
Dua kali sebelumnya, rasanya lebih seperti jadi ‘kelinci percobaan’ daripada penguji rasa.
Hidangan yang disiapkan Touko-senpai untuk putaran ini adalah iga babi, karaage ayam goreng, salad kentang, dan shortcake, semuanya terasa enak. Semuanya berada pada level dimana kalian bisa menjualnya di toko tanpa harus khawatir.
Aku bisa merasakan diriku tersenyum secara alami saat aku memakannya juga. Melihat itu, Touko-senpai tersenyum puas pada dirinya sendiri.
Aku kemudian bertanya setelah selesai makan.
“Kamu bilang akan menyajikan ini di hari-X, kan?”
Tiba-tiba, ekspresi Touko-senpai menjadi serius.
“Benar. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus aku lakukan terlebih dahulu.”
“Melakukan apa?”
“Aku harus berbicara dan menjelaskan situasinya pada ketua kita, Nakazaki-san, terlebih dahulu.”
“Ke Nakazaki-san?”
Aku bingung dengan itu.
Junpei Nakazaki-san, yang merupakan ketua perkumpulan kami, adalah orang yang tegas dan dapat diandalkan, dan seorang teman Tetsuya Kamokura dari masa SMA ketika mereka bermain di ekskul sepak bola yang sama. Singkatnya, bisa dibilang dia adalah seseorang yang berada di pihak Kamokura. Sesuai dengan penjelasan itu, Nakazaki-san juga bersama Kamokura di toko yang terkenal dengan kari India sebelumnya.
“Apakah benar-benar perlu memberi tahu Nakazaki-san tentang hal itu? Maksudku, Nakazaki-san adalah seseorang yang telah bersama Kamokura-senpai sejak hari-hari mereka di ekskul sepak bola di SMA, kan? Tidakkah menurutmu ada risiko bahwa dia malah akan menceritakan rencana kita kepada Kamokura-senpai?”
Touko-senpai juga memasang ekspresi bimbang.
“Itu mungkin benar… Tapi, jika sesuatu terjadi selama rencana kita, Nakazaki-san adalah satu-satunya orang yang bisa menahan Tetsuya, kan? Tidak hanya itu, tapi dia juga seseorang yang melihat sesuatu dari sudut pandang yang tidak memihak dan membenci ketidakadilan. Dia seseorang yang bisa kita ajak berunding. Itulah kenapa aku percaya bahwa, jika aku menjelaskan semuanya dengan baik kepadanya, dia akan mengerti dan mendukung kita.”
Aku merenungkannya sejenak.
“Baiklah. Namun, aku memiliki satu syarat: aku akan pergi bersama denganmu. Atau lebih tepatnya, tolong izinkan aku menjadi orang pertama yang memulai percakapan dan menjelaskan banyak hal kepadanya. Aku ingin kamu, Touko-senpai, bergabung dengan kami setelah aku memanggilmu.”
Akan sulit bagi seorang wanita seperti Touko-senpai untuk menceritakan soal masalah seperti itu.
“Baiklah.”
Touko-senpai mengangguk dan mengulurkan tangannya ke arah teh hijau di atas meja.
“Dengan ini, akhirnya kita akan menyelesaikan balas dendam kita terhadap mereka berdua. Sudah kurang lebih dua bulan sejak itu terjadi, ya. Rasanya begitu lama, namun juga begitu singkat pada saat yang sama.”
Aku meregangkan tubuh bagian atas, melengkungkan punggung saat berbicara. Akhirnya, kami sampai pada grand final.
Namun, yang Touko-senpai hanya katakan adalah, ‘Begitulah’ dengan lembut. Di balik kata-katanya itu, aku merasa ada semacam ketidakpastian seolah-olah dia menyesali sebagian dari ini.
…Mungkinkah Touko-senpai berubah pikiran?…
Aku mendapati diriku tidak dapat melepaskan kekhawatiran itu ketika aku melihatnya meminum tehnya dalam diam.
× × ×
Dua hari telah berlalu sejak sesi mencicipi masakan rumahan Touko-senpai. Kami akhirnya kurang dari satu minggu lagi dari Malam Natal.
Aku telah memanggil ketua perkumpulan kami, Nakazaki-san, ke sebuah restoran keluarga yang tidak jauh dari universitas kami.
Setelah lewat lima belas menit dari waktu janjian, Nakazaki-san pun muncul.
“Maaf, aku terlambat.”
“Tidak apa-apa, aku tidak keberatan. Yang lebih penting, kamu tidak memberi tahu siapa pun kalau kamu akan datang ke sini, kan?”
“Ya, karena kamu sudah mengirim pesan kalau kamu ingin berbicara denganku soal masalah pribadi dan tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya.”
Setelah mengatakan itu, Nakazaki-san duduk di kursi di depanku dan memesan kopi panas.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”
Nakazaki-san memulai dengan menanyakan itu padaku.
“Kamu tahu kalau aku pacaran dengan Karen Mitsumoto, kan?”
“Yah, sulit untuk tidak mengetahuinya. Karen adalah gadis yang sangat menonjol.”
“Kalau begitu, apakah kamu tahu dengan siapa Kamokura-senpai pacaran?”
Nakazaki-san tampak terkejut.
“Kenapa nama Kamokura muncul di sini?”
“Maaf. Aku akan menjelaskan semuanya nanti, jadi untuk saat ini, bisakah kamu menjawab pertanyaanku dulu?”
“Tentu saja, itu Touko Sakurajima-san, kan? “Miss University Bayangan”, dewi di perkumpulan kita.”
Aku mengangguk dalam diam.
“Kalau begitu, apakah kamu tahu bahwa Kamokura-senpai dan Karen sering bertemu, berdua saja?”
Nakazaki-san menatapku dengan ekspresi terkejut.
“Hei. Apa maksudmu dengan ‘mereka bertemu berdua saja’?”
“Persis seperti kedengarannya. Maksudku, hubungan antara pria dan wanita yang melebihi teman.”
“Isshiki. Apa yang sebenarnya kamu…”
Lalu, kopi diantarkan ke atas meja. Sejenak, Nakazaki-san menatap pelayan dengan ekspresi canggung. Begitu pramusaji pergi, Nakazaki-san melanjutkan percakapan yang terhenti.
“Meskipun itu Kamokura, tidak mungkin dia bisa main-main dengan pacar orang yang satu anggota perkumpulan dengannya dan juga seorang adik kelasnya di SMA…!”
“Apakah kamu tidak percaya padaku?”
“Aku yakin kamu memiliki semacam bukti.”
Aku mengeluarkan ponselku dan menampilkan gambar pertama yang aku ambil dari chatting-an media sosial antara Karen dan Kamokura. Aku kemudian memperlihatkannya pada Nakazaki-san.
Nakazaki-san melihat ke arah ponselku dan membelalakkan matanya.
Kemudian, dia perlahan menggulirkan gambar-gambar itu ke bawah untuk melihat tangkapan layarnya satu per satu.
“Bukan itu saja. Aku juga memotret mereka berdua masuk ke apartemen Kamokura-senpai bersama-sama.”
Nakazaki-san melihat ponselku dalam diam selama beberapa saat, hingga akhirnya bergumam.
“Kamokura, dasar idiot… Padahal kamu sudah memiliki Touko-san… Kenapa kamu masih melakukan itu…?”
“Apakah kamu percaya padaku sekarang?”
Nakazaki-san mengembalikan ponselku.
“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Apakah kamu ingin aku memberitahu Kamokura untuk berhenti berselingkuh dengan Karen?”
“Tidak, bukan itu yang aku inginkan.”
“Lalu, apa?”
“Aku ingin mengungkapkan kebenaran ini kepada semua orang saat pesta Malam Natal.”
Mendengar itu, Nakazaki-san menjadi panik.
“Hei, tunggu sebentar, Isshiki! Coba pikirkan lagi! Ini akan menjadi keributan besar jika kamu melakukan itu!”
“Aku yakin pasti begitu.”
“Selain itu, bagaimana soal perasaan Touko-san jika kamu mengumumkannya di depan umum? Apakah kamu tidak memikirkan perasaannya dalam masalah ini?”
“Jika yang kamu maksud Touko-senpai, dia juga memiliki pendapat yang sama denganku.”
Aku kemudian mengangkat tangan untuk memanggil seorang wanita muda yang duduk di salah satu kursi paling dalam. Itu adalah wanita yang memakai kacamata hitam. Wanita itu berdiri dari kursinya, menghampiri tempat kami berada dan duduk di sebelahku.
Dia kemudian melepas kacamata hitamnya. Dia adalah Touko-senpai.
“Nakazaki-san. Aku berpikiran sama dengan Isshiki-kun. Aku tidak berniat membiarkan ini tanpa hukuman. Oleh karena itu, pada malam Natal, aku akan berdiri di depan semua orang, mengungkapkan kejadian ini dan mengakhiri hubunganku dengan Tetsuya di depan umum.”
“Aku pun sama. Aku juga tidak berniat untuk memaafkan Karen setelah dia terus menipuku selama ini. Aku berencana untuk mengekspos hubungan mereka berdua di depan semua orang dan kemudian memutuskan hubunganku dengan Karen untuk selamanya.”
“Bahkan Touko-san juga…”
Nakazaki-san melihat ka wajahku dan Touko-senpai secara bergantian, seolah-olah dia terkejut.
Tak lama kemudian, dia menghela nafas panjang.
“Tampaknya kalian berdua sudah teguh dengan keputusan kalian. Kurasa ini bukan tempatku untuk mengatakan sesuatu.”
Aku dan Touko-senpai mengangguk bersamaan.
“Jadi, kenapa kalian berdua memutuskan untuk menceritakan semua ini padaku? Aku yakin kalian ingin aku melakukan sesuatu, kan?”
Touko-senpai mengangguk sekali lagi.
“Ya, aku ingin Nakazaki-san menahan Tetsuya jika dia mulai membuat keributan. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Tetsuya jika aku mengumumkan perselingkuhan mereka dan menyatakan kalau aku akan meninggalkannya di depan semua orang.”
Nakazaki-san hanya menganggukkan kepalanya seolah pasrah.
“Aku mengerti. Selain itu, apakah ada orang lain yang tahu tentang hal ini?”
“Ya. Sahabatku, Kazumi Kanou, dan sahabat Isshiki-kun, Ishida Youta-kun, juga mengetahui hal ini. Lagipula, kami memang mendiskusikan banyak hal dengan mereka.”
Lalu, aku memotong pembicaraan mereka pada saat itu.
“Nakazaki-san, tolong jangan beritahukan masalah ini pada siapa pun. Kalau tidak, itu akan berisiko memberikan mereka berdua kesempatan untuk membuat alasan.”
Tapi, Nakazaki-san memasang ekspresi bimbang dan tetap diam.
Melihat itu, Touko-senpai mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Kumohon. Kami mempercayai Nakazaki-san makanya kami memberitahumu hal ini. Karena kami akan mengumumkannya di sebuah acara perkumpulan, kupikir setidaknya kami harus menjelaskannya pada Nakazaki-san, yang merupakan ketua perkumpulan, yang selalu tidak memihak selama banyak acara yang diselenggarakan perkumpulan.”
Tidak memberinya kesempatan untuk menyela, Touko-senpai melanjutkan.
“Sebenarnya Isshiki-kun menentang memberi tahukan siapa pun tentang ini, termasuk kamu, Nakazaki-san. Tapi akulah yang meyakinkannya untuk melakukannya dengan mengatakan padanya bahwa Nakazaki-san adalah seseorang yang dapat dipercaya dan diajak berunding.”
Kurasa Nakazaki-san sudah tidak bisa lagi menolak jika Touko-senpai sampai bilang begitu. Meski begitu, dia tidak bisa langsung memberikan jawaban pasti.
“Aku berjanji untuk tidak mengungkapkan apa pun yang kalian ceritakan padaku. Tapi, aku juga meminta kalian untuk memberiku waktu memikirkan masalah soal kalian yang akan menyatakannya di depan umum di pesta itu.”
Dia memiliki ekspresi tegas di wajahnya saat dia mengatakan itu.
Keheningan yang menyesakkan berlanjut tanpa gangguan selama beberapa saat. Kami bertiga menatap lantai dengan ekspresi rumit.
Aku merasa bahwa kami mungkin tidak dapat memperoleh kerja sama Nakazaki-san jika terus seperti ini.
Aku merasa bahwa satu dorongan lagi diperlukan.
“Tunggu sebentar. Aku harus pergi ke kamar kecil.”
Nakazaki-san bangkit dari kursinya setelah itu. Ini adalah kesempatanku untuk berbicara berdua dengannya, hanya kami berdua.
“Aku juga. Aku pasti terlalu banyak minum kopi.”
Mengatakan itu, aku pun mengikuti Nakazaki-san.
Kami berdua berdiri di bilik yang berdekatan sambil mengurus kebutuhan fisiologis kami.
“Dan, apakah kamu memiliki sesuatu yang ingin kamu bicarakan denganku?”
Nakazaki-san bertanya padaku sambil menutup celananya.
Sepertinya dia telah menduga maksudku.
“Ya, benar. Itu adalah sesuatu yang aku tidak ingin Touko-senpai dengar.”
“Aku sudah bisa menduganya. Oke, katakanlah.”
“Sepertinya Karen bukanlah satu-satunya gadis yang digauli Kamokura-senpai. Aku melihatnya pergi ke distrik love hotel di Shibuya bersama wanita lain dari perkumpulan kita.”
Nakazaki-san menghela nafas lagi.
“Apakah kamu melihat siapa perempuan lain itu?”
“Ya, meskipun dia adalah seseorang yang tidak sering menunjukkan wajahnya di perkumpulan. Dia adalah seorang wanita bernama Hirota Rumi, dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Manusia.”
Begitu aku mengatakan itu, Nakazaki-san berbalik menghadapku dengan satu gerakan cepat seolah-olah dia terkejut. Dia membelalakkan matanya lebar-lebar.
Reaksinya yang hampir berlebihan malah mengejutkanku.
“Apakah itu benar…? Apakah kamu yakin?”
Nakazaki-san berbicara dengan suara yang lebih serak dari sebelumnya.
“Ya, aku yakin. Ishida juga melihatnya bersamaku.”
Tertegun dengan sikapnya saat ini, hanya itu yang bisa aku jawab kepada Nakazaki-san.
× × ×
Beberapa saat setelah kami kembali dari kamar kecil, kami semua meninggalkan toko.
Nakazaki-san memasang ekspresi muram di wajahnya sepanjang waktu.
Touko-senpai juga khawatir jika sesuatu telah terjadi, tapi suasananya tidak memungkinkan dia untuk menanyakannya.
Begitu tiba waktunya untuk berpisah, Nakazaki-san meninggalkan kami dengan kata-kata terakhir.
“Mengenai apa yang kita diskusikan hari ini, aku akan menghubungi kalian di kemudian hari.”
Setelah itu dia pun membelakangi kami dan meninggalkan tempat itu.
Malam hari itu juga. Saat itu tengah malam, tepatnya jam 00:00, ketika sebuah panggilan masuk ke ponselku. Aku melihat ID penelepon dan mengetahui kalau itu dari Nakazaki-san.
“Hal yang kamu ceritakan padaku hari ini, pada akhirnya itu semua benar. Aku baru saja mendengar semuanya dari Hirota Rumi.”
Kata-kata pertama yang keluar dari sisi lain telepon adalah itu.
“Eh? Apakah kamu bertanya pada Hirota-san sendiri tentang hal itu?”
Aku terkejut karenanya. Apakah Hirota-san seseorang yang sangat akrab dengan anggota lain di perkumpulan kami?
Meski begitu, kata-kata Nakazaki-san selanjutnya menjawab pertanyaan itu untukku.
“Sebenarnya, aku dan Hirota Rumi pacaran. Rumi tidak terlalu tertarik untuk berpartisipasi aktif dalam perkumpulan kita, dan dengan kami yang saling mengenal di tempat lain, tidak mengherankan jika sebagian besar anggota perkumpulan tidak mengetahui tentang kami.”
Hirota Rumi adalah pacar Nakazaki-san? Namun, yang membuatku terperangah bukanlah itu.
“Lalu, apakah itu berarti Kamokura-senpai telah menggauli bahkan pada pacarmu, Nakazaki-san?”
Kamokura dan Nakazaki-san telah berteman sejak masa SMA ketika mereka berada di ekskul sepak bola yang sama. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa dikatakan sebagai teman Kamokura; satu-satunya orang yang bisa dia ajak bicara isi pikirannya.
Tidak kusangka bahwa dia akan berani menggauli pacar dari temannya yang penting itu!
“Ya, seperti itulah. Meski, tidak sepertimu, aku tidak bisa menyalahkan Kamokura karena melakukan itu. Itu karena aku merahasiakan hubunganku dengan Rumi. Aku cukup yakin bahwa sama sepertimu, Kamokura juga tidak tahu bahwa Rumi adalah pacarku.”
Suara Nakazaki-san terdengar lesu. Aku menyakitkannya sangat akrab dengan emosi yang dia miliki saat ini.
“Bagaimanapun, aku tidak bisa membiarkan tindakan Kamokura berlanjut lebih jauh dari ini. Jika aku boleh terus terang padamu, ini bukanlah pertama kalinya Kamokura terlibat dengan gadis-gadis secara seksu*l dari perkumpulan atau pekerjaan paruh waktunya. Ini telah menjadi masalah lebih dari sekali sebelumnya.”
Jadi dia pernah melakukan itu sebelumnya, ya? Meski, bukan berarti aku terkejut dengan kebejatannya, sih.
“Aku telah memperingatkannya berulang kali, tapi Kamokura bukanlah tipe orang yang mendengarkan orang lain. Dan sekarang, sepertinya mengakhiri masalah-masalah itu dengan damai telah menjadi bumerang bagi kita.”
Nakazaki-san membuat jeda kecil pada saat ini sebelum melanjutkan.
“Itulah sebabnya… aku setuju dengan rencana yang kalian buat. Silakan lanjutkan dan tangani ini sesuai keinginan kalian.”
Kata-kata itu mengkhianati tekad yang dimilikinya. Dia mengatakannya seolah-olah dengan paksa mengeluarkannya dari tubuhnya.
“…Terima kasih banyak.”
Hanya itu yang bisa aku katakan setelah aku mempertimbangkan apa yang pasti dirasakan Nakazaki-san.
Nakazaki-san dengan enggan berbicara sekali lagi.
“Yah, aku tidak bisa bekerja sama dengan kalian secara terbuka dan proaktif semauku. Tapi aku berjanji jika Kamokura membuat keributan, aku akan menghentikannya. Hanya ada satu hal yang ingin aku beritahukan sebelumnya. Tolong jangan menggunakan kekerasan. Bahkan jika Kamokura melakukan kekerasan terlebih dahulu, kalian berdua sama sekali tidak boleh menanggapinya dengan kekerasan. Itulah yang ingin aku peringatkan padamu.”
“Baiklah.”
Begitulah jawabanku.
Namun… Aku tidak cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa aku dapat menepati janji itu. Aku tidak terlalu keberatan jika akulah yang dipukuli. Tapi jika dia berani berusaha menyerang Touko-senpai, aku berjanji akan menghentikannya bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawaku!