Bab 3: Berubah Pikiran di Festival Kembang Api
(2/5)
“…Aku tersesat.”
Rie menghela nafas di tengah kerumunan sambil memegang dua buah pisang coklat di masing-masing tangannya.
Dia memutuskan untuk makan lebih banyak pisang coklat dari biasanya sebagai pembalasan tidak bisa menghadiri festival tahun lalu karena persiapan ujian masuk, tapi hal itu malah menjadi bumerang.
Dia membeli empat buah pisang coklat lagi kali ini, tapi dia tidak berencana menghabiskan semuanya sendirian, melainkan membagi itu dengan kakaknya, Tsukasa, dan Sei.
…Tapi jika mereka berdua menolak, dia berencana memakannya semuanya sendiri.
“Tasku bergetar tadi, mungkin ada telepon masuk… tapi aku tidak bisa mengangkatnya.”
Dengan pisang coklat di kedua tangannya, dia tidak bisa mengeluarkan ponsel dari tasnya.
Setelah ponselnya berdering, dia berkeliling area festival selama beberapa saat, tapi dia tidak dapat menemukan Tsukasa atau Sei.
Dengan kata lain, itu artinya Rie tersesat.
Tapi, dia bukan anak kecil yang akan panik karena tersesat.
“Jika aku bisa mengeluarkan ponselku, aku bisa menghubungi mereka… Yah baiklah, kurasa tidak ada cara lain selain memakannya.”
Jika salah satu tangannya kosong, dia bisa mengambil ponselnya, dan memakan dua pisang coklat akan membuat tangannya kosong.
Jadi mau bagaimana lagi. Bukan berarti aku ingin memakan semuanya sendiri, lho.
Sambil membuat alasan seperti itu, dia mulai memakan pisang coklat di pinggir jalan.
“Mmm, enak.”
Saat Rie sedang memakan pisang coklat sambil memandangi orang-orang yang berlalu lalang…
“Hai cewek, apa kamu sendirian?”
Dia terkejut dan berbalik ketika seseorang memanggilnya dari belakang.
Di sana berdiri seorang pria berpenampilan macam fuckboy yang lebih tinggi dan tampak beberapa tahun lebih tua dari Rie.
“A-Apa kamu bicara padaku?”
“Ya, kamu, pisang coklat-chan.”
“P-Pisang coklat-chan…”
Rie sedikit terkejut dengan julukan itu, tapi karena dia sedang memegang pisang coklat di kedua tangannya dan memakannya dengan lahap, dia tidak bisa menyangkalnya.
“Kamu imut sekali. Apa kamu sendirian? Aku juga sendirian, jadi bagaimana kalau kita jalan-jalan bersama?”
“Tidak, um, aku tidak sendirian.”
“Aku tahu tempat bagus untuk menonton kembang api, lho.”
“Um, sudah kubilang…”
“Tempat itu sepi, jadi kita bisa menontonnya berdua saja.”
Pria genit itu terus berbicara seolah-olah Rie akan ikut bersamanya, mengabaikan apa pun yang Rie coba katakan.
Rie langsung menyadari bahwa pria itu mencoba merayunya, tapi didekati dengan begitu agresif membuat Rie merasa sedikit ketakutan.
Dia belum menghabiskan satu pun pisang coklat dan tangannya masih penuh, jadi dia tidak bisa menghubungi siapa pun.
Karena dia berdiri di pinggir jalan, dia disudutkan oleh pria jangkung itu ke tempat yang gelap.
“U-Um, aku…”
“Aku akan mentraktirmu lebih dari sekedar pisang coklat, jadi jangan malu-malu. Ayo, kembang apinya akan segera dimulai.”
Pria genit itu mencengkeram pergelangan tangan kanan Rie dan mencoba menyeretnya paksa.
“Ah…!”
Rie mencoba melawan dengan sedikit berteriak, tapi dia tidak bisa mengalahkan tenaga pria yang lebih tinggi dari dirinya.
Dia semakin takut dan mencoba meminta tolong dari orang-orang di sekitarnya, namun rasa takutnya membuat dia tidak bisa meninggikan suaranya.
Apakah dia akan dibawa pergi begitu saja?
(Siapa saja, tolong aku…!)
Dengan air mata berlinang, Rie berteriak dalam hati.
Saat berikutnya, seseorang muncul dalam penglihatannya yang kabur karena air mata.
“—Oi, apa yang kau lakukan pada adikku?”
Bersamaan dengan kata-kata itu, pria genit itu berteriak “Aduh!?”, dan Rie ditarik menjauh darinya.
Rie terkejut saat ditarik tiba-tiba, tapi dia sudah tahu siapa yang menariknya dari suara orang itu.
“Onii-chan…!”
“Yo, Rie. Maaf membuatmu menunggu.”
Kakaknya Rie, Tsukasa, menariknya mendekat dan melangkah maju untuk melindunginya.
Pria genit itu, sambil meringis kesakitan, menggosok pergelangan tangan yang sebelumnya memegang Rie.
“Siapa kau? Tiba-tiba memukul lengan orang seperti itu…!”
“Aku hanya menyabet tangan kotor yang memegang lengan adikku. Kalau begitu saja kesakitan, mungkin ototmu kurang kuat.”
“Hah? Sialan, jangan sombong kau…”
Wajah pria genit itu berkerut marah, seolah-olah dia akan menerkam kapan saja.
Kakaknya, Tsukasa, tidak berlatih bela diri dan badannya tidak sebesar pria genit itu.
Bagaimana kalau terjadi perkelahian… pikir Rie khawatir
“Ah, bukankah itu Tsukasa?”
“Ah, benar! Ada Rie-chan juga!”
“Ara, kebetulan sekali.”
Rie menoleh ketika dia mendengar suara-suara itu dan di sana dia melihat ada teman kakaknya, Yuuichi Shigemoto, teman Sei, Shiho Fujise, dan Ojou-sama, Kaori Toujoin.
Mereka semua mengenakan yukata, dan mereka tampak seperti trio pria tampan dan wanita cantik, tidak peduli siapa yang melihatnya.
“Yo, Yuuichi. Kamu datang di saat yang tepat, yah, aku sebenarnya mengincar ini sih.”
“Mengincar? Apa maksudmu?”
“Bukan apa-apa, aku hanya teringat sesuatu.”
“Aku tidak mengerti, tapi… apakah pria genit itu adalah temanmu, Tsukasa? Seleramu buruk sekali.”
“Tentu saja bukan. Satu-satunya temanku yang berselera buruk hanyalah kamu, Yuuichi, dan itu sudah cukup.”
Saat Tsukasa dan Yuuichi terkekeh dan berbicara seperti itu, pria genit itu kembali meninggikan suaranya.
“Bajingan, jangan meremehkanku! Berani-beraninya kalian anak SMA sok hebat hanya karena bersama cewek…!”
Bukannya menyerang Yuuichi atau Tsukasa, pria genit itu malah mencengkeram lengan seorang wanita di dekatnya.
“Setidaknya aku berhak mendapatkan satu, kan!? Aku suka cewek berambut pirang!”
“Ah…”
Melihat wanita yang dicengkeram pria itu, wajah Yuuichi sedikit memucat.
“Hei, lepaskan dia sekarang juga! Kalau tidak…!”
Melihat sikap Yuuichi yang panik, pria genit itu menyeringai, mengira dia telah memegang kelemahannya.
“Hah, apa yang akan kamu lakukan kalau aku tidak melepaskannya!?”
“Inilah yang akan terjadi.”
“Eh—”
Saat berikutnya, tubuh pria genit itu berputar dan mendarat dengan wajah menghantam tanah.
“Buagh!?”
“Apakah kamu ingin mati karena menyentuh tanganku? Di dunia ini, hanya Yuuichi yang diperbolehkan menyentuh tubuhku.”
Kaori Toujoin mengatakan itu sambil menatap pria tak sadarkan diri di tanah.
“Apa kubilang… Kaori adalah pemegang sabuk hitam judo dan aikido.”
“Kamu melewatkan karate dan kendo, Yuuichi.”
Kaori Toujoin, yang telah menerima pendidikan elit sejak dini, merasa mudah membanting pria seperti itu.
“Toujoin-san, kamu luar biasa!”
“Terima kasih, Fujise-san.”
Meski mereka bersaing memperebutkan Yuuichi, mereka ternyata cukup akrab.
Setelah itu, pria genit yang tidak sadarkan diri itu dibawa pergi oleh pria berjas hitam yang dipanggil oleh Toujoin.
“…Fiuh.”
Setelah semua yang terjadi, Rie merasakan tenaga di tubuhnya seakan lenyap, mungkin karena perasaan lega telah terlepas dari bahaya.
“Woah, Rie, apa kamu baik-baik saja?”
Tsukasa menopang Rie yang sedikit oleng dengan melingkarkan lengannya di pinggang Rie.
“Ya… Aku baik-baik saja, terima kasih.”
“Maaf karena datang terlambat.”
“Tidak, ini salahku karena pergi membeli pisang coklat dan tersesat.”
“Pisang coklat… Jadi, kamu memang membeli empat buah lagi, ya.”
Meski hampir jatuh, dia tidak menjatuhkan satu buah pun.
Rie ketakutan, namun dia tidak mau menyia-nyiakan satu pisang coklat pun hanya karena dia diganggu oleh pria genit seperti itu.
“Tidak apa membeli banyak barang yang kamu suka, tapi gara-gara itu, kamu jadi tidak bisa dihubungi.”
“Ugh, aku minta maaf…”
“Yah, yang penting kamu selamat.”
“Mmm…”
Tsukasa mengelus kepala Rie sambil menopangnya.
Rie sedikit tersipu malu dan membuang muka.
“Tsukasa, kerja bagus.”
Yuuichi, yang menyaksikan pria genit itu dibawa pergi, berbicara pada Tsukasa.
Rie, yang merasa tidak nyaman diperhatikan orang lain, menjauh dari Tsukasa.
Tsukasa menyadari hal itu dan tersenyum masam, tapi dia tetap mengobrol dengan Yuuichi.
“Oh, Yuichi, untung saja kamu muncul. Sejujurnya, menurutku aku akan dalam masalah jika aku sendirian.”
“Mungkin saja. Tapi yang mengatasinya bukan aku, melainkan Kaori.”
“Kamu boleh kok jatuh cinta padaku, Yuuichi.”
“Aku tahu kalau kamumampu melakukan hal seperti itu, Kaori.”
“Bukankah itu artinya kamu memang sudah jatuh cinta padaku sejak awal? Kalau begitu, kita sekarang pasangan suami istri.”
“Bukan begitu maksudku.”
Sementara Yuuichi dan Toujoin mengobrol begitu, Shiho menggenggam tangan Rie dengan khawatir.
“Rie-chan, apa kamu baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah datang menolongku, Shiho-san.”
“Aku tidak melakukan apa-apa, kok. Pasti menakutkan sekali, kan? Aku juga pernah dipepet oleh pria seperti itu ketika aku masih SMP.”
“Benarkah?”
“Ya, tapi Shigemoto-kun menolongku saat itu. Dia menolong orang asing sepertiku… Fufu, sejak saat itulah aku jatuh cinta padanya.”
“B-Begitu rupanya.”
“Ya, tapi aku sangat senang kamu selamat, Rie-chan. Sebelum kami datang, kakakmu, Hisamura-kun, sudah datang untuk menolongmu, kan?”
“…Ya, aku sungguh lega.”
Jika Tsukasa terlambat datang, Rie mungkin sudah dibawa pergi oleh pria genit itu.
Berkat kedatangan Tsukasa, itu menciptakan kesempatan bagi Yuuichi dan Toujoin untuk muncul.
“Fufu, dia kakak yang bisa diandalkan, ya?”
“Y-Ya… Kurasa begitu.”
Memalukan baginya untuk memuji kakaknya sendiri, jadi dia akhirnya tersipu malu.
Shiho tersenyum ramah melihat Rie yang seperti itu.
“Rie, ayo kita segera ke tempat Sei-chan… Ada apa? Wajahmu merah.”
“T-Tidak, bukan apa-apa.”
“Benarkah? Baiklah, aku sudah menghubungi Sei-chan, jadi ayo kita menemuinya.”
“Ya, baik. Aku perlu minta maaf pada Sei-san karena sudah merepotkannya.”
“Benar. Nah Yuuichi, Fujise, Toujoin-san, kami pergi dulu.”
“Terima kasih atas bantuan kalian.”
“Tunggu sebentar, Hisamura-kun, Rie-san.”
Saat Tsukasa dan Rie hendak pergi, Toujoin menghentikan mereka.
“Pertunjukan kembang api akan segera dimulai, tapi kalian berencana menontonnya di mana?”
“Di mana? Tentu saja kami akan mencari tempat di dekat lapangan.”
“Apakah kalian mau mencari tempatnya sekarang? Kalau pun kalian pergi mencari tempat 10 menit yang lalu, belum tentu kalian akan dapat tempat bagus, dan kalian harus menonton sambil berdiri.”
“Eh, serius?”
“Itu gara-gara aku tersesat dan membuang waktu…”
Wajah Rie menjadi sedikit muram karena rasa bersalah, tapi Toujoin berbicara dengan ceria seolah ingin mencerahkannya.
“Sungguh disayangkan waktu kalian terbuang percuma karena berurusan dengan pria genit bajingan itu, tapi ada keberuntungan yang lebih besar untuk kalian berdua daripada kesialan itu.”
Dengan senyum anggun, dia mengeluarkan semacam tiket dari lipatan yukata-nya.
“Itu karena kalian adalah teman-temanku.”
Sei merasa lega setelah mendapat kabar dari Tsukasa bahwa Rie telah ditemukan.
Dia sepertinya berada dalam situasi yang agak berbahaya karena seseorang yang mencoba merayunya, tapi entah bagaimana, dia berhasil bertemu dengan Shiho dan yang lainnya.
Mereka sepakat untuk bertemu di suatu tempat dan Sei tiba di sana lebih dulu.
Itu adalah tempat yang agak jauh dari lapangan tempat di mana kembang api dapat terlihat dengan jelas.
(Kenapa mereka memilih ini sebagai tempat ketemuan? Memang benar jumlah orang di sini lebih sedikit, sehingga lebih mudah untuk ketemuan, tapi…)
Saat dia sedang menunggu Tsukasa dan Rie sambil memikirkan hal itu—
“Eh, Shimada-san?”
Dia berbalik dengan sedikit terkejut saat mendengar suara seperti itu dari belakangnya.
Ada dua teman sekelas perempuan di sana.
Kalau tidak salah, nama mereka adalah Satou dan Itou.
“Ternyata Satou-san dan Itou-san, ya? Kebetulan sekali.”
“Iya! Ngomong-ngomong, Shimada-san, kamu cantik sekali memakai yukata itu!”
“Benar! Kamu sangat cantik dan imut!”
“Y-Ya, terima kasih.”
Sei memang selalu dipuji oleh Tsukasa, tapi dia masih belum terbiasa, jadi dia sedikit malu.
“Kami juga ingin mencoba mengenakan yukata di festival berikutnya.”
“Benar, tapi menurutku kita tidak akan terlihat secantik Shimada-san.”
“Tidak kok. Kalian berdua imut, jadi menurutku kalian pasti akan cocok mengenaan yukata.”
“B-Benarkah? Terima kasih, Shimada-san. Entah kenapa, saat Shimada-san yang lebih keren daripada cowok kebenyakan yang mengatakan itu padaku, jantungku jadi berdebar-debar.”
“Iya benar, aku juga berdebar-debar!”
“Tapi, aku tidak begitu senang saat orang menyebutku keren, sih…”
Saat mereka melakukan percakapan seperti itu, dua gadis itu sepertinya bertanya-tanya kenapa Sei sendirian.
“Shimada-san, apakah kamu di sini bersama seseorang? Apakah kamu sedang janjian bertemu seseorang di sini?”
“Ya, sebenarnya sekarang kami lagi terpi—…!”
Lalu, Sei menyadari bahwa Tsukasa akan datang ke sini.
(A-Apakah ini tidak apa-apa? Aku belum memberi tahu mereka kalau aku dan Tsukasa pacaran, jadi jika Tsukasa muncul di sini, itu mungkin akan terungkap…!)
Aku harus menyembunyikan ini agar mereka tidak tahu—.
(—Eh? Ada yang terasa agak aneh…)
Sei merasa sedikit tidak nyaman dengan apa yang baru saja dia pikirkan.
Dia tidak tahu kenapa dia merasa seperti itu, tapi ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuatnya merasa tidak nyaman.
“Shimada-san, ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba terdiam begitu?”
“Mungkinkah kamu terpisah dengan orang yang datang bersamamu?”
“Ah, tidak, bukan apa-apa. Kami janjian untuk bertemu di sini, jadi tidak apa-apa.”
Untuk saat ini, jika mereka berdua pergi sebelum Tsukasa datang, semuanya akan berakhir tanpa masalah.
Tapi sebelum itu—
“Maaf membuatmu menunggu, Sei-cha—… Eh?”
Tsukasa sudah sampai di tempat ketemuan mereka.