Bab 3: Berubah Pikiran di Festival Kembang Api
(1/5)
Sekitar dua minggu telah berlalu sejak Sei-chan datang ke rumah dan menjadi akrab dengan Rie melalui sesi belajar bersama dan makan malam.
Setelah mengantar Sei-chan pulang hari itu, aku langsung memakan gyoza yang mereka buat bersama.
Rasanya sangat enak. Aku merasa ingin dibuatkan itu setiap hari.
“Haaa, akhirnya ujian selesai juga…”
Sepulang sekolah, Yuuichi Shigemoto menghela nafas dalam-dalam sambil berbaring telungkup di mejanya.
Beberapa hari terakhir ini kami disibukkan dengan ujian akhir caturwulan, dan akhirnya hari ini menandai berakhirnya ujian.
Yuuichi tidak terlalu pandai dalam hal akademis, jadi itu pasti sangat berat baginya.
“Oke, hari ini kegiatan ekskul dimulai lagi!”
“Syukurlah, Yuuichi. Jadi, bagaimana perasaanmu dengan hasil ujianmu?”
“Tentu saja aku yakin. Aku yakin saat hasil ujian keluar nanti, aku tidak akan bisa mengikuti kegiatan ekskul lagi.”
“Kamu sudah yakin akan ikut remedial, toh.”
Orang ini, bukankah dia sudah diajari oleh Toujoin-san dan Fujise?
Aku sendiri juga tidak bisa mengomentarinya sih, tapi setidaknya aku tidak akan sampai mendapat nilai merah dan harus ikut remedial.
“Yuuichi? Apakah kamu benar-benar merasa akan dapat nilai merah?”
Saat ini sepulang sekolah, jadi Toujoin-san dari kelas lain datang ke kelas kami.
Di sekitarku dan Yuuichi ada Fujise, dan juga Sei-chan.
“Ah, terima kasih, Kaori! Berkat Kaori yang mengajariku, sepertinya kali ini aku hanya perlu ikut remedial untuk mata pelajaran yang paling kurang kukuasai, bukan semua mata pelajaran!”
“…Haa, syukurlah kalau begitu.”
“Fujise juga, terima kasih banyak sudah membantuku!”
“Y-Ya, aku senang bisa membantu.”
Toujoin-san menghela nafas heran, sementara Fujise tersenyum masam.
Mereka berdua sudah mengajari Yuichi belajar, tapi mereka sepertinya tidak bisa berkomentar apa-apa tentang kemampuan akademis Yuuichi yang seperti itu.
“Ya, sudahlah. Yuuichi, pastikan kamu menepati janjimu.”
“Aku tahu. Sebagai ucapan terima kasih karena telah mengajariku, kita akan pergi ke festival kembang api bersama, kan?”
“Toujoin-san, tentu saja aku ikut juga, kan? Aku mungkin tidak sepintar kamu, tapi aku juga mengajari Shigemoto-kun dengan sungguh-sungguh.”
“Ya, kalau tidak ada kamu, Yuuichi pasti akan mendapat nilai merah di semua mata pelajaran lagi kali ini. Jadi, aku akan mengizinkanmu menemani kami ke festival kembang api.”
“Kata-katamu sedikit menyebalkan, tapi terima kasih ya!”
Seperti biasa, mereka berdua tampak berselisih terkait Yuuichi.
“Kalau begitu, aku berangkat latihan basket dulu ya. Sampai jumpa lagi!”
Yuuichi lalu mengambil tasnya dan berlari sekuat tenaga menuju aktivitas ekskulnya. Larinya cepat sekali.
Entah dia menyadari percekcokan di antara mereka berdua atau tidak, tapi ketidakpekaan Yuuichi untuk segera bermain basket yang disukainya memang seperti dia banget.
Dia juga sepertinya tidak menghiraukan gumaman dari anak laki-laki lain seperti, “Orang itu benar-benar akan membawa dua cewek cantik sekaligus ke festival kembang api…”
Setelah Yuuichi pergi, Toujoin-san juga berkata, “Nah, semoga hari kalian menyenangkan,” dan meninggalkan kelas.
“Ah, Sei-chan, aku tidak bisa pergi ke festival kembang api bersamamu kali ini karena aku akan pergi bersama Toujoin-san dan Shigemoto-kun. Maaf, ya.”
“Hm? Kita memang tidak berjanji untuk pergi bersama tahun ini, kan?”
“Ya, memang tidak sih, tapi kita selalu pergi bersama setiap tahun. Jadi…”
Fujise melirik ke arahku sebentar, lalu melanjutkan bicaranya sambil menyeringai.
“Fufufu, apa Sei-chan juga berencana pergi dengan orang lain selain aku tahun ini?”
“Huh! B-Begitulah…!”
Sei-chan juga melirik ke arahku sebelum mulai berbicara pada Fujise dengan pelan agar tidak terdengar oleh teman sekelas di sekitarnya.
“Shiho, kamu pasti sudah tahu, kan?”
“Tentu saja, Sei-chan akan pergi bersama Hisamura-kun, kan?”
“I-Iya, tapi kali ini aku akan pergi bertiga bersama Hisamura dan adiknya, Rie.”
“Eh, dengan Rie-chan juga? Begitu rupanya.”
Fujise juga sudah bertemu dengan adikku Rie saat latihan memasak waktu itu.
“Mempertimbangkan masa depanmu bersama Hisamura-kun, memang akan lebih baik kalau kamu juga dekat dengan adiknya Rie-chan.”
“Bukan itu maksudku dekat dengan Rie, tahu?”
Aku tidak mengerti maksudnya, tapi aku senang Sei-chan dan Rie bisa akrab.
Yang jadi masalah adalah kalau Rie benar-benar jatuh cinta pada Sei-chan.
Festival kembang api yang akan aku hadiri bersama Sei-chan dan Rie akan diadakan besok.
Aku sangat menantikannya, tapi ada satu hal yang membuatku sedikit gelisah, atau lebih tepatnya khawatir.
Aku perlahan-lahan melupakan pengetahuan tentang cerita asli “Ojojama.”
Sebelum memasuki dunia “Ojojama,” aku dulu suka membaca manga ini.
Aku sudah membacanya berulang kali sehingga aku mengingat keseluruhan ceritanya… atau begitulah seharusnya.
Aku ingat ada cerita tentang festival kembang api.
Namun, aku hampir tidak dapat mengingat sebagian besar detailnya.
Yang samar-samar aku ingat adalah di cerita aslinya, Yuuichi dan Toujoin-san pergi ke festival kembang api berdua.
Fujise pergi bersama Sei-chan, lalu mereka kebetulan bertemu di suatu tempat di lokasi festival kembang api.
Aku tidak dapat mengingat apa pun sama sekali selain itu.
Sudah sekitar dua bulan berlalu sejak aku berada di dunia ini, tapi daya ingatku tidaklah seburuk itu untuk sampai melupakan cerita yang sudah kubaca berulang kali hanya dalam waktu dua bulan saja.
Namun, kenyataan bahwa aku tidak dapat mengingatnya sampai seperti ini… mungkinkah aku secara bertahap melupakan pengetahuanku akan cerita aslinya?
Aku sama sekali tidak tahu alasannya. Aku bahkan tidak tahu alasan kenapa aku masuk ke dunia ini sejak awal.
Tidaklah aneh jika sesuatu yang sangat misterius terjadi; lagian, kenyataan aku berada di dunia ini sudah merupakan sebuah misteri.
Tapi, melupakan jalan cerita dari karya aslinya membuatku merasa agak sedih.
Soalnya, aku sangat menyukai manga ini.
“Tsukasa? Ada apa?”
“Ah, Sei-chan…”
Sepertinya aku terlalu larut dalam pikiranku sampai tidak sadar bahwa Sei-chan menatapku dengan khawatir.
Sepertinya di sekitar kami sudah tidak ada teman sekelas atau Fujise lagi.
“Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu tadi.”
“Begitu, ya… Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?”
“Hm? Tidak ada apa-apa kok.”
“Kalau begitu baguslah, tapi wajahmu tadi tampak sedikit sedih.”
Eh, aku tidak menyangka Sei-chan sampai menyadarinya.
Apakah ekspresiku sejelas itu?
“Jika ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa menceritakannya padaku. Apa kamu baik-baik saja?”
Sei-chan orang yang baik, jadi dia mencoba mendengarkanku dengan penuh simpati.
Tapi, aku tidak bisa bercerita padanya tentang kekhawatiranku ini.
Selain itu, hal ini tidak terlalu menjadi perhatian serius.
Memang menyedihkan melupakan alur cerita manga-nya, tapi yang lebih penting, aku terus mengalami banyak hal menyenangkan dan membahagiakan.
Tentu saja kebahagiaan itu adalah memasuki dunia manga ini dan bisa pacaran dengan Sei-chan.
Dibandingkan dengan kebahagiaan itu, rasa sedih karena melupakan cerita aslinya hampir tidak ada apa-apanya.
“Aku baik-baik saja kok. Aku hanya memikirkan betapa bahagianya aku bisa pacaran dengan Sei-chan seperti ini, dan bertanya-tanya apa yang akan aku lakukan jika ini semua ternyata hanyalah mimpi.”
“A-Apakah kamu benar-benar memikirkan hal seperti itu? Kamu tidak sekedar berusaha untuk berkelit, kan…?”
Sei-chan terlihat sedikit malu-malu, tapi dia tetap mengkhawatirkanku.
Aku memang tidak mengatakan yang sebenarnya, tapi jika meringkas kekhawatiranku, mungkin seperti itu.
“Bagiku, pacaran dengan Sei-chan terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.”
“…Aku tidak tahu apakah kamu serius atau bercanda.”
“Tentu saja aku serius.”
Pada awalnya, Sei-chan hanyalah karakter dalam manga.
Aku memang benar-benar menyukai Sei-chan, tapi aku tidak pernah mengira bisa pacaran dengannya.
Tidak banyak orang yang benar-benar percaya bahwa mereka bisa pacaran dengan karakter manga.
“”Kamu memang pandai mengatakan hal-hal yang memalukan…”
“Aku mengatakan itu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku merasa sangat bahagia dan beruntung bisa pacaran dengan Sei-chan.”
“…J-Jangan mengatakan hal-hal memalukan seperti itu. Ayo kita pulang saja.”
“Fufu, baiklah.”
Aku dan Sei-chan lalu meninggalkan kelas dan berjalan menuju pintu keluar.
“Sei-chan, aku sangat menantikan festival kembang api besok.”
“Ya, aku juga. Aku juga tak sabar untuk jalan-jalan bersama Rie.”
Aku dan Sei-chan mengobrol tentang hal itu sepanjang perjalanan pulang.
Meski aku sangat menantikan festival kembang api, aku juga sedikit merasa cemas.
Karena aku tidak dapat mengingat detail dari cerita aslinya, aku tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi.
Kalau itu hanya festival kembang api biasa, mungkin tidak akan terjadi apa-apa.
Namun dalam alur cerita manga, seharusnya ada peristiwa penting selama festival kembang api, meski aku tidak dapat mengingatnya dengan jelas.
Seharusnya ada sesuatu yang terjadi, tapi karena aku tidak bisa mengingatnya, rasanya seperti ada yang mengganjal di dadaku, membuatku merasa gelisah.
Karena ini adalah manga komedi romantis biasa, seharusnya tidak akan terjadi insiden berbahaya.
Aku rasa semuanya akan baik-baik saja, tapi… Aku juga sedikit khawatir.
Lalu, keesokan harinya.
Aku masih tidak bisa mengingat alur cerita manga-nya, dan hari festival kembang api pun tiba.
Tampaknya kembang api akan dimulai pada jam 20:00. dan kami berencana tiba di lokasi lebih awal untuk berkeliling melihat-lihat kios dan semacamnya.
Kami sepakat untuk bertemu pada jam 18:00, tapi Rie sudah berangkat sendirian dari rumah jauh sebelum waktu janjian.
Rie berkata, “Aku akan ketemuan dengan Sei-san dulu, baru setelah itu pergi ke tempat janjian.”
Aku ingin ikut bersamanya karena aku juga ingin bertemu Sei-chan, tapi dia bilang…
“Pokoknya Onii-chan tidak boleh ikut, Onii-chan harus datang sendiri ke tempat janjian tepat waktu… tidak, datanglah sedikit lebih awal.”
Jadi, aku pun datang sendiri ke tempat janjian.
Aku bertanya-tanya kenapa aku tidak boleh pergi bersama mereka. Itu membuatku merasa sedikit sedih, rasanya seperti aku disisihkan dari kelompok.
Aku datang jauh lebih awal seperti yang Rie suruh, tapi aku bertanya-tanya kapan mereka berdua akan tiba.
Sambil menunggu, aku memandangi orang-orang yang lalu lalang, dan…
“Onii-chan, maaf membuatmu menunggu lama.”
Aku berbalik saat mendengar suara Rie dari belakang, dan mataku terbelalak saat melihatnya.
“Rie, apakah itu yukata?”
“Iya. Bagaimana menurutmu?”
Rie mengenakan yukata canitk berwarna merah dengan motif bunga ungu.
Gaya rambutnya juga tidak dikuncir kuda samping seperti biasanya, melainkan dikepang rapi dan dihiasi dengan aksesori rambut bunga berwarna biru.
“Itu sangat cocok untukmu. Baik yukata maupun gaya rambutmu terlihat imut.”
“…Hm, terima kasih.”
Rie sedikit merona dan memalingkan wajahnya.
Aku tidak menyangka Rie akan datang mengenakan yukata.
Namun entah kenapa, penampilannya terasa familiar, seperti perasaan deja vu… tapi kenapa?
“Aku rasa Sei-san juga sebentar lagi akan sampai.”
“Begitu…hm?”
Tunggu, jika Rie muncul mengenakan yukata, jangan-jangan Sei-chan juga…?
“Rie, Tsukasa, maaf membuat kalian menunggu. Aku sedikit terlambat.”
Sebelum aku sempat menguatkan diri, suara Sei-chan bergema dari sampingku.
Dengan gugup, aku menoleh ke arah suara itu, dan di sana kulihat──.
“Ini pertama kalinya aku memakai yukata, tapi ternyata lebih bagus dari yang kubayangkan. Rie, terima kasih sudah mengajakku.”
“Santai saja, aku juga ingin mengenakan yukata bersamamu, Sei-san. Itu terlihat sangat cocok untukmu.”
“Terima kasih, Rie, itu juga cocok untukmu.”
Dia memakai yukata yang cantik dan tenang dengan dasar warna hitam dan motif bunga putih dan abu-abu.
Rambutnya dikepang seperti Rie, dan dia memakai jepit rambut imut dengan motif bunga merah, serasi dengan punya Rie.
Saat aku melihat Sei-chan dalam balutan yukata, jantungku serasa ingin meledak karena terpana.
“Tsukasa? Ada apa?”
Saat aku terpaku, terpikat oleh Sei-chan, dia menatapku menengadah dengan cemas.
Terkadang dia menatapku menengadah seperti ini, dan setiap kali dia melakukan itu, itu membuat jantungku berdebar kencang, tapi kali ini levelnya sangat berbeda.
Aku tidak punya kata-kata yang bisa mengungkapkan kecantikannya.
Meski begitu, ada satu hal yang ingin aku katakan.
“Aku bersyukur telah dilahirkan…!”
Aku mengatupkan kedua tanganku dan mengucapkan rasa syukur kepada sosok Dewi, yaitu Sei-chan, di hadapanku.
Aku mungkin dilahirkan untuk melihat Dewi ini.
“Onii-chan, Sei-san bukan Dewi, lho.”
“Eh, apakah kamu sedang berdoa kepadaku?”
“Haa… kamu cantik sekali sampai aku salah mengira kalau kamu adalah Dewi.”
“Kamu ini bicara apa sih…”
Sei-chan tampak bingung, tapi bagiku dia benar-benar sangat cantik dan mulia layaknya Dewi.
Tidak, aku tidak bisa menatapnya lebih lama lagi. Dia terlalu suci untuk bisa dilihat oleh mataku.
“Terlalu manis, terlalu cantik, terlalu memukau… Aku tidak kuat, itu menyakitkan, aku tidak bisa…”
“Sepertinya Onii-chan rusak total.”
“Apa dia benar-benar tidak apa-apa?”
“Menurutku Onii-chan akan pulih jika Sei-san mengucapkan satu patah kata.”
“Tsukasa, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu bisa pergi ke festival?”
“Ya, aku bisa, ya Dewi.”
“S-Siapa yang Dewi?!”
Tanpa sadar aku menyebut Sei-chan Dewi dan dia sedikit marah padaku.
Tapi sungguh, bagiku, Sei-chan itu seperti Dewi.
“Onii-chan, sudah cukup bercandanya.”
“Siapa yang bercanda? Sei-chan terlalu seperti Dewi sampai aku tak sanggup menatapnya langsung.”
“J-Jangan mengatakan hal memalukan seperti itu…”
Sei-chan tersipu malu, tapi itu semakin membuat jantungku berdegup kencang tak seperti biasanya.
Aku benar-benar bisa mati bahagia…
“Onii-chan, sebaiknya kamu juga berganti pakaian ke yukata. Selagi melakukan itu, cobalah juga untuk terbiasa dengan penampilan Sei-san.”
“Eh, aku juga? Di mana?”
“Kita bisa menyewa yukata di toko sebelah sana dan mereka juga bisa membantu memakaikannya. Aku dan Sei-san juga menyewanya di sana tadi.”
Begitu, jadi ada toko seperti itu, ya. Jadi itu sebabnya Rie berangkat lebih awal.
“Sebenarnya Onii-chan bisa saja ikut bersama kami sebelumnya, tapi aku ingin mengejutkanmu dengan penampilan yukata Sei-san.”
“Gara-gara itu, jantung Onii-chan-mu ini nyaris meledak tadi.”
“Jadi, apakah seharusnya aku tidak melakukan itu?”
“Rie-sama, kamu jenius. Terima kasih banyak.”
“Kalian berdua ini bicara apa sih…”
Sei-chan menghela nafas seolah lelah.
Setelah itu, aku menyewa yukata di toko yang Rie sebutkan dan meminta bantuan mereka untuk mengenakan yukata.
Aku memilih yukata hitam sederhana seperti yang dipakai Sei-chan.
Ternyata harganya cukup murah, dan yukata-nya terasa sangat sejuk dan nyaman.
Saat aku memakai geta1, aku merasa seperti benar-benar dalam suasana festival.
Karena aku laki-laki, mengenakan yukata tidak terlalu rumit, dan aku bisa bergabung kembali dengan Rie dan Sei-chan hanya dalam beberapa menit.
“Maaf membuat kalian menunggu.”
“Hm, cepat juga. Onii-chan terlihat bagus.”
“Terima kasih, Rie.”
Setelah dipuji oleh Rie, aku menoleh ke arah Sei-chan.
Pada akhirnya, aku sama sekali masih belum terbiasa melihat Sei-chan mengenakan yukata, tapi aku ingin terus menatapnya meski itu berarti jantungku bisa meledak.
Itulah yang aku pikirkan, tapi Sei-chan nampaknya tersipu dan kesulitan untuk mengatakan sesuatu.
“Sei-chan, ada apa?”
“Ah, tidak, hanya saja… kamu terlihat sangat cocok mengenakan yukata.”
Sei-chan memalingkan wajah dan berkata dengan suara pelan.
“Eh, t-terima kasih.”
Cara Sei-chan mengatakannya terdengar lebih tulus dari yang kukira, dan karena Sei-chan mengatakannya sambil tersipu, aku juga salah tingkah.
“…Kalian tidak lupa kalau aku ada di sini, kan?”
Rie menatap kami dengan tatapan tajam saat aku dan Sei-chan saling tersipu malu.
“T-Tidak, aku tidak lupa, kok, Rie.”
“Ya, mana mungkin aku melupakan keberadaan adikku sendiri.”
“…Yah, memang wajar kalau suasana kalian terasa seperti itu karena kalian sepasang kekasih, tapi hari ini aku ada di sini, lho.”
Rie mengatakan itu dengan nada sedikit merajuk, lalu dia memposisikan dirinya di sebelah kanan Sei-chan dan memeluk lengannya.
“Aku sangat menantikan pergi ke festival bersama Sei-san. Jangan lupa, oke?”
“Rie… fufu, aku juga. Aku juga sangat menantikannya.”
Mereka berdua tertawa bersama, menempel berpelukan seperti adik kakak.
Rie sepertinya lebih dekat dengan Sei-chan daripada yang kukira.
“Kalau begitu ayo berangkat. Ada banyak makanan dan permainan yang ingin kucoba!”
“Ya, ayo.”
Aku berdiri di samping kiri Sei-chan dan kami pun berangkat menuju lokasi festival kembang api.
“Omong-omong, Rie, apakah kamu berniat untuk berjalan sambil menempel pada Sei-chan seperti itu?”
“Aku melakukan ini agar Onii-chan dan Sei-san tidak melupakan aku.”
“…Sei-chan, apakah kamu tidak kesulitan berjalan seperti itu?”
“Aku baik-baik saja. Shiho juga sering menempel seperti ini, jadi aku sudah terbiasa.”
“Begitu… ugh, kamu curang sekali, Rie! Padahal aku juga ingin menempel pada Sei-chan!”
“A-Apa-apaan yang kamu katakan itu, Tsukasa…!”
“Tapi Onii-chan, bukankah kamu tidak akan bisa bergerak jika kamu menempel pada Sei-san yang mengenakan yukata?”
“…Kamu benar. Bahkan jika dia tidak memakai yukata pun, aku mungkin tidak akan bisa bergerak karena terlalu gugup.”
“Iya, kan? Itulah sebabnya aku menggantikanmu menempel padanya.”
“Tidak, menggantikanku itu sama sekali tidak masuk akal.”
“Kalian berdua, berhentilah mengobrol yang aneh-aneh sambil mengapitku begini…”
Kami pun berjalan beriringan sambil mengobrol seperti itu.
Sesampainya di lokasi, ada banyak sekali kios yang sudah ramai dikunjungi banyak orang.
Sepertinya merupakan keputusan yang tepat untuk ketemuan di dekat toko rental yukata, karena kalau tidak, akan sulit untuk bertemu di tengah kerumunan ini.
Dengan kios-kios yang berjejer di kanan kiri, kami berjalan ke dalam lokasi festival.
“Kita masih punya banyak waktu sampai kembang api dimulai, jadi kita akan ke mana dulu?”
“Aku sudah tahu persis apa yang ingin aku beli dan makan.”
Sei-chan dan Rie berbicara sambil saling menempel.
Melihat mereka seperti itu, mau tak mau aku berpikir bahwa Rie sangat curang.
“Apa itu?”
“Pisang coklat. Itu adalah sesuatu yang hanya bisa kamu makan di festival musim panas, jadi aku sangat ingin memakannya.”
“Bukankah ada juga makanan lain yang hanya bisa kita makan di festival musim panas selain itu?”
“Mungkin ada, tapi yang pasti aku ingin pisang coklat dulu.”
“Begitu. Jadi, Rie cukup suka pisang coklat, ya?”
“…Ya, benar. Um, apakah itu terlalu kekanakan?”
Rie terlihat sedikit malu, tapi Sei-chan tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Tidak kok. Aku juga suka pisang coklat. Rasanya enak seperti makanan penutup.”
“Y-Ya, benar! Aku suka pisang coklat sejak aku masih kecil, dan aku sering pergi ke festival hanya untuk memakannya.”
“Fufu, kamu sangat menyukainya, ya. Kalau begitu, ayo kita beli sekarang juga.”
“Ya, ayo!”
Mereka berdua berjalan sambil mengobrol dengan gembira.
Mereka benar-benar terlihat seperti kakak-adik, dan sikap Sei-chan yang seperti kakak perempuan terasa baru untukku.
“Sei-chan, kamu juga suka yang manis-manis, kan? Kalau di ‘Moonbucks,’ lamu selalu minum minuman yang sangat manis seperti makanan penutup.”
“Eh, benarkah? Itu agak mengejutkan.”
“Hmm, apakah semengejutkan itu?”
“Ya, entah kenapa selalu merasa bahwa Sei-san tidak terlalu banyak makan makanan manis atau tidak begitu menyukainya.”
“Aku mengerti maksudmu, Rie. Tapi melihat Sei-chan, yang memiliki aura seperti itu, menikmati makanan manis seperti parfait sungguh imut.”
“Onii-chan, apa yang tiba-tiba kamu bicarakan?”
“D-Dia benar, Tsukasa. Jangan mengatakan hal-hal yang memalukan begitu…”
“Bahkan Sei-san pun merasa malu dengan hal itu, ya.”
“Gah, Sei-chan, yang tersipu malu dalam balutan yukata, terlalu imut untuk dilihat langsung…!”
“Onii-chan, aku di sini bukan hanya sebagai tsukkomi-mu, tahu? Aku tidak akan menanggapimu lagi.”
Tatapan Rie perlahan menjadi dingin hanya ke arahku saja. Kenapa?
Sambil mengobrol begitu, kami sampai di sebuah kios yang menjual pisang coklat.
Ada yang dilapisi dengan coklat biasa, dan ada pula yang dilapisi coklat pink atau putih.
“Kamu mau beli yang warna apa?”
“Tentu saja semuanya, Onii-chan.”
“…Seriusan?”
Aku tidak menyangka Rie sefanatik itu dengan pisang coklat.
Karena ada empat warna, Rie membeli keempatnya, sementara aku dan Sei-chan membeli satu.
“Hmm, pisang coklat masih tetap enak seperti biasa.”
“Rie, apakah kamu yakin tidak akan menjatuhkannya kalau langsung memegang empat buah sekaligus seperti itu?”
“Tenang saja, mana mungkin aku menjatuhkan pisang coklat.”
“Kamu terlalu percaya diri. Apa-apaan dengan cintamu pada pisang coklat itu?”
Cara dia memegang pisang coklat, dengan menjepitnya di antara sela-sela jarinya, terlihat aneh tapi memberikan kesan profesional.
“Fufu, aku menemukan sisi tak terduga Rie.”
Sei-chan berkata dengan gembira sambil menikmati pisang coklatnya.
Setelah berjalan beberapa saat, kami menemukan sebuah kios permainan tembak-tembakan.
Ada juga permainan tembak-tembakan di game center, namun senapan gabus di kios semacam ini memberikan suasana festival yang khas.
“Rie, Sei-chan, mau coba main tembak-tembakan?”
“Boleh juga, bagaimana kalau kita lomba siapa yang bisa menjatuhkan hadiah paling banyak?”
Atas usulan Rie, kami memutuskan untuk berlomba.
Ada dua senapan, jadi aku dan Rie yang mencoba duluan.
“Heh, aku sering main game tembak-tembakan, jadi aku jago soal yang beginian.”
“Aku juga pernah memainkannya.”
“Begitukah? Aku tidak pernah memainkannya di game center dan ini kali pertamaku ke kios tembak-tembakan, sepertinya ini akan sulit.”
Oh, tumben sekali Sei-chan kelihatan tidak percaya diri.
Tapi Sei-chan selalu lebih mahir di segala macam olahraga dari orang yang berpengalaman, jadi aku tidak boleh lengah.
Baiklah, ada enam peluru gabus.
Karena ini adalah lomba menjatuhkan sasaran sebanyak mungkin, mengincar boneka yang dipajang di atas bukanlah strategi bagus.
Lebih baik mengincar sasaran kecil seperti kotak permen yang pasti jatuh jika terkena tembakan.
Oke, siap… tembak!
“…Meleset.”
“…Aku juga.”
Aku dan Rie menembak hampir bersamaan, tapi kami berdua meleset.
Sepertinya Rie berpikiran sama sepertiku, dia juga mengincar kotak permen kecil.
Yah, ini baru tembakan pertama. Masih ada lima kesempatan lagi, jadi tidak masalah──.
“──…Selesai sudah.”
“…Aku gagal.”
Setelah menembakkan enam peluru, tidak ada satu pun yang mengenai sasaran dan mendapat hadiah.
Rie, yang menembak di sampingku, juga sepertinya mengalami hal yang sama.
“…Apakah ini sesulit itu?”
Sei-chan, yang belum pernah memainkan ini sebelumnya, terlihat penasaran.
Yah, kurasa ini memang agak sulit, tapi menurutku aku dan Rie-nya saja yang terlalu payah.
Aku tidak menyangka kami tidak mengenai satu pun sasaran…
Kalau dipikir-pikir, aku memang belum pernah menamatkan game menembak di game center.
“Onii-chan, sepertinya kita kakak adik sama saja.”
“Benar, ya Adikku. Kita berdua tidak mendapatkan hadiah apa pun.”
“…Aku merasa sedikit canggung, tapi bisakah aku yang mencoba selanjutnya?”
Aku dan Rie menyingkir, dan Sei-chan mengambil senapan untuk membidik.
“Boneka itu lucu ya.”
Sei-chan sepertinya mengincar boneka seukuran telapak tangan.
Hmm, tampaknya Sei-chan masih kurang paham.
Meski kecil, boneka itu terlalu berat untuk dijatuhkan dengan peluru gabus.
Seharusnya dia mengincar kotak permen yang lebih mudah dijatuhkan.
“Sei-chan, target termudah untuk dijatuhkan adalah kotak kecil permen it──”
“Yosh, berhasil jatuh. Hmm? Maaf, apa kamu tadi mengatakan sesuatu?”
“…Tidak, bukan apa-apa.”
Tepat saat aku hendak memberi saran, Sei-chan sudah menjatuhkan boneka itu.
Aku tidak bisa berkomentar apa-apa lagi dan hanya mundur… yah, seperti yang diharapkan dari Sei-chan.
Setelah itu, Sei-chan berhasil mendapatkan tiga boneka.
Pemenangnya, tentu saja, adalah Sei-chan; ini bahkan tidak bisa dianggap perlombaan.
“Sei-san, kamu hebat. Apakah ini benar-benar kali pertamamu?”
“Ya, aku melakukannya dengan cukup baik untuk kali pertama, ya?”
“Meski ini bukan kali pertamamu pun, itu tetap mengesankan.”
“Karena dia adalah Sei-chan. Sei-chan punya bakat dalam segala hal. Dia luar biasa, kan?”
“Onii-chan, kenapa malah kamu yang sombong?”
“Yah, tentu saja karena aku merasa senang saat Sei-chan dipuji.”
Tapi tetap saja, dia sangat hebat untuk ukuran seorang pemula.
Dia bahkan mendapatkan tiga boneka binatang yang mirip, tapi apakah dia sebegitunya menyukai boneka itu?
“Tsukasa, Rie, ini untuk kalian.”
“Eh, ini boneka yang Sei-san dapatkan tadi, kan?”
“Ya, aku berhasil mendapatkan tiga. Satu untuk aku, Rie, dan Tsukasa.”
Sei-chan tersenyum dan menyerahkan boneka binatang itu kepada aku dan Rie.
“Sei-san, terima kasih banyak!”
“Terima kasih, Sei-chan.’
Boneka beruang dengan bentuk yang hampir sama, hanya warna dan motifnya saja yang sedikit berbeda.
Sepertinya Sei-chan sengaja mendapatkan tiga boneka agar kami masing-masing bisa dapat satu.
“Ini hadiah pertama dari Sei-chan… Aku akan menjadikannya pusaka keluarga!”
“Ah, tidak usah sampai berlebihan begitu…”
“Aku akan memajang punyaku di atas meja.”
“Ya, aku juga berencana begitu.”
“Kalau begitu aku juga.”
Kami bertiga sekarang mempunyai barang yang mirip.
Dengan menaruhnya di atas meja, aku akan selalu memikirkan Sei-chan saat melihatnya.
…Yah, tapi aku memang selalu memikirkan Sei-chan, sih.
Rie juga memeluk boneka binatang yang dia terima dengan penuh kasih sayang di kedua tangannya.
Setelah itu, kami berkeliling melihat-lihat kios festival dan mencoba berbagai macam permainan.
Kami juga mencoba peruntungan dengan lotere, namun tak satu pun dari kami mendapatkan hadiah, dan kami hanya menerima hadiah partisipasi berupa permen karet.
Meski Sei-chan sangat mahir dalam kegiatan fisik, tapi untuk hal yang mengandalkan keberuntungan, dia sama seperti orang biasa.
Aku bertanya-tanya seberapa besar peluang untuk memenangkan hadiah bagus. Soalnya aku belum pernah memenangkannya sekali pun.
Selanjutnya kita bermain memancing balon air.
Sekali lagi, kami bertiga berkompetisi, dan kali ini, kami melakukannya lebih baik daripada permainan menembak.
Aku dan Rie berhasil mendapat satu, sementara Sei-chan dapat lima.
“Ukh, talinya putus. Seandainya aku bisa lebih cepat menguasainya, mungkin aku bisa dapat lebih banyak.”
“Seperti yang diharapkan dari Sei-chan, kemampuannya jauh melebihi kami dalam permainan yang tidak melibatkan keberuntungan.”
“Apakah permainan ini semudah itu untuk dimenangkan…?”
Jika itu Sei-chan, dia mungkin bisa mengambil semua balon air yang mengambang.
Sambil bermain, kami juga membeli berbagai jajanan khas festival.
Jajanan seperti es serut, takoyaki, yakisoba, permen apel, dan lain-lain.
Semuanya dikemas dalam kantong plastik agar bisa dimakan sambil menyaksikan kembang api nanti.
“Tinggal sebentar lagi sebelum kembang apinya dimulai, sebaiknya kita cari tempat dulu sebelum penuh.”
“Ya, ayo bergerak.”
“Sebelum itu, bolehkah aku ke toilet dulu?”
Saat aku bertanya begitu, Sei-chan mengangguk.
“Ya tentu. Rie, apa kamu tak masalah?”
“Aku tak masalah. Tapi, sementara itu, bolehkah aku membeli pisang coklat lagi?”
“Kamu mau makan lagi?”
Sei-chan membelalakkan matanya mendengar kata-kata Rie.
Aku tahu kalau pisang coklat itu enak, tapi aku tidak tahu kalau dia sangat menyukai itu.
“Iya, rasa pisang coklat berbeda-beda tergantung kiosnya.”
“B-Begitu, ya. Aku tidak tahu.”
“Rie, kamu yakin bisa makan sebanyak itu? Kita sudah membeli cukup banyak jajanan lain, lho?”
“Tenang saja, aku punya perut khusus untuk pisang coklat.”
“Aku tidak begitu mengerti maksud perkataanmu itu.”
Apakah maksudnya seperti pepatah terkenal, “selalu ada ruang khusus untuk makanan manis”?
“Aku akan segera kembali, jadi silakan kalau Onii-chan mau ke toilet dulu.”
“Hmm, baiklah.”
Jadi, Rie pun pergi membeli pisang coklat sementara aku dan Sei-chan menuju toilet.
Setelah selesai, aku dan Sei-chan menunggu Rie kembali, tapi…
“Si Rie itu, dia lama sekali.”
“Ya, mungkinkah dia tersesat?”
Kami sudah menunggu beberapa menit, tapi Rie tidak kunjung muncul.
Seharusnya tidak butuh waktu lama karena dia hanya membeli pisang coklat.
Dia bahkan tidak mengangkat ketika aku mencoba menelpon ponselnya.
“Kenapa dia tidak mengangkat?”
“Mungkinkah dia sedang memegang pisang coklat di kedua tangannya?”
“…Bisa jadi.”
Dia bilang dia punya perut khusus untuk pisang coklat, jadi mungkin saja dia membeli empat pisang coklat lagi.
Kalau memang begitu, kedua tangannya mungkin penuh dan dia tidak dapat menjawab telepon.
“Tsukasa, apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita tetap menunggu di sini?”
“…Tidak, ayo kita cari dia. Aku sedikit khawatir.”
“Ya, itu ide bagus. Mau berpencar?”
“Ya, aku dan Sei-chan bisa saling menelepon. Pastikan untuk tidak membawa pisang coklat di kedua tangan.”
“Hmph, kamu juga.”
Setelah berkata begitu, kami memutuskan untuk berpencar dan mulai mencari Rie.
Sepertinya akan sulit menemukannya di tengah keramaian ini, tapi karena dia seharusnya pergi ke kios pisang coklat, kami memutuskan untuk mencari di sekitar sana.
…Entah kenapa, aku merasakan firasat buruk.
Aku tidak ingat apakah ada kejadian seperti ini di karya aslinya karena aku lupa beberapa detailnya, tapi rasanya seperti ada, atau mungkin tidak…
Aku rasa dia tidak terlibat secara spesifik dalam suatu insiden, tapi aku tidak yakin karena tidak ingat.
Semoga ini hanya kekhawatiranku saja.
◇ ◇ ◇
- alas kaki tradisional Jepang yang dibuat dari kayu. ↩︎