[LN] Isekai Romcom Volume 3 Chapter 2 (2/3) Bahasa Indonesia

Awal Musim Panas bersama Sei dan Rie (2/3)

Bab 2: Awal Musim Panas bersama Sei dan Rie

(2/3)


Mereka pun memutuskan untuk belajar bersama, dan lansung pergi ke rumah Tsukasa.

Sei terlihat sedikit tegang dan tidak banyak bicara.

(A-Astaga, aku tidak menyangka akan pergi ke rumah Tsukasa…! Apakah tidak apa-apa pergi ke rumah pacar secepat ini setelah kami jadian!? Sepertinya tidak, tapi adiknya, Rie, juga akan berada di sana hari ini…)

Keputusan untuk mengadakan sesi belajar di rumah Tsukasa dibuat begitu saja mengikuti alur percakapan, sebelum Sei bisa bersiap secara mental.

Sei pun tiba di rumah Tsukasa dan Rie tanpa sempat mempersiapkan diri lebih dulu.

Itu adalah rumah biasa tanpa sesuatu yang istimewa, sehingga mudah untuk membayangkan bahwa dua orang tinggal di sana secara normal.

(Tunggu, jangan-jangan orang tua Tsukasa dan Rie juga ada di rumah? K-Kalau begitu aku harus menyapa mereka dengan benar… Tapi, haruskah aku bilang kalau aku adalah pacar Tsukasa? Ukh, apa aku harus mengucapkan kalimat memalukan seperti itu…?!)

Memikirkan hal seperti itu di benaknya, Sei tersipu dan panik.

“Orang tua kami baru akan pulang larut malam karena kerja, Sei-chan.”

“O-Oh, begitu, aku mengerti.”

Sei merasa lega saat Tsukasa mengatakan itu, seolah dia sudah membaca pikiran Sei.

Kemudian, mengikuti Tsukasa dan Rie, Sei juga masuk ke dalam rumah dan dipandu ke ruang tamu.

(Jadi ini tempat Tsukasa biasa tinggal… Bahkan baunya juga terasa sedikit seperti Tsukasa…)

“Sei-chan, apa kamu mau minum sesuatu?”

“Eh!? Um, tentu. Apa saja yang ada?”

“Ada teh, kopi, dan jus jeruk.”

“Kalau begitu aku jus jeruk saja.”

“Baiklah, silakan duduk.”

“Terima kasih, Tsukasa.”

Sei duduk di meja ruang tamu, wajahnya kembali memerah saat memikirkan hal yang memalukan.

(S-Sebaiknya aku tidak terlalu memikirkannya. Benar, aku harus menganggap bahwa hari ini aku datang ke rumah Rie, bukan ke rumah Tsukasa.)

Saat Tsukasa menyiapkan minuman, Rie duduk di depan Sei.

“Sei-san, mohon bantuannya hari ini.”

“Ya, sama-sama. Aku tidak punya banyak pengalaman mengajar, jadi mungkin aku akan sedikit canggung.”

“Tidak apa. Aku sangat senang kamu bersedia mengajariku. Pelajaran di SMA ternyata sulit; aku tidak bisa mendapatkan nilai sebaik yang kukira saat ujian tengah caturwulan.”

“Ya, secara keseluruhan memang lebih sulit dibanding SMP.”

Sei dan Rie mengobrol sambil mengeluarkan perlengkapan belajar mereka di atas meja.

Tsukasa membawakan minuman dan duduk di sebelah Sei.

Mereka bertiga mengeluarkan buku pelajaran yang akan mereka pelajari, dan sesi belajar pun dimulai… atau setidaknya begitulah yang mereka kira.

Karena tiba-tiba, terdengar nada dering dari ponsel Tsukasa.

“Ah, maaf.”

Tsukasa mengambil ponselnya, dan beranjak dari tempat duduk untuk menjawab panggilan telepon.

Saat dia melihat ke layar, dia membuat ekspresi bingung.

“Dari Tobise-san?”

Sambil bergumam begitu, Tsukasa mengangkat telepon dan berkata, “Halo.”

Mendengar itu adalah telepon dari Tobise-san, Sei bereaksi dengan sedikit terkejut.

Rie, yang satu-satunya tidak mengenal nama tersebut, memiringkan kepalanya dengan bingung.

“Siapa yang menelepon Onii-chan?”

“Namanya Tobise-san, dia adalah senpai di tempatnya bekerja paruh waktu.”

“Oh begitu. Aku tidak tahu.”

Setelah beberapa saat, Tsukasa berbicara dengan Sei dan Rie sambil masih menelepon.

“Sei-chan, Rie, aku tiba-tiba diminta untuk bekerja paruh waktu.”

“Eh, kenapa?”

“Tobise-san bilang adiknya sakit, jadi dia tidak bisa masuk kerja karena harus menjemput dan merawat adiknya di rumah.”

Berdasarkan cerita Tsukasa, Marino Tobise ternyata memiliki tiga adik, dan salah satu adiknya yang masih TK jatuh sakit, sehingga dia harus datang menjemputnya di TK dan merawatnya di rumah.

“Kalau begitu mau bagaimana lagi.”

Setelah Sei mengatakan itu, terdengar suara Tobise dari ujung telepon.

“Oh, Sei-chan juga ada di sana, ya? Apakah aku menganggu waktu kalian berdua?”

“Kami tidak hanya berdua, adikku juga ada di sini.”

“Eh, Tsukasa-kun punya adik? Wah, aku jadi ingin bertemu dengannya. Jadi hari ini kalian bertiga berkencan di rumah, ya?”

“K-Kencan di rumah…?!”

Entah kenapa Rie bereaksi pada kata-kata itu, tapi Tsukasa melanjutkan pembicaraannya.

“Kami hanya mengadakan sesi belajar bersama di rumah. Ngomong-ngomong, ini sudah hampir jam kerja, jadi aku harus segera pergi, kan?”

“Ah, benar juga! Maaf sekali ya, Tsukasa-kun. Aku pasti akan membalas budi ini nanti!”

“Ya, tidak apa-apa. Saling membantu di saat seperti ini itu penting.”

“Terima kasih banyak, ya! Sei-chan juga, maaf karena telah merusak waktu spesialmu bersama Tsukasa-kun.”

“Tidak apa. Aku tidak keberatan.”

Setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Tobise, Tsukasa bersiap berangkat kerja.

Sei dan Rie mengantar Tsukasa sampai ke pintu depan saat dia akan berangkat.

“Sei-chan, aku minta maaf padahal kamu sudah repot-repot datang ke rumah.”

“Ini bukan salahmu, Tsukasa. Tentu saja, ini juga bukan salah Tobise-san. Keadaannya memang begitu hari ini.”

“Terima kasih. Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu mengadakan sesi belajar berdua dengan Rie?”

“Aku sih tidak keberatan, tapi bagaimana denganmu, Rie?”

“Tentu saja, aku ingin diajari oleh Sei-san kalau kamu tidak keberatan.”

Meskipun Tsukasa harus pergi bekerja paruh waktu, Sei tetap tinggal untuk belajar bersama Rie.

“Terima kasih, Sei-chan.”

“Ya, Tsukasa juga yang semangat di tempat kerja.”

“Ya. Rie, pastikan untuk belajar dengan sungguh-sungguh.”

“Aku tahu. Hati-hati di jalan, Onii-chan.”

“Aku pergi dulu.”

Melihat interaksi biasa antara Tsukasa dan Rie, Sei dengan sedikit grogi mengikuti mereka.

“H-Hati-hati di jalan, Tsukasa.”

“Huh… A-Aku pergi dulu, Sei-chan.”

Sei dan Tsukasa tersipu saat mereka dengan canggung mengucapkan kata-kata itu satu sama lain.

Lalu Tsukasa membuka pintu dan pergi.

(Ukh, sebaiknya aku harus bagaimana tadi? Tidak mengucapkannya akan terasa tidak wajar, tapi mengucapkannya terasa memalukan… Lebih tepatnya, ini terasa seperti melebihi hubungan sepasang kekasih… Ini lebih terasa seperti keluarga atau pasangan suami-istri…!)

Setelah Tsukasa pergi, Sei memikirkan hal itu dan sedikit menggeliat.

Di sampingnya, Rie memandang Sei dengan tatapan agak dingin.

“…Sei-san, apa kamu baik-baik saja?”

“Eh! Ah ya, umm, ada apa?”

Sei berusaha mati-matian untuk bersikap biasa saja saat menyadari Rie ada di sana juga setalah Rie memanggilnya, tapi itu sudah terlambat.

“…Tidak, bukan apa-apa.”

“…Um, Rie, aku senang kamu mengkhawatirkanku, tapi reaksimu itu malah membuatku malu.”

“Bukankah ini salah Sei-san karena bermesraan bahkan saat aku ada di sini?”

“Aku sama sekali tidak bisa membantah…”

Sementara itu, Tsukasa, yang motivasinya melejit setelah ucapan “Hati-hati di jalan” dari Sei, bekerja dengan penuh semangat.

Setelah Tsukasa berangkat kerja, Rie dan Sei kembali ke ruang tamu dan mulai belajar.

Pada awalnya, ada suasana canggung yang tersisa dari sisa-sisa momen mesra Sei dan Tsukasa, tapi begitu mereka mulai belajar, suasana itu pun dengan cepat menghilang.

Merdua berdua sangat serius, dan begitu mereka mulai belajar, mereka menjadi fokus.

Mereka terus belajar saling berhadapan selama beberapa saat, sampai tangan Rie berhenti bergerak.

“…Sei-san, aku sedikit tidak mengerti di bagian ini.”

Hmm, ya, yang mana?”

Rie hendak membalikkan buku cetaknya untuk menunjukkannya, tapi Sei berdiri.

“Karena Tsukasa juga tidak ada, lebih mudah mengajar kalau kita duduk bersebelahan.”

“Ah, benar juga. Terima kasih.”

Sei berpindah untuk duduk di samping Rie, mendekatkan kursinya agar bisa melihat ke buku cetak.

“Oh, matematika ya. Bagian ini memang sedikit sulit.”

“Apakah kamu juga payah dalam matematika, Sei-san?”

“Tidak, aku tidak terlalu kesulitan dengan mata pelajaran apa pun. Tapi kalau harus memilih, aku lebih suka mengerjakan soal-soal seperti matematika daripada pelajaran yang mengandalkan hafalan.”

“B-Begitu ya.”

Rie sedikit terkejut dengan cara berpikir Sei yang sangat berbeda dari dirinya.

Dan kemudian dia diajari tidak hanya bagaimana menyelesaikan soal matematika tapi juga penerapannya.

“Begini cara mengerjakannya. Apa kamu mengerti?”

“Ya, aku sangat mengerti penjelasanmu. Terima kasih banyak.”

Mungkin karena Sei sangat pandai mengajar, Rie bisa langsung memahami dan mengerjakan soal-soalnya.

“Sei-san, kamu sangat pandai. Kamu benar-benar luar biasa.”

“Seperti yang aku bilang sebelumnya, ini bukan karena aku pandai, tapi aku hanya punya banyak waktu untuk belajar. Siapa saja bisa kalau hanya seperti ini.”

“Tidak, aku rasa tidak semua orang bisa seperti itu. Selain itu, Sei-san juga jago olahraga, kan?”

“Yah, sedikit sih.”

“Aku sudah dengar, lho. Kamu tampil luar biasa di kompetisi bola tempo hari.”

Karena kompetisi bola diadakan pada hari yang berbeda untuk setiap angkatan, maka tidak memungkinkan untuk menonton kompetisi bola angkatan lain.

Meski begitu, Rie tahu kalau Sei tampil luar biasa di kompetisi bola.

“Kamu dengar dari siapa… ah, pasti Tsukasa ya.”

“Ya, itu luar biasa. Kakakku menghabiskan lebih dari satu jam untuk menceritakan penampilan Sei-san.”

Mengingat saat itu, Rie berkata dengan ekspresi sedikit tercengang.

“A-Aku minta maaf untuk itu, Rie.”

“Tidak, itu bukan salahmu, Sei-san. Aku justru senang bisa mendengar penampilan Sei-san yang mengagumkan. Yah, meski kakakku memang sedikit berlebihan, sih.”

“Benar-benar deh, si Tsukasa itu…”

Sei juga tercengang, tapi senyuman kecil muncul di wajahnya.

“…Sepertinya kamu senang mendengarnya, ya, Sei-san?”

“Eh? T-Tidak, aku tidak merasa begitu kok…?”

Sei mengalihkan pandangannya seolah-olah perkataan Rie tepat sasaran.

“Sei-san, kamu ternyata cukup ekspresif dalam menunjukkan emosi lewat wajah dan sikapmu, ya.”

“B-Begitukah? Sepertinya Rie tipe orang yang tidak terlalu ekspresif, ya. Sangat berbeda dari kakakmu Tsukasa.”

“Justru kakakku itu yang terlalu ekspresif.”

“Benar, Tsukasa terlalu ekspresif dalam menunjukkan perasaannya lewat kata-kata dan sikapnya. Itu sering membuatku kewalahan juga.”

“Benarkah?”

“Ya, misalnya…”

Sei mulai menceritakan kejadian yang dialaminya bersama Tsukasa.

Namun seiring berjalannya cerita, ekspresi Rie menjadi keruh.

Setelah ceritanya selesai, Rie bertanya dengan ekspresi agak letih.

“…Jadi, intinya, kamu merasa malu ketika pasangan lansia di dekat kalian mendengar kakakku memujimu dengan sebutan ‘imut’ saat di kafe dan menatap kalian sambil tersenyum?”

“Ya, begitulah. Aku harap dia lebih memperhatikan tempat.”

Meski nada bicara Sei terdengar sedikit kesal, tapi pipinya merona merah dan dia terlihat senang.

“…Tunggu, kenapa kamu juga pamer padaku?”

“A-Aku tidak pamer! Malahan, aku bermaksud mengeluh tentang Tsukasa, tapi…!?”

“Jika kamu benar-benar menganggap itu sebagai keluhan, menurutku isi kepalamu terlalu merah muda1.”

“A-Apakah seburuk itu!?”

“Tapi Sei-san, aku bisa mengerti kenapa kakakku menyebutmu imut.”

Ukh, aku tidak bermaksud membuatmu mengerti itu…”

Wajah Sei semakin tersipu malu.

Semakin banyak Rie berinteraksi dengan Sei, semakin Rie sadar bahwa Sei adalah orang yang sangat menggemaskan.

(Onii-chan pernah bilang kalau Sei-san populer di kalangan wanita dan mendapat banyak perhatian, dan aku paham betul alasannya.)

Dari sudut pandang Rie, ada banyak aspek dalam diri Sei yang bisa membuatnya populer di kalangan wanita.

Tentu saja, dia juga pasti populer di kalangan pria.

Itulah sebabnya ada sesuatu yang ingin Rie tanyakan pada Sei.

“Sei-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Hm, bertanya apa? Apa soal pelajaran selanjut…”

“Sei-san, apa yang kamu sukai dari kakakku?”

“…Eh!?”

Sei yang mengira akan ditanyai tentang pelajaran, dikejutkan oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu.

“K-Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?”

“Maaf, aku hanya sedikit penasaran. Sei-sain, kamu luar biasa cantik dan imut, kepribadianmu juga baik, keren, dan perhatian, jadi pasti ada banyak orang yang menyukaimu.”

“A-Aku jadi sedikit malu kalau dipuji seperti ini…”

“Bukankah kakakku memuji Sei-san lebih dari ini setiap hari?”

“…No comment.”

Fakta bahwa dia menolak menjawab dengan wajah merah padam sudah seperti sebuah jawaban tersendiri, tapi itu tidak penting saat ini.

“Secara obyektif, menurutku kamu pasti sangat populer, Sei-san.”

“Aku sendiri tidak terlalu yakin soal itu…”

“Bukankah kamu sudah berkali-kali ditembak?”

“Sebelum Tsukasa, aku belum pernah ditembak oleh cowok.”

“Oleh cowok?”

“…Oleh cewek pernah beberapa kali.”

“Begitu, ya. Itu luar biasa…”

Dia pernah mendengar bahwa Sei populer di kalangan perempuan juga, tapi dia tidak pernah mengira Sei sampai ditembak sungguhan.

“Apakah kakakku orang pertama yang Sei-san pacari?”

“Ya, aku belum pernah menyatakan perasaanku kepada siapa pun sebelumnya, dan aku juga tidak pernah menerima pernyataan cinta dari cewek.”

Jadi Tsukasa Hisamura, kakak Rie, adalah orang pertama yang Sei pacari.

“Kenapa kamu mau pacaran dengan kakakku? Padahal sebelumnya kamu tidak pernah pacaran dengan siapa pun.”

Ugh, apa kamu harus bertanya padaku dengan blak-blakan seperti itu…??”

Bahkan dari sudut pandang seorang wanita, Sei sangat menawan dan pasti populer di kalangan pria juga.

Dia memiliki penampilan yang luar biasa, dan bentuk tubuhnya sangat bagus.

Rie menyadari saat duduk di sebelahnya bahwa meskipun mereka mengenakan seragam yang sama, ukuran payudara mereka sangat berbeda.

(Punyanya sangat besar… Yah, bukan berarti aku kecil atau semacamnya. Aku masih dalam masa pertumbuhan. Selain itu, ukuran bra-ku baru saja naik…)

Rie mau tidak mau memikirkan hal seperti itu ketika dia melihat dada Sei yang duduk di sampingnya.

“Jadi, kenapa kamu pacaran dengan kakakku? Sejujurnya, wajah kakakku tidaklah setampan itu untuk bisa sepadan denganmu, dan menurutku temannya, Shigemoto-san, memiliki penampilan yang lebih baik.”

“…Rie, apakah kamu membenci Tsukasa?”

“Eh, aku?”

“Ya, aku merasa sedikit seperti itu, tapi… tidak, menurutku itu bukan hal yang aneh. Menurutku begitulah keadaan kakak beradik di usia seperti ini biasanya.”

Sei mencoba menjelaskan bahwa dia mengerti karena dia juga punya kakak laki-laki, tapi…

“Tidak, bukan begitu! Aku tidak membenci Onii-chan!”

“Benarkah?”

“Iya, kalau aku membencinya, aku tidak akan mau belajar atau pergi ke sekolah bersamanya.”

“…Fufu, begitu ya. Kalau begitu syukurlah.”

“Ah… Um, ya.”

Rie menyangkalnya dengan kuat, dan sekarang gilirannya yang tersipu malu.

Sei juga melihat ke arah Rie dengan senyuman yang sangat hangat.

“Sungguh menakjubkan bahwa kalian kakak beradik bisa akur. Kalau melihat kalian berdua, justru akan aneh kalau aku merasa khawatir.”

“T-Tidak juga, kami tidak seakrab itu….”

Fufu, benarkah? Kalau Rie yang bilang begitu, aku tidak akan membantahmu.”

Uuh…”

Rie tersipu malu, sementara Sei tersenyum, mendadak keadaannya berbalik.

Namun, Rie belum menyerah, karena dia masih belum mendengar jawabannya.

“Pokoknya! Kenapa kamu pacaran dengan kakakku? Apa yang kamu sukai darinya?”

“…Karena Rie tahu kelebihan Tsukasa, jadi harusnya kamu mengerti tanpa aku harus mengatakannya, kan?”

“Tidak, meskipun kita memiliki pendapat yang sama persis, aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.”

Kuh, aku tidak bisa mengelak, ya…”

Sei mencoba membuat Rie malu untuk menghindari topik itu, tapi dia gagal.

“Apa yang aku suka…? Saat ditanya seperti itu, yah, itu agak memalukan.”

“Apa kamu tidak membicarakan hal seperti itu dengan orang lain? Misalnya dengan Shiho-san. Aku merasa dia sangat suka membicarakan percintaan.”

“Aku memang membicarakan hal-hal semacam itu dengan Shiho, tapi dia cenderung lebih banyak membicarakan tentang dirinya sendiri. Akhir-akhir ini, sejak aku mulai pacaran, yah, kadang-kadang kami membicarakan tentangku juga.”

“…Sei-san, kamu terlihat imut sekali saat sedang malu.”

“R-Rie, jangan mengatakan hal yang sama seperti Tsukasa!”

“Ah, jadi kakakku pernah mengatakannya juga, ya?”

Sei, yang merasa keceplosan lagi, tersipu dan mencoba mengganti topik pembicaraan untuk menutupinya.

“J-Jadi, apa yang aku sukai dari Tsukasa, ya. Hmm… pertama, dia terus terang.”

“Apa maksudmu dengan ‘terus terang’? Dalam hal apa?”

“Yah, seperti bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata… Yah, itu juga kelebihan sekaligus kekurangannya.”

“Kekurangan?”

“Ya, karena dia berterus terang tanpa mengingat tempat. Akan lebih baik kalau dia bisa sedikit menahan diri…”

“Dengan kata lain, Sei-san ingin agar dia mengatakan hal itu hanya saat kalian berdua saja, bukan di depan orang lain, karena itu membuatmu merasa malu?”

“Y-Yah, mungkin seperti itu, tapi tidak perlu diperjelas seperti itu!”

Sei refleks berkomentar dengan berteriak, tapi kemudian dia teringat bahwa lawan bicaranya adalah Rie, bukan Shiho atau Toujoin.

“Ah, maaf karena aku tiba-tiba berteriak.”

“Tidak apa-apa. Aku justru senang kamu bersikap apa adanya denganku.”

“B-Benarkah?”

Menanggapi pertanyaan Sei, Rie tersenyum tipis dan mengangguk.

“Ya. Jadi, apa lagi yang kamu suka dari kakakku?”

“M-Masih lanjut, ya?”

“Tentu saja, aku baru mendengar satu. Atau hanya itu satu-satunya alasanmu?”

“Bukan hanya itu… Alasan lainnya adalah dia juga baik hati dan perhatian. Jika aku memaksakan diri, dia akan menopangku, dan jika ada sesuatu yang menggangguku, dia akan langsung menyadarinya dan mengkhawatirkanku.”

“Contohnya seperti apa? Katakan yang hanya bisa kamu ceritakan saja.”

“Dari caramu mengatakannya, itu terdengar seperti interaksi antara aku dan Tsukasa adalah sesuatu yang tidak bisa kuceritakan dengan orang lain.”

“Yah, tidak masalah kalau kamu mau menceritakan semuanya asal kamu tidak malu.”

“…Yah, itu agak mustahil untukku. Tapi bukan berarti kami melakukan sesuatu yang memalukan.”

(Wajahnya memerah, dia terlihat sangat malu…. Sei-san benar-benar orang yang imut, ya.)

Itulah yang Rie pikirkan, tapi dia tidak mengatakannya dengan keras.

“Misalnya, waktu kami pulang dari fasilitas olahraga sebelumnya. Aku cukup lelah setelah beraktivitas, tapi dia cukup perhatian untuk mengantarku pulang. Dia bahkan membelikanku minuman isotonik tanpa aku sadari.”

“Begitu ya.”

“Ya, tapi dia selalu menawarkan untuk mengantarku pulang. Dia bilang itu karena dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamaku… U-Uh, tolong anggap saja kamu tidak mendengar yang barusan.”

“Tidak, aku mendengarnya. Itu adalah pameran bucin kalian yang biasa.”

Kuh….”

“Tidak masalah kok. Kamu bisa sepuasnya pamer denganku sekarang. Justru itulah yang ingin kudengar darimu.”

“Meski Rie tidak keberatan, tapi aku yang keberatan.”

Wajah Sei semakin memerah, sementara Rie sedikit menyeringai.

“B-baiklah, cukup. Dengar, ini sesi belajar, jadi ayo fokus belajar.”

“Aku masih belum puas mendengarnya, tapi… baiklah. Aku akan bertanya lagi jika ada yang tidak kumengerti.”

“Ya, kalau begitu aku akan menjawab semuanya.”

“Bagaimana kalau aku bertanya momen mesramu?”

“Aku tidak akan menjawab itu.”

Rie terlihat sedikit kecewa mendengar jawaban Sei, tapi dia segera lanjut belajar.

Karena mereka berdua orang yang serius, mereka bisa lama berdiam diri dan berkonsentrasi saat belajar.

Setelah beberapa saat, Rie meregangkan tubuhnya dan melihat jam di dinding.

“Ah, sudah jam 18:30, ya.”

“Sudah jam segitu? Sepertinya kita sudah belajar cukup lama.”

“Ya, benar. Kakakku sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat… Oh, aku baru saja mendapat pesan. Sepertinya dia akan pulang terlambat, jadi dia menyuruhku untuk makan malam tanpa dia.”

“Begitu, ya. Kalau begitu, kurasa aku akan pulang saja.”

“Eh, kamu tidak mau makan bersama?”

Hm? Bersama?”

Sei memiringkan kepalanya menanggapi perkataan Rie.

Sei, yang sudah mulai merapikan peralatan belajarnya di meja karena dia hendak pulang, menghentikan gerakannya.

“Ya, kupikir kita akan makan malam bersama.”

“Aku tidak memikirkan hal itu, tapi… Hanya kita berdua, aku dan Rie?”

“Iya, apa kamu keberatan?”

“Tentu saja tidak. Justru aku yang seharusnya bertanya apakah kamu tidak keberatan?”

“Aku selalu memasak untuk porsi dua orang, jadi tidak ada bedanya jika aku memasak untuk kita berdua hari ini.”

“Begitu. Apakah kamu akan memasak sekarang?”

“Ya, jadi kamu harus menunggu sebentar.”

“Kalau begitu biar aku membantumu memasak.”

“Eh, kamu yakin?”

Sei tersenyum dan mengangguk menanggapi pertanyaan Rie.

“Tentu saja. Rasanya tidak enak kalau hanya menunggu, dan kita akan selesai lebih cepat jika kita memasak bersama.”

“Terima kasih, Sei-san.”

“Sama-sama. Bagaimana kalau kita mulai memasak sekarang?”

“Ya… Ngomong-ngomong, kalau boleh aku menanyakan sesuatu yang agak tidak sopan…”

“Apa itu?”

“Sei-san, kamu bisa memasak, kan? Kudengar kamulah yang mengajari Shiho-san cara memasak, dan itu membuatku sedikit khawatir…”

“…Um, yah, aku memang tidak bisa mengajari Shiho cara memasak, tapi menurutku aku bisa memasak setidaknya di atas rata-rata.”

“S-Sudah kuduga! Aku minta maaf karena menanyakan hal seperti itu.”

“Tidak apa-apa. Setelah melihat masakan Shiho, wajar jika kamu berpikiran seperti itu.”

Saat mereka melakukan percakapan itu, tak satu pun dari mereka tahu bahwa di suatu tempat, seorang gadis SMA yang tidak pandai memasak mengeluarkan bersin yang menggemaskan.

Mereka berdua berdiri di dapur dan bersiap memasak.

“Apakah kamu mau pakai celemek? Tapi hanya ada punya kakakku, sih.”

“B-Begitu. Kalau ada celemek, lebih baik dipakai.”

“…Kenapa kamu tampak gugup begitu?”

“A-Aku tidak gugup!”

Rie mengenakan celemek berwarna pink yang sedikit imut yang biasanya dia pakai.

Sementara Sei mengenakan celemek hitam yang agak besar, ukuran untuk pria.

“Seperti yang kuduga, ukurannya tidak pas.”

“Benar, apa mau dilepas saja?”

“Tidak, begini tidak apa-apa. Selain itu… ini tidak buruk juga kok.”

“…Tolong jangan bertingkah bucin saat kakkku tidak ada.”

“A-aku tidak ngebucin!”

Sambil mengobrol seperti itu, mereka mulai memasak.

Hari ini mereka akan membuat gyoza.

Mereka memotong bahan-bahannya, dan karena mereka sudah terbiasa memasak, mereka melakukannya dengan sangat terampil.

“Sei-san, ternyata kamu bisa masak, ya. Aku lega.”

“Syukurlah aku bisa memulihkan nama baikku.”

“Aku tidak bilang bahwa nama Sei-san buruk, lho.”

“Begitu, ya. Aku senang bisa membuktikan bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai dia.”

“Ya, masakan orang itu memang di luar nalar.”

Sekali lagi, di suatu tempat, seorang wanita, yang tidak pandai memasak, bersin-bersin meskipun dia sedang mandi.

“Apakah kamu pernah memasak bersama Tsukasa?”

“Ya, belakangan ini kakakku sering membantuku memasak.”

“Begitu, karena aku melihat Tsukasa juga memasak di kafe tempat dia bekerja paruh waktu, dia pasti pandai memasak.”

“Ya. Apakah kamu pernah ke kafe tempat kakakku bekerja? Seperti apa tempatnya?”

“…Tidak, aku belum pernah ke sana.”

“Eh? Tapi kamu barusan bilang…”

“K-kamu pasti salah dengar.”

Sei menyangkalnya dengan wajah merah padam, seolah dia mengingat sesuatu yang sangat memalukan.

Meski merasa heran, Rie tidak mempertanyakannya dan terus memasak.

Beberapa puluh menit kemudian, gyoza pun sudah selesai.

“Berkat Sei-san, kita menyelesaikannya dengan sangat cepat.”

“Tidak, itu semua berkat keterampilan Rie. Itu membuat segalanya jadi mudah.”

Mereka saling bertukar kata dan tersenyum satu sama lain.

“Baiklah, ayo kita makan, Rie.”

Fufu, ya, ayo.”

Mereka menata gyoza, sup miso, dan salad yang telah mereka buat di atas meja dan duduk saling berhadapan.

Mereka mengatupkan kedua tangan dan mengucapkan “Selamat makan,” lalu mulai makan.

Mmm, enak. Rasanya sedikit berbeda dengan di rumahku, tapi ini masih sangat enak.”

“Syukurlah. Mmm, tingkat kematangannya juga pas sekali.”

“Ya, Rie, kamu sungguh pandai memasak.”

“Sei-san juga. Memasak bersamamu sangat efisien.”

Mereka terus mengobrol dengan asyik sambil menyantap makan malam.

Setelah selesai makan, mereka mencuci piring bersama.

“Terima kasih telah membantuku beres-beres juga.”

“Setidaknya hanya itulah yang bisa kulakukan karena kamu sudah menyuguhkanku makan malam.”

Sei mencuci piring dengan spons, sementara Rie mengambil piring yang sudah dicuci dan mengeringkannya dengan lap.

“Entah bagaimana, melakukan ini membuatku merasa seperti kita adalah keluarga atau kakak beradik.”

Fufu, benar. Aku tidak punya adik, jadi aku akan senang jika Rie menjadi adikku.”

“…Sei-san, apakah maksudmu… kita akan jadi begitu suatu hari nanti?”

Hm? Apa maksudmu?”

“Apakah artinya aku akan menjadi adik iparmu di masa depan?”

“Adik ipar? Apa maksu—!!”

Sei sepertinya menyadari sesuatu di tengah kalimatnya, dan wajahnya menjadi merah padam.

“B-Bukan begitu! Aku tidak bilang kalau kamu akan menjadi adik iparku!”

“Oh, jadi kamu tidak berencana menikah dengan kakakku, dan kamu berencana putus dengannya suatu hari nanti?”

“A-Aku tidak bilang begitu! Memang benar jika aku terus pacaran dengan Tsukasa, kami mungkin akan menikah dan menjadi satu keluarga, dan Rie akan menjadi adik iparku, tapi…!”

Fufu, benar kan?”

Ugh, Rie, jangan menjahili senpai-mu seperti itu…!!”

Sei memelototi Rie dengan wajah sangat merah padam.

Rie tersenyum bahagia.

Fufu, maaf. Aku hanya sedikit senang.”

“Senang? Apa yang membuatmu senang?”

“Bersamamu seperti ini, Sei-san, membuatku merasa seperti benar-benar memiliki seorang kakak perempuan.”

“…Apa kamu berniat menjahiliku lagi?”



“Kali ini bukan begitu. Bukannya aku tidak puas dengan kakakku atau semacamnya, tapi aku selalu menginginkan seorang kakak perempuan.”

“Benarkah?”

Rie menganggukkan kepalanya penuh semangat dan kemudian berbicara sedikit malu-malu.

“Aku tidak terlalu menginginkan adik, tapi ada kalanya aku berharap punya kakak perempuan. Aku tidak memberitahukan itu kepada kakak atau orang tuaku karena kupikir mereka mungkin akan mengira aku hanya merasa kesepian.”

“Begitu ya. Fufu, kalau begitu aku juga sama.”

“Sama?”

“Ya, meskipun dalam kasusku, aku kebalikan darimu, Rie. Aku dan kakakku memiliki perbedaan usia yang cukup jauh, jadi aku sering berharap memiliki saudara yang usianya tidak jauh denganku.”

Sei dan Rie saling berpandangan saat mereka mencuci piring.

“Jadi, jika Rie tidak keberatan, aku akan senang jika kamu menganggapku seperti kakakmu.”

“Huh… bolehkah?”

“Ya, mungkin sulit pada awalnya, tapi kuharap kita bisa seperti kakak beradik sungguhan yang akrab.”

“…Terima kasih banyak, Sei-san.”

Mereka berdua tersenyum lembut sambil terus mencuci piring, terasa seperti sebuah keluarga.

“Jadi, apakah itu berarti kamu akan menikah dengan kakakku suatu hari nanti?”

“A-Aku tidak bilang begitu!”

“Jadi artinya suatu hari nanti kalian akan putus…”

“Bukan itu juga! Rie, ini janji pertama kita sebagai kakak adik. Berjanjilah padaku kamu tidak akan menceritakan ini pada Tsukasa. Terutama soal menikah dan menjadi sebuah keluarga atau semacamnya.”

Fufu, aku mengerti kok, Sei Onee-chan.”

O-Onee-chan!?”

Setelah itu, mereka berdua terus menghabiskan waktu bersama dengan bahagia.

◇ ◇ ◇




  1. Frasa ini sering digunakan untuk menggambarkan perasaan atau pikiran yang tidak biasa atau aneh. Bisa juga otak yang hanya memikirkan hal-hal erotis. ↩︎


Isekai Romcom Bahasa Indonesia [LN]

Isekai Romcom Bahasa Indonesia [LN]

Since I’ve Entered the World of Romantic Comedy Manga, I’ll Do My Best to Make the Heroine Who Doesn’t Stick With the Hero Happy, Rabu kome manga no sekai ni haitte shimattanode, shujinkō to kuttsukanai hiroin o zenryoku de shiawaseni suru
Score 9.7
Status: Ongoing Type: Author: Artist: Released: 2022 Native Language: Jepang
Suatu hari aku tertabrak truk dan mendapati diriku menjadi sahabat dari protagonis dalam manga komedi romantis. Oh, ini mimpi, kan? Di depanku ada heroine yang kalah yang paling kusukai, Sei Shimada--Aku puas bisa menyatakan "Aku mencintaimu" padanya, tapi  aku tidak bisa bangun dari mimpi ini.....!??

Comment

Options

not work with dark mode
Reset