Bab 1: Bersiap Menghadapi Pertandingan Bola
1
Sepulang sekolah hari itu, aku datang ke “Moonbucks Coffee” bersama Sei-chan.
Ketika meninggalkan sekolah, kami tidak pergi bersama melainkan langsung ketemuan di “Moonbucks.”
Jika kami meninggalkan sekolah bersama, aku pasti akan dimasukkan ke dalam daftar hitam.
Yah, meski aku kurang begitu paham apa yang dimaksud dengan daftar hitam, sih.
Aku memesan kopi hitam seperti biasa, sedangkan Sei-chan memesan minuman manis yang terlihat seperti makanan penutup lagi.
Ini adalah kencan sepulang sekolah sungguhan.
Di kehidupanku sebelumnya, aku tidak pernah bermimpi bisa berkencan sepulang sekolah dengan Sei-chan.
Aku benar-benar sangat senang saat ini.
“Hmm? Ada apa?”
Sei-chan menyendok krim di atas minumannya dengan sedotan sendok, dan memakannya dengan imut, dengan membuka mulut kecilnya.
Melihatnya begitu saja sudah membuatku merasa sangat bahagia.
“Aku hanya sedang mengingat kejadian saat istirahat makan siang sebelumnya. Aku berpikir Sei-chan tetap kompetitif seperti biasanya.”
Padahal sebenarnya, aku hanya mengagumi penampilan imut Sei-chan.
“Uhhh… tolong lupakan…”
“Hmm? Eh? Apanya?”
Entah kenapa, Sei-chan mengatakan itu dengan canggung, tapi aku tidak mengerti apa yang harus aku lupakan.
“Yah, soal percakapanku dengan Toujoin. Aku merasa agak kesal saat itu…”
“Tidak perlu dipikirkan. Lagian, Toujoin-san yang mulai duluan.”
“Yah, begitulah, tapi… um, apakah kamu merasa ilfil padaku?” tanya Sei-chan dengan mulut yang sedikit tertutup oleh minumannya dan diam-diam melirikku dengan tatapan menengadah.
Jantungku tiba-tiba berdebar kencang.
Aku tahu dia tidak melakukannya dengan sengaja, tapi kenapa dia begitu imut, sih?
“Tidak mungkin aku ilfil padamu. Menurutku sisi Sei-chan yang itu juga imut, dan aku menyukainya.”
“B-Begitu, ya… Baguslah kalau begitu…”
Sei-chan terlihat sedikit malu saat dia menaruh sedotan ke bibirnya dan menyesap minumannya.
“Omong-omong, anak laki-laki akan main baseball kan, tapi bagaimana denganmu, Hisamura? Shigemoto bilang dia pandai dalam hal itu.”
“Aku dulu bermain bisbol saat SD, jadi kurasa aku bisa bermain lebih baik daripada kebanyakan orang. Tapi kurasa aku masih akan kalah dari Yuuichi, yang pada dasarnya adalah seorang amatir.”
Kemampuan pria itu benar-benar tidak masuk di akal sama sekali. Bagaimana mungkin seorang amatir bisa mencetak dua home run dari salah satu pitcher terbaik prefektur?
Seperti yang diharapkan dari karakter utama manga dengan kemampuan atletis yang luar biasa.
Nah, kalau begitu, Sei-chan dan Toujoin-san juga sama.
“Kamu akan berhadapan dengan Toujoin-san, tapi apakah kamu akan baik-baik saja?”
“Apa maksudmu, ‘baik-baik saja’? Kamu tidak berpikir kalau aku akan kalah, kan?”
“Eh, tidak, bukan begitu, tapi…”
Aku hanya ingin tahu apakah dia akan baik-baik saja karena kompetisinya diputuskan akibat terbawa suasana.
Aku tidak menyangka Sei-chan akan bereaksi seperti itu.
“Aku tidak akan kalah dari Ojou-sama yang cerewet itu. Apakah pa-pacarku, Hisamura, berpikir kalau aku akan kalah?”
“Huh… Aku tidak menyangka Sei-chan bilang aku pacarnya…”
“B-Bukan itu intinya! Jangan malah membahas itu.”
Tentu saja aku tahu kalau perkataan yang Sei-chan ingin aku dengarkan benar-benar berbeda, tapi bagiku, itu sangat menggetarkan hati dan menyenangkan.
“Hisamura itu, um, memang pacarku, kan? J-Jadi, kamu tidak perlu terlalu senang mendengar kata-kata begitu.”
“Fufu, benar. Ngomong-ngomong, aku lihat kalau Sei-chan merasa malu saat menyebutku pacarmu.”
“Ugh… A-aku tidak akan mengatakannya lagi.”
“Eh? Jangan! Tolong panggil aku kayak gitu lagi.”
Aku sangat senang saat Sei-chan memanggilku ‘pacarnya.’
Sedih rasanya kalau dia tidak akan pernah mengatakan itu lagi.
“K-Kalau begitu, jangan terlalu mengolokku. Itu memalukan, tau…”
“Baiklah, aku akan berhati-hati.”
“Kurasa aku tidak benar-benar bisa memercayai ‘hati-hati’-mu itu.”
“Jadi, soal apakah Sei-chan bisa menang melawan Toujoin-san, tentu saja Sei-chan pasti akan menang.”
“Oi, jangan langsung mengubah topik pembicaraan begitu.”
“Aku tidak mengubah topik pembicaraan kok. Aku hanya kembali ke topik semula.”
Ya, itulah topik pertama yang kami bicarakan.
“Mana mungkin pacarku, Sei-chan, akan kalah dari Toujoin-san, kan?”
“Y-Ya, tentu saja. Aku pasti menang.”
Sip, aku berhasil mengalihkan pembicaraan.
Sangat menyenangkan menggoda Sei-chan karena reaksinya sangat imut. Aku ingin terus menggodanya, tapi aku harus berhati-hati agar tidak berlebihan dan memastikan Sei-chan tidak membencinya.
“Tapi, tidak ada gadis di kelas kita yang memiliki pengalaman bermain basket, kan?”
“Iya, termasuk aku, hanya ada beberepa orang yang bermain santai saat pelajaran penjas.”
Yah, meskipun Sei-chan hanya bermain santai di pelajaran penjas, dia berada pada level dimana dia bisa mengalahkan beberapa pemain papan atas di prefektur. Jadi, wajar untuk mengatakan bahwa dia lebih dari sekadar seseorang yang berpengalaman.
“Kurasa ada tiga anggota ekskul basket di kelas Toujoin-san.”
“Apa? Benarkah?”
“Ya, aku mendengarnya dari Yuuichi, jadi aku cukup yakin itu akurat.”
Karena Yuichi adalah anggota ekskul bola basket, jadi dia juga berinteraksi dengan anggota ekskul bola basket putri.
Bola basket adalah olahraga tim yang beranggotakan masing-masing lima orang.
Tidak peduli seberapa hebatnya Sei-chan dibandingkan Toujoin-san, jika perbedaan antara rekan satu tim lainnya terlalu besar, akan sangat sulit untuk memenangkan pertandingan.
“Hmm, begitu ya…”
Sei-chan menyesap minumannya dan berpikir sejenak.
“Kalau begitu, sederhana saja. Aku hanya perlu mengalahkan Toujoin dan ketiga anggota ekskul basket itu sendirian.”
“Wow, kamu sangat keren, aku jadi jatuh cinta padamu. Oh tunggu, aku sudah jatuh cinta padamu.”
“Ngh! S-Sudah kubilang jangan terlalu sering berkata seperti itu…”
Mau bagaimana lagi, kan. Soalnya Sei-chan terlalu keren.
Dan yang menakjubkan adalah, bahwa Sei-chan mungkin benar-benar bisa melakukannya.
“Dalam bola basket, tembakan three point-lah yang menghasilkan poin paling banyak.”
“Ya itu benar.”
Menurut aturan bola basket, tembakan biasa umumnya bernilai dua poin.
Namun, jika kalian memasukkan bola dari luar garis setengah lingkaran ring, itu dianggap sebagai tembakan three-point dan menghasilkan skor tiga poin.
“Dengan kata lain, meskipun lawan mencetak dua poin, kita akan menang jika aku selalu membalasnya dengan mencetak tiga poin.”
“Itu rencana yang ekstrim, tapi ya, kurasa bisa berhasil.”
Tentu saja, secara teori, hal itu mungkin memang benar, namun kenyataan tidaklah semudah itu.
Tembakan three point adalah tembakan yang dilakukan dari jarak jauh, jadi peluang untuk berhasil memasukkannya lebih rendah.
Bahkan pemain profesional pun dianggap cukup hebat jika dapat memperoleh 30% poin dari tembakan three point dalam sebuah pertandingan.
Biasanya mustahil untuk memasukkan three point semua ke dalam sebuah pertandingan… tapi, meskipun ini adalah dunia nyata kami, tapi ini juga masih dunia manga “Ojojama.”
Dan Sei-chan adalah salah satu karakter paling atletis di antara para karakter manga.
Jika dia berusaha keras, itu mungkin benar-benar bisa berhasil.
“Tapi, tidak mungkin aku tiba-tiba bisa memasukkan semua tembakanku pada hari pertandingan bola sih…”
“Yah, itu benar.”
“…Oke, ayo berlatih.”
“Eh? Berlatih? Maksudmu latihan basket?”
“Tentu saja. Pertandingannya diadakan hari Rabu, jadi kita harus bersiap sebelum itu.”
“Wah, kamu benar-benar serius.”
“Aku tidak ingin kalah dari Toujoin. Dia saingan cinta Shiho, jadi dia sainganku juga.”
“Cara berpikir itu memang Sei-chan banget.”
“…Selain itu, karena dia-lah aku harus membantu Shiho memasak.”
“…Eh? Mungkinkah itu alasan sebenarnya?”
“T-Tidak, bukan itu. Alasan utamanya adalah karena dia saingan cinta Shiho, dan memasak hanyalah sebagian kecil dari itu.”
…Entahlah. Dia tampak sedikit panik, jadi mungkin sebagian besar alasannya adalah karena memasak.
“Y-Yah, cukup soal itu. Pokoknya, aku perlu latihan basket agar tidak kalah dari Toujoin.”
“Tapi di mana kamu akan latihan?”
“Kalau tidak salah ada ‘Around One’ di dekat sini. Dan seharusnya ada lapangan basket juga di sana.”
“Oh, di sana ya.”
Around One adalah fasilitas hiburan di mana kalian bisa menikmati berbagai jenis olahraga.
Ada juga fasilitas bowling dan karaoke, dan tergantung tokonya, bahkan ada juga tempat untuk bermain basket.
“Baiklah, ayo pergi sekarang.”
“Eh? Sekarang?”
“Tentu saja. Pertandingannya besok lusa, jadi kita hanya punya waktu berlatih hari ini dan besok.”
“Kerennya… Sumpah.”
Aku tidak menyangka Sei-chan akan seserius ini.
Sei-chan mungkin lebih kompetitif dari yang aku kira.
“…Umm, Hisamura, maukah kamu menemaniku?” tanya Sei-chan dengan mendongak, terlihat sedikit cemas dan penuh harap dalam suaranya.
Itu curang, Sei-chan.
Tanpa kamu tanya pun, jawabannya sudah jelas.
“Tentu saja, aku akan menemanimu. Lagipula, aku adalah pacar Sei-chan.”
“Uuuh… B-Benar. Seperti yang diharapkan dari pacarku.”
“Ah, gawat. Aku mimisan…”
“KOK BISA?!”
Itu karena Sei-chan terlalu imut.
Sudah lama sejak aku mimisan karena Sei-chan.
× × ×
Aku dan Sei-chan meninggalkan kafe dan menuju Around One.
Karena kami harus bergegas ke sana, Sei-chan pun akhirnya memutuskan untuk naik di belakang sepedaku.
A-Aku tidak pernah menyangka bisa boncengan sepeda bersama Sei-chan…!
“Gimana duduknya? Ini kali pertamaku, jadi aku tidak begitu yakin.”
“Duduklah menyamping di bangku belakang…”
“Seperti ini?”
“Ya, begitu. Sulit untuk stabil saat kamu hanya duduk, jadi letakkan tanganmu di bahu atau pinggangku juga.”
Aku baru sadar setelah aku mengatakan itu.
Apakah ini berarti Sei-chan akan menempelkan tubuhnya padaku?
Akan berbahaya kalau dia tidak begitu, jadi kurasa kami memang harus melakukan itu… Aku sangat gugup sekarang.
Aku dan adikku, Rie, boncengan hampir setiap hari, tapi dia biasanya meletakkan tangannya di bahuku.
Pernah suatu kali aku bilang padanya kalau memegang pinggangku akan lebih aman, tapi dia langsung membalas dengan “…Apa Kakak idiot.” Aku kadang tidak bisa memahami Rie.
Namun, untuk sesaat, aku merasa Rie hendak melepaskan tangannya dari bahuku dan melingkarkannya di pinggangku. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja.
“S-Seperti ini?”
Sei-chan meletakkan tangannya di bahuku dan menggenggamnya dengan ringan.
Sebuah tangan yang lebih lembut dari yang kukira menyentuh bahuku dan itu membuat jantungku berdebar kencang.
Meski kami sudah berpegangan tangan beberapa kali, aku masih belum terbiasa.
Dan ini pertama kalinya dia menyentuh bahuku, jadi aku semakin tidak terbiasa.
Kenapa sensasinya begitu lembut padahal dia hanya memegang ringan bahuku yang terhalang oleh baju?
“Apakah begini tak apa?”
“U-Um, ya. Tak apa. Oke, ayo berangkat.”
Aku pun mengerahkan tenaga pada pedal dan mulai mengayuh.
Awalnya, aku terlalu gugup untuk mengayuh dengan baik, tapi setelah beberapa saat, aku akhirnya bisa mengayuh seperti biasa.
Sei-chan juga tampak sedikit gugup, karena cengkeramannya di bahuku cukup kuat.
“Bagaimana perjalanannya, tuan putri?”
“Pu-Putri?! Kamu ngomong apa sih?!”
“Oh, itu hanya lelucon kok. Jangan dianggap terlalu serius.”
“O-Oh, begitu… Yah, lumayan lah, pelayan.”
“Ehh, Bukan pangeran, toh?”
“Fufu, ini kan bukan kuda putih.”
Percakapan ini sepertinya sedikit meredakan ketegangan Sei-chan.
“Perjalanannya tidak buruk. Mungkin karena kamu sudah terbiasa membonceng Rie setiap hari.”
“Yah, siapa pun akan terbiasa jika membonceng Rie setiap hari. Selain itu, perjalanannya enak karena Sei-chan duduk di atas bantalan jok, bukan di bagian yang keras.”
“Ah, setelah kamu sebutkan, benar juga.”
“Aku membelinya dan memasangnya karena Rie terus duduk di bagian yang keras setiap saat.”
Jika Rie akan dibonceng setiap hari, aku jelas perlu meletakkan semacam bantalan di boncengan sepeda.
Aku harus melindungi pantat Rie! …Meskipun terdengar menjijikkan ketika aku mengatakannya seperti itu sih.
Sei-chan, yang mungkin tidak mengira aku sedang memikirkan hal seperti itu, sepertinya sedang melihat pemandangan yang melintas dengan kepala menoleh ke samping.
Aku senang melihat Sei-chan tampak menikmatinya.
Sambil memikirkan hal itu, aku mengayuh sepedaku, dan tepat sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi merah, aku menginjak rem.
“Ah.”
“!?”
Sei-chan pasti tidak mengira aku akan mengerem, dan karena hukum inersia, dia akhirnya menempel di punggungku.
Itu kadang-kadang juga terjadi pada Rie, jadi mau bagaimana lagi.
Namun… ada satu hal yang benar-benar berbeda dari Rie.
Yang berbeda itu adalah sensasi sesuatu yang menabrak punggungku, atau lebih tepatnya, mungkin perbedaan pertumbuhan fisik antara Rie dan Sei-chan…
Bagaimanapun, punya Sei-chan tampaknya lebih besar… Karena dia duduk menyamping, dia hanya menyentuh punggungku sedikit, tapi dampaknya itu sangat luar biasa.
“Maaf karena menabrak punggungmu. Apakah kamu baik-baik saja?”
“A-Aku baik-baik saja…”
“Hei, hidungmu berdarah!”
“Eh? Oh, benar.”
Aku tidak sadar, tapi ada darah yang mengalir saat aku menyentuh bagian bawah hidungku.
Sei-chan, yang ada di belakangku, dengan panik mengeluarkan tisu dari tasnya lalu menyerahkannya padaku.
“Terima kasih.”
Aku menerimanya, merobeknya, menggulungnya, dan memasukkannya ke dalam lubang hidungku yang berdarah.
“Apakah kamu baik-baik saja? Darahnya keluar saat aku menabrak punggungmu. Tidak, tunggu dulu, memangnya bakal mimisan ya kalau punggung ketabrak?”
“Hal itu bisa terjadi jika kondisinya tepat.”
“Memangnya kondisi yang seperti apa?”
“Kurasa kondisinya adalah berboncengan, dengan Sei-chan yang duduk belakang.”
“Apa maksudnya? Apakah itu artinya kamu harus berhenti boncengan berdua denganku lagi?”
“Tidak. Aku malah ingin kamu berada di belakangku selamanya.”
“K-Kita tidak mungkin bisa melakukan itu selamanya, kan… Ketika kamu jadi kakek-kakek, kita tidak akan tahu apakah kamu masih punya tenaga untuk begini…”
Hmm? Percakapan ini sepertinya mengarah ke arah yang aneh… tapi ya sudahlah.
Untuk saat ini, lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau, jadi aku terus mengayuh sepeda sambil boncengan.
“Apakah kamu yakin baik-baik saja? Jika kamu mau, aku bisa gantian yang mengayuh sepeda.”
“Sebagai seorang pria, aku tidak bisa membiarkan seorang wanita mengayuh untukku. Jangan khawatir, mimisanku akan segera berhenti.”
“Baguslah kalau begitu… Tapi, saat kamu boncengan dengan Rie, apakah kamu juga mimisan saat Rie menabrak punggungmu?”
“Tidak, tidak pernah. Dia adikku jadi aku tidak berpikir itu akan pernah terjadi.”
“Hmm? Apa maksudmu? Apakah Rie tidak pernah menabrakmu?”
“Tidak, yah, semacam itulah.”
Dia adalah adik perempuanku, jadi aku tidak akan terangsang hingga mimisan meskipun dia menabrak punggungku.
Lagipula, punya Rie tidak sebesar Sei-chan, jadi aku tidak merasakan apa-apa saat dia menabrakku.
Tidak, yah, aku tidak perlu membahasnya lebih dalam, jika tidak, itu akan mempengaruhi nama baik Rie… Eh, mungkinkah sudah terlambat?
Yah, aku tidak mengatakannya keras-keras, jadi kurasa tidak apa-apa.
Sambil memikirkan itu, aku dan Sei-chan boncengan bareng ke Around One.
…Di waktu yang sama, Rie tampaknya mulai bersin-bersin, tapi aku tidak tahu akan hal itu.
Sesampainya di Around One, kami membayar dan memasuki area tempat kami bisa berolahraga.
Kita bisa memainkan berbagai macam olah raga seperti futsal, bulu tangkis, bahkan ada batting center.
Namun, aku dan Sei-chan melewati semua itu dan menuju ke area dimana lapangan basket berada.
Untungnya tidak ada orang lain, jadi kami bisa langsung menggunakannya.
“Sudah lama sejak terakhir kali aku menyentuh bola basket…”
Sambil mengatakan itu, Sei-chan men-dribble bola dengan ringan… Dia terlihat sangat mengesankan.
Itu bukanlah level dribbling dari amatir yang sudah lama tidak menyentuh bola basket.
Dia dengan mudah melakukan teknik seperti leg through, yaitu men-dribble bola di antara kedua kakinya, dan behind-the-back, men-dribble bola di belakang punggungnya.
Menurutku itu bukanlah teknik yang bisa dilakukan dengan mudah oleh seorang amatir biasa.
Amatir biasa akan dipaksa untuk melihat ke bawah saat menggiring bola karena mereka tidak dapat merasakan bola dengan benar.
Dan tentu saja, Sei-chan tidak melihat ke arah bola sama sekali dan dengan mudah melakukan gerakan men-dribble bola tingkat lanjut ini.
“Hmm, aku masih belum terbiasa.”
“Seriusan…?”
Aku refleks bergumam.
Sei-chan, yang menangani bola dengan sangat baik, memasang wajah sedikit kesulitan.
“Sei-chan, kamu benar-benar belum pernah bermain basket, kan?”
“Begitulah. Yah, aku tidak pernah bermain banyak olahraga selain dari apa yang kita lakukan di sekolah.”
Dia sangat luar biasa. Aku bahkan tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
Namun, hanya dengan jumlah latihan yang dia lakukan dalam pelajaran olahraga, dia bisa menjadi cukup kuat untuk mengalahkan perwakilan prefektur.
Sei-chan terus men-dribble bola sambil berbicara denganku, lalu dia berlari menuju gawang.
Kecepatan larinya juga sangat cepat. Mustahil bagi seorang amatir untuk menggiring bola sambil berlari dengan kecepatan yang seperti itu.
Sei-chan sepertinya belum dalam kecepatan penuh, tapi dia berlari menuju gawang dengan kecepatan yang mendekati itu dan melakukan tembakan lay–up.
Sambil memegang bola di tangan kanannya, dia melompat ke arah gawang dan dengan lembut memasukkan bola ke dalam, mengeksekusi tembakan.
Sosoknya begitu anggun dan keren—luar biasa!
“Yah, memasukkan bola begini wajar saja sih. Masalahnya adalah tembakan three point… Hmm? Ada apa, Hisamura?” tanya Sei-chan saat melihatku membuang muka dengan sekuat tenaga.
“Um, begini, Sei-chan… menurutku kamu sebaiknya tidak mencoba melakukan tembakan itu dengan pakaianmu saat ini.”
Aku dan Sei-chan datang ke sini langsung setelah pulang sekolah. Dengan kata lain, kami berdua masih mengenakan seragam sekolah.
Dan mengenakan seragam sekolah berarti… Sei-chan mengenakan rok.
Roknya cukup pendek, jadi jika dia melompat dengan kuat, roknya akan terbalik seiring dengan momentumnya…
“Eh? AH!”
Sei-chan sepertinya sadar, dan dengan wajah merah, dia melepaskan bola dan memegang ujung roknya dengan kedua tangan. Tapi tidak ada gunanya melakukan itu sekarang, lho…
“A-Apakah kamu lihat?”
“Tidak. Aku memalingkan wajahku sebelum aku sempat melihatnya.”
“B-Begitu, ya… Syukurlah.”
“Tapi, kayaknya aku sekilas melihat warna merah, sih.”
“JADI KAU MEMANG LIHAT!”
“MAAF!”
Itu cuma nyaris, aku hanya melihatnya sedikit dari sudut mataku.
Itu bukan salahku, lo… mungkin.
Aku benar-benar berusaha untuk segera menoleh, tapi aku masih melirik sedikit.
Yah, aku mungkin tetap mempertahankan arah pandanganku sambil memalingkan wajahku sedikit.
Nah, sebagai seorang pria, aku rasa hal itu tidak bisa dihindari.
“Uuu…”
“Maaf. Sei-chan.”
“Tidak, um, ini salahku karena melompat saat memakai rok… Aku tidak membawa pakaian olahragaku hari ini, jadi kurasa aku akan berhenti melakukan lay-up.”
“Ya, itu ide yang bagus.”
Lagi pula, bukan hanya aku saja yang ada di sini; ada banyak orang lain juga di sekitar sini.
Untungnya tidak ada orang di sekitar saat ini, tapi bukan berarti kalau selanjutnya tidak akan ada orang lain.
Jika ada orang lain selain aku yang melihat sempak keramat Sei-chan… Aku benar-benar tidak akan memaafkan mereka dan membiarkan mereka pulang hidup-hidup.
Aku juga tidak ingin melakukan tindak kriminal, jadi kuharap Sei-chan berhati-hati untuk tidak memperlihatkan sempaknya lain kali.
“Aku hanya akan melatih tembakan three point-ku hari ini dan kemudian pulang. Aku tidak akan melompat tinggi-tinggi saat menembak, jadi rokku tidak akan terlalu terangkat.”
“Ya, menurutku itu tak masalah.”
Setelah mengatakan itu, Sei-chan mengambil bola dan berjalan menjauh dari ring.
Dia berdiri di luar garis three point, dan dengan ringan memantulkan bola di lantai.
“Baiklah, Sei-chan, kalau begitu aku akan berjaga di bawah ring, mengambil bola yang kamu tembak dan mengopernya kembali padamu.”
“Ah, terima kasih.”
“Itulah gunanya aku di sini.”
Daripada hanya berlatih menembak sendirian, akan lebih efisien jika ada orang lain yang mengambil bola dan mengopernya kembali.
Jika dia meleset dan mengenai ring, bolanya bisa terpental ke segala arah, jadi menembak dan mengambilnya sendirian akan sulit.
“Serahkan padaku untuk bagian mengambil bola.”
“Terima kasih. Tapi aku merasa tidak enak harus membuatmu terlalu banyak bergerak.”
“Tidak apa kok.”
“Tapi, jika aku memasukkan semua bolanya, maka Hisamura tidak perlu bergerak dari bawah ring, kan?”
Sei-chan berkata sambil tersenyum lalu melakukan jump shot dengan postur yang indah.
Bola yang dilemparkan melengkung indah dan tersedot ke dalam ring dengan suara yang tajam.
Keren banget!
Aku begitu terpesona hingga aku lupa memungut bola bahkan setelah bola melewati jaring.
“Hisamura, bukankah kamu seharusnya mengambil bolanya?”
“Oh, m-maaf.”
“Tidak apa-apa. Bolanya sudah kembali padaku kok.”
Seperti yang dikatakan Sei-chan, bola yang masuk melewati jaring telah kembali padanya.
Jika bola tidak masuk ke ring dengan putaran yang sempurna, bolanya tidak akan kembali ke pelempar dengan baik.
Tidaklah normal bagi seorang amatir untuk dapat memasukkan tembakan pertama dan melakukannya dengan sangat baik.
“Aku akan mengambilnya lain kali.”
Jika ini terus berlanjut, bola akan selalu kembali ke Sei-chan, tapi kecepatan kembalinya lambat, dan tidak selalu kembali dengan baik setiap saat.
Aku harus melakukan tugasku dengan benar.
“Ya, mohon bantuannya.”
Setelah mengatakan itu, sekali lagi, Sei-chan melakukan tembakan three point dengan postur yang indah.
Ah… sungguh—.
“Itu keren banget…”
“Hah!?”
Postur Sei-chan langsung runtuh saat dia menembak bola, dan bolanya memantul dari ring dengan suara dentang.
“Hi-Hisamura, j-jangan tiba-tiba mengatakan hal kayak gitu. Itu merusak konsentrasiku…”
“Maaf, itu terucap begitu saja tanpa sadar.”
“K-Kurasa apa boleh buat.”
Aku pergi mengambil bola yang meleset dan mengopernya pada Sei-chan.
“Cobalah untuk tidak terlalu menggangguku, oke?”
“Ya, mengerti.”
Pipi Sei-chan sedikit memerah, tapi dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.
Kemudian dia mulai melakukan tembakan three point lagi.
Satu, dua, tiga berturut-turut!
Ada kemungkinan bagi seorang amatir untuk dapat memasukkan lemparan three point karena beruntung, tapi memasukkannya tiga kali berturut-turut tidak lagi bisa dianggap sebagai keberuntungan.
Sei-chan benar-benar membidik dan memasukkannya.
Namun, tembakan Sei-chan yang keempat meleset, dan melihat itu, dia mengangguk pada dirinya sendiri.
“Aku sudah mengerti. Mulai sekarang, ayo masukkan seratus kali berturut-turut tanpa membuat Hisamura bergerak.”
“Akan luar biasa jika kamu bisa melakukan itu.”
Dan Sei-chan, sekali lagi dengan postur yang sangat anggun, lanjut menembakkan bola secara berturut-turut.
× × ×
Beberapa menit kemudian… Sei-chan gagal mencapai tujuannya.
“Sial, aku meleset di tembakan yang ke-tujuh puluh dua,” kata Sei-chan dengan frustasi, tapi kenyataannya, dia berhasil memasukkan begitu banyak tembakan sehingga itu terasa tidak nyata.
Jangankan seorang amatir, bahkan pemain berpengalaman pun tidak dapat memasukkan 72 tembakan berturut-turut.
Sei-chan sangat hebat dalam olahraga, sehingga kata ‘atletis’ bahkan tidak dapat sepenuhnya menggambarkan dirinya.
“Itu sudah lebih dari cukup. Kamu mengesankan.”
“Tapi, setiap tembakan sangat berarti dalam sebuah pertandingan lho.”
“Ya, itu mungkin benar.”
Bahkan pemain bola basket profesional pun tidak akan berhasil memasukkan tembakan seratus persen.
“Aku ingin berlatih sedikit lagi tapi sekarang sudah larut.”
“Ya, ini sudah lewat jam 6.”
Karena kami awalnya ngobrol di kafe sepulang sekolah, kami datang ke sini agak terlambat.
Kami baru sebentar di sini, tapi langit sudah mulai gelap.
“Tapi, aku masih ingin berlatih menembak sedikit lagi.”
“Eh, benarkah?”
“Ya, akan sangat disayangkan kalau harus berhenti sekarang karena aku akhirnya mulai terbiasa. Tidak apa Hisamura, kamu tidak perlu menemaniku lagi, kamu boleh pulang.”
Setelah mengatakan itu, Sei-chan melakukan tembakan three point lagi.
Tembakkannya juga masuk dengan mulus, dan aku mengambil bola yang melewati ring lalu mengopernya kembali ke Sei-chan.
“Tidak, aku akan tetap di sini juga.”
“Kamu yakin? Terima kasih, tapi kamu tidak perlu memaksakan diri.”
“Aku tetap di sini karena aku hanya ingin bersama Sei-chan, jadi jangan khawatir.”
“B-Begitu, ya… Um, terima kasih.”
Wajah Sei-chan memerah, tapi dia menembakkan bola seolah ingin menyembunyikan rasa malunya.
Tembakan saat dia malu sebelumnya tidak masuk, tapi kali ini, tembakannya masuk dengan sempurna.
“Tembakan bagus!”
Mengatakan itu, aku mengambil bolanya dan mengopernya pada Sei-chan.
Aku tidak bisa menahan perasaan ingin menemani Sei-chan selama mungkin, karena dengan begitu, aku bisa menyaksikan momen-momen kerennya.
Setelah itu, aku dan Sei-chan melanjutkan latihan menembak kami di lapangan basket Around One.
× × ×
Sekitar jam sembilan malam, aku dan Sei-chan meninggalkan Around One.
Tentu saja, hari sudah gelap gulita, dan jika bukan karena lampu jalan, kami tidak akan bisa melihat apa pun.
“Akan lebih mudah bagimu untuk pulang jika aku tetap menemanimu, kan?”
Sambil mengayuh sepeda, aku berbicara dengan Sei-chan, yang dibonceng di belakangku.
“Aku tidak akan menyangkalnya… Tapi, bukan berarti aku ingin kamu tetap menemaniku agar bisa diantar pulang lo.”
“Tentu saja aku tahu itu. Jadi, kamu memang ingin aku tetap menemanimu, ya?”
“Ah… U-Um, makudku, melakukannya bersama Hisamura jauh lebih menyenangkan daripada hanya sendirian…”
“…B-Begitu ya.”
Rasanya seperti aku menerima serangan balasan yang tidak terduga.
Aku tidak menyangka Sei-chan akan bilang bahwa akan lebih menyenangkan melakukannya bersamaku, jadi aku sangat senang hingga aku tidak bisa berkata apa-apa sesaat.
Setelah itu, suasana menjadi sedikit canggung, jadi aku mengendarai sepeda dalam diam sementara Sei-chan meletakkan tangannya di bahuku.
Ini bukanlah canggung yang mencekam, melainkan canggung karena malu yang membuat kami jadi sedikit sulit untuk berbicara.
“J-Jadi, bagaimana hasil lemparannya?”
“Y-Yah, itu tidak buruk, tapi tidak cukup baik untuk menentukan hasil sebuah pertandingan.”
“Yah, kalau begitu agak sulit juga sih.”
Alasan Sei-chan berlatih basket kali ini adalah untuk mengalahkan Toujoin-san di pertandingan bola mendatang.
Sei-chan dengan berani mengklaim bahwa kami bisa menang jika dia berhasil memasukkan semua tembakan three point, tapi kurasa itu akan sulit.
“Itulah sebabnya aku akan berlatih lagi besok”
“Ah, benarkah?”
“Tentu saja. Lusa adalah hari H-nya, jadi masuk akal kalau aku berlatih sehari sebelumnya, kan?”
“Luar biasa, Kalau begitu, aku akan menemanimu lagi besok.”
“Benarkah? Itu akan sangat membantu.”
“Baiklah, kalau begitu ayo kita lakukan lagi besok.”
“…Ya, terima kasih, Hisamura.”
Sambil tersenyum, Sei-chan mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Aku bisa bersama Sei-chan, dan karena dia berterima kasih padaku dengan senyuman manisnya, aku tidak punya alasan untuk tidak membantunya.
Namun, berlatih sebanyak ini hanya karena dia tidak ingin kalah dari Toujoin-san—apakah Sei-chan benar-benar sekompetitif itu?
“Sei-chan, apa pendapatmu tentang Toujoin-san?”
“Huh? Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?”
“Maksudku, kamu berlatih basket karena kamu tidak ingin kalah dari Toujoin-san, kan? Karena kamu sangat serius menghadapi Toujoin-san, aku hanya penasaran apa pendapatmu tentang dia.”
“Yah… aku tidak membencinya. Awalnya, aku pikir dia adalah gadis kaya raya yang menguntit Shigemoto.”
“Ah, itu memang benar sih.”
Itu sebetulnya benar, jadi tidak ada yang perlu disangkal di sana.
“Aku juga mengira dia adalah wanita yang menghalangi cinta Shiho… tapi kemudian aku sadar kalau Toujoin hanyalah gadis kikuk yang menyukai Shigemoto. Sekarang, setelah kami makan siang bersama, aku tidak benar-benar membencinya.”
“Begitu ya.”
“Tapi… Memang menjengkelkan ketika dia mengolokku terus. Kamu tidak memberitahunya, kan?”
“Soal apa?”
“Um… K-Kalau k-kita pacaran.”
Saat aku mendengarnya berkata malu-malu dari belakang, aku merasa seperti akan sedikit menggeliat, tapi aku menahannya karena aku sedang mengendarai sepeda.
“Aku tidak memberitahunya apa-apa. tapi dia mungkin merasakan sesuatu dari suasana di antara kita.”
“Ahh, kurasa benar juga. Lagipula dia juga bilang sesuatu padaku saat di taman hiburan.”
“Huh? Apa kamu dan Toujoin-san membicarakan sesuatu di taman hiburan?”
“Ah… Tidak… Bukan apa-apa.”
“Begitukah…?”
Dia mungkin membicarakan sesuatu dengan Toujoin-san, tapi Sei-chan terlalu malu untuk memberitahuku tentang itu, jadi aku tidak menanyakannya lebih jauh.
Saat kami membicarakan hal ini, aku sampai ke tempat di mana aku dan Sei-chan selalu berpisah.
“Yah, kamu bisa menurunkanku di sini.”
“Tidak, ini sudah malam. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”
“Sebenarnya kamu tidak perlu sampai sejauh itu. Aku akan baik-baik saja dari sini.”
Sei-chan bilang begitu, tapi aku juga tidak bisa mengalah di sini.
“Aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian selarut ini. Itu berbahaya, jadi biarkan aku mengantarmu.”
“B-Begitukah? Kalau begitu, aku akan dengan senang hati dimanjakan olehmu.”
“Ya, silakan. Aku akan lebih senang jika kamu tidak hanya manja dengan kata, tapi juga dengan sikap.”
“Uuu… A-Aku akan mempertimbangkannya.”
“Huh? Y-Ya, tentu saja. Saya akan senang jika Anda bisa mempertimbangkannya secara positif.”
Aku tidak pernah menyangka dia akan benar-benar mempertimbangkan untuk dimanjakan olehku, dan tanpa sengaja aku beralih menggunakan bahasa yang formal.
Jika Sei-chan manja padaku, aku mungkin bisa mati karena bahagia… tapi aku akan puas dengan itu.
Meski aku sedikit gugup dengan percakapan yang baru saja kami lakukan, aku mengikuti arahan Sei-chan dan mengantarnya pulang.
Berdasarkan arahannya, kami tiba di sebuah rumah biasa,
Tapi saat aku memikirkan bahwa itu adalah rumah Sei-chian, aku merasa itu adalah rumah yang sangat istimewa.
“Terima kasih untuk hari ini, Hisamura, karena sudah menemaniku berlatih hingga selarut ini, dan bahkan mengantarku pulang,” kata Sei-chan berterima kasih sambil turun dari belakang sepeda dan berdiri di sampingku.
“Aku hanya ingin bersamamu, jadi jangan dipikirkan. Selain itu, melihat Sei-chan bermain basket juga menyenangkan.”
“B-Begitukah? Yah, syukurlah kalau memang begitu… um…”
Sei-chan berdiri tepat di sampingku dan menatapku seolah dia ingin mengatakan sesuatu.
Tapi kemudian dia tersipu dan menutup mulutnya.
“Hmm? Ada apa?”
“T-tidak, um, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk hari ini. Kamu sangat membantu.”
“Ya, aku juga bersenang-senang kok.”
“Nah, sampai jumpa besok.”
“Sampai jumpa besok. Selamat malam.”
Kami saling melambaikan tangan dan kemudian aku mulai mengayuh sepeda pulang ke rumah.
…Sangat imut melihat Sei-chan melambai malu-malu begitu.
Sambil memikirkan itu, aku pun pulang ke rumah, berpikir bahwa aku menjalani hari yang baik hari ini.