Prolog
Senin mungkin adalah hari yang paling tidak disukai oleh kebanyakan orang Jepang.
Mereka yang pergi ke sekolah atau bekerja pada hari Senin, yang merupakan hari setelah akhir pekan, akan dipaksa untuk menyeret tubuh mereka yang berat ke tempat tujuan sambil berpikir ‘Sungguh menyebalkan.’
Di sisi lain, beberapa orang mungkin akan begadang, berharap Minggu malam mereka bisa berlangsung selamanya.
Aku juga dulu pernah melakukan hal yang sama, tapi itu hanya membuatku merasa lebih buruk keesokan harinya, membuat sekolah dan pekerjaan paruh waktu menjadi lebih sulit.
Namun baru-baru ini, aku sampai pada titik di mana aku berpikir, “Aku harap akhir pekan ini segera berakhir!”
Aku tidak menyangka kalau aku akan berubah sebanyak itu, tapi alasannya sangat jelas.
Pada Senin pagi, biasanya aku akan berpikir, “Yah, harus menunggu 5 hari lagi,” tapi…
“Hmm, ini pagi yang sangat menyegarkan!”
Aku bangun setelah tidur nyenyak dan membuka jendela untuk menyerap sinar mentari pagi.
Sungguh pagi yang sehat hari ini!
Saat aku keluar kamar dan menuju ruang tamu, Rie sudah bangun dan membuat sarapan.
“Mmm… Pagi, Onii-chan.”
“Pagi, Rie.”
Rie, yang terlihat masih mengantuk, sedang membuat sarapan dengan mata setengah terbuka.
Kelihatannya agak berbahaya, tapi kurasa Rie memang selalu seperti itu.
“Rie, apakah kamu ingin membuat sarapan bareng hari ini?”
“…Eh? Onii-chan bisa masak?”
“Hm? Ahh… Aku bisa kalau itu sesuatu yang simpel.”
Karena di duniaku sebelumnya aku bekerja paruh waktu di kafe, aku bisa memasak makanan yang simpel.
Tentu saja aku tidak sehebat Rie yang memasak untuk kami setiap hari, pagi, siang, dan malam.
Berdiri di samping Rie, aku mulai memotong sayuran dan membuat salad.
“Kamu tampaknya cukup ahli. Kapan kamu belajar masak?”
“Fufu, aku jenius yang bisa melakukan apa saja.”
“…Jangan konyol.”
Pagi-pagi begini aku sudah kena omel oleh adikku. Yah, tapi tak apalah karena dia memasang senyum yang sangat manis di wajahnya.
Kami membuat sarapan dan memakannya bersama.
Kalau dipikir-pikir, orang tua kami berangkat pagi-pagi sekali, ya? Meski aku bangun pagi-pagi sekalipun, mereka sudah berangkat kerja.
Sambil memikirkan hal itu, kami menghabiskan sarapan yang aku buat bersama Rie, lalu kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap ke sekolah.
“Baiklah, siap berangkat, Rie?”
“Ya.”
Setelah berganti seragam sekolah, kami pun meninggalkan rumah bersama, dan seperti biasa, aku mengendarai sepeda sementara Rie duduk di belakangku.
“Apakah ada yang kelupaan?”
“Tidak ada. Apakah kamu sudah membawa bekalmu, Onii-chan?”
“Sudah kok. Mana mungkin aku melupakan bekal yang Rie buatkan khusus untukku.”
“…Hmm, kalau begitu baguslah.”
Responsnya agak tertunda. Mungkinkah ada sesuatu yang mengganggunya?
“Baiklah, ayo berangkat.”
“Ayo.”
Lalu aku pun mengayuh sepeda ke sekolah berboncengan, yang mungkin diperbolehkan di dunia ini.
× × ×
Saat aku semakin mendekati sekolah, biasanya aku akan memikirkan hal-hal negatif seperti, “Hari ini akan sangat menyebalkan karena ada pelajaran itu.”
Sejujurnya, aku kadang-kadang masih berpikir seperti itu. Aku lebih condong ke IPS, jadi aku kesulitan dengan mata pelajaran seperti matematika dan fisika.
Senin adalah hari terburuk karena ada dua mata pelajaran yang tidak aku kuasai itu.
Namun, meski begitu, aku mungkin tidak akan pernah lagi berpikir, “Senin, menjauhlah! Enyahlah dari sini!”
Alasannya tentu saja adalah… dia.
“Sei-chan!”
Aku memanggil nama gadis yang kulihat ada di depanku saat aku mengayuh sepeda.
Dia sedang melihat ponselnya, dan ketika aku memanggil namanya, dia tersentak sejenak dan kemudian menatapku.
Rambut perak pendeknya berkibar indah, bergoyang tertiup angin dan memantulkan sinar matahari ke mataku.
Matanya yang besar dan menengadah menatap lekat ke arahku, membuat jantungku berdebar kencang.
Akhirnya, aku melihat seragam sekolah yang tidak asing, tapi tidak peduli seberapa terbiasanya aku melihatnya, aku tidak akan pernah berhenti berpikir betapa imutnya seragam itu dipakainya.
“Selamat pagi, Hisamura.”
Sei-chan menyapaku dengan senyuman ringan saat aku mendekatinya dengan mengendarai sepedaku.
“Pagi, Sei-chan.”
“Selamat pagi, Sei-san.”
“Ah, pagi juga, Rie. Senang sekali melihat kalian berdua tetap akur hari ini.”
“I-Ini biasa kok.”
Rie, yang duduk di belakangku, berkata dengan malu-malu sambil turun dari sepeda.
“Bagaimana kalau kita berangkat bareng lagi hari ini, Rie?”
“…Ya, ayo.”
Setiap kali aku dan Rie pergi ke sekolah bersama, biasanya dia akan berjalan sendirian dari sekitar sini sementara aku pergi duluan dengan sepeda.
Rie juga berada pada usia di mana dia mungkin tidak ingin teman-temannya melihatku, kakaknya, dan dia berangkat sekolah bersama dan yah, aku merasa sedih ketika memikirkan itu.
Tapi, saat aku mulai pergi ke sekolah bersama Sei-chan, Rie juga mulai ikut ke sekolah bersama kami alih-alih pergi berjalan sendirian.
Senang sekali rasanya bisa pergi ke sekolah di pagi hari bersama Sei-chan dan bahkan adik perempuanku yang imut.
“Sei-san, maaf sudah mengganggu waktu berduaanmu dengan Onii-chan.”
“Tidak apa-apa kok. Lagipula, adik Hisamura, Rie, sudah menjadi seseorang yang penting bagiku.”
“Uh… B-Begitukah…?”
“Sei-chan, bisakah kamu tidak merayu adikku di depanku?”
“A-Aku tidak mencoba merayunya, tau. Aku hanya menyatakan fakta.”
Bukankah itu lebih buruk…?
Sei-chan tentu saja gadis yang sangat imut, tapi di saat yang sama, dia juga sangat keren.
Berdasarkan informasi dalam cerita aslinya, Sei-chan tidak pernah ditembak laki-laki, tapi dia pernah ditembak oleh perempuan beberapa kali.
Aku sempat bertanya-tanya apakah dia benar-benar ditembak perempuan, tapi setelah melihat sikap Rie, jelas terlihat kalau dia populer di kalangan perempuan.
Ada sesuatu yang keren tentang cara dia biasanya berperilaku, berbicara, bertindak, dan cara dia yang lebih lembut terhadap wanita daripada pria, yang tidak bisa kujelaskan dengan baik, tapi…
Tapi, Sei-chan sudah menjadi milikku, dan aku tidak ingin menyerahkannya pada siapa pun, baik itu pria maupun wanita.
“Ayo kita berangkat ke sekolah sekarang.”
Aku mengatakan itu dan turun dari sepeda, mulai berjalan sambil mendorongnya.
Sei-chan berjalan di sebelah kiriku, dan Rie berjalan di sebelah kirinya.
Rasanya seperti Sei-chan terjepit di antara kami, kakak beradik.
Aku dan Sei-chan tidak pergi ke sekolah bersama setiap hari.
Karena jika kami berangkat sekolah bersama setiap hari, orang-orang mungkin akan mengetahui bahwa kami pacaran.
Jadi, kami berangkat bersama setiap dua kali seminggu, dan Senin adalah hari pasti bagi kami untuk pergi ke sekolah bareng.
Hari lainnya adalah kapan pun Sei-chan berada di tempat ketemuan.
Dengan begitu, aku akan termotivasi untuk pergi ke sekolah setiap harinya, selalu berangkat sambil berpikir “Apakah Sei-chan akan menungguku di sana?”
Tapi yah, hari ini adalah hari Senin, jadi sudah pasti dia akan ada di sana.
Itulah sebabnya aku tidak akan lagi menghabiskan akhir pekanku dengan berpikir, “Senin, tolong jangan datang.”
Itulah betapa besarnya aku menantikan untuk pergi ke sekolah bersama Sei-chan.
“Sei-chan, apakah kamu sudah mengerjakan PR matematika-mu?”
“Maksudmu tugas akhir pekan? Tentu saja sudah.”
“Seperti yang diharapkan dari Sei-chan.”
“Dari caramu bicara, apakah itu artinya Hisamura belum mengerjakannya?”
“Tidak, kurang lebih sudah kukerjakan kok. Meski aku hanya mengisi jawaban untuk pertanyaannya saja, sih.”
“Kalau begitu, itu tidak ada gunanya, kan?”
“Itu lebih baik daripada tidak mengerjakannya sama sekali, kan? Lagipula, Yuuichi pasti tidak akan mengerjakannya sejak awal.”
“Apa gunanya membandingkan dirimu dengan yang terendah di kelas?”
“Kamu bahkan mengucapkannya lebih kasar dari yang aku kira.”
Sekolah kami, Akademi Toujouin, adalah salah satu sekolah papan atas di prefektur.
Mana mungkin sekolah yang didirikan oleh Toujoin Group tidak bisa menjadi sekolah papan atas, kan?
Namun, protagonis ‘Ojojama,’ Yuuichi Shigemoto, meskipun dia memiliki kemampuan atletis yang baik dan wajah yang tampan, namun dia cukup bodoh.
Dia berada di level di mana dia nyaris mendapatkan peringkat terakhir.
Kalau aku sih berada di tengah-tengah. Tidak baik maupun buruk.
Dan Sei-chan adalah salah satu siswi terbaik di angkatan kami.
Mengejutkannya, nilai Shiho Fujise tidak terlalu bagus meskipun dia adalah sahabat Sei-chan.
Dia setara denganku atau mungkin sedikit lebih rendah.
Dan kemudian ada Kaori Toujoin, yang belum pernah bergeser dari peringkat pertama sejak kelas satu.
Seperti yang diharapkan darinya, dia benar-benar sempurna dalam segala hal. Jauh lebih sulit menemukan sesuatu yang tidak dia kuasai.
Yah, itu juga berlaku pada Sei-chan sih.
“Apakah kamu sudah mengerjakan PR-mu, Rie?”
“Jangan mengolok-olokku, Onii-chan. Aku mengerjakannya dengan benar tanpa melihat jawaban seperti Onii-chan.”
“Sepertu yang diharapkan dari Rie. Kamu sungguh gadis yang baik.”
“Itu normal, kan? Iya kan, Sei-san?”
“Yah, begitulah. Aku tidak pernah mengerjakan PR-ku sambil melihat jawabannya.”
Sei-chan dan Rie keduanya luar biasa.
Ngomong-ngomong, Rie juga cukup pintar. Memang tidak sepintar Sei-chan, tapi dia mungkin salah satu yang terbaik di angkatannya.
Aku bangga pada adik dan pacarku.
…Aku juga harus belajar sedikit lebih giat.
Saat kami mengobrol tentang hal-hal itu, kami bertiga pun tiba di sekolah.
Karena ruang kelas satu dan dua berada di lantai yang berbeda, aku berpisah dengan Rie di pintu masuk sekolah.
Lalu aku dan Sei-chan masuk ke kelas yang sama.
“Pagi, Sei-chan.”
“Ah. Pagi, Shiho.”
Begitu kami memasuki kelas, aku dan Sei-chan biasanya berpisah. Sei-chan pergi ke tempat Fujise sementara aku pergi ke tempat Yuuichi, seperti biasa.
Memang aku merasa agak kesepian, tapi kalau kami tetap bersama di kelas, orang-orang akan tahu kalau kami pacaran.
Secara pribadi, aku tidak masalah jika hal itu terbongkar ke semua orang, tapi Sei-chan sepertinya akan merasa sangat malu kalau itu terjadi.
Tapi aku juga tidak ingin orang lain mengetahui sisi imut Sei-chan sih, jadi aku tidak akan menyebarkannya.
Ditambah lagi… rasa iri pria itu menakutkan.
“Pagi, Yuuichi.”
“Hm? Ah, Tsukasa! Pagi. Coba aku lihat PR-mu.”
“Apakah itu salam pertamamu?”
Dia adalah protagonis dari karya ‘Ojojama,’ Yuuichi Shigemoto.
Dia sepertinya masih mengantuk sampai aku tiba, mungkin karena itulah dia berbaring diam di mejanya, tapi saat dia melihatku, dia malah mengatakan itu.
“Sudah kuduga kamu belum mengerjakan PR-mu.”
“Fufu, kau pikir aku ini siapa? Ini aku, tahu?”
“Ya, aku tahu itu. Kalau begitu, kamu juga tahu, kan? Pernahkah aku memperlihatkan PR-ku secara cuma-cuma sebelumnya?”
“…Aku akan mentraktirmu makan siang.”
“Aku tidak butuh karena adikku yang imut sudah membuatkanku makan siang.”
“B-Bagaimana kalau sekaleng jus?”
“PR di akhir pekan cukup berat lho. Sekaleng jus saja tidak akan cukup.”
“Uuukh… B-Bagaimana kalau makanan manis dari minirmarket? Dua buah?”
“Hmm, kurasa lumayan.”
Aku mengeluarkan PR-ku dari tas dan menyerahkannya pada Yuuichi.
“Sialan, dia memerasku.”
“Ini tidak akan terjadi kalau kamu mengerjakan PR-mu dengan benar.”
Dua makanan manis minimarket, ya… mungkin aku akan membelinya bersama Sei-chan.
Sei-chan suka yang manis-manis, jadi aku yakin dia akan senang.
× × ×
Kelas pun dimulai seperti biasa, dan waktu berlalu begitu cepat—yah, tidak cepat juga sih—aku cukup kelelahan, tapi sekarang sudah waktunya makan siang.
Hari ini ada mata pelajaran yang paling tidak kusukai, matematika dan fisika, jadi rasanya lama sekali sampai istirahat makan siang.
Karena sekarang adalah istirahat makan siang, jadi seperti biasa, aku memindahkan meja dan kursi ke sudut kelas bersama Yuuichi, dan mengaturnya agar lima orang bisa duduk bersama.
“Terima kasih, Shigemoto-kun, Hisamura-kun.”
Setelah kami selesai memindahkan meja, Fujise dan Sei-chan tiba dengan membawa kotak bekal mereka.
“Tidak masalah kok.”
Sejak Senin lalu, tepatnya seminggu yang lalu, kami mulai makan siang bersama.
Alasan utamanya adalah…
“Yuuichi! Aku membuatkan bekal untukmu lagi hari ini!”
Seorang gadis cantik datang ke kelas kami sambil mengatakan itu. Dia dikenal sebagai Kaori Toujoin.
Dia adalah teman masa kecil dan naksir pada Yuuichi, dan dia adalah saingan Fujise.
Seminggu yang lalu, Toujoin-san menyatakan cintanya pada Yuuichi tepat di tengah-tengah kelas ini.
Untuk mengatasi hal tersebut, Fujise pun menyatakan cintanya di saat yang sama.
Sejak saat itu, kami berlima pun akhirnya berkumpul di meja yang sama saat makan siang.
Bagiku, ini adalah momen yang menyenangkan dalam banyak hal. Tapi Yuichi mungkin adalah orang yang paling merasakan surga dan neraka selama momen ini.
“Ini dia, Yuuichi. Ini bekalmu.”
“Ah, terima kasih, Kaori.”
“Hehe, santai saja, wajar kalau seorang istri membuatkan bekal untuk suaminya.”
“Tidak, Kaori, kita belum benar-benar menikah, lho?”
“Ahh, benar. Kita ‘belum’ menikah.”
“Muuu…”
Hal pertama yang terjadi saat Yuuichi menerima bekal buatan Toujoin-san adalah, dia dihujani oleh segala macam tatapan.
Pertama, ada tatapan dari Fujise yang berada tepat di sebelahnya. Dia melotot dengan pipi menggembung, tapi yah, itu tatapan cemburu yang menggemaskan.
Namun, tatapan yang datang dari anak laki-laki di kelas terasa lebih dipenuhi niat membunuh daripada rasa iri.
Karena kami sudah melakukan ini sejak Senin lalu, kupikir orang-orang di sekitar kami sudah terbiasa sekarang. Tapi kurasa tidak begitu karena mereka masih memberikan tatapan membunuh.
Yah, Toujoin-san langsung menyadarinya dan melihat sekeliling kelas dengan senyum menakutkan.
“Ya ampun, ada masalah apa?”
“Tidak! Tidak ada apa-apa kok!”
Salah satu dari mereka menjawab, sementara yang lain mengangguk kuat sebagai jawaban.
Reaksi mereka mungkin hal yang wajar karena ditandai oleh Toujoin-san itu akan sangat menyeramkan.
“Hisamura-kun, apakah kamu baru saja memikirkan sesuatu yang tidak sopan tentangku?”
“Tidak, tidak sama sekali kok.”
“Baguslah kalau begitu.”
Apakah dia memiliki kemampuan membaca pikiran atau semacamnya…?
Aku sangat terkejut, memikirkan bahwa putri satu-satunya dari Toujoin Group telah dididik untuk dapat melakukan hal seperti itu juga.
Ngomong-ngomong, sejak Senin lalu, Yuuichi sudah makan bekal buatan Toujoin-san setiap hari.
Yuuichi juga membawa bekal makan siangnya sendiri, jadi pada dasarnya dia makan dua bekal untuk makan siang. Tapi karena dia memliki kehebatan tukang makan profesional, mungkin itu bukanlah masalah baginya.
“Sudah kuduga jika aku ingin menjadi istri Yuuichi, aku setidaknya harus bisa memasak.”
“Y-Yah, alangkah bagusnya jika kamu bisa memasak…”
“Hehe, itu benar.”
Toujoin-san tersenyum penuh kemenangan dan melihat ke arah Fujise daripada Yuuichi.
“Jika kamu bahkan tidak bisa membuat makan siang sendiri, bagaimana caramu bisa menjadi istri Yuuichi?”
“Uuu…! S-Shigemoto-kun, tunggu aku, ya! Aku pasti akan menunjukkan padamu kalau aku bisa memasak!”
“Uh, baiklah, jangan terlalu memaksakan diri, oke…?”
“Oke, aku akan melakukan yang terbaik!”
Fujise tampak senang disemangati oleh Yuuichi tapi pria itu sendiri memasang senyum yang sangat tegang.
Yuuichi memang belum mencicipi masakan Fujise, tapi sepertinya ketidakmampuan Fujise dalam memasak sudah diketahui semua orang.
Lagian, Fujise telah membuat banyak kekacauan saat kelas praktik memasak di SMA…
“Haa~. Sepertinya aku harus berusaha keras lagi.”
Sei-chan, yang sedang makan siang di sampingku, menghela nafas dan mengatakan itu dengan suara yang hanya bisa didengar olehku.
Aku juga berbicara pelan pada Sei-chan agar tiga orang di depanku tidak bisa mendengar.
“Apakah kamu sudah berlatih memasak bersama Fujise sejak minggu lalu?”
“Hanya sekali selama akhir pekan. Adapun hasilnya… anggap saja aku melakukan yang terbaik untuk mencegah Shiho membuatkan bekal untuk Shigemoto hari ini.”
“Sepertinya tidak ada perkembangan sama sekali, ya.”
Ya, itu bukanlah hal yang bisa diperbaiki hanya dalam sehari.
“Aku akan ikut membantu lain kali, oke?”
“Ya, kedengarannya bagus. Aku akan senang jika Hisamura dapat membantuku sebagai Tum–Pencicip makanan.”
“Ehh, tunggu dulu. Apakah barusan kamu mau bilang tumbal?”
“Kurasa kamu salah dengar.”
Tidak, mana mungkin aku salah dengar.
Mungkinkah aku akan dipanggil sebagai penguji rasa masakan Fujise?
Jika begitu, aku jelas tidak mau. Meskipun ini dunia manga, aku tidak memiliki kepercayaan diri dapat bertahan hidup setelah memakan masakannya.
“Sei-chan, apakah kamu pernah mencoba masakan Fujise?”
“…Hanya satu gigitan.”
“…Bagaimana rasanya?”
“Yang menakutkan adalah… aku tidak ingat apa-apa. Ingatanku hilang tepat setelah aku memakannya, dan ketika aku tersadar, aku sedang berbaring di tempat tidur sambil dirawat oleh Shiho.”
“Itu bisa dibilang racun.”
Itu pastinya adalah reaksi setelah menelan racun, dan itu racun yang mematikan. Sungguh ajaib dia tidak sampai mati.
Apakah kemampuan merawat Fujise begitu luar biasa?
Tidak, daripada merawat, yang lebih mengesankan adalah Fujise memiliki kekuatan alkimia yang mampu membuat sesuatu yang sangat beracun meskipun dia tidak memasukkan racun apa pun ke dalamnya.
“Maaf, Sei-chan. Aku bilang aku akan membantumu, tapi… bolehkah aku mundur?”
“Tidak boleh. Karena aku memerlukanmu sebagai tumbal.”
“Kamu bahkan tidak berusaha menyembunyikannya lagi, ya? Kamu menyebutku sebagai tumbal begitu saja.”
“Siapapun yang mendengar ceritaku yang tiba-tiba pingsan pasti sadar kalau penguji rasa adalah tumbal, kan?”
“Benar juga, sih.”
Siapapun yang mendengar ceritanya pasti tahu bahwa penguji rasa akan menjadi tumbal.
“Kami berencana akan melakukannya lagi di rumahku kali ini.”
“Eh…? Di rumah Sei-chan?”
Aku tidak mengira kalau latihannya akan di rumah Sei-chan.
Tapi kalau dipikir-pikir, itu masuk akal. Karena Sei-chan yang mengajarinya memasak, akan lebih efisien jika melakukannya di tempat yang familiar.
“Jadi, maukah kamu ikut?”
“Aku akan ikut.”
“B-Benarkah? Menilai dari reaksimu barusan, kupikir kamu akan menolak.”
“Yah, aku memang ingin menolak, tapi aku tidak bisa menolak ketika Sei-chan yang memintaku.”
“Uu… B-Begitu ya. Mohon bantuannya.”
Sei-chan terlihat sedikit malu dan memalingkan muka seolah menghindari tatapanku.
Kurasa aku sebaiknya tidak memberitahukan Sei-chan kalau telinganya memerah.
“Hei, Shimada-san, Hisamura-kun.”
Toujoin-san tiba-tiba memanggil kami, membuat aku dan Sei-chan sama-sama terkejut.
“AH! A-Ada apa, Toujoin-san?”
“Kalian berdua terus mengobrol dan bermesraan sejak tadi. Jadi aku penasaran apa yang sedang kalian bicarakan?”
“APA?! M-Mesra-mesraan dari mana?! Kami hanya mengobrol biasa!”
“Ara, begitu ya. Kupikir kalian sedang bermesraan layaknya sepasang kekasih.”
“M-Mana ada!”
Sei-chan menyangkalnya dengan keras hingga suaranya bergema di dalam kelas.
Rombongan kami selalu menjadi pusat perhatian di kelas, namun kini semakin banyak tatapan yang tertuju pada kami.
Biasanya, tatapan itu akan tertuju pada Yuuichi, Toujoin-san, dan Fujise, tapi kali ini, tatapan itu tertuju padaku dan Sei-chan.
Terutama tatapan para pria yang tertuju padaku…
“Oi, apakah dia pengkhianat seperti Shigemoto…?”
“Tapi, Shimada-san bilang mereka tidak pacaran, kan?”
“Tenanglah kalian semua. Fakta bahwa Shimada-san mengobrol begitu ramah dengannya sudah memastikan bahwa dia pengkhianat, kan?”
“Ya, kamu benar. Oke, ayo masukkan dia ke daftar hitam.”
Tahan dulu. Aku baru saja mendengar percakapan yang sangat menakutkan.
Apa maksudnya dengan daftar hitam? Apakah mereka akan membunuhku?
Mungkin, atau lebih tepatnya, pasti ada nama Yuuichi di sana.
Tolong jangan tulis namaku di tempat yang mengerikan itu.
Tidak, karena aku benar-benar pacaran dengan Sei-chan, aku pantas berada di daftar itu lebih dari Yuuichi, tapi tolong jangan lakukan itu.
“Heee, begitu ya. Kalian tidak bermesraan, ya?”
“A-Apa-apaan cara bicaramu itu…”
“Fufu, tidak. Bukan apa-apa kok.”
Toujoin-san menyeringai saat dia mengatakan sesuatu dengan maksud tertentu.
Sei-chan memelototinya seolah ingin mengatakan sesuatu sebagai respon terhadap senyumannya itu.
Kalau dipikir-pikir, apakah Toujoin-san tahu kalau kami pacaran?
Aku tidak memberitahunya, dan Sei-chan juga tidak terlalu dekat dengan Toujoin-san untuk memberitahukan hal itu.
Tapi kalau dilihat dari reaksinya barusan, sepertinya dia sudah bisa menebaknya.
“Ah, ngomong-ngomong, minggu ini ada pertandingan bola, kan?”
Saat Toujoin-san dan Sei-chan saling melotot, Fujise mengatakan itu untuk mengubah topik pembicaraan.
“Oh iya, benar,” kata Yuuichi sambil memakan bekalnya.
Meski menyaksikan Toujoin-san dan Sei-chan bertengkar kecil, Yuuichi tampaknya sama sekali tidak peduli.
Orang ini juga tidak peka dalam hal-hal seperti itu, dan aku iri padanya akan hal itu.
Seperti yang dikatakan Fujise, minggu ini akan ada pertandingan bola antar kelas.
Sudah hampir sebulan sejak kami naik kelas dua, dan mungkin untuk membina hubungan yang lebih baik di dalam kelas, sekolah mengadakan acara seperti ini.
“Anak laki-laki akan tanding bisbol, kan?”
“Ya, dan para gadis itu akan main basket, kan?”
“Ya, itu benar.”
“Padahal aku harap kami saja yang main basket.”
Mengingat Yuuichi adalah pemain andalan tim basket, jadi jika itu basket, dia tidak akan terkalahkan, dan anak laki-laki di kelas kami pasti akan menang.
“Shigemoto-kun, apakah kamu tidak bisa main bisbol?”
“Yah, aku hanya bisa melakukannya pada level rata-rata.”
“Apa maksudmu ‘rata-rata,’ Yuichi? Selama pelajaran penjas saat SMP, kamu memukul dua home run berturut-turut dari salah satu pitcher terbaik di prefektur.”
“Eh? Luar biasa!”
“Ah, ya, kurasa itu memang pernah terjadi. Tapi tunggu, bagaimana kamu bisa tahu, Kaori? Kelas penjas untuk laki-laki dan perempuan diadakan terpisah, kan?”
“Hanya Yuuichi saja yang tidak tahu, tapi itu menjadi topik yang cukup hangat di sekolah, lho… Aku bahkan punya rekaman saat itu.”
“Aku tidak tahu kalau itu menjadi topik hangat… Hmm? Tunggu, apa yang kamu katakan barusan tadi?”
“Bukan apa-apa, kok.”
Tidak mungkin itu bukan apa-apa, tidak setelah apa yang baru saja dia sebutkan.
Kenapa bisa ada rekaman Yuuichi saat mengikuti pelajaran penjas di SMP?
Aku terlalu takut untuk bertanya.
“Yah, itu berarti laki-laki bisa memenangkan turnamen bisbol karena mereka punya Shigemoto-kun.”
“Lalu bagaimana dengan perempuan? Sepertinya tidak ada perempuan dari ekskul basket di kelas kita…”
“Kelas kita punya Sei-chan, jadi tenang saja.”
“Hm? Apakah Shimada punya pengalaman bermain basket?” tanya Yuuichi pada Sei-chan.
Sepertinya Yuuichi masih belum mengetahui soal kemampuan atletik Sei-chan.
“Tidak, aku hanya bermain basket saat pelajaran penjas.”
“Kalau begitu, apakah kamu pandai olahraga?”
“Kalau harus bilang sendiri, kurasa aku cukup pandai olahraga.”
“Sei-chan, bukankah kamu terlalu merendah? Kamu tidak pernah kalah dalam pertandingan satu lawan satu melawan pemain andalan tim basket di SMP, kan?”
“Eh? Kamu sekuat itu!?”
Yuuchi meninggikan suaranya dengan mata terbelalak.
“Itu mungkin pernah terjadi sebelumnya. Shiho memiliki ingatan yang bagus.”
“Fufu, itu karena Sei-chan terlihat sangat keren saat itu.”
“B-Begitu, ya…”
Sei-chan menjadi sedikit malu setelah dipuji langsung oleh Fujise. Itu menggemaskan sekali.
Benar juga, apakah saat pertandingan bola dimulai nanti berarti aku akan dapat melihat sisi keren dari Sei-chan?
Itu akan menjadi acara terbaik.
“Ara, Shimada-san, kamu pandai olahraga juga, ya? Aku juga cukup hebat dalam olahraga, lho,” kata Toujoin-san sambil tersenyum.
Kalau dipikir-pikir, bahkan dalam cerita aslinya, Toujoin-san memang digambarkan mahir dalam bidang akademis dan olahraga.
Dia secara konsisten menempati peringkat pertama di setiap ujian, jadi dia tidak diragukan lagi pandai belajar, tapi bagaimana dengan olahraga?
Kurasa tidak banyak adegan dia mengikuti olahraga dalam cerita aslinya.
“Oh, jadi, apakah kamu juga jago main basket, Toujoin?”
“Ya, aku juga pernah bertanding satu lawan satu melawan anggota tim basket sebelumnya saat SMP, dan aku tidak pernah kalah.”
Itu mengesankan. Semua orang, termasuk Yuuichi dan Sei-chan, berbicara seolah-olah menang melawan anggota ekskul tersebut adalah hal yang wajar. Pada kenyataannya, mengalahkan pemain berpengalaman bukanlah hal yang umum.
Terutama dalam basket satu lawan satu di mana kesenjangan keterampilan antara pemain berpengalaman dan tidak berpengalaman bisa sangat terlihat.
“Begitu, ya. Ngomong-ngomong, bukankah Toujoin satu-satunya yang bukan dari kelas ini?”
“Ya, betul.”
Toujoin-san hanya datang ke kelas ini saat istirahat makan siang, jadi dia berada di kelas yang berbeda dari kami.
Karena pertandingan bola adalah kompetisi antar kelas, dengan kata lain Toujoin-san akan menjadi tim lawan.
“Aku menantikan pertandingan bolanya.”
“Ya, kedengarannya menarik. Aku menantikan hari dimana aku bisa mematahkan hidung seorang nona muda.”
“Fufu, aku tidak pernah kalah sekali pun seumur hidupku. dan itu tidak akan berubah bahkan setelah pertandingan bola ini.”
“Entahlah, kita tidak akan tahu sampai kita mencobanya.”
…Tunggu, ada apa dengan perkembangan yang panas ini?
Aku tidak pernah menyangka topik pertandingan bola akan membuat keduanya bentrok begitu sengit.
Bahkan Fujise yang mengangkat topik tersebut pun tampaknya juga terkejut namun tersenyum kegirangan.
“Fufu, aku menantikannya, Shigemoto-kun.”
“Iya, kuharap kelas kita bisa menang, baik yang putra maupun putri.”
“Yuuichi, yang laki-laki mungkin punya kesempatan, tapi tidak untuk yang perempuan. Karena kelasku-lah yang akan menang.”
“Kamu sangat percaya diri. Tapi yah, menurutku itu tidak mungkin.”
“Fufu, kita lihat saja nanti.”
…Tunggu, ‘Ojojoma’ seharusnya bukan manga olahraga, kan?
Ini hanya manga komedi romantis biasa, kan?
Sepertinya, banyak percikan api beterbangan di antara tatapan Sei-chan dan Toujoin-san sekarang.
Meski begitu, aku sangat menantikannya, karena aku akan bisa melihat sisi keren Sei-chan.