Chapter 16: Teman Sekelas
Touka memberiku senyum paling menawan. Melihatnya membuatku sedikit sedih —Aku tidak pernah menyangka dia sebegitunya akan membenci gagasan untuk melanjutkan hubungan palsu ini.
“Oh, yeah! Senpai, apakah kamu sudah makan siang?” Touka bertanya, memotong jalan pikiranku.
“Belum.”
Dia memintku untuk datang ke sini secepat mungkin, jadi aku tidak punya kesempatan untuk makan apa pun. Jujur saja, aku sebenarnya hanya berencana untuk membeli sesuatu dari toserba.
Touka menghela nafas lega dan meletakkan tangannya di dadanya.
“Bagus. Aku tidak mengatakan apa-apa tentang makan bersama ketika aku mengirimkan pesan padamu, jadi aku tidak yakin apakah mungkin bagi kita untuk makan bersama hari ini.”
Dia mengambil semacam paket yang dibungkus dari tasnya dan menyerahkannya padaku.
“Apa ini?”
“Bento. Ngomong-ngomong, aku yang membuatnya.”
“…Tunggu, benarkah? Kenapa?”
Terlepas dari semua hal yang bisa dia berikan padaku, aku jelas tidak memperkirakan makan siang buatan tangan menjadi salah satunya.
“Ya, sungguh. Setelah semua masalah yang aku sebabkan padamu kemarin, kupikir aku harus membuat ini sebagai permintaan maaf. Bukankah aku akan menjadi sosok istri terbaik? Bagaimana menurutmu, huh? Maksudku, seorang gadis membuatkanmu bento. Senang, bukan?”
“Ya. Maksudku, aku tidak benar-benar mengerti seluruh perkataan ‘sosok istri’ itu sedikit pun, tapi aku jelas senang tentang hal itu.”
Touka terkejut dengan tanggapanku.
“Y-yah bagus! Kamu sangat beruntung, Senpai! Kamu berhasil membuat seorang gadis imut untuk membuatkanmu bento untukmu sendiri! Aku yakin aku tidak akan dapat menemukan orang lain di seluruh planet ini yang lebih beruntung daripada kamu!” dia tergagap cepat, pipinya memerah.
“Ya, benar. Terima kasih.”
Dia semakin memerah, dan raut wajahnya berubah dengan cepat dari merah muda menjadi merah tua. Dia mungkin tidak terbiasa denganku yang begitu terang-terangan, jadi tidak heran dia begitu terkejut.
“Hmph! Baiklah, aku akan kembali ke kelas! Sebenarnya aku ingin tetap tinggal sehingga kita bisa saling suap makan siang yang kubuat, aku belum bisa melakukannya. Sayang sekali, huh?!”
Dia mengambil tasnya dan berlari menuju pintu.
“Tentu, Touka. Semoga beruntung dengan studimu.”
Dia berhenti tepat di depan pintu dan berbalik.
“Dan kamu lakukanlah yang terbaik dengan mengatur sisa acara, Senpai!”
Dia melambaikan tangannya ke arahku dengan senyum lebar, lalu meninggalkan atap.
Setelah dia pergi, aku mencari tempat yang bagus untuk duduk dan memakan bento. Aku duduk di tempat yang nyaman, membuka tutupnya, dan memeriksa isinya. Ada berbagai makanan berwarna-warni yang dikemas di dalam yang menarik perhatian. Sangat cantik. Ya ampun, lihat saja semua ini… mungkin Touka tidak melenceng dengan komentarnya akan “sosok istri”.
Pilihan pertamaku adalah karaage—ayam goreng yang ia buat. Aku mengambil sumpitku dan mengambilnya.
“Hmm… enak.”
☆
Aku menyelesaikan bento Touka dan berkeliaran di atap untuk sementara waktu. Aku hanya perlu menghabiskan waktu sampai jam 1 siang; saat itulah aku dapat pergi ke gedung olahraga dan membantu mempersiapkan acara tersebut.
Begitu saatnya tiba, aku menuju ke gedung olahraga. Ada orang-orang dari semua jenis klub olahraga yang sibuk dan membantu merapikan tempat itu. Ada seorang pria di depan panggung yang memberikan perintah kepada orang lain. Dia mungkin ketua dari klub bola voli yang Ike katakan padaku untuk diajak bicara.
Tapi aku tidak tahu mengapa aku perlu berada di sini—orang-orang ini tampaknya baik-baik saja tanpaku. Yah, lagian aku sudah di sini, jadi aku mungkin juga akan membantu. Aku menuju ke arah pria klub bola voli itu.
“Ike memintaku untuk membantu, jadi karena itulah aku disini. Jika ada yang perlu aku bantu, bilang saja.”
Pria itu sibuk melihat kertas tata letak ruangan, jadi dia menjawab tanpa melihatku.
“Hm? Oh, bagus, jadi kau juga datang untuk membantu. Yah, memang ada orang yang sedang mengeluarkan kursi dan meja dari basement, tapi sepertinya mereka membutuhkan bantuan lain. Bagaimana kalau kau membantu mereka? Ada pria lain dari klub bola voli di sana yang akan memberi tahumu apa yang harus dilakukan.”
“Tentu.”
Begitu aku menjawab, dia akhirnya mengangkat kepalanya dan menatapku. Dia akan menjawab, tapi saat mata kami bertemu…
“Oke, terim- Agh! T-Tomoki… kun? Uh, err, well, basementnya, um…”
Dia mulai gagap seperti orang gila, jelas gugup.
“Apa?”
“T-Tidak Ada. Lakukanlah yang terbaik, ahaha…”
“Oooke.”
Aku menuju basement. Sudah cukup jelas mengapa dia begitu gugup setelah melihatku— ingat bagaimana wajahku yang sangat menakutkan kan? Ya, seperti itulah. Aku akan meminta maaf terlebih dulu untuk jiwa-jiwa malang yang akan aku bantu di basement. Aku rasa lebih baik bekerja di bawah sana dengan hanya beberapa orang daripada membuat semua orang di gedung olahraga ketakutan dan menderita. Itu adalah pengorbanan kecil untuk kebaikan yang lebih besar.
Jadi, aku pergi menuju basement. Asakura Yoshito ada di sana. Dia orang dari klub bola voli, dan kurasa dia orang yang dikatakan kapten kepadaku sebelumnya. Sepertinya dia sendirian… Apa mereka bertindak seolah dia bisa membawa semua kursi dan meja sendirian? Tidak heran pria itu berkata dia membutuhkan bantuan.
“Kaptenmu menyuruhku datang dan membantu, jadi bilang saja padakau apa yang harus kulakukan.”
Dia terus bekerja dan berbicara tanpa menghadapku.
“Oh benarkah?! Bagus, selalu bagus untuk memiliki bantuan ekstra! Kalau begitu, bisakah kau membantuku membawa kursi pipa ini ke gedung olahraga?”
Dia akhirnya berbalik dan menatapku.
“Whoa! To-Tomoki-kun?!”
“Oh, jadi kursi ini, kan? Aku mengerti.”
Aku merasa sangat bersalah pada Asakura sekarang—wajahku sudah cukup menakutkan, tapi pencahayaan yang buruk dan suasana basement yang gelap membuat segalanya menjadi lebih buruk. Aku minta maaf, bung. Sungguh.
Aku hanya akan diam sekarang, karena aku tidak ingin dia salah paham denganku dan menjadi lebih ketakutan. Aku akan mengabaikannya dan mulai bekerja. Aku yakin dia akan takut pada awalnya, tapi mudah-mudahan, dia mengerti bahwa aku hanya berada di sini untuk bekerja, dan tidak ada yang lain. Aku tidak punya niat buruk atau semacamnya.
Dia juga tidak mengatakan apa pun lagi; dia juga terus bekerja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jujur saja, aku beruntung. Aku mulai bekerja di sini tanpa khawatir menakut-nakuti orang lain, dan orang ini tampaknya mentolerir kehadiranku.
Bagus, kapten tim bola voli—kau melakukan pekerjaan dengan baik dalam memilihkan tugas untukku. Kuacungi Jempol.
“Sial, Tomoki-kun, kau benar-benar menganggap ini serius.”
Sebuah suara berbicara dari belakangku. Aku tahu pasti bahwa itu bukanlah suara Asakura, jadi aku menoleh untuk melihat siapa itu. Lihatlah, itu Tanaka-senpai… dan Suzuki juga ada di sini.
“Oh, kalian berdua rupanya. Apa yang terjadi dengan kuliah yang seharusnya kalian berikan pada siswa kelas satu?”
“Yah, Tanaka-senpai dan aku hanya sedang istirahat, tahu?” Suzuki membalas.
Lalu mengapa mereka ada di sini? Mungkin mereka seharusnya, beristirahat daripada datang jauh-jauh kemari.
“Yup. Itu sebabnya kami memutuskan untuk datang ke sini saat istirahat dan menyapamu karena kau telah banyak membantu,” kata Tanaka dengan senyum di wajahnya.
“Kau ingin datang menyapaku?”
“Yeah. Kurasa Ike-kun juga ingin ikut, tapi dia tidak punya waktu. Itulah sebabnya aku dan Tanaka-senpai datang ke sini, karena kami punya waktu luang.”
“Yah, aku sebenarnya tidak punya waktu luang, tapi yeah…” sela Tanaka-senpai. Dia masih tersenyum, tapi dia juga terlihat sedikit kesulitan. Dia melanjutkan, “Yah, bagaimanapun juga, berkatmu dan Asakura-kun, semuanya berjalan cukup cepat di gedung olahraga, jadi terima kasih.”
Asakura sedikit tersentak saat namanya disebut, dan dia berkata singkat, “Te-Tentu.”
“Aku hanya membantu karena aku punya waktu luang. Tidak perlu berterima kasih padaku atau sesuatu yang seperti itu.”
Tanaka-senpai dan Suzuki menjawab sambil tersenyum.
“Sebenarnya, Ike mengatakan hal serupa—bahwa kami tidak perlu berterima kasih karena kau akan menolaknya.”
“Jujur saja, itu sangat lucu bahwa kau bertindak persis seperti yang dia katakan.”
Aku mencoba menyembunyikan betapa malunya aku, jadi aku terus bekerja tanpa suara dengan kepala tertunduk. Aku rasa alasanku diam cukup jelas, karena mereka mulai menyeringai setelah melihatku sebentar.
“Tidak baik mengganggu orang lain saat mereka sibuk bekerja, Tanaka-senpai,” kata Suzuki bercanda.
“Benar. Kami hanya datang untuk memeriksa berbagai hal. Karena sekarang kami tahu bahwa semuanya berjalan sesuai rencana, kurasa kami harus kembali.”
Dia menuju pintu keluar, dan Suzuki segera mengikutinya.
Aku melihat mereka saat mereka pergi. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada mereka sebelum mereka pergi, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Tapi sebelum mereka pergi, Tanaka-senpai tiba-tiba berbalik.
“Oh, benar,” katanya, “Jika kau punya waktu nanti, mari kita mengobrol, oke?”
“Sampai jumpa, teman-teman!” Kata Suzuki dengan lambaian tangan.
Sejujurnya, nanti, aku memiliki beberapa “urusan” yang perlu akus elesaikan dengan Kai, jadi aku tidak tahu apakah aku akan dapat mengobrol dengan Tanaka-senpai.
Namun, aku senang mereka peduli padaku—maksudku, mereka menggunakan waktu istirahat kecil mereka untuk datang memeriksa dan melihat keadaanku. Tidak termasuk Ike dan Makiri-sensei, keduanya adalah orang pertama yang benar-benar melakukan hal seperti itu untukku. Sejujurnya itu membuatku sangat bahagia. Yah, bagaimana lagi aku bisa bilang? Aku rasa aku senang bahwa lebih banyak orang mulai mengabaikan tampangku yang menakutkan.
Aku mengangguk ke Suzuki, dan mereka akhirnya pergi.
“…Hei, Tomoki-kun.”
Asakura mematahkan jalan pikiranku.
“Hm? Apa?”
Dia berpikir sejenak dalam memilih kata-katanya sebelum berbicara.
“Um, Ike memberitahuku bahwa kau tidak dipaksa untuk membantu ini atau semacamnya, dan kau sebenarnya telah membantu OSIS untuk sementara waktu sekarang. Kalau tidak salah, dia juga mengatakan sesuatu tentangmu yang banyak membantu untuk acara hari ini?”
“Yah, ya, kurang lebih begitu.”
“Jadi, eh, jangan salah paham atau apa, tapi aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Tergantung pertanyaannya, tapi silakan.”
Dia menegang pada kata-kataku, tapi lanjut bicara setelah beberapa saat ragu-ragu.
“Jadi, apakah kau benar-benar kriminal seperti yang dikatakan semua orang, atau…?”
“…Tidak juga, tidak.”
Dia menghela nafas lega, mungkin karena aku tidak marah seperti yang dia perkirakan.
“Oke, jadi begitu. Aku selalu menganggapmu kriminal atau semacamnya… Tapi setelah mendengar orang-orang dari OSIS berbicara tentang bagaimana kau selalu membantu dan hal-hal semacam itu, dan melihatmu membantu di sini, itu membuatku berpikir bahwa kurasa kami hanya panik pada sesuatu yang tidak benar.”
“Jadi kau tidak takut padaku?”
“Sebenarnya sangat takut. Bung, kau bisa menjadi bintang film horor apa pun.”
“Eh… tidak bisa bilang kalau aku terkejut.”
“Ma-Maaf tentang itu. Apakah aku membuatmu marah?”
“Tidak juga.”
Sejujurnya, aku tidak terlalu terkejut dengan tanggapannya.
“Jadi, ummm… bahkan dengan wajah menyeramkan dan semua itu, setidaknya sekarang, aku mengerti bahwa kau bukan orang jahat atau semacamnya… Yah, um, yang ingin aku katakan adalah, kurasa aku tidak perlu terlalu takut, kan?”
Setidaknya dia mencoba untuk melunakkan perkataan itu.
“Kau orang yang baik, Asakura.”
“Tidak. Aku tidak akan pernah bisa membantu OSIS, karena aku bukan bagian dari itu. Tunggu, jadi… apa kau anggota OSIS?”
Dia memiringkan kepalanya dalam kebingungan. Aku akan memberitahunya bahwa aku bukan anggota OSIS, tapi dia memotongku sebelum aku bisa menjawab.
“Hei, Tomoki-kun—aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”
Aku mengangguk agar dia tahu dia bisa melanjutkan.
“Apakah kau benar-benar pacaran dengan adik Ike?”
“…Ya.”
Dia bertanya padaku dengan sangat serius sehingga aku sedikit terkejut. Perlu beberapa detik sebelum aku dapat menenangkan diri untuk mengangguk. Meskipun kami bukan pasangan sungguhan, masih sangat memalukan untuk mengkonfirmasi itu.
“Ck. Aaaah, bung! Jadi itu benar? Brengsek! Kau tahu, aku akan sangat membantu OSIS jika ada gadis super imut seperti dia di sana! Ya ampuuun, aku sangat iri padamu! Aku juga ingin mendapatkan pacar yang super seksi! Misal saja, bayangkan jika dia mengajakku makan siang bersama! ‘Asakura-senpai, ayo kita makan siang ♡!’ Aaah, man!”
Sial, sekarang dia berapi-api.
“Jadi kutebak kau tidak punya pacar?”
“Tentu saja tidak punya!”
Dia terlihat tertekan sekarang. Ya ampun.
“Benarkah? Kau terlihat seperti tipe pria yang memiliki banyak gadis di sekelilingnya.”
“Tunggu, benarkah?” tanyanya, penuh harapan namun bingung.
“Ya. Maksudku, kau punya keberanian, dan kau tampak sangat ramah dan ceria. Ditambah, kau jago olahraga, jadi…”
Aku sebenarnya mengatakan sesuatu tentang dia “punya keberanian” karena dia bisa berbicara denganku.
“Ka-Kau pria yang baik, Tomoki-kun. Ini pertama kalinya ada orang yang mengatakan semua itu padakau,” katanya sambil membuang muka dan mengusap hidung karena malu.
“Itu juga tidak persis setiap hari aku dibilang bahwa aku pria yang baik. Ngomong-ngomong, panggil saja aku Tomoki.”
Dia menyentakkan kepalanya mundur, jelas terkejut. Oh… mungkin aku terlalu sok akrab di sini? Dia masih terlalu takut untuk bersikap akrab denganku, bukan?
Aku jelas mengacau. Ya ampun…
“Oh, benar, Tomoki—aku tahu sekarang sudah agak terlambat karena sudah mulai satu bulan, tapi karena kita sekelas, kuharap kita bisa akrab!” serunya dengan senyum ceria dan tangan terulur ke arahku.
Aku tiba-tiba teringat apa yang Makiri-sensei katakan padaku beberapa waktu yang lalu: bahwa ada banyak orang yang memperhatikanku, meski aku tidak menyadarinya. Dan sebelum aku menyadarinya, aku tersenyum. Aku senang tentang ini. Maksudku, bagaimana mungkin aku tidak senang? Tapi aku tidak ingin dia melihatku seperti ini. Seringai menyeramkan terpampang di wajahku adalah hal terakhir yang kuperlukan saat ini—itu hanya akan membuatnya terkencing di celana dan merusak seluruh momen ini.
Aku mencoba untuk menekan kebahagiaanku dan senyumku sebisa mungkin saat aku meraih tangannya. Kami berjabat tangan, dan akhirnya aku menjawab, “Tentu, bung. Aku juga berharap kita bisa akrab.”
☆
Kami membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk menyiapkan acara. Kurang lebih semuanya sudah siap. Sebagian besar orang yang bekerja di gedung olahraga sekarang menuju ke gedung lain untuk mengambil makanan yang dibuat oleh klub memasak. Orang-orang dari klub musik, yang bersembunyi di balik tirai di atas panggung, memeriksa instrumen mereka untuk terakhir kalinya. Setelah selesai, para siswa kelas satu mulai ramai memasuki gedung olahraga. Aku melihat Haruma mengikuti di belakang mereka.
Pesta akhirnya dimulai.
Dan untukku, aku berada di lantai dua menyaksikan semua acara dari balkon. Dengan cara ini, tidak ada orang yang akan memperhatikanku. Asakura merasa tidak enak meninggalkanku sendirian, tapi akan sangat kasar jika aku bersikeras untuk tetap bersamanya. Dia mungkin sedang berkumpul dengan teman-teman klub bola volinya sekarang dan menikmati pesta yang dia bantu siapkan.
Aku melihat Ike naik ke atas panggung, dan semua orang langsung menutup mulut dan menatap ke arahnya. Ya ampun, Ike terlahir untuk menarik perhatian orang—mereka semua fokus padanya seperti mereka dipaksa untuk melakukannya.
“Hadirin sekalian, kerja bagus hari ini! Jadi, para murid baru, bagaimana pertemuan studinya? Para senpai kalian telah bekerja keras untuk menyelenggarakan acara ini untuk kalian. Jika kalian pikir itu sepadan, itu sudah cukup sebagai hadiah untuk kami. Hanya itu yang ingin saya katakan. Tidak ada lagi formalitas—mari nikmati konser klub musik, makanan klub memasak, dan kebersamaan satu sama lain. Mengapa hanya berkumpul dengan teman sekelas? Jangan ragu untuk berbicara dengan orang-orang dari angkatan lainnya juga. Selama kita tidak menjadi terlalu gila-gilaan, pada dasarnya kita dapat melakukan apapun yang kita inginkan, jadi semoga beruntung!”
Dia bahkan tidak perlu menggunakan mikrofon untuk dapat didengar di seluruh ruangan. Dia punya paru-paru yang bagus. Semua orang memperhatikannya, bagaimanapun juga—ada sekelompok siswi baru yang benar-benar terpesona oleh Ike, dan banyak pria memandangnya dengan rasa hormat.
“Baiklah, teman-teman, mari kita bersenang-senang!”
Tepat pada waktunya, tirai di belakangnya terbuka dan menampakkan klub musik; Ike meninggalkan panggung. Mereka mulai bermain, dan seisi gedung olahraga diselimuti oleh alunan musik yang hidup. Segalanya mulai berjalan dengan cepat, dan segera terasa seperti pesta yang sebenarnya.
Sekarang semuanya sudah siap dan berjalan lancar, aku mungkin harus menuju ke atap. Aku tidak tahu apakah Kai sudah ada di sana menungguku atau belum, tapi aku tidak ingin tinggal di sini terlalu lama; Aku hanya akan merusak suasana ini. Tiba-tiba, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
“Kerja bagus hari ini, Tomoki-kun.”
Aku berbalik dan melihat Makiri-sensei.
“Kenapa Anda ada di sini?” tanyaku.
“Yah, aku masih diharuskan untuk mengawasi seluruh acara dan memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Itu aku dan semua guru ‘baru’ muda lainnya,” jawabnya sambil mengangkat bahu.
Aku kurang lebih tahu itu. Yang ingin aku ketahui adalah, dari semua orang, mengapa dia mendekatiku? Maksudku, aku berada jauh di atas sini, sejauh mungkin dari kegiatan ini.
“Ini, ini untukmu. Ambillah.”
Dia memperlihatkan sekaleng kopi hitam, ditujukan untukku.
“Untuk apa ini, lagi?”
“Ini hadiahmu untuk hari ini. Kau suka kopi, bukan? Aku ingat Ike-san membelikanmu ini saat terakhir kali aku berada di ruang percetakan.”
Aku sangat mengagumi dan menghargai perhatiannya yang mendetail. Dia sangat peduli dengan hal-hal kecil, seperti ini misalnya. Itu adalah sesuatu yang sangat aku hargai tentangnya. Aku mengambil kopi itu, dan dia membenturkan botol plastik tehnya ke kalengku sebagai tiruan bersulang .
“Terima kasih atas semua usaha yang telah kau lakukan untuk acara ini. Aku sangat berterima kasih, Tomoki-kun.”
“Tidak perlu berterima kasih padaku, sungguh… dan terima kasih untuk kopinya.”
Senyumannya membuatku malu dan memaksaku untuk berpaling darinya. Akulah yang seharusnya berterima kasih padanya, kan? Aku menyesap kopiku sebelum mengatakan sesuatu.
“Itu persis seperti yang Anda katakan, Sensei.”
“Apa maksudmu?” dia bertanya sambil meneguk tehnya.
“Bahwa ada orang-orang di sekitarku yang benar-benar memperhatikanku dan apa yang aku lakukan. Aku baru menyadarinya hari ini, jadi terima kasih.”
Dia terkejut pada awalnya, tapi dia dengan cepat mengganti ekspresi itu dengan senyuman.
“Tidak perlu berterima kasih padaku untuk itu. Kamu harus bangga pada dirimu sendiri.”
Aku sangat senang apa yang dikatakan Makiri-sensei menjadi kenyataan, bahwa orang-orang menyadari bahwa aku sebenarnya bukan preman. Tapi itu bukan hanya karena aku—aku tidak akan bisa melakukan ini sendirian; bukan dengan kesempatan yang kecil. Berkat keduanya itulah aku bisa melakukan apa saja. Dari awal, Ike adalah orang yang memberiku harapan pada orang lain, dan Makiri-sensei selalu mengawasiku, membuatku merasa cukup aman untuk benar-benar melakukan yang terbaik. Itulah sebabnya aku mengalami kesulitan untuk merasa bangga pada diriku sendiri—contohnya, apa yang telah aku lakukan hingga pantas mendapatkannya?
Bagaimanapun, itulah mengapa aku merasa berkewajiban untuk berterima kasih padanya. Sayangnya, kecanggunganku muncul lagi, dan aku tidak berhasil mengatakan apa yang sebenarnya ingin aku sampaikan padanya.
“…Oke,” aku berhasil bergumam, “Yah, aku punya beberapa hal yang harus aku urus, jadi permisi.”
Senyumannya, tatapan lembutnya… Aku ingin lari dari semua itu. Aku sudah cukup malu dengan pujiannya, dan kebaikannya tidak membantu. Ditambah lagi, aku merasa tidak enak karena aku tidak bisa berterima kasih padanya dengan benar, karena dia sangat menentangnya. Semua itu membuatku gelisah.
“Oke, sampai jumpa lagi,” katanya sementara aku mengalihkan pandanganku.
Aku menundukkan kepala sedikit untuk mengucapkan selamat tinggal dan langsung keluar dari gedung olahraga.
☆
Aku menuju ke gedung utama, di mana akses ke atap berada. Sudah hampir waktunya kami untuk bertemu—Aku yakin Kai sudah berada di sana menungguku, atau hampir tiba di sana.
“Yuuji!” seseorang memanggil dari belakangku.
“Hm?”
Aku sudah bisa menebak siapa orang itu, menilai dari suaranya, tapi aku berbalik untuk melihat siapa itu.
“Pestanya baru saja dimulai, bung. Kau mau pergi kemana?” Ike bertanya dengan senyum ramahnya yang biasa.
“Aku harus mengurus sesuatu, jadi aku akan pulang lebih awal.”
“…Kau terlalu menahan diri, bung. Kau harus mencoba untuk lebih santai dan bersenang-senang, tahu?” katanya sambil mendesah jengkel.
“Um, aku tidak menahan diri. Aku benar-benar perlu mengurus sesuatu.”
Aku akan benar-benar mematikan getaran pesta jika aku ikut bergabung, jadi aku ingin keluar dari sana secepatnya… bahkan jika itu berarti aku harus pergi ke atap untuk bertemu orang itu. Jelas, aku tidak bisa memberi tahu Ike tentang itu.
“Oh, benar—aku seharusnya berbicara dengan Tanaka-senpai dan Suzuki nanti, tapi ternyata aku tidak bisa melakukannya hari ini. Bisakah kau menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”
“Lakukan saja sendiri lain kali saat kau bertemu mereka,” balasnya. Dia terlihat sangat lelah… Sepertinya dia kesal denganku.
“Tentu, akan kulakukan. Dan, yah… Aku tidak bisa memberitahumu ini sebelumnya, tapi terima kasih. Aku senang telah melakukan ini.”
“Huh? Untuk apa kau berterima kasih padaku? Aku hanya meminta bantuanmu karena kami kekurangan orang, dan kau adalah orang pertama yang kupikirkan. Karena lagian kau adalah temanku, aku tahu kau akan menyelesaikan pekerjaan dengan benar.” katanya dengan tidak percaya, seolah-olah itu adalah hal yang paling jelas di dunia.
Aku tidak setuju, tapi aku senang dia sangat khawatir dan sangat peduli padaku.
“Oh, ya, kau masih berhutang budi padaku karena membantumu saat itu, kan?” tanyaku.
Ike menyeringai dan menjawab, “Ya, benar. Aku bahkan akan mengatakan bantuanmu untuk acara ini harus ditambahkan juga ke tagihan itu. Jadi lain kali saat kita nongkrong, aku akan mentraktirmu dengan hebat. Padahal, sejujurnya, aku sudah bisa membayangkan Touka akan memelototiku karena berani berada di antara kalian berdua, jadi…”
“Akankah sangat buruk jika kita bertiga pergi bersama-sama?”
Dia agak terkejut dengan saranku, tapi dia dengan cepat tertawa dan kembali ke seringai biasanya.
“Itu tergantung padamu untuk meyakinkan dia,” katanya.
“Tidak janji, tapi akan kucoba.”
“Tentu, bung.”
Aku tidak berpikir bahwa Touka akan memiliki masalah dengan kehadiran Ike. Maksudku, dia kembali normal sekarang dan mencari cara untuk “mengalahkan” Ike. Mudah-mudahan, mereka benar-benar bisa akur dan bersenang-senang— hanya itu yang diperlukan untuk membuatku bahagia. Dan jika aku ada di sana bersama mereka, itu akan membuatnya sempurna.
“Baiklah, sampai jumpa nanti.”
Aku berbalik dan menuju gedung.
“Tentu, sampai jumpa,” jawabnya pada sosokku yang pergi.
Saat aku berjalan menuju gedung, aku mengingat pertemuanku dengan Tanaka-senpai dan Suzuki di ruang OSIS serta pertemuan dengan Asakura hari ini. Mungkin jika aku bertindak dengan tulus, seperti yang kulakukan dengan yang lain, Kai bisa mengerti akan diriku. Mungkin jika aku tulus, dan aku hanya mengatakan yang sebenarnya, dia akan mengerti bahwa aku bukanlah suatu bahaya bagi Touka.
Aku masih optimis tentang hal ini.
☆
Aku tiba di atap, di mana aku disambut oleh Kai saat aku membuka pintu.
“Aku telah menunggumu, Tomoki Yuuji!” dia menderukan namaku dan memelototiku dengan mata penuh kemarahan.
Uh, setelah dipikir-pikir, aku tidak begitu optimis lagi. Sepertinya dia bahkan tidak akan memberiku kesempatan untuk menjelaskan tentang diriku. Oh yah.