10. Perjalanan Ski – Hari Terakhir
Pagi hari ketiga.
Hari ini adalah hari terakhir kami dapat bermain ski.
Di hari terakhir ini, tidak ada jadwal acara khusus perkumpulan; setiap orang bebas untuk bermain ski sampai malam.
Pagi ini, aku, Ishida, dan Meika-chan pergi ke kantin bersama.
Namun, tidak seperti kemarin, Ishida pergi menjemput Meika-chan terlebih dahulu.
Ishida membutuhkan waktu yang lebih lama dari perkiraan, menunjukkan bahwa dia mungkin memperingatkan Meika-chan tentang kejadian tadi malam.
Mungkin, karena itulah juga Meika-chan tampak tidak bersemangat pagi ini.
Dan sebenarnya, aku juga kesulitan untuk bertatap muka dengannya.
Lagipula, kejadian itu baru saja terjadi tadi malam.
Aku tidak tahu harus bagaimana bersikap di depan Meika-chan.
Aku yakin Meika-chan juga merasakan hal yang sama.
Meski begitu, Meika-chan tetap bergabung dengan kami di meja yang sama.
Aku harus memperlakukannya seperti biasa…
Lalu, aku pun melihat Touko-senpai dan Kazumi-san memasuki kantin.
Kupikir mereka akan duduk di meja yang sama seperti kemarin, tapi Touko-senpai langsung menghampiriku.
“Selamat pagi, Isshiki-kun.”
“Selamat pagi, Touko-senpai.”
Mendengar sapaan ceria Touko-senpai membuatku merasa sedikit senang sehingga aku pun membalas sapaannya dengan cara yang sama.
“Hei, apakah kamu mau main ski bersamaku hari ini?”
Meika-chan-lah yang pertama kali bereaksi terhadap kata-kata Touko-senpai itu.
Dia mendongak dan menatap Touko-senpai seperti boneka pegas.
Touko-senpai juga sepertinya memperhatikan reaksi Meika-chan dan tersenyum sambil berkata padanya.
“Sampai kemarin, Meika-san terus memonopoli Isshiki-kun, kan? Tidak masalah kalau kamu meminjamkannya padaku hari ini, kan?”
“Tapi, aku juga…”
“Meika!”
Ishida-lah yang mengatakan itu dan menghentikan Meika-chan.
Dia memelototi Meika-chan dalam diam.
“…Baiklah,” jawab Meika-chan dengan enggan.
Touko-senpai lalu menoleh padaku lagi.
“Kalau begitu ayo kita bertemu di lobi jam 8.30,” katanya sambil melambai ringan dan kembali ke tempat duduknya kemarin.
Setelah Touko-senpai pergi, aku melirik Meika-chan untuk memastikan kondisinya.
Dia meletakkan kedua tinjunya di atas lutut, memasang ekspresi seolah-olah sedang menahan sesuatu.
…Apakah aku telah melakukan sesuatu membuatnya sedih?…
Perasaan seperti itu muncul dalam diriku.
Namun, jika aku ingin mengajak seseorang bermain ski, aku harus berbicara dengan mereka saat sarapan seperti ini.
Aku yakin Touko-senpai berpikiran sama dan dia tidak memiliki niat yang buruk melakukan itu.
Meski begitu, aku merasa kasihan pada Meika-chan.
Aku harus mengatakan sesuatu, tapi aku tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat.
Seolah menyadari perasaanku, Ishida pun angkat bicara.
“Jangan terlalu dipikirkan. Kamu sudah bersama Meika dari kemarin dan kemarin lusa. Bukankah akan lebih menyenangkan kalau bermain ski dengan orang lain hari ini? Kalau tidak, apa gunanya melakukan perjalanan ski ini, kan?”
“Ya.”
Dan hanya itu yang bisa kuucapkan.
× × ×
Pukul 08.30 aku turun ke lobi dengan mengenakan pakaian ski.
Touko-senpai juga turun ke lobi hampir pada waktu yang bersamaan.
“Apa yang akan kita lakukan hari ini?”
Maksudku apakah kami akan bermain ski atau seluncur salju.
“Yang mana pun tak masalah. Kamu dapat memilih yang kamu suka, Isshiki-kun.”
“Aku sudah banyak bermain ski hingga kemarin, jadi kupikir main seluncur salju hari ini mungkin ide yang bagus.”
“Kalau begitu, ayo kita main seluncur salju.”
“Tapi aku tidak pandai main seluncur salju. Aku hanya bisa bermain di lereng pemula.”
“Aku juga tidak sepandai itu kok, jadi kenapa tidak?”
Dengan itu, kami berdua pun menyewa papan seluncur salju dan sepatu bot.
Sesampainya di lereng, liftnya sudah cukup ramai.
Dan bagi pemula, naik dan turun lift merupakan rintangan awal.
Karena kaki kiri menempel pada papan, sebagian besar manuver dilakukan dengan kaki kanan, tapi saat menanjak, hal itu tidaklah mudah. Aku masih belum pandai naik dan turun lift dengan seluncur salju.
“Hmm.”
Bahkan di lereng yang landai di area lift pun aku merasa kesulitan, tapi Touko-senpai dalam diam mengulurkan tangannya untuk membantuku.
“Permisi.”
Dengan bantuan Touko-senpai, aku pun akhirnya berhasil mencapai area lift.
Bahkan saat akan menaiki lift berpasangan, Touko-senpai menahan lift tersebut untuk memudahkanku naik.
“Aku pasti terlihat sangat tidak keren, ya.”
Aku mengungkapkan rasa maluku setelah menaiki lift.
“Biasanya, laki-lakilah yang seharusnya membantu perempuan, tapi… aku sepenuhnya ditolong terus oleh Touko-senpai.”
“Jangan khawatir soal itu!”
Touko-senpai berkata dengan nada yang kuat.
“Semua orang seperti itu saat baru mulai mencoba, dan setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kamu tidak perlu merasa ‘tidak keren’ hanya karena hal seperti ini.”
“Tapi bukankah pria yang atletis itu lebih keren?”
“Isshiki-kun, kamu pandai bermain ski. Kamu hanya tidak terbiasa bermain seluncur salju, itu saja.”
“Yah, kurasa begitu.”
“Selain itu…”
Untuk sesaat, Touko-senpai ragu-ragu sebelum berbicara.
“Selain itu?”
Saat aku bertanya ulang, Touko-senpai pun menatap ke kejauhan.
“Apakah seseorang atletis atau tidak bukanlah faktor penentu daya tarik seseorang. Daya tarik seseorang yang sebenarnya tidaklah ditentukan oleh sesuatu yang dangkal seperti itu.”
Ketika aku mendengar hal itu, aku terkejut sejenak.
Aku mahir dalam berbagai olahraga, tapi aku tidak menonjol dalam olahraga tertentu.
Dan manusia adalah makhluk yang mengukur orang lain berdasarkan standarnya sendiri. Dengan kata lain, aku sendiri menganggap atletis atau tidaknya seseorang sebagai salah satu nilai seorang pria.
“Setidaknya, aku tidak menilai orang berdasarkan hal itu. Menurutku akan lebih keren saat melihat seseorang yang bekerja keras pada hal yang tidak mereka kuasai.”
“Kamu benar.”
Aku merasa lega. Benar, Touko-senpai bukanlah seseorang berpikiran dangkal seperti itu.
“Dan juga, kamu menolongku kemarin, kan? Makanya hari ini, bisa membantumu seperti ini membuatku merasa senang!”
Touko-senpai menatapku dan berkata begitu sambil tersenyum.
Berkat dia, aku merasa jauh lebih baik.
“Kalau begitu aku akan menerima kata-katamu. Mohon bantuannya.”
“Bagus! Aku akan melatihmu hari ini, jadi lakukanlah yang terbaik!”
Namun tepat setelah mengatakan itu, dia buru-buru menambahkan, “Ah, tapi jangan perlakukan aku seperti aku jauh lebih tua! Kita hanya selisih satu tahun. Ada kalanya juga aku merasa ingin dimanjakan.”
Melihat ekspresi panik di wajah Touko-senpai, aku berpikir dalam hati.
Terkadang dia seperti seorang kakak, kadang seperti gadis yang imut, dan kadang juga dia tampak seperti anak yang sensitif…
Touko-senpai, kamu benar-benar memiliki begitu banyak pesona dalam dirimu…
× × ×
Begitu kami turun dari lift, aku langsung terjatuh di lereng ski.
Itu sangat memalukan karena banyak orang di belakangku yang menyaksikan.
Setelah itu, Touko-senpai mengajariku bagaimana cara jatuh yang benar saat bermain seluncur salju.
Tampaknya, saat terjatuh, tidak baik mendarat dengan pantat seperti yang kulakukan, atau terjatuh dengan lutut dan lengan.
Saat terjatuh ke belakang, akan lebih baik berguling dari pantat ke belakang.
Dan saat terjatuh ke depan, sebaiknya lemparkan badan ke depan dengan berani.
Ketika aku mencobanya seperti yang dia katakan, aku menyadari bahwa benturannya memang terasa lebih kecil.
Sambil diajar oleh Touko-senpai, aku berlatih seluncur salju lagi.
Meskipun aku memiliki beberapa kebiasaan buruk, setelah sekitar dua jam, aku dapat bermain seluncur dengan cukup baik.
“Hebat! Kamu berkembang dengan sangat cepat. Kamu mungkin sudah bisa menguasai jalur tingkat menengah, kan?”
“Yah, itu karena ajaran Touko-senpai sangat bagus. Kalau sendirian, aku masih akan merangkak di lereng.”
“Itu tidak benar. Kamu berkembang jauh lebih cepat dariku. Sepertinya kemampuan atletikmu sejak awal memang bagus, Isshiki-kun.”
“Tolong jangan terlalu memujiku. Aku akan malu jika aku terjatuh lagi nanti.”
Meski aku berkata begitu, aku sebenarnya tidak merasa tidak senang. Faktanya, aku cukup percaya diri dengan kemampuan atletikku.
“Pada akhir hari ini, kamu mungkin sudah lebih mahir dariku.”
Saat Touko-senpai mengatakan itu, semangatku terasa terangkat, dan memang, pada siang harinya, aku bisa meluncur menuruni lereng dengan normal.
Tentu saja, aku belum bisa melakukan lompatan, tapi aku dapat berseluncur di jalur pemula dan menengah tanpa masalah.
Menyenangkan sekali rasanya bisa bermain ski dan seluncur salju.
Meluncur berdampingan dengan Touko-senpai, dua jejak seluncur kami berpotongan dalam kurva yang mulus.
Bukannya kami berpegangan tangan atau bermesraan, tapi tetap saja, rasanya menyenangkan saat meluncur bersama seperti ini.
Melakukan kontak mata saat berseluncur, sesekali berhenti dan saling menunggu, atau meluncur sedemikian rupa sehingga dapat bergantian saling bersilangan.
Hal-hal kecil seperti inilah yang membuatnya menyenangkan.
Begitu pula saat kami menaiki lift.
Dunia terasa seperti milik berdua, hanya aku dan Touko-senpai.
Terkadang kami berdiskusi tentang seluncur yang baru saja kami lakukan, saling berbagi kesan tentang pemandangan yang dapat kami lihat dari lift, atau membicarakan gosip kampus dan perkumpulan.
Untuk makan siang, kami pergi ke suatu restoran yang agak jauh dari lereng.
Aku memesan ramen tonkotsu, dan yang mengejutkannya, Touko-senpai memesan satu set oden.
“Oden, ya?”
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Ya. Kenapa? Apakah ada masalah?”
“Tidak masalah sih, hanya saja aku merasa oden tidak cocok dengan imej yang kupunya tentang Touko-senpai.”
“Ah, kamu belum tahu enaknya makan oden di resor ski ya? Kalau begitu, aku akan berbagi sedikit denganmu. Selain itu, Shinshu terkenal dengan Konjak-nya, lho?” katanya sembari sedikit tersenyum bangga.
Sifatnya yang bersahaja ini, dan kemampuannya mengungkapkan apa yang menurutnya baik tanpa mempedulikan pendapat orang lain—menurutku itu semua adalah bagian dari pesona Touko-senpai.
Memang benar, seperti yang dikatakan Touko-senpai, oden yang kami santap di resor ski ini enak. Konjak yang bulat memiliki tekstur yang kenyal, dan rasanya meresap dengan baik. Itu juga menghangatkan tubuh.
Sebagai ganti oden, aku menawari Touko-senpai ramen. Meski aku tidak bisa menciumnya malam lusa kemarin, kupikir ciuman tidak langsung seperti ini sudah cukup untuk sekarang.
Aku benar-benar menikmati hari ini.
Namun, saat-saat menyenangkan selalu berlalu dalam sekejap mata.
Saat sudah mendekati jam empat sore dan aku berpikir, “Ini mungkin waktunya untuk seluncur terakhir,” aku mendapati diriku mengantri lift bersama Kazumi-san dan empat gadis sentral dari perkumpulan (Mina-san dan Manami-san mahasiswi tahun kedua, serta Ayaka-san dan Yuri-san, mahasiswi tahun pertama).
“Oh, pasangan yang dirumorkan muncul,” kata Mina-san. Seperti biasa, orang ini ceplas-ceplos kalau ngomong.
“Lagi-lagi kamu ngomong kayak gitu,” tegur Manami-san.
“Tapi ekspresi Touko-san terasa cerah hari ini,” komentar Ayaka-san, mahasiswi tahun pertama.
“Aku juga berpikir begitu. Touko-san memiliki aura yang agak suram selama perjalanan ini. Tapi hari ini dia tampak ceria. Apakah ini kekuatan Isshiki-kun?” goda Yuri-san.
“T-Tunggu! Apa-apaan yang kalian katakan itu!? Jangan berkata yang aneh-aneh!”
Saat Touko-senpai mengatakan itu dengan panik, Kazumi-san meraih lenganku.
“Baiklah kalau begitu. Bagaimana kalau aku yang bersama Isshiki-kun untuk seluncur terakhir ini? Isshiki-kun, sekali ini saja, ayo naik lift bersamaku!”
Mengatakan itu, dia menarikku menjauh dari Touko-senpai.
Jadi, aku pun naik lift dengan Kazumi-san, Touko-senpai dengan Mina-san, Manami-san dengan Ayaka-san, dan Yuri-san naik dengan orang lain yang datang kemudian.
Setelah menaiki lift beberapa saat, Kazumi-san angkat bicara.
“Jadi, bagaimana dengan Touko? Apakah semuanya berjalan baik?”
Sudah kuduga dia akan menanyakan hal itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.
“Yah, entahlah… Kalau dibilang berjalan baik, itu memang berjalan baik, tapi kalau dibilang tidak banyak perubahan, rasanya juga begitu.”
“Apa-apaan itu?” kata Kazumi-san dengan nada bercanda.
“Hari ini sangat menyenangkan. Aku bisa mengobrol banyak dengan Touko-senpai, dan menurutku kami berdua sudah menghilangkan ketegangan aneh di antara kami.”
“Hmm, terus?”
“Tapi meski begitu, aku merasa tidak ada perubahan yang drastis.”
Aku teringat pada kata-kata Touko-senpai di pemandian terbuka semalam, “Masih ada tembok di antara kita.”
Benar, ada tembok di antara kami.
Aku bahkan tidak tahu tembok apa itu atau berapa banyak tembok yang ada.
“Begitu, ya,” kata Kazumi-san seolah memahami sesuatu. “Seperti yang dikatakan yang lain sebelumnya, suasana Touko menjadi lebih cerah sejak tadi malam hingga sekarang ini. Jadi, kupikir mungkin ada beberapa kemajuan… Tapi kalian berdua memiliki kepribadian yang cukup rumit, ya?”
…Apakah kami mempunyai kepribadian yang serumit itu?
Lalu, Kazumi-san merangkulku.
“Apa boleh buat. Sebagai penutup dari perjalanan ski ini, biarkan Kazumi onee-sama ini menciptakan satu kesempatan lagi untuk kalian berdua!”
“A-Apa yang akan kamu lakukan?”
Aku sebenarnya tidak ingin dia melakukan sesuatu yang tidak perlu.
“Yah, karena Isshiki-kun tampaknya sudah berusaha keras, jadi anggap saja ini semacam hadiah, oke?”
Kazumi-san mengedipkan mata padaku.
Aku tetap diam, tapi dalam hati, aku diliputi kecemasan.
× × ×
Begitu kembali dari bermain ski, pihak hotel dengan baik hati mengizinkan kami untuk mandi.
Aku jelas ingin membasuh tubuhku dulu setelah bermain ski.
Setelah berganti pakaian biasa di ruang ganti, aku menunggu bus di “ruang penyimpanan/istirahat” yang kami gunakan saat kami tiba.
Akhirnya bus pulang kami pun tiba pada pukul 21.30.
Nakazaki-san berseru kepada semua orang, “Baiklah, busnya sudah tiba, jadi silakan ambil barang-barang bawaan kalian dan naiklah. Pastikan jangan sampai ada yang ketinggalan. Dan jangan lupa membawa sampah kalian juga!”
Mungkin karena lelah bermain ski, semua orang mulai beraktivitas dalam suasana yang sunyi.
Saat kami berkumpul di depan bus setelah meninggalkan hotel, tiba-tiba Kazumi-san mendekat dan merangkul Meika-chan.
“Meika-chan, kudengar kamu bersekolah di Ichikawa?”
“Eh, iya.”
Meika-chan tampak terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu.
“Aku dulu juga sekolah di sana. Apakah kamu kenal Pak Matsuyama, penasihat ekskul voli? Beliau mengajar sejarah.”
“Ya, aku juga belajar sejarah Jepang dari Matsuyama-sensei.”
“Begitu, ya. Kangennya. Saat aku kelas dua, Pak Matsuyama adalah wali kelasku. Dia sudah tua, tapi apakah kamu tahu kalau dia sebenarnya menyukai manga shoujo, lho?”
“Ah, begitu ya.”
“Aku senang sekali. Bisa membicarakan Ichikawa seperti ini. Sudah lama sekali soalnya.”
Kazumi-san terlihat sangat senang dan tersenyum lebar pada Meika-chan.
“Ah, benar juga! Ayo duduk sebelahan saat pulang.”
“Eh?”
“Aku ingin mendengar tentang keadaan sekolah kita saat ini dan tentang guru-gurunya juga. Sebagai gantinya, aku akan berbagi beberapa cerita menarik denganmu.”
Kazumi-san merangkul Meika-chan dengan sikap main-main.
Lalu, dia pun menatapku.
“Jadi, maaf soal ini, Isshiki-kun, tapi bertukarlah tempat duduk denganku, oke? Aku akan duduk di sebelah Meika-chan.”
Meika-chan menatap Kazumi-san dengan mata terbelalak.
Tapi Kazumi-san tidak akan mau mendengar keberatan apa pun karena dia sudah memutuskannya.
“Nah, kami akan naik bus duluan. Oh, Ishida-kun, kamu yang duduk di kursi depan, kan? Nih, bawalah!”
Mengatakan itu, dia menyerahkan kantong minimarket berisi bir kepada Ishida dan, seolah-olah menculik mereka berdua, mereka pun naik ke bus.
…Jadi, itu maksudnya menciptakan kesempatan sebagai penutup, ya…
Walaupun aku terkejut, tapi senyuman terbentuk di bibirku.
Tanpa aku sadari, Touko-senpai sedang berdiri di sampingku, dan dia tersenyum malu saat tatapan mata kami bertemu.
Touko-senpai juga mungkin sudah tahu kalau apa yang baru saja terjadi adalah bentuk kepedulian Kazumi-san padanya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita naik juga?”
“Ya!”
Aku menjawab lebih bersemangat dari yang aku kira. Itu agak memalukan.
Aku dan Touko-senpai duduk bersama di baris ketiga dari depan, di sisi kanan bus.
Touko-senpai mengambil tempat duduk dekat jendela, sedangkan aku di sisi lorong.
Setelah semua orang naik, bus pun perlahan berangkat di jalan malam yang bersalju.
…Dan dengan begini, perjalanan ski kami pun sudah berakhir…
Aku merasa agak hampa, Mungkin semacam “Kehampaan pasca-festival.”
“Nah, inilah akhir dari perjalanan ski kita,” gumam Touko-senpai sambil melihat ke luar jendela.
“Ya, benar. Tiga hari dua malam berlalu begitu saja.”
“Sekarang setelah waktunya untuk pulang, rasanya agak hampa, ya?”
“Ya, aku juga berpikir begitu.”
Mereka bertukar kata dengan pelan agar tidak ada orang lain yang bisa mendengar.
“Sejujurnya, aku sempat ragu apakah akan ikut serta dalam perjalanan ini atau tidak. Soalnya sedang ada gosip yang beredar, dan rasanya agak canggung juga.”
Ya, pada awalnya, Touko-senpai bilang bahwa dia tidak akan ikut dalam perjalanan ini.
Touko-senpai sepertinya tidak ingat, tapi dia sudah memberitahukan itu padaku ketika dia mabuk.
“Tapi Isshiki-kun, karena kamu bilang akan ikut, makanya aku memutuskan untuk ikut juga.”
Karena aku ikut… Hanya mendengar kata-kata itu saja sudah membuatku bahagia. Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran…
“Apakah kamu senang telah ikut dalam perjalanan ini?”
“Ya. Aku senang. Meski hanya di hari terakhir, tapi aku senang bisa mengobrol banyak denganmu seperti ini.”
Setelah mengatakan itu, Touko-senpai menatapku, wajahnya menunjukkan sedikit rasa malu.
“Sejujurnya, saat aku bersamamu-lah aku bisa merasakan waktu bersenang-senang ini sebagai ‘menyenangkan.’ Aku berterima kasih.”
“Tidak, akulah yang seharusnya berterima kasih.”
Aku berhenti sejenak lalu menambahkan dengan suara yang lebih pelan.
“Hanya dengan bersamamu saja sudah membuatku merasa bahagia, Touko-senpai.”
Tapi, suaraku itu ditenggelamkan oleh suara roda bus yang melindas salju.
“Kamu bilang apa barusan?” tanya Touko-senpai.
Tapi ketika aku mengingat apa yang baru saja aku ucapkan, aku terlalu malu untuk mengulanginya lagi.
“Tidak, bukan apa-apa.”
“Aku penasaran, nih~” kata Touko-senpai sambil tertawa kecil.
Cara dia mengatakan itu terlihat imut, dan tanpa sadar, aku mendapati diriku tersenyum juga.
Berbeda saat perjalanan datang, suasana di dalam bus saat perjalanan pulang terasa sunyi. Sepertinya semua orang lelah.
Lampu dalam bis diredupkan agar semua orang lebih mudah untuk tidur.
Saat kami berbicara bisik-bisik, aku dan Touko-senpai secara alami mendekatkan kepala kami.
…Mungkin sekaranglah waktunya untuk membahas soal “Natal ulang”…
Jika aku menunggu hingga liburan dimulai, aku khawatir aku akan kehilangan kesempatan untuk membahas ini lagi.
“Touko-senpai, apakah kamu punya rencana untuk liburan mendatang?”
“Ah, jahat~ Apa kamu sudah lupa soal Natal Ulang kita, Isshiki-kun?”
“Mana mungkin! Tentu saja aku masih ingat. Sebenarnya aku ingin bertanya tentang jadwal Touko-senpai karena aku ingin membicarakan hal itu.”
“Oh, begitu ya. Baguslah kalau begitu.”
Touko-senpai tersenyum kembali. Hari ini, Touko-senpai terasa seperti anak kecil, yang ekspresinya selalu berubah-ubah.
“Aku bekerja sebagai guru les, jadi hanya itu saja jadwalku. Tapi aku tidak bisa mengambil cuti karena siswa yang kuajar sedang mempersiapkan ujian masuk.”
“Hari apa kamu mengajar?”
“Dua kali seminggu, pada hari Selasa dan Kamis. Tapi terkadang aku diminta mengajar juga di akhir pekan, tapi biasanya tidak masalah jika aku sudah membuat rencana jauh-jauh hari.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau Rabu depan? Menurutku ‘Lampu Hias Marunouchi’ seharusnya masih berlangsung.”
“Oke! Apakah kamu sudah memutuskan tempat-tempat yang ingin dikunjungi?”
“Maaf, aku belum memutuskannya. Tapi aku pasti akan memberitahumu kalau sudah ada.”
“Di mana saja tidak masalah. Ayo pergi tanpa terlalu dipikirkan.”
Getaran di dalam bis tiba-tiba berkurang. Sepertinya kami telah memasuki jalan raya.
Lampu oranye dari luar bersinar menembus jendela.
“Kurasa memang terasa hampa ya.”
“Kuharap aku bisa tetap tinggal seminggu lagi.”
“Hanya seminggu?” tanya Touko-senpai dengan pelan.
“Tidak, jika memungkinkan, lebih lama lagi…”
Lalu aku pun menambahkan dalam hati, “Asalkan bersama Touko-senpai.”
“Benar. Aku ingin datang lagi.”
Setelah mengatakan itu, Touko-senpai menguap kecil.
“Ayo kita datang lagi.”
“Mungkin tidak harus bermain ski.”
“Ya, seperti berkemah atau semacamnya.”
“Pemandian air panas sepertinya juga menyenangkan.”
“Ya, aku ingin berendam di pemandian terbuka lagi.”
“Kali ini hanya berdua…”
Kalimat Touko-senpai tiba-tiba memudar.
“Berdua?” tanyaku ulang, tapi tidak ada jawaban.
Saat aku melihat ke arahnya, mata Touko-senpai tertutup.
Seiring dengan naik turun dadanya, aku bisa mendengar suara nafasnya yang samar.
Touko-senpai menyandarkan kepalanya di bahuku, tertidur nyenyak.
Aku juga merasakan gelombang rasa kantuk yang tiba-tiba melanda.
Aku merilekskan diri dan memejamkan mata.
Bagian tubuhku yang bersentuhan dengan Touko-senpai terasa hangat dan menyenangkan.
Aku merasa sangat nyaman.
Selaras dengan getaran bus, tanpa sadar aku juga mendapati diriku menyandarkan kepalaku pada Touko-senpai.
Puk.
Tangan kiri Touko-senpai jatuh di atas tangan kananku.
Saat aku merasakan sensasi tangannya, aku pun perlahan-lahan terlelap.
× × ×
Aku merasakan sinar samar cahaya pagi melalui kelopak mataku yang tertutup.
Rasanya seperti ditarik paksa ke permukaan air saat sedang terhanyut di laut dalam.
Aku mengerutkan kening, dan sedikit membuka mataku, lalu menyadari bahwa pemandangan sekitar bukan lagi hamparan bersalju melainkan kawasan bangunan beton.
Sepertinya kami sudah sampai di Tokyo. Mungkinkah… ini di dekat Ikebukuro?
Aku pun merasakan hembusan nafas lembut di pipi kananku.
Saat aku hanya menggerakkan bola mataku saja… aku bisa melihat wajah putih Touko-senpai dari dekat!
Aku dan Touko-senpai tidur dengan kepala berdekatan, dan tubuh bersandar satu sama lain.
…Ini kali kedua aku melihat wajah tidur Touko-senpai selama perjalanan ini…
Aku ingin menikmati perasaan ini meski hanya sedikit…
Seperti itulah pikirku, tapi mungkin karena aku merubah posisi kepalaku saat aku bangung, Touko-senpai bergumam “Hmm.” dan menjauhkan kepalanya.
Itu agak mengecewakan.
Tiga puluh menit kemudian, bus pun tiba di dekat gerbang utama kampus.
“Semuanya, kita sudah sampai. Terima kasih atas kerja keras kalian,” kata Nakazaki-san mengumumkan, yang terdengar agak mengantuk juga.
Touko-senpai pun terbangun.
“Pagi, apa kita sudah sampai?”
“Selamat pagi. Ya, kita baru saja sampai.”
“Hmm, aku tidak menyangka aku sampai ketiduran. Padahal aku tipe orang yang tidak bisa tidur kalau bantalku diganti.”
“Kamu pasti lelah.”
Setelah mengatakan itu, aku mengambil barang bawaanku dan Touko-senpai dari rak atas.
Begitu semua orang turun dari bus, Nakazaki-san membuat pengumuman lain.
“Baiklah semuanya, terima kasih atas partisipasi kalian kali ini. Namun, perjalanan ini belum berakhir sampai kalian tiba di rumah, jadi harap berhati-hati dalam perjalanan pulang.”
Dengan kata-kata itu, semua orang pun bubar.
“Baiklah, ayo kita pulang juga,” seru Ishida
Kami semua memiliki rute pulang yang sama. Stasiun terdekatku, Ishida, dan Meika-chan adalah stasiun JR Makuhari, sementara stasiun terdekat Touko-senpai dan Kazumi-san adalah stasiun JR Shin-Kemigawa.
Oleh karena itu, tentu saja aku berpikir bahwa kami semua akan pulang bersama.
Tapi, Meika-chan kemudian dengan cepat menghampiri Touko-senpai dan berdiri tepat di depannya.
…Ada apa ini?…
Aku hanya bisa menatap mereka berdua.
“Touko-san, aku minta maaf karena telah menyebabkan banyak masalah untukmu kali ini,” katanya sambil menundukkan kepala.
…Apa? Meika-chan minta maaf pada Touko-senpai?…
Pikirku, namun rasa legaku itu hanya berumur pendek.
“Tapi ini masih belum selesai. Aku mungkin akan terus membuat masalah untukmu di kemudian hari, jadi mohon kerja samanya!”
…Eh, apa yang dia bicarakan?…
Untuk sesaat, aku pikir aku salah dengar.
Namun, baik Ishida maupun Kazumi-san yang bersamaku juga memasang ekspresi dengan mata terbelalak.
Hanya Touko-senpai yang tetap tenang sambil tersenyum.
“Oh.”
Satu kata itu sepertinya membuat Meika-chan terpelatuk.
Dengan mata berapi-api, dia menatap tajam ke arah Touko-senpai dan berkata, “Aku tidak akan kalah! Tidak pada Touko-san atau siapa pun!”
Setelah mengatakan itu, dia langsung berbalik dan berjalan menuju stasiun sendirian.
“Oi, Meika!”
Dia sama sekali tidak menghiraukan suara panggilan Ishida.
Aku juga terkejut melihat sosoknya yang berjalan pergi.
Lalu seseorang pun menepuk pundakku.
Saat aku berbalik, orang itu adalah Kazumi-san.
“Itu pertanda badai, Isshiki-kun,” katanya dengan ekspresi setengah kaget dan setengah terhibur.
Dia mengatakan kalimat yang sama persis seperti saat sebelum kami berangkat…
Aku hanya bisa menghela nafas.
…Rasanya seperti badai akan benar-benar datang. Aku penasaran apa yang akan terjadi pada kami mulai sekarang…
Sambil berpikir begitu, aku pun mengarahkan pandanganku ke arah Touko-senpai.