[LN] Kanojo ga Senpai ni NTR-reta no de, Senpai no Kanojo wo NTR-masu Volume 1 Chapter 9 Bahasa Indonesia

Kencan Palsu dengan Touko-senpai

9. Kencan Palsu dengan Touko-senpai


Hari Minggu yang ditunggu-tunggu. Dari dua mobil yang ada di rumahku, aku membawa mobil 1000cc, yang sering digunakan ibuku, dan meninggalkan rumah. Mobil lainnya, minivan, adalah yang dibawa ayahku saat dia pergi bermain golf.

Aku tiba di Stasiun Kemigawahama di JR Jalur Keiyou.

Masih ada lebih dari 15 menit sebelum waktu janjian kami yaitu jam 8 pagi, tapi Touko-senpai sudah menunggu disana.

“Selamat pagi. Kelihatannya kamu datang lebih awal. Masih ada waktu sebelum waktu kita seharusnya bertemu, lho.”

“Itu karena kamu selalu datang lebih awal. Aku berpikir aku ingin menjadi orang yang datang lebih dulu dan menunggumu kali ini.”

Dia masuk ke dalam mobil dan mengenakan sabuk pengamannya sembari berbicara begitu.

“Jadi, kemana kamu akan membawaku hari ini?”

“Aku sudah banyak memikirkannya, dan mengingat kalau aku ingin mengambil banyak foto, meskipun mungkin agak klise, aku berpikir untuk pergi ke Minamibousou.”

“Eh? Kita mengambil foto?”

Touko-senpai benar-benar terkejut.

“Ya. Aku akan memberikan semua foto itu padamu nanti, Touko-senpai. Aku ingin kamu melihatnya dan menganggapnya sebagai referensi untuk apa yang aku yakini sebagai ‘imut.’”

Touko-senpai mamasang ekspresi tidak senang di wajahnya, tapi dia tetap setuju.

Aku pun menyalakan mobil dan menuju jalan raya.

Pertama-tama kami pergi ke arah Kisarazu. Jalan raya terus berlanjut hingga Futtsu.

“Kita akan pergi ke bagian mana Minamibousou?” tanya Touko-senpai padaku.

“Aku juga kesulitan memilih ini. Melihat betapa ramainya kawasan Tokyo, tidak heran jika tempat untuk bersantai dan berfoto sangat sedikit. Sejujurnya, Taman Tepi Laut Hitachi di Prefektur Ibaraki cukup bagus, tapi selama musim seperti sekarang, tidak ada satu pun bunga yang mekar di sana.”

Taman Tepi Laut Hitachi di Prefektur Ibaraki adalah tempat yang terkenal untuk mengambil foto karena memiliki bukit yang seluruhnya tertutup bunga. Selama musim semi, bukit itu diselimuti hamparan biru Nemophila, sedangkan pada musim gugur, bukit itu diwarnai merah jambu dengan pohon cemara musim panas. Namun, sayangnya, pada tanggal ini, ketika bulan November telah mencapai akhir, musim cemara telah berlalu.

“Tidak apa, kan? Aku juga lebih suka pergi ke suatu tempat di mana aku bisa mendapatkan kedamaian dan ketenangan daripada repot-repot menghabiskan hari luangku di Tokyo yang penuh sesak. Selain itu, di tanggal seperti ini, Minamibousou seharusnya hangat. Dan juga, cuaca hari ini juga bagus.”

“Ya, kita beruntung karena cuaca cerah hari ini. Ngomong-ngomong, kita akan banyak berjalan hari ini. Apakah kamu akan baik-baik saja?”

“Aku akan baik-baik saja. Kamu sudah memberitahuku sebelumnya untuk memakai sepatu yang mudah dipakai berjalan karena kita akan berjalan di luar.”

Kami pindah ke Jalan Tol Tateyama di persimpangan Futtsu Kanaya.

Setelah itu, kami mengikuti Rute Nasional Jepang 127 ke selatan dan melewati jalan pegunungan Gunung Nokogiri.

Kami melewati jalan berliku-liku dan tiba di Nihon-ji yang terletak di tengah gunung.

“Gunung Nokogiri… Mungkin ini pertama kalinya aku datang ke sini.” kata Touko-senpai sambil melihat dengan penuh minat pada Hyaku-shaku Kannon dan berbagai patung Buddha lainnya, termasuk Buddha raksasa, yang telah digali dari sisa-sisa tambang. Yang membuatku kaget, dia menunjukkan ekspresi seperti anak kecil.

“Aku senang mendengarnya. Aku khawatir kuil dan patung Buddha tidak menarik bagi perempuan.”

“Itu tidak benar sama sekali, lho? Akhir-akhir ini, ada banyak perempuan yang menyukai hal-hal yang berkaitan dengan kuil dan candi serta gadis-gadis yang memiliki ketertarikan kuat pada sejarah Jepang.”

Aku mengambil foto Touko-senpai begitu dia menoleh ke arahku.

Latarnya adalah pemandangan menyegarkan dari jalur gunung yang mengarah ke Hyaku-shaku Kannon dan dua dinding batu curam di sisinya.

Nuansa pepohonan menambah suasana, bahkan membuat adegan tersebut mengingatkan pada film Ghibli terkenal.

“Tunggu, apakah kamu barusan mengambil foto mendadak tanpa bilang-bilang?”

Touko-senpai cemberut tidak senang.

“Ya. Jika memungkinkan, aku ingin memotret dalam keadaan paling alami. Ini karena, pada akhirnya, yang aku inginkan adalah menggambarkamu, Touko-senpai, sama seperti yang aku lihat.”

“Nnngh…”

Touko-senpai masih terlihat tidak senang, tapi dia tidak mengatakan apapun lebih dari itu.

Kami kemudian melanjutkan mendaki gunung dan tiba di ‘Mengintip Neraka.’

TLN: Jigoku Nozoki: Mengintip Neraka. Tempat wisata di Gunung Nokogiri

Ini adalah tebing dengan bagian yang menjorok seperti atap sebelum jatuh curam ke garis vertikal sekitar 100m.

“Rupanya bagian ‘mengintip neraka’ berasal dari apa yang dapat mereka lihat dengan melihat ke bawah dari puncak sana.”

Setelah aku mengatakan itu, Touko-senpai menunjukkan ekspresi takut di wajahnya.

“A-Aku tidak terlalu suka dengan tempat tinggi…”

“Yah, kita sudah datang jauh-jauh ke sini. Tidakkah menurutmu yang kita lakukan ini akan sia-sia jika kita tidak pergi dan melihatnya?”

Touko-senpai menatapku dengan marah.

“Ayo pergi bersama. Aku bahkan akan memegang tanganmu.”

Touko-senpai ragu sejenak, tapi akhirnya dia mengulurkan tangannya dalam diam.

“Aku akan mengatakan ini untuk jaga-jaga, tapi efek jembatan gantung tidak bekerja padaku.”

Pada saat yang sama dia mengatakan itu, Touko-senpai berjalan dengan sangat ketakutan menuju tepi tebing, sambil memegang erat tanganku. Dia tidak pernah memisahkan dirinya dari pagar saat dia terus berjalan ke tepi tebing.

“‘Mengintip Neraka’ tepat di bawah kita.”

Aku mengintip setelah aku mengatakan itu, tapi bahkan aku sendiri pun bisa merasakan kalau lututku mulai gemetar karena sensasi melihat ke bawah ke ruang di mana tidak ada apa pun di bawah kakiku.

Touko-senpai tanpa sadar juga mencengkeram tanganku dengan erat.

Aku juga memotret Touko-senpai yang ketakutan itu.

Touko-senpai menyadari bahwa dia telah difoto karena bunyi rana dari kamera.

“Apakah kamu mengambil foto di tempat ini juga?”

“Lagipula, aku ingin mengambil banyak ekspresi berbeda darimu.”

Touko-senpai mengalihkan pandangannya dengan malu-malu.

“Pastikan kmu menghapus semuanya setelah ini.”

Aku mengubah topik sambil tersenyum pahit.

“Di sinilah seorang biksu Buddha pernah berlatih di masa lalu, kan? Latihan untuk memperkuat tekadnya dan mempertajam konsentrasinya.”

“Menurutku tidak banyak yang bisa diperoleh dari melakukan itu.”

Meski wajahnya tegang karena ketakutan, Touko-senpai masih mencoba sok kuat. Itu membuatku merasa ingin menggodanya.

“Tahukah kamu, jika gempa bumi terjadi sekarang, kita mungkin tidak bisa berhasil lolos. Jika potongan tebing yang menonjol ini runtuh, kita akan jatuh dengan kepala lebih dulu menuju kematian kita.”

“Hei, hentikan itu!”

Touko-senpai menoleh ke arahku. Dia memasang ekspresi yang sangat marah. Ini buruk.

“Aku sangat menyesal. Itu lelucon.”

“Astaga!”

“Namun, jika itu akhirnya terjadi, aku akan pastikan bahwa setidaknya kamu sendiri aman.”

Touko-senpai melirik ke arahku. Dia kemudian berbicara dengan suara kecil.

“Bukankah sudah kubilang kalau efek jembatan gantung tidak bekerja padaku?”

◆◆◆


Kami pun meninggalkan Gunung Nokogiri dan melanjutkan ke selatan menyusuri Rute Nasional Jepang 127.

“Ke mana kita akan pergi selanjutnya?”

“Kita sedang menuju ke Okinoshima Tateyama.”

Kami berkendara ke selatan menyusuri jalan dengan laut di sisi kami. Bukit yang menghadap langsung ke laut itu dipenuhi dengan rumah-rumah di sana-sini.

Begitu sudah sampai sejauh ini, aku merasa tempat ini adalah negara yang sepenuhnya berbeda dibandingkan dengan kota Chiba tempat kami tinggal.

Aku bahkan merasa bahwa kami telah datang ke sebuah pulau tropis. Aku hampir tidak percaya bahwa kami masih berada di area sekitar Tokyo.

Meski Tokyo pun memiliki daerah terpencil yang disebut Okutama sih, di mana mereka bilang kalau ada beruang yang hidup disana.

Begitu kami melewati Stasiun Tateyama, kami menuju Pangkalan Udara JMSDF Tateyama.

TLN: JMSDF adalah Japan Maritime Self-Defense Force

Di sisi baratnya, yang dihubungkan oleh daratan, adalah pulau Okinoshima yang tidak berpenghuni.

Tempat sebelum pantai yang mengarah ke pulau adalah tempat parkir.

“Wow! Jika kamu melihatnya dari sini, kamu bisa melihat betapa indahnya pantai yang terhubung ke pulau!”

Setelah turun dari mobil, Touko-senpai berbicara sambil menahan rambutnya dengan tangan saat angin laut bertiup.

Aku mengambil foto lain dari Touko-senpai yang terlihat seperti itu. Dia tidak menyadarinya kali ini.

“Kamu menyeberang ke pulau dengan berjalan melintasi pantai ini.”

Berdampingan, kami berdua berjalan melintasi pantai.

“Mereka mengatakan bahwa Okinoshima pada awalnya adalah pulau yang berdiri sendiri, namun setelah gempa besar Kanto, pulau itu terhubung dengan bagian daratan ini.”

“Begitukah? Berarti sama dengan Enoshima ya?”

“Meski Enoshima jauh lebih terkenal sih.”

“Meski begitu, tempat ini bagus karena ada lebih sedikit orang di sini. Rasanya seperti pantai dari Asia Tenggara.”

“Bukankah itu pujian yang agak terlalu berlebihan?”

“Menurutmu begitukah? Yah, jika ada kastil di atas pulau, aku merasa itu akan mengingatkan kita pada Mont-Saint-Michel di Prancis.”

Aahh, begitu. Okinoshima adalah taman yang hanya ditutupi oleh pepohonan, tapi jika ada kastil yang didirikan di atasnya, aku mengerti bagaimana tempat ini bisa menyerupai itu.

“Ini sisi barat Semenanjung Bousou, kan? Jika kita datang pada sore hari, saat matahari terbenam, aku yakin ini akan menjadi pemandangan yang indah.”

Sepertinya begitu. Selain itu, kami juga memiliki pemandangan Gunung Fuji yang tak terduga dari sini.

Dan di depan kami, ada laut.

Matahari terbenam, Gunung Fuji, dan laut. Jika kalian bisa melihat semuanya bersamaan pada saat yang sama, akan sangat sulit untuk menemukan tempat yang lebih baik dari ini.

“Kami seharusnya ke sini saat matahari terbenam.”

Aku membisikkan itu pada diri sendiri.

Bagian dalam pulau rupanya telah diubah menjadi taman alam.

He~h, bahkan ada kolam alami dan gua di sini.”

Aku terkejut melihat Touko-senpai sedang mengamati katalog dengan mata berbinar seperti anak kecil.

Aku sekali lagi mengambil foto Touko-senpai dengan smartphone-ku.

Sepertinya dia sadar kali ini, karena dia melihat ke arahku.

“Kamu barusan mengambil foto lagi, kan?”

“Aku tidak mengambil apapun.”

Aku mengatakan itu sambil tersenyum.

“Pembohong! Kamu melakukannya! Aku yakin!”

“Tidak, aku tidak melakukannya.”

“Kamu ini…”

Dia menunjuk ke jalan yang berlanjut ke bagian dalam pulau saat dia berbicara.

“Itu jalan yang mengarah ke bagian dalam pulau, kan? Ayo pergi ke sana.”

Kami menyusuri jalan setapak yang melewati hutan. Setelah berjalan beberapa saat, pemandangan mulai terlihat.

Itu mengarah ke laut. Sebuah pantai kecil yang memiliki area berbatu di kedua sisinya.

“Sungguh cantiknya! Siapa sangka ada pantai yang semenarik ini di sini?”

Hampir seolah-olah dia adalah orang yang benar-benar berbeda dari dirinya yang biasanya tenang, Touko-senpai terlihat sedikit melompat saat dia turun ke garis pantai. Aku pun segera mengikutinya.

“Wow! Air lautnya juga sangat bersih! Kamu bisa melihat dasarnya!”

“Aku membaca bahwa tempat ini secara konsisten memperoleh peringkat tertinggi, AA, dalam pemeriksaan kualitas air resor tepi laut yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.”

TLN: Sebagai referensi, tes ini memiliki 4 peringkat, C, B, A, AA, dengan AA sebagai kualitas terbaik

Touko-senpai menoleh ke arahku.

“Isshiki-kun, apakah kamu pernah datang ke sini sebelumnya?”

“Tidak, ini pertama kalinya aku datang ke sini.”

“Aku tidak tahu. Padahal ada tempat yang sebagus ini di dekat kita. Aku tidak tahu itu.”

“Memang. Tempat ini tampaknya berada di batas utara tempat tumbuhnya karang, jadi sepertinya kamu akan bisa melihatnya dengan snorkeling. Di sini juga banyak ikan dan lainnya, menjadikan ini sebagai tempat menyelam juga.”

“Bahkan di sini ada ikan kecil. Lihat!”

Touko-senpai mengatakan itu dan menunjuk dengan jarinya.

Aku melangkahi bebatuan dan mendekat ke tempat Touko-senpai berada.

Benar saja, ada banyak ikan kecil yang berenang di kolam pasang kecil.

“Ada sekumpulan ikan kecil di sini. Dan di sana bisa dilihat ada ikan tropis yang sedikit lebih besar.”

“Di mana?”

“Di sini, lihat!”

Dan saat Touko-senpai mencoba memanjat bebatuan yang terlihat seperti tangga…

“Aah!”

Kakinya terpeleset, dan dia menjerit kecil.

Aku segera menopang Touko-senpai dari depan, seolah memeluknya.

Namun, sama seperti dia, salah satu kakiku akhirnya jatuh ke laut dengan cipratan air.

Pada saat yang sama, smartphone-ku berbunyi cekrek kecil.

“M-Makasih.”

Touko-senpai menanggapi dengan terkejut.

“Tidak, aku senang kamu tidak jatuh. Jika kamu jatuh, kamu mungkin akan terluka oleh bebatuan di sini.”

“Tapi karena itu, kakimu malah basah.”

“Tidak apa-apa. Ini bukan apa-apa.”

Ketika aku mengatakan ini, aku menyadari bahwa wajah Touko-senpai sangat dekat denganku.

Jaraknya tidak lebih dari 30 cm.

Terlebih lagi, aku memegang bagian atas lengannya dengan kedua tanganku, hampir seperti sedang memeluknya.

Sepertinya Touko-senpai juga menyadari posisi kami saat ini. Dia mengalihkan pandangannya dan berbicara.

“Kamu juga mengambil foto barusan, kan?”

“Eh? Oh, ya, sekarang setelah kamu menyebutkannya…”

Shutter kamera ponselku memang mengeluarkan suara.

“Aku sudah bilang kalau kamu tidak perlu memotret momen-momen ini.”

Sebagian dari dirinya tampak malu.

“K-kali ini tidak sengaja.”

Touko-senpai menatapku. Aku melihat diriku terpantul di mata hijau gelap miliknya.

Aku yakin bahwa Touko-senpai juga terpantul di mataku.

Touko-senpai tertawa malu-malu.

“Ayo cepat keluar. Jika tidak, kita akan semakin basah karena ombak.”

Aku mengangguk dalam diam, menarik tangannya dan kami berdua kembali ke pantai.

Setelah itu, kami pergi melihat gua dan kuil yang berada di seberang pulau, dan kemudian kembali ke mobil.

Pada saat itu, sepatu kami yang basah kuyup di laut sudah cukup kering hingga tidak ada lagi jejak kaki yang tertinggal.

“Selanjutnya kita akan pergi ke Mercusuar Nojimazaki.”

Aku menyalakan mobil setelah mengatakan itu. Mercusuar Nojimazaki berdiri di bagian paling selatan Semenanjung Bousou.

Kami mengikuti Jalan Nasional Jepang 410 dan menuju Nojimazaki.

Saat kami meninggalkan gunung, lautan dengan tiba-tiba dan megah terpampang di hadapan kami. Itu adalah Samudra Pasifik.

Berkat cuaca cerah yang kami alami, meski sudah hampir Desember, samudra biru berkilauan terang di hadapan kami.

Kami terus berkendara menyusuri jalan sambil melihat lautan di sebelah kanan kami dan pegunungan di sebelah kiri kami. Bangunannya hanya sedikit dan tersebar di antaranya.



Tak lama kemudian, sebuah bangunan yang bersinar putih mulai terlihat. Itu adalah Mercusuar Nojimazaki.

Mercusuar ini telah dibangun di daerah kecil berbentuk semenanjung yang menjorok ke laut, dan sekelilingnya telah dibuat menjadi semacam taman yang mengelilingi mercusuar itu sepenuhnya.

“Kita sudah sampai sejauh ini, jadi apakah kamu ingin mencoba berjalan sampai ke ujung? Lagian, itu akan menjadi titik paling selatan Semenanjung Bousou.”

“Kedengarannya bagus. Kalau begitu, ayo pergi ke sana!”

Aku dengan senang hati setuju.

Di sekitar Mercusuar Nojimazaki memiliki area hijau dan tanaman seperti rumput yang dipangkas rapi.

Di luar kawasan pejalan kaki, seperti yang bisa kalian duga, adalah garis pantai berbatu.

“Tempat seperti ini, tempat di mana tidak ada apa-apa di sekitarnya dan tempat di mana kita dapat melihat cakrawala samudra juga memiliki keindahan tersendiri.”

Touko-senpai berbicara dan menarik napas dalam-dalam. Aku membidik pada saat itu dan mengambil foto lainnya.

“Aah, kamu mengambil foto lagi!”

Touko-senpai memelototiku tajam.

“Aku minta padamu untuk memaafkanku hari ini saja. Lagipula ini akan menjadi jawaban atas PR-ku.”

Aku tersenyum pahit saat menjawab itu.

“Tapi yah, jika kamu tetap akan mengambil foto, aku ingin kamu mengambilnya setelah aku mempersiapkan diri dengan baik.”

Touko-senpai masih tidak senang dengan hal itu.

Kami berdua berdiri berdampingan dan menatap laut. Di depan kami terbentang lautan biru yang luas. Samudera Pasifik.

“Di balik samudra ini terbentang Amerika Utara, Amerika Selatan, Australia, dan Antartika.”

Kata-kata mengalir dari Touko-senpai dan sampai kepadaku seolah terbawa angin.

“Suatu hari, aku ingin berkeliling ke banyak negara di dunia dengan kapal pesiarku sendiri.”

Berkeliling dunia dengan kapal pesiar? Aku sedikit terkejut karena aku berpikiran kalau Touko-senpai adalah anak rumahan.

“Dulu ketika aku masih kecil, aku pernah dirawat di rumah sakit selama lebih dari sebulan. Dalam buku yang aku baca saat itu, ada cerita tentang sepasang suami istri yang naik kapal pesiar dan berkeliling dunia. Ketika aku membaca itu, aku berpikir, ‘Sungguh indahnya! Aku juga ingin mencoba berkeliling dunia dengan bebas.’ Pasti setelah itulah aku merasa kalau aku menyukai buku. Meski pada awalnya aku hanya membaca buku-buku yang menceritakan perjalanan seseorang atau yang bertuliskan tentang banyak negara di dunia.”

“Itu mimpi yang indah.”

“Benar. Mimpi yang indah memang. Namun pada kenyataannya, menemukan seseorang yang dapat kamu ajak tinggal bersama, setiap hati, di dalam kapal pesiar yang sempit bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan.”

Aku menatap Touko-senpai sesaat.

Aku yakin bahwa jika aku bersamanya, bahkan jika pun itu untuk setiap saat sampai akhir hayatku, dia tidak akan pernah berhenti bersinar di mataku.

Tidak, aku merasa bahwa semakin aku berada di sisinya, semakin aku terpesona padanya.

“Sepertinya ayahku juga mengidam-idamkan kapal pesiar.”

Dia mengatakan itu dan kemudian melihat ke arah yang berlawanan, ke tempat mercusuar itu berada.

“Mercusuar adalah satu-satunya petunjuk jalan di kegelapan malam. Saat ini, kita sudah memiliki GPS, tapi dulu, mercusuar adalah satu-satunya tanda dan harapan bagi para pelaut. Dan mereka akan mengikuti ke mana mercusuar itu berada, ke tempat yang mereka tuju.”

Matanya menatap mercusuar, yang berkilau putih kapur di bawah sinar matahari.

“Itulah sebabnya ayahku menamaiku ‘Touko,’ agar aku bisa menjadi harapan bagi semua orang dan memberikan mereka cahaya.”

TLN: Dari kata (Tou) yang artinya Cahaya/Lampu/Lentera, dan (Ko) yang artinya anak perempuan. Tolong dikoreksi kalau saya salah.

Suatu pikiran terlintas di benakku ketika aku memandangnya.

…Touko-senpai. Setidaknya bagiku sekarang, kamu adalah harapan, tiang penunjuk jalan, dan cahayaku…

…Dalam lautan gelap dan berbadai yang disebut ‘perselingkuhan Karen,’ kamu adalah satu-satunya hal yang menerangiku, memberiku tujuan, dan harapan…

“Hei, apakah kamu mendengar sebuah suara dari suatu tempat?”

Touko-senpai tiba-tiba menanyakan itu.

“Suara, katamu?”

“Ya, seperti suara tangisan…”

Ketika dia mengatakan itu, aku berusaha menguatkan pendengaranku.

Dan benar saja, di antara suara ombak, aku bisa mendengar suara seperti tangisan anak kecil.

“Kedengarannya seperti suara anak-anak.”

“Jangan-jangan… Mungkinkah dia jatuh ke laut atau semacamnya…?”

Ekspresi di wajah Touko-senpai berubah.

“Kalau begitu, ini gawat! Isshiki-kun, bantu aku mencarinya!”

“Aku mengerti. Aku akan mencari di bagian laut, jadi Touko-senpai, tolong cari di bagian mercusuar!”

Sesaat setelah aku mengatakan itu, aku mulai berjalan, mengikuti garis pantai yang berbatu.

Touko-senpai berlari dari lapangan terbuka ke bagian dalam taman.

Tidak lama setelah kami memulai pencarian kami, aku menemukan seorang anak laki-laki sedang menangis di dekat pantai di daerah di mana tumpukan bebatuan menciptakan lereng yang landai. Dia tidak berada di pantai tempat ombak menerjang. Sepertinya dia baru saja tersandung batu.

Aku lega mengetahui bahwa dia tidak jatuh ke laut atau semacamnya.

“Touko-senpai! Dia ada di sini!”

Aku berteriak dengan suara keras ke arah mercusuar.

“Apakah kamu baik-baik saja?”

Aku berjalan ke arah anak itu dan bertanya padanya.

Begitu aku melihatnya lebih dekat, dia terlihat berusia sekitar 6 tahun. Kurasa dia anak kelas 1 SD, mungkin?

Tapi, anak itu hanya menangis.

“Di sini berbahaya. Ayo kita pergi ke tempat di atas sana.”

Meskipun begitu, anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya seolah-olah menolak. Ketika aku memperhatikannya lagi, aku menyadari kalau ada banyak darah yang keluar dari lututnya, yang terlihat dari celana pendeknya. Dia pasti terluka saat jatuh menghantam bebatuan.

Karena tidak punya pilihan lain, aku menggendong anak laki-laki itu dan membawanya kembali ke kawasan pejalan kaki.

Saat itulah Touko-senpai berlari ke arah kami.

“Di mana kamu menemukannya? Apakah dia baik baik saja?”

“Aku menemukannya di daerah berbatu itu. Dia masih agak jauh dari laut, jadi aku yakin dia seharusnya tidak berada dalam bahaya apa pun.”

Tatapan Touko-senpai beralih ke lutut anak itu.

“Anak ini, dia terluka!”

Setelah dengan cepat menyeka darah menggunakan tisu, Touko-senpai mengeluarkan plester dari tasnya dan menempelkannya di lutut bocah itu.

“Lukanya tidak terlalu dalam. Seharusnya sudah baik-baik saja sekarang. Apakah masih sakit?”

“Masih sedikit sakit.” jawab anak kecil itu.

“Kemana ayah dan ibumu?”

Anak laki-laki itu menunjuk ke arah mercusuar dengan jarinya sambil menjawab sederhana pada pertanyaan Touko-senpai dengan berkata “Di sana.”

“Di sana mananya?”

Bahkan setelah bertanya berkali-kali, bocah itu hanya menjawab “Di sana.”

“Apa boleh buat. Mari kita pergi mencari ke mercusuar atau museum untuk saat ini. Jika dia hilang, orang tuanya mungkin akan ada di sana mencarinya.”

Touko-senpai mengangguk menanggapi kata-kataku dan bertanya pada bocah itu:

“Apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu bisa jalan?”

Namun, jawaban yang diberikan anak laki-laki itu tidak menggembirakan.

“Tidak bisa.”

Seperti yang sudah kuduga.

“Ayo, aku akan menggendongmu.”

Saat aku berkata begitu dan membelakangi anak itu, dia langsung melompat ke punggungku.

Apakah dia benar-benar tidak bisa jalan? Pikiran itu terlintas di benakku, tapi aku tahu lebih baik untuk tidak mengatakannya dengan lantang saat ini.

Aku berdiri dengan menggendong anak laki-laki itu di punggungku.

“Oke, ayo berangkat.”

Mengatakan itu, aku berjalan berdampingan dengan Touko-senpai.

Touko-senpai lalu bertanya pada bocah itu.

“Dik, bisakah kamu memberitahukan namamu?”

“Shouta.”

“Kok kamu tadi bisa ada di sana?”

“Di sana ada kepiting.”

‘Kepiting?”

“Tapi, aku tidak bisa menangkapnya.”

Jadi, singkatnya, yang terjadi adalah: Entah bagaimana anak laki-laki ini sendirian di kawasan pejalan kaki itu. Dia lalu melihat seekor kepiting ketika dia berdiri di sana dan mengikutinya untuk mencoba menangkapnya, hingga dia akhirnya pergi ke daerah berbatu di dekat pantai, di mana dia tersandung dan mulai menangis.

Tiba-tiba, anak laki-laki di punggungku mulai berbicara.

“Apakah Onii-chan dan Onee-chan sedang ‘berkencan’?”

Aku dan Touko-senpai saling bertukar pandang sejenak.

“Apakah kalian sedang ‘berkencan’?”

Anak laki-laki itu sekali lagi menanyakan pertanyaan yang sama kepada kami.

“Hmmm, yah… kurasa bisa dibilang begitu?”

Ketika Touko-senpai menjawab seperti itu, anak itu menggali lebih dalam dengan pertanyaan berikutnya.

“Jadi, nee-chan dan nii-chan pacaran, ya?”

“ “Hah?” ”

Aku dan Touko-senpai berteriak secara bersamaan.

Bagaimana bisa kau mengucapkan semua kata-kata itu dengan lancarnya padahal barusan kau berbicara dengan sangat takut-takut?

Saat aku bingung, Touko-senpai menjawab pertanyaan anak itu.

“Hmm, bagaimana menurutmu?”

“Entahlah. Tapi, aku diberitahu kalau mereka yang ‘berkencan’ itu karena mereka ‘pacaran.’”

“Siapa yang bilang?”

“Mii-chan.”

Yah, meskipun kau menyebutkan namanya, kami tidak kenal siapa itu.

Tapi, Touko-senpai tersenyum dan menjawab.

“Begitu ya. Jika, ‘Mii-chan’ berkata begitu, maka kami mungkin memang pacaran.”

Diikuti dengan tawa kecil “fufu”.

Bahkan setelah itu, Touko-senpai terus menghibur anak itu. Sedangkan aku, aku hanya menghabiskan sebagian besar waktu itu dengan diam.

Namun, itu mengejutkanku. Aku tidak menyangka kalau Touko-senpai, yang biasanya tenang dan pintar, sangat menyukai anak-anak.

Aku diam-diam memainkan smartphone-ku dengan satu tangan dan mengambil gambar Touko-senpai yang seperti itu dengan sembunyi-sembunyi.

Aku tidak yakin apakah dia sadar atau tidak.

“Oh, itu Mama.”

Di arah yang ditunjuk anak laki-laki dari punggungku, ada seorang ibu sedang berdiri sambil menggendong bayi dan memegang seorang gadis kecil. Kami berjalan sampai ke depan ibu itu dan menurunkan anak laki-laki itu dari punggungku.

Ketika Touko-senpai menjelaskan apa yang terjadi, ibunya menundukkan kepalanya kepada kami berulang kali.

Tampaknya, saat itu sang ibu sedang membawa putri kecilnya ke kamar mandi dan meninggalkan anak laki-laki itu sendirian untuk sesaat.

Touko-senpai lalu berjongkok di depan bocah itu dan memberinya kata-kata terakhir.

“Sampai jumpa, Shota-kun. Pastikan kamu tidak meninggalkan ibumu sendirian lagi, oke?”

Saat mengatakan itu, dia meletakkan tangannya dengan lembut di kepala anak itu.

Aku segera memotret adegan Touko-senpai itu dengan kamera ponselku.

“Touko-senpai, kamu sangat menyukai anak-anak, ya?”

“Ap-? Apa-apaan cara bicaramu itu?”

“T-Tidak, maksudku bukan begitu.”

Aku buru-buru mengoreksi perkataanku, tapi Touko-senpai menatapku sambil tersenyum.

“Aku memang suka anak-anak. Dan aku selalu ingin punya adik laki-laki.”

“Apakah kamu punya saudara, Touko-senpai?”

“Aku punya satu adik perempuan, yang tiga tahun lebih muda dariku.”

Jika itu adik perempuan Touko-senpai, pastinya dia cantik juga, kan?

“Sebenarnya, yang paling aku inginkan adalah saudara laki-laki.”

Saat kami sedang bicara, kami sampai di tempat kami memarkir mobil.

“Ini sudah lewat tengah hari. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat untuk makan?”

Kami menuju utara di Rute 410. Kali ini, rute yang kami ambil membawa kami ke sisi timur Semenanjung Boso.

Tak lama kemudian, kami tiba di ‘Rest Area Wadaura WA・O.’ Ada model kerangka paus biru berukuran besar yang dipamerkan di sekitar Stasiun Wadaura. Kami pun memasuki restoran yang ada di sebelahnya.

Aku lalu berkata sambil melihat menu.

“Kalau tidak salah, Wadaura adalah salah satu dari sedikit tempat langka di mana bahkan saat ini perburuan paus masih terjadi. Omong-omong tentang perburuan paus, Taiji di prefektur Wakayama terkenal akan hal itu, bukan?”

Ini juga adalah informasi yang aku baca dari internet dan katakan ulang.

“Aah, sekarang setelah kamu menyebutkannya, aku pernah mendengar di suatu tempat bahwa ada tempat di Minamibousou di mana mereka memproduksi bacon ikan paus. Mereka mengatakan bahwa selain memproduksinya, mereka juga melakukan sesuatu seperti menjualnya.”

“Aku selalu bertanya-tanya seperti apa rasa daging paus itu, jadi aku ingin memakannya setidaknya sekali.”

Aku memutuskan pesananku ketika aku sedang berbicara. Deluxe Kujira-don.

TLN: Kujira-don adalah kujira (paus) + don (donburi, hidangan dengan bahan utama disajikan di mangkuk berisi nasi)

Hidangan ini terdiri dari sashimi paus, tatsutaage paus, dan katsu paus yang diletakkan di atas donburi.

TLN: Tatsutaage adalah hidangan ikan atau daging yang dibumbui dengan kecap, micin, dll., Dilapisi dengan pati lalu digoreng. Katsu adalah potongan daging (dilapisi tepung roti)

“Kurasa aku akan memesan ‘Menu Paket Sashimi Ikan Lokal Musiman’ saja. Aku tidak akan bisa makan daging ikan paus jika ternyata rasanya aneh.”

“Tapi kita sudah datang jauh-jauh ke sini. Tidakkah kamu merasa ingin mencobanya  meski sedikit? Jika kampanye dan gerakan anti perburuan paus terus berlanjut di masa depan, kita mungkin tidak lagi bisa makan makanan seperti daging ikan paus.”

Meski begitu, Touko-senpai masih terlihat bimbang.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita berbagi salah satu dari ‘sashimi Paus’ ini? Seharusnya tidak ada masalah jika kita berdua membaginya, kan?”

“Oke, ayo lakukan itu.”

Hidangan yang kami pesan pun dihidangkan ke depan kami. Daging ikan paus tampak lebih berwarna merah gelap daripada daging sapi. Itu terlihat seperti daging kuda.

Ketika aku mencobanya, rasanya ternyata sangat mirip dengan daging biasa. Kurasa bisa dianggap bahwa ini adalah sesuatu seperti daging impor yang tampak sangat merah?

Sepertinya Touko-senpai memiliki pendapat yang sama tentang hal itu.

“Ini memang memiliki sedikit rasa yang unik, tapi sebagian besar, ini mirip daging biasa.”

“Aku setuju. Warnanya seperti daging kuda, tapi rasanya mirip dengan steak impor.”

“Kamu tahu kalau paus adalah turunan dari ordo artiodactyla yang sama seperti sapi dan babi, kan? Mungkin wajar jika rasanya mirip. Kudengar bahwa saat ini bahkan ada klasifikasi yang disebut ‘Cetartiodactyla’ yang mencakup paus dan mamalia darat seperti sapi, babi, dan rusa.”

“Huh.”

“Ngomong-ngomong, mereka bilang bahwa kuda nil adalah hewan darat yang berkerabat terdekat dengan paus.”

“Seperti yang diharapkan dari ‘Dewi Perpustakaan.’ Pengetahuanmu sangat luas.”

Touko-senpai lalu memelototiku dengan melirik ke atas.

“Julukan itu, aku tidak pernah menyukainya.”

“Kenapa? Menurutku orang-orang menggunakan julukan itu dalam artian baik.”

“Aku bukan objek pemujaan, dan tentu saja aku juga bukan Dewi. Aku dulunya adalah seorang gadis SMA yang sangat normal, dan sekarang pun aku seorang mahasiswi normal.”

“Benar juga, tapi…”

“Setidaknya, aku tidak ingin Isshiki-kun, yang seharusnya sudah memahamiku sampai batas tertentu, memanggilku seperti itu.”

Touko-senpai berbicara dengan nada kesepian dalam suaranya.

“Aku mengerti. Maaf.”

Aku menawarkan permintaan maafku yang tulus, dan Touko-senpai sekali lagi memasang senyum nakal di wajahnya.

“Kalau begitu, belikan aku es krim lembut sebagai permintaan maaf. Aku melihatnya dijual di luar tadi.”

Caranya yang menginginkan es krim lembut itu terkesan sangat imut.

“Siap. Jangan ragu untuk memesan 2 atau bahkan 3!”

“Oh, seriusan? Kalau begitu aku mau dua, satu dengan madu dan susu, lalu satunya lagi dengan kacang!”

Ketika kami selesai makan, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Pada akhirnya, kami berdua membeli varian es krim lembut yang berbeda dan saling bertukaran sambil berjalan.

Ini adalah ‘ciuman tidak langsung pertama’-ku dengan Touko-senpai.

Aku juga menyimpan adegan Touko-senpai yang sedang memakan es krim lembutnya dalam bentuk foto.

“Kamu bahkan mengambil fotoku saat makan?”

Dia sedikit kesal, tapi menurutku itu adalah cara makan kekanak-kanakan yang menggemaskan.

◆◆◆


Kami berkendara jauh ke utara, menuju “Batu Karang” di dekat Stasiun Taito.

TLN: Raw-nya Suzume-Iwa, karena bingung cari istilah yang tepat, akhirnya mimin memutuskan pakai Batu Karang sajalah. Untuk lebih jelasnya bisa cari Suzume-Iwa atau Suzumejima di Google

Tempat ini terletak sedikit di ujung selatan Pantai Kujukuri, dan juga dikenal sebagai “Meoto-Iwa”.

TLN: Meoto-iwa atau nama lainnya adalah Married Couple Rocks atau dalam Bahasa Indonesia Batu Suami Istri.

Di pantai berpasir kecil, sebuah batu karang berbentuk seperti potongan kue mencuat di laut.

“Tempat ini adalah tempat wisata terakhir yang akan kita kunjungi.” kataku saat turun dari mobil. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.

“Kita telah mengunjungi banyak tempat dan hampir mengelilingi Semenanjung Minamiboso.”

Touko-senpai berkata begitu, dan turun dari mobil.

Aku melihat sekeliling, tapi tidak ada orang lain selain kami.

Sebuah pantai berbentuk teluk kecil terbentang di hadapan kami.

Sebuah batu karang berbentuk kue mencuat di sebelah kirinya. Karena sedang pasang surut, seharusnya mudah bagi kami untuk memanjat batu itu.

“Mau mencoba memanjatnya sebentar?”

“Eh? Bukankah itu berbahaya?”

“Seharusnya tidak apa-apa, mengingat kemiringannya tidak terlalu curam.”

Aku mendekat ke kaki batu dan mengulurkan tanganku ke arah Touko-senpai.

Dia meraih tanganku dengan ketakutan dan aku menariknya ke atas batu.

Bagian pinggir batu karang tertutup tanah dan rerumputan, sehingga itu tidak terlalu sulit untuk didaki.

Kami berdua tiba di puncak batu karang. Bagian Batu Karang yang menghadap ke laut jatuh pada sudut vertikal yang curam.

Aku mengintip ke bawah dari tepi dan melihat air laut berwarna biru tua, mungkin karena airnya lebih dalam daripada di daerah lain, membasuh batu karang seolah-olah berputar mengelilinginya.

“Jangan terlalu ke pinggir, itu berbahaya lho.”

Karena Touko-senpai bilang begitu, aku lalu mundur sedikit.

Langit timur sudah mulai gelap.

Aku sudah bisa melihat beberapa bintang di dekat cakrawala. Yang paling terang seharusnya adalah Venus.

Ketika aku melihat ke seberang, aku melihat matahari mulai terbenam di balik puncak pegunungan Bousou.

Aku dan Touko-senpai duduk bersebelahan di atas batu karang, menyaksikan matahari terbenam.

“Aku sangat berterima kasih karena kamu mau menghabiskan sepanjang hari ini bersamaku.”

Setelah aku mengatakan itu, Touko-senpai dengan ringan menundukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Sama-sama. Aku ingin mengucapkan terima kasih juga.”

Lalu, dia mengangkat kepalanya dengan senyum cerah.

“Hari ini menyenangkan~. Ini mungkin lebih menyenangkan daripada kencanku bersama Tetsuya. Aku merasa seperti bisa menunjukkan diriku yang sebenarnya!”

Aku tersenyum kecut.

“Tapi, jika ini kencan sungguhan, bukankah hal yang buruk untuk menyebutkan nama mantan pacar di saat begini?”

“Mungkin begitu.”

Setelah mengatakan itu, Touko-senpai memegang lututnya dengan kedua tangan.

“Tapi sejujurnya, aku sedikit cemburu pada Karen-san hari ini. Aku cemburu karena berpikir dia selalu berkencan seperti ini denganmu.”

Untuk sesaat, aku tidak tahu harus berkata apa.

Namun, aku tidak ingin Touko-senpai berpikir seperti itu.

“Aku tidak pernah datang ke tempat seperti ini bersama Karen. Dia lebih suka pergi ke tempat-tempat di mana dia bisa berbelanja atau tempat yang sedang viral.”

“Begitukah? Yah, itu mungkin hal yang normal.”

Mendengarnya berbicara seperti itu, aku penasaran dengan kencan seperti apa yang dilakukan Touko-senpai dengan Kamokura.

Meski begitu, itu bukanlah sesuatu yang dapat kutanyakan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang lain.

“Kamu pernah bilang sebelumnya kalau ‘tiga bulan adalah saat bagi pasangan untuk kepikiran soal putus’, kan? Apakah hal itu juga terlintas di benakmu, Touko-senpai?”

Touko-senpai meletakkan dagunya di atas lutut sambil berpikir sejenak.

“Ya, aku pernah berpikir begitu sebelumnya, tapi kurasa mungkin akunya saja yang terlalu egois. Tetsuya juga bilang padaku kalau aku itu terlalu berlebihan dan bertanya kenapa aku tidak puas pacaran dengannya.”

Wow… Pria tampan memang beda. Mereka mengatakan beberapa hal yang orang lain tidak akan pernah bisa.

“Saat jarak di antara kami merenggang adalah di saat masa ujian. Lalu pikiran berikutnya datang saat liburan musim panas dan ada acara perkumpulan. Tapi kupikir, ‘Jika kami putus sekarang, itu akan menjadi canggung setelahnya, jadi ayo jalani saja sedikit lagi.’”

“Jadi, setelah kamu menjalaninya, bagaimana hasilnya?”

Touko-senpai terdiam beberapa saat.

“Aku mengetahui kalau Tersuya adalah orang yang kesepian. Dia selalu berpura-pura tegar meskipun dia kesepian. Ketika aku melihat bagian dari dirinya itu, aku berpikir, ‘Aku ingin berada di sana untuknya’…”

Aku menyesal telah menanyakan hal itu.

“Isshiki-kun, kamu punya teman bernama Ishida-kun yang bisa kamu ajak bicara tentang apa saja dan yang akan membantumu saat dalam kesulitan, kan? Tapi, Tetsuya tidak punya orang yang seperti itu. Dia bisa menjadi pusat di kelompok mana pun, tapi dia tidak memiliki orang yang benar-benar peduli padanya…”

Suara Touko-senpai terdengar seperti akan menghilang kapan saja.

“Mungkin, itulah sebabnya dia ingin dikelilingi oleh begitu banyak hal berbeda.. Sama seperti bagaimana dia mencoba mencari teman untuk diajak bersenang-senang dengan bertingkah seperti pria ceria, atau bersikap percaya diri mencari gadis yang akan menemaninya…”

Aku terdiam saat melihat sisi samping wajahnya. Saat itulah dia berbisik dengan sikap mencela diri sendiri.

“Mungkin saja aku adalah salah satu dari aksesorisnya. Aksesoris yang terlihat sedikit cantik, yang bisa dipamerkan kepada orang lain…”

Dia kemudian membenamkan wajahnya di lutut seolah-olah untuk menyembunyikannya.

“Sebenarnya, aku juga punya firasat samar bahwa Tetsuya berselingkuh. Namun, Tetsuya selalu baik dan mengutamakanku. Kurasa, aku sudah secara tidak sadar mencoba menutup mata. Bahkan kali ini pun, jika kamu tidak bersamaku, aku yakin aku akan berpura-pura tidak melihat perselingkuhannya.”

Aku tidak tahu harus berkata apa padanya saat ini.

“Kurasa wajar saja jika Tetsuya memakai aksesoris lain. Aku yakin kalau aku sendiri tidak begitu menarik baginya.”

“Itu tidak benar!”

Aku menyangkalnya dengan keras.

“Touko-senpai, kamu sangat menarik.”

Tapi dia menatapku dengan sedih.

“Itu hanya soal penampilan luar, kan? Namun, sebagai seorang perempuan, aku…”

“Kamu juga menarik sebagai seorang perempuan. Aku di sini untuk memberitahumu hal itu. Itulah alasan aku memintamu untuk menemaniku hari ini.”

Seelah aku mengatakan itu, aku mengeluarkan smartphone-ku dan membuka foto Touko-senpai yang aku ambil sepanjang hari ini.

“Aku menghabiskan sepanjang hari ini memotret semua bagian dirimu, Touko-senpai, yang menurutku menawan. Silakan dilihat.”

Lalu, aku mendekatkan tubuhku ke Touko-senpai, dan kami melihat layar ponsel bersama-sama.

Touko-senpai yang menatap batu Buddha dengan kagum di Gunung Nokogiri, Touko-senpai yang berjalan takut-takut di Jigoku Nozoki, Touko-senpai yang tertiup angin laut pantai, Touko-senpai yang menyaksikan ikan berenang di tepi laut, adegan kebetulan di mana kami tiba-tiba jatuh ke kolam air pasang dan akhirnya saling berpelukan, Touko-senpai yang melihat ke cakrawala, Touko-senpai yang tersenyum bermain dengan anak kecil, serta Touko-senpai yang menjilati es krim lembut sambil tersenyum bahagia.

Semua foto itu menangkap pesona alaminya.

“Menurutku penampilan alami, senyum alami, dan cara Touko-senpai memperlakukan orang lain secara alami itulah yang paling imut. Itulah sebabnya Touko-senpai yang biasanya adalah yang paling imut. Touko-senpai yang mengekspresikan emosinya dengan jujur ​​seperti itulah yang menurutku sangat mempesona.”

“…Makasih…”

Sisi wajah Touko-senpai, yang sedang menatap foto-foto itu, bersinar oranye di bawah matahari terbenam.

Lalu, dia berkata dengan suara kecil tapi jelas.

“Dari semua foto yang telah aku ambil sampai sekarang, ini adalah yang paling membuatku bahagia dari semuanya. Ini membuatku lebih bahagia daripada yang diambil oleh juru kamera profesional.”

Setelah meninggalkan Batu Karang, aku dan Touko-senpai kembali ke kampung halaman kami, Kota Chiba, melalui Jalan Togane dari Tol Sotobo. Dengan cara yang sama seperti ketika kami datang ke sini, aku mengantar Touko-senpai sampai ke Stasiun Kemigawahama di JR Jalur Keiyou.

“Kalau begitu, sampai jumpa lagi di kampus.”

Mengatakan itu, Touko-senpai keluar dari mobil.

“Tentu saja. Sekali lagi, terima kasih banyak untuk hari ini.”

“Tidak, seharusnya akulah yang mengatakan itu. Ini sangat menyenangkan.”

“Aku senang mendengarnya.”

Namun, meskipun Touko-senpai sudah turun dari mobil, dia tidak menutup pintu dan tetap diam di tempat.

…Apakah masih ada yang ingin dia katakan padaku?…

Saat pikiran itu melintas di benakku, aku menatap Touko-senpai.

Touko-senpai juga menatapku.

“Isshiki-kun, tentang kencan hari ini…”

“Ya?”

Setelah jeda singkat, dia berkata seolah-olah dia telah membulatkan tekad.

“Ya, aku akan memberimu ‘Yuu’! ‘Yuu’ yang sama dengan Yuu Isshiki.”

TLN: Dalam sistem penilaian, Yuu () artinya sangat baik/excellent.

Dia mengatakan itu dan memberiku senyuman cerah.

“Kalau begitu, selamat malam!”

Tidak ingin menunggu jawabanku, dia membanting pintu hingga tertutup.

…‘Kencan hari ini’, ya…

Di dalam mobil, di mana aroma Touko-senpai masih tertinggal, aku memikirkan satu kalimat itu dalam lamunan.



Kanojo ga Senpai ni NTR-reta no de, Senpai no Kanojo wo NTR-masu Bahasa Indonesia [LN]

Kanojo ga Senpai ni NTR-reta no de, Senpai no Kanojo wo NTR-masu Bahasa Indonesia [LN]

My Girlfriend Cheated on Me With a Senior, so I’m Cheating on Her With His Girlfriend, Pacarku Selingkuh dengan Seniorku, maka Aku pun Berselingkuh dengan Cewek Seniorku
Score 9.9
Status: Ongoing Type: Author: Artist: Released: 2021 Native Language: Jepang
“Touko-senpai! Tolong berselingkuh denganku!" “Tenang, Isshiki-kun… aku tidak akan puas sebelum kita membuat mereka berdua yang menyelingkuhi kita merasakan neraka itu sendiri!” Yuu Isshiki terkejut mengetahui pacarnya berselingkuh, jadi dia memutuskan untuk berselingkuh dengan pacar dari pria yang mencuri ceweknya, Touko Sakurajima, yang kebetulan juga adalah senpai yang dia kagumi. Sebagai bagian dari rencana mereka, Touko mengusulkan untuk 'membalas' mereka sebesar mungkin, jadi dia mulai membuat Yuu menjadi pria yang menarik dan populer di kalangan perempuan!? Pilihan pakaian, topik pembicaraan, dll... Yuu mendapati dirinya berada di tengah peningkatan gila-gilaan dalam reputasinya di kalangan perempuan; namun, perasaannya pada Touko terus tumbuh. Saat rencana mereka terus berkembang, hubungan antara mereka berdua tiba-tiba menjadi intim… 'Pembalasan' apa yang akan dilakukan oleh mereka yang diselingkuhi pada Malam Natal?! Apa kesimpulan yang menunggu mereka berdua!? Tirai komedi romantis balas dendam pun dinaikkan!

Comment

Options

not work with dark mode
Reset