Prolog
1
“Aku ingin kerja paruh waktu,” gumamku tiba-tiba saat sedang menonton TV di sofa ruang tamu di rumah.
“Kerja paruh waktu?”
Adikku, Rie, yang sedang menonton TV bersamaku di sofa, bertanya balik dengan heran.
“Ya, kerja paruh waktu.”
“Kenapa tiba-tiba ingin kerja?”
“Yah, karena aku tidak memiliki kegiatan ekskul apa pun, aku punya waktu luang sepulang sekolah, dan aku ingin mendapatkan uang dengan bekerja paruh waktu.”
Aku dulu bekerja paruh waktu sebelum aku datang ke dunia ini.
Sudah sekitar dua bulan sejak aku memasuki dunia manga romcom “Aku tidak bisa memiliki komedi romantis yang normal karena teman masa kecilku Ojou-sama menghalangi”, dan seragam sekolah pun telah berganti menjadi seragam musim panas.
Aku tidak akan pernah bisa melupakan apa yang telah terjadi dalam dua bulan terakhir ini.
Aku bertemu karakter favoritku di manga, Sei Shimada, dan menyatakan perasaan padanya begitu aku bertemu dengannya—Setelah banyak hal terjadi, kami pun akhirnya pacaran.
Itu benar-benar sesuatu yang tidak dapat aku bayangkan ketika aku berada di duniaku sebelumnya.
Aku sangat bahagia hingga aku sedikit takut bahwa dunia ini hanyalah mimpi dan aku akan terbangun suatu hari nanti.
Yah, kesampingkan itu, sebelum datang ke dunia ini, aku dulu bekerja paruh waktu.
Alasan aku bekerja paruh waktu adalah untuk mendapatkan uang agar dapar membeli merchandise Sei-chan, karakter favoritku di “Ojojama”.
Tapi sekarang, setelah aku memasuki dunia ini dan pacaran dengan Sei-chan, aku bisa memberikan sesembahanku pada karakter favoritku secara langsung.
Apakah ada pengeluaran penuh kebahagiaan seperti ini di tempat lain?
Tapi sekarang, aku tidak punya pekerjaan paruh waktu, dan aku tidak punya uang sama sekali.
Akan ada banyak acara yang diadakan musim panas ini, jadi aku ingin menabung sebelum saat itu tiba.
“Untuk terus pacaran dengan Sei-chan, uang akan menjadi hal yang sangat penting, kan?”
“Ah, untuk Sei-chan, ya.”
Adikku, Rie, juga sudah bertemu Sei-chan dan tahu kalau kami adalah sepasang kekasih.
…Rasanya agak memalukan untuk menyebut diriku sendiri sebagai kekasihnya.
“Kedengarannya bagus. Pekerjaan paruh waktu seperti apa yang kakak pikirkan?”
“Yah, mungkin pegawai biasa di kafe atau semacamnya.”
Aku juga bekerja paruh waktu seperti itu di duniaku sebelumnya.
“Aku rasa aku akan mencari kafe yang sedang mencari pekerja paruh waktu di sekitar sini.”
“Menurutku itu ide yang bagus.”
“Kalau bekerja di kafe, aku mungkin bisa belajar memasak ringan, lalu aku bisa membuatkannya untuk Rie juga.”
“Mm, aku menantikannya.”
Rie tersenyum dengan sudut mulutnya sedikit terangkat.
Hnng, adikku sangat imut.
Secara refleks, aku mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Rie.
“J-Jangan mengelusku.”
“Aku pasti akan membuatkanmu makanan yang enak, jadi nantikanlah!”
Kami menghabiskan sisa hari itu dengan bersantai di rumah, menikmati waktu berkualitas kami seperti itu.
***
Keesokan harinya, saat istirahat makan siang di sekolah.
Kami berlima menyatukan meja dan makan di kelas seperti biasa.
“Yuuichi, aku membuatkanmu bekal lagi hari ini. Rekomendasi hari ini adalah hamburger. Ini hamburger seukuran sekali gigit, dan tentu saja ini buatan sendiri.”
“Eh, benarkah? Luar biasa.”
“Ini, ah~n.”
“Yah, aku selalu mengatakan ini, tapi itu agak memalukan…”
“Aku sudah bekerja keras sejak pagi untuk membuatkan ini demi Yuuichi, lho. Setidaknya berikan aku imbalan kecil dengan melakukan ini.”
“Uh, baiklah. Ah~n… Hmm, enak.”
“Fufu, syukurlah.”
Yang duduk di depanku, orang yang didesak kuat oleh seorang perempuan adalah protagonis dari dunia manga “Ojojama”, Yuuichi Shigemoto.
Dan orang yang mendesaknya kuat dan membuatnya berkata “ah~n” adalah sang heroine tipe Ojou-sama, Kaori Toujoin.
Seperti biasa, Toujoin-san sangat agresif.
“Shigemoto-kun, aku juga sudah memasak sedikit, maukah kamu memakannya? Aku membuat telur dashimaki.”
“Oh, apakah kamu yakin?”
“Ya… Um, A-Ah~n.”
“Fu-Fujise, kamu tidak perlu melakukannya jika kamu malu, lho.”
“A-Aku akan melakukannya! Aku tidak akan kalah dari Toujoin-san! Ini, ah~n.”
“A-Ah~n… Mmm, ini juga enak.”
Yang duduk di sebelah Yuuichi adalah heroine lainnya, Shiho Fujise.
Dia adalah saingan Toujoin-san untuk memperebutkan cinta Yuuichi, dan dia mencoba bersaing dengannya menyuapi Yuuichi.
“B-Benarkah!? Syukurlah…”
“Jadi, Fujise bisa memasak juga, ya?”
“E-Ehehe, akhir-akhir ini aku berlatih sedikit demi sedikit.”
Fujise tersenyum bahagia saat diberi tahu bahwa masakannya enak.
Dia awalnya adalah seorang heroine yang sangat payah dalam memasak.
Namun, kami meminjam rumah Toujoin-san untuk berlatih, dan dia telah berkembang hingga bisa memasak seperti orang pada umumnya.
“Shiho, kamu sudah tumbuh…”
“Sei-cha… Shimada, kamu terlihat seperti orang tua yang mengawasi anaknya.”
Dan gadis yang duduk di sebelahku, yang mengawasi sahabatnya, Fujise, adalah pacarku, Sei Shimada.
Orang yang berusaha paling keras untuk membantu Fujise mengatasi ketidakmampuannya memasak adalah Sei-chan, jadi dia pasti merasa senang melihat Fujise bisa memasak untuk Yuuichi.
Tapi, tadi itu agak berbahaya, karena aku hanya diperbolehkan memanggilnya ‘Sei-chan’ ketika kami berduaan saja.
“Aku dengar dari Shiho sebelumnya kalau dia membuat bekal sendiri hari ini.”
“Eh, itu luar biasa. Padahal dia membuat materi gelap beberapa waktu lalu.”
“Ya, itu adalah bukti kalau dia sudah bekerja keras.”
“Tatapanmu benar-benar seperti tatapan orang tua… Ngomong-ngomong, apakah kamu membuat bekalmu sendiri, Shimada?”
“Ya, benar. Aku membuatnya hampir setiap hari.”
Saat aku melihat kotak bekal Sei-chan, ada banyak lauk pauk yang terlihat lezat.
Sei-chan cukup mahir memasak hingga bisa mengajari Fujise.
“…Apakah kamu ingin mencobanya?”
“Ya, aku mau.”
“Fufu, kamu sungguh jujur. Yah, kurasa tidak masalah kalau hanya begini.”
Aku dan Sei-chan merahasiakan hubungan kami.
Itulah mungkin sebabnya Sei-chan bilang “tidak masalah” dalam artian bahwa “kami tidak akan ketahuan pacaran kalau hanya begini.”
“Aku akan memberimu beberapa lauk bekalku juga. Tapi, adikku Rie yang membuatnya.”
“Begitu, aku belum pernah makan masakan Rie sebelumnya, jadi aku sangat menantikannya. Bolehkah aku minta telur gulungnya?”
“Tentu saja.”
Sei-chan mengambil telur gulung dari bekalku.
“Kamu mau yang mana, Hisamura?”
“Kurasa aku akan memilih telur gulung juga.”
“Begitu, nah, silakan.”
Saat aku hendak mengambilnya, aku ragu-ragu sejenak.
Sial… Aku ingin disuapi oleh Sei-chan seperti yang mereka lakukan untuk Yuuichi.
Aku akan sangat senang jika Sei-chan menyuapiku, tapi itu jelas mustahil untuk melakukannya di sini.
Jika kami melakukan itu, semua orang akan langsung tahu kalau aku dan Sei-chan berpacaran.
Jika itu terjadi… tatapan cemburu dari anak laki-laki di kelas, yang menusuk ke arah Yuuichi, juga akan mengarah padaku.
Sejujurnya, aku bisa menerima tatapan mereka dengan senang hati, tapi sepertinya Sei-chan ingin merahasiakan hubungan kami, jadi aku tidak bisa membiarkan mereka mengetahuinya.
“Hm? Ada apa?”
Karena aku tiba-tiba membeku, Sei-chan bertanya padaku dengan penasaran.
“Tidak, bukan apa-apa. Baiklah, aku akan makan ini.”
Aku menggerakkan tanganku yang berhenti dan mengambil telur gulung buatan Sei-chan.
Aku dan Sei-chan memakan telur gulung kami masing-masing pada waktu yang hampir bersamaan.
“Mmm, enak! Seperti yang diharapkan dari Shimada.”
“Telur gulungmu juga enak.”
“Aku akan memberitahu Rie kalau kamu bilang masakannya enak.”
“Ya, tolong, sampaikan padanya.”
Setelah itu, kami lanjut makan.
“Omong-omong, Hisamura, kenapa kamu tadi tiba-tiba membeku?”
“Hm? Maksudmu saat aku akan mengambil telur gulung tadi?”
“Ya, kamu tiba-tiba memasang ekspresi yang campur aduk.”
Seperti yang diharapkan dari Sei-chan, dia bisa mengetahuinya dalam sekejap.
Tidak ada yang memberikan perhatian khusus pada kami saat ini, begitu pula dengan Yuuichi dan yang lainnya.
Aku mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah Sei-chan dan berkata dengan volume suara yang hanya bisa didengar olehnya.
“Sebenarnya, aku ingin Sei-chan menyuapiku seperti yang mereka lakukan pada Yuuichi.”
“Apa…!?”
Pipi Sei-chan langsung memerah mendengar kata-kataku.
Sei-chan melihat sekeliling dan kemudian berbicara dengan suara kecil, sama sepertiku.
“T-Tidak mungkin kita bisa melakukan itu di sini…!”
“Iya, itulah makanya aku menyerah dan hanya memakan telur gulung seperti biasa.”
“B-Begitu, ya… Yah, um, itu masuk akal.”
Sei-chan melihat sekeliling lagi dan kemudian, setelah memastikan tidak ada yang melihat, berbicara dengan suara yang lebih pelan.
“A-Aku akan melakukannya untukmu saat kita berduaan… Tsukasa.”
Saat dia mengatakan itu, jantungku berhenti berdetak sesaat.
Kuu, K-Kupikir aku akan mati…! Itu gawat banget!
Kata-katanya sangat imut dan enak didengar, ditambah ketika dia mencoba memanggil nama depanku yang belum terbiasa dia lakukan, itu terasa seperti pukulan terakhir.
“…Kalau gitu, janji ya, Sei-chan.”
“Y-Ya, tentu.”
Sei-chan memerah padam dan langsung membuang muka setelah itu.
Haah, pacarku, Sei-chan, tetap sangat imut hari ini…!
***
Lalu, beberapa hari kemudian.
Aku dan Sei-chan sedang kencan sepulang sekolah di kafe.
Karena kami tidak bisa pergi bersama-sama dari sekolah, kami berpura-pura pulang terpisah dan ketemuan di pertengahan jalan menuju kafe.
Itu mungkin terkesan sedikit merepotkan, tapi sebenarnya itu cukup menyenangkan karena terasa seperti kencan rahasia.
Kami datang ke kafe favorit Sei-chan, “Moonbucks”, dan dia membeli minuman yang namanya panjang kayak mantra, dan dia pun duduk lalu meminumnya.
Sei-chan, yang ternyata menyukai yang manis-manis, menyipitkan matanya sedikit karena bahagia saat meminumnya, dan itu terlihat sangat menggemaskan.
“Sei-chan, apakah itu enak?”
“Mmm, enak sekali. Aku selalu pesan ini kalau datang ke Moonbucks. Terkadang aku memesan menu baru, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan ini.”
“Jadi seenak itu, ya.”
“Apakah kamu ingin mencobanya juga, Tsukasa?”
“Eh, bolehkah?”
Sei-chan masih belum terbiasa memanggil nama depanku, dan dia sedikit tersipu ketika mengatakannya.
Itu sangat menggemaskan, dan mau tak mau aku sedikit berharap dia tidak akan pernah terbiasa selamanya.
“Tentu saja, kalau cuma sedikit gak masalah kok.”
“Begitu. Kalau gitu, aku akan menerimanya dengan senang hati… Ah.”
“Hmm?”
Sei-chan menawarkannya padaku, jadi aku akan mengambilnya dan meminumnya, tapi ketika aku melihat sedotannya, aku terhenti.
Tunggu, mungkinkah ini ciuman tak langsung?
Tidak, kami pernah melakukan ciuman tak langsung di taman hiburan sebelumnya, tapi saat itu adalah makanan.
Tapi, karena ini adalah sedotan, rasanya seperti naik satu tingkat lebih tinggi dalam hal tingkatan ciuman tak langsung. Meski aku tidak yakin apakah ada tingkatan ciuman tak langsung, sih.
“Tsukasa, ada apa…? Ah!”
Sei-chan tampaknya menyadari keraguanku saat melihat sedotan, dan pipinya pun memerah.
Oh benar juga, aku kan membeli kopi, jadi aku tinggal memasukkan sedotanku ke dalamnya dan meminumnya.
“G-Gak apa kok.”
“Eh?”
“A-Aku tidak keberatan soal, c-ciuman tak langsung, kok. S-Soalnya kita kan p-pacaran…”
Sei-chan mengatakan itu sambil wajahnya memerah dan membuang muka.
Ukh, itu sangat imut, membahagiakan dan memalukan. Hatiku dipenuhi dengan semua itu…!
“B-Baiklah, kalau begitu, aku akan melakukannya.”
“S-Silakan.”
Saat dia mengatakannya seperti itu, bukankah rasanya seperti aku malah akan menikmati sedotannya?
Tidak, mari berhenti berpikir begitu.
Aku dengan gugup meletakkan mulutku di sedotan dan menyesapnya.
“…B-Bagaimana rasanya?”
“…Y-Ya, ini enak.”
Meski aku tidak bisa fokus mencicipinya, aku tahu kalau rasanya manis dan enak.
Alasan aku tidak bisa fokus mencicipinya, aku rasa semua orang sudah tahu.
“S-Syukurlah.”
“Ya.”
“…”
“…”
Baik aku dan Sei-chan terdiam sesaat, mungkin karena kami sama-sama merasa malu.
“Oh iya, aku membuatkan kue kering untuk Tsukasa hari ini.”
“A-Ah, itu yang kita bicarakan waktu itu, kan?”
Sei-chan mengangkat topik itu, jadi aku mengikuti arusnya.
Kemarin, Sei-chan bertanya padaku lewat RINE, “Aku akan membuat kue kering besok, apakah kamu mau?”
Tentu saja aku menjawabnya dengan “Mau banget!”
Tapi kemudian aku bertanya, “Aku sangat senang sih, tapi ada angin apa?”
Kemudian, di pesan berikutnya…
“Umm.. Itu janji untuk menyuapimu, ingat?”
Dadaku terasa sangat sesak saat pesan itu datang padaku.
Sei-chan bilang kalau dia akan membuatkanku kue agar bisa menyuapiku.
…Eh, tunggu sebentar?
Dengan kata lain, jika Sei-chan mengeluarkan kuenya, itu berarti…
“Ah…”
Sei-chan membeku setelah mengeluarkan kue, mungkin dia juga teringat chatting-an kami di RINE kemarin.
Lalu, aku dan Sei-chian pun saling berpandangan lagi dan menjadi merah padam.
“N-Nah, Tsukasa… seperti yang kubilang di RINE kemarin, ini kuenya.”
“Y-Ya, hebat. Ini kelihatannya enak.”
“Terima kasih… Um, jadi, seperti yang kubilang kemarin…”
“Ya…”
Sei-chan pun mengambil dan mengeluarkan kue dari kantong plastiknya.
“A-Ah~n…”
Sei-chan, yang wajahnya memerah sampai ke telinga dan matanya sedikit berkaca-kaca, mengulurkan kue dengan tangan gemetar.
I-Imutnya…!
Aku ingin memotret pemandangan di depanku dan menjadikannya sebagai wallpaper…!
Namun, kasihan rasanya membiarkan Sei-chan terus begitu lebih lama lagi.
Meski memalukan, aku menguatkan tekad, dan—
“A-Ah~n…”
Kue yang dibuat oleh Sei-chan masuk ke mulutku dari tangannya langsung.
Aku bertanya-tanya apakah ada yang lebih membahagiakan daripada ini?
“B-Bagaimana rasanya?”
“Umm… maaf, aku terlalu malu untuk dapat mencicipi rasanya, tapi aku merasa sangat senang.”
“Ukh! A-Aku sudah bersusah payah membuatnya, jadi tolong cicipilah dengan serius.”
“Ukh, imutnya…”
“A-Apa!? J-Jangan mengatakan sesuatu seperti itu secara tiba-tiba!”
Aku memang refleks mengatakan itu, tapi itu karena keimutannya sudah kelewat batas.
Tapi yah, barusan memang salahku karena tidak mencicipinya dengan benar.
Meski salah Sei-chan karena dia terlalu imut, tapi Sei-chan yang imut bukanlah kesalahan.
Dengan kata lain, hanya akulah yang salah.
“Maaf, lain kali aku akan mencicipinya dengan benar. Bisakah aku mencobanya lagi?”
“L-Lagi!?”
“Ya, secara pribadi, aku ingin memakan semua kue itu dengan disuapi.”
“Semuanya!? Apakah kamu tahu berapa banyak kue yang kubuat!?”
Karena kuenya di bungkus dalam kantong transparan, jadi sekilas terlihat ada sekitar 20 buah kue di dalamnya.
“Untuk sekarang tolong satu kali lagi, dan kali ini aku akan mencicipinya dengan benar.”
“Ukh, benarkah?”
“Tentu saja.”
“Baiklah… Ah~n.”
“Ah~n… Ya, ini sangat enak.”
Aku masih merasa malu, tapi aku bisa menikmatinya dengan lebih tenang dibandingkan saat pertama kali.
Kue ini memiliki rasa coklat dan rasanya sangat enak. Bentuk kuenya juga sangat cantik.
“B-Begitu, ya. Syukurlah.”
“Ya, terima kasih banyak, Sei-chan.”
“Ah, yah, aku kan sudah janji.”
Sifat Sei-chan yang sungguh-sungguh dan tulus, yang memenuhi janjinya untuk menyuapiku di saat kami berduaan, membuatnya semakin imut dan aku menyukainya.
“Aku membuatnya cukup banyak, jadi bawalah pulang dan makanlah bersama Rie.”
“Makasih. Rie juga pasti akan senang.”
Sei-chan memberiku sekantong kue, namun saat aku hendak memasukkannya ke dalam tasku, aku teringat sesuatu dan refleks berkata “Ah.”
“Aku sudah disuapi oleh Sei-chan, tapi aku masih belum menyuapimu, kan, Sei-chan?”
“M-Menyuapiku? Kamu tidak perlu melakukan itu untukku…”
“Tidak bisa, aku ingin menyuapimu, Sei-chan.”
“Ukh, k-kamu sebegitunya ingin menyuapiku, ya?”
“Aku ingin banget.”
Saat aku menatap lurus ke mata Sei-chian dan berkata begitu, dia mengalihkan pandangannya sesaat karena malu.
“B-Baiklah… Umm, bisakah kamu melakukannya untukku?”
“Ya. Nah, Sei-chan, Ah~n…”
“A-Ah~n…”
Sei-chan memejamkan matanya, membuka kecil mulutnya dan mencondongkan wajahnya sedikit ke arahku.
Ukh, apa-apaan ini? Ini imut gila…!
“…Tsukasa, kenapa kamu terdiam? Bukankah aku jadi terlihat seperti orang bodoh dengan mulut terus ternganga begini?”
“Ah, maaf, hanya saja, aku terpesona oleh wajahmu yang akan disuapi, itu terlalu imut.”
“K-Kamu ini benar-benar…!”
Sei-chan menghela nafas tak percaya, tapi pipinya memerah, mungkin karena dia merasa sedikit malu.
“Maaf, aku akan menyuapimu dengan benar kali ini.”
“Ya, tolong begitu… A-Ah~n.”
Sembari menahan diri dari keimutan wajahnya, aku menyuapkan kue itu ke mulut Sei-chan.
“Hmm… Ya, rasanya sama seperti saat aku mencicipinya.”
“Ya, iyalah.”
Bukan berarti rasanya akan berubah jika disuapi, sih.
“Tapi, aku menjadi sangat senang karena apa yang Sei-chan lakukan untukku.”
“B-Begitu, ya. Yah, aku juga merasa lebih bahagia daripada saat aku memakannya sendiri… Mungkin.”
“A-Aku tidak menyangka Sei-chan akan mengatakan sesuatu yang imut seperti itu…!”
“K-Kamu menganggapku bodoh, ya!?”
Tentu saja aku tidak menggapnya bodoh, tapi…
“Tapi, aku yakin kita terlihat seperti pasangan bodoh di mata orang lain.”
“Ukh, aku tidak bisa menyangkalnya…!”
Sei-chan melihat sekeliling lagi untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mengenalnya.
Meskipun tidak ada kenalan di sekitar, aku dan Sei-chan menerima tatapan hangat dari pasangan lansia, dan tatapan penuh kebencian dari seorang pria yang sepertinya pegawai kantoran yang mungkin masih lajang.
Orang itu sungguh menakjubkan, aku benar-benar merasa seperti melihat aura hitam darinya.
“Aku sering datang ke kafe ini, jadi aku tidak ingin terlalu mencolok…!”
“Tidak apa-apa, Sei-chan, karena mulai sekarang, aku akan bersamamu saat datang ke sini.”
“Apanya yang tidak apa-apa?”
“Karena kita bersama, meskipun kita mencolok, tatapan yang kamu dapatkan akan terbagi.”
Selain itu, karena sebagian besar tatapan yang aku dapatkan dari pria adalah tatapan penuh kebencian, kurasa tatapan yang akan mengarah pada Sei-chan tidak akan sampai setengah.
“Itu sama sekali tidak baik-baik saja.”
Dengan tersenyum masam, Sei-chan pun berkata begitu.
***
“Kamu mau kerja paruh waktu?”
“Ya, benar.”
Aku juga memberi tahu Sei-chan soal apa yang aku katakan pada Rie sebelumnya.
“Aku sudah lama ingin paruh waktu. Aku menemukan tempat yang kelihatannya bagus, jadi aku sudah menghubungi mereka dan kupikir aku akan pergi untuk wawancara Sabtu nanti.”
“Itu pekerjaan paruh waktu yang seperti apa?”
“Di kafe. Tapi kurasa itu bukan kafe franchise seperti ini, tapi kafe milik perorangan.”
“Begitu, kedengarannya bagus. Tapi, kenapa kamu tiba-tiba ingin kerja paruh waktu?”
“Tentu saja, itu untuk Sei-chan.’
“Untukku? Aku tidak akan melakukan sesuatu seperti memeras uang darimu, Tsukasa.”
“Ahaha, aku tahu kalau Sei-chan tidak akan melakukan itu.”
Jika dia melakukan itu, aku akan menolaknya… Tidak, apakah aku akan benar-benar menolaknya?
Jika Sei-chan sendiri berkata, “Tsukasa, bisakah kamu memberiku uang?” Aku mungkin akan memberikannya.
Tentu saja aku tahu kalau dia tidak akan meminta hal itu padaku, tapi sebagai seseorang yang telah mendukungnya dengan membeli semua merchandise-nya, aku mungkin tidak akan bisa menolaknya.
“Tapi, kurasa kita akan sering melakukan berbagai macam kencan seperti ini ke depannya.”
“Y-Yah, benar juga sih.”
Sei-chan, yang pipinya sedikit memerah karena malu dengan kata ‘kencan’, sungguh terlihat imut.
“Saat ini kita hanya pergi ke kafe saja, tapi kamu pasti ingin pergi ke taman hiburan dan tempat lainnya juga, kan?”
“Hmm, kurasa memang akan membosankan kalau kita pergi ke kafe terus-terusan.”
“Itulah sebabnya aku ingin bekerja paruh waktu sekarang, agar aku bisa menabung, dan pergi berkencan dengan Sei-chan ke segala macam tempat.”
“B-Begitu, ya, jadi itu maksudmu dengan ‘untukku.’”
Selain itu, uang sakuku di rumah kecil, jadi jika aku tidak bekerja paruh waktu, aku tidak akan mampu membeli kopi di kafe.
“Kamu tidak harus bekerja hanya untuk kencan denganku, lho? Kamu juga bisa menggunakannya untuk hobimu sendiri.”
“Hmm, aku mau saja sih, tapi sebenarnya aku tidak punya hobi apa pun.”
Di duniaku sebelumnya, aku bekerja paruh waktu untuk membeli merchandise Sei-chan, jadi sebagian besar uangku dihabiskan untuk itu.
Jadi di dunia sekarang ini, aku tidak akan menyesal meskipun aku menghabiskan seluruh uangku untuk Sei-chan, atau lebih tepatnya, aku hanya akan merasa bahagia.
“Kamu tidak punya hobi apa pun? Bukankah sebelumnya kamu bilang kalau kamu suka manga dan semacamnya?”
“Oh, iya. Aku mungkin akan menggunakannya sedikit untuk manga dan anime.”
Aku belum membaca sebagian besar manga di dunia ini, jadi itu mungkin cukup menyenangkan.
“Ngomong-ngomong, aku sudah membaca manga yang aku beli bersama Sei-chan waktu itu.”
“Oh, yang manga shoujo itu, ya?”
“Ya, yang itu.”
Saat aku membicarakan manga dengan Sei-chan sebelumnya, kami pergi ke toko buku bersama dan membeli beberapa manga.
Karena pengaruh kakaknya, Sei-chan sepertinya banyak membaca manga shounen, tapi dia belum banyak membaca manga shoujo.
Namun, dia sepertinya penasaran dengan hal itu, dan aku ingat ada adegan di manga “Ojojama” dari kehidupanku sebelumnya—di mana dia ragu apakah akan pergi sendiri ke toko buku dan membeli manga shoujo.
Sei-chan ragu untuk membeli manga shoujo karena menurutnya itu tidak sesuai dengan gayanya.
Jadi, ketika kami pergi berbelanja bersama, aku berjanji bahwa aku akan membeli manga shoujo dan meminjamkannya pada Sei-chan.
“Apakah itu menarik?”
“Ya, itu menarik.”
“B-Begitu, ya! Meski aku yang merekomendasikannya, tapi aku sendiri masih belum membacanya. Aku hanya merekomendasikan apa yang menurutku mungkin menarik, jadi aku khawatir kalau saja itu tidak akan sesuai dengan seleramu, Tsukasa.”
“Begitu ya. Kalau pun tidak sesuai seleraku, aku akan tetap senang karena aku jadi tahu selera Sei-chan.”
“Tapi Tsukasa, karena kamu membelinya dengan uangmu sendiri, kamu harus menikmatinya juga.”
“Hehe, kamu baik sekali.”
“G-Gak juga kok, biasa saja.”
Sei-chan mengatakan itu dengan malu-malu.
“Aku juga sudah selesai membaca manga shounen yang kamu pinjamkan, jadi aku akan mengembalikannya lain kali.”
“Ah, oke. Dan juga, um, manga shoujo-nya…”
“Tentu saja aku akan meminjamkannya padamu. Aku kan sudah janji.”
“B-Begitu, ya! Terima kasih, aku menantikannya.”
Wajah Sei-chan berseri-seri bahagia.
Meskipun dia memiliki wajah yang cantik dan keren, tapi ketika dia tersenyum seperti itu, dia terlihat sangat imut.
“‘TenGobu’ yang kamu pinjamkan padaku itu sangat menarik. Aku tidak menyangka bahwa seseorang yang bereinkarnasi menjadi goblin, spesies yang tampaknya lemah, akan menjadi begitu kuat.”
“Fufu, benar. Awalnya, aku juga tidak terlalu tertarik untuk membacanya karena penampilannya goblin, tapi sungguh menyenangkan melihat dia menjadi semakin kuat dan mengalahkan monster-monster lain yang meremehkannya.”
Kami membicarakan kesan kami dengan ringan tentang manga yang aku pinjam dari Sei-chan.
Baik aku maupun Sei-chan sama-sama menyukai manga, jadi waktu berlalu begitu cepat saat kami membicarakan hal itu.
“—Nah… Sekarang sudah jam segini.”
“Benar, di luar juga sudah agak gelap. Aku tidak sadar.”
“Kurasa sudah saatnya pulang. Aku minta maaf karena membuatmu pulang terlambat.”
“Tidak, akulah yang harusnya minta maaf. Maksudku, karena selama ini aku tidak memiliki siapa pun untuk diajak bicara soal manga, aku jadi terbawa suasana.”
Memang benar, Fujise, sahabat Sei-chan, tidak membaca manga, sehingga dia mungkin tidak punya siapa pun untuk diajak bicara tentang manga.
Tapi, aku suka membaca manga, dan aku menikmati manga shoujo yang diminati Sei-chan.
“Aku akan menemanimu kapan pun kamu ingin membicarakan soal manga. Sungguh menyenangkan mengobrol soal manga dengan Sei-chan.”
“M-Makasih. Kalau begitu aku akan meminjamkanmu manga lain kapan-kapan, dan kita bisa membicarakannya lagi.”
“Ya, tentu.”
Aku dan Sei-chan pun tertawa bersama-sama dan meninggalkan kafe.
Hari ini, Sei-chan menyuapiku kue buatannya sendiri, dan ini adalah kencan yang sangat menyenangkan.