Chapter 82: Perjalanan Ski (Hari Kedua) – Sehari Bersama si Adik Tukang Onar (Bagian 2)
[Merayakan rilisnya volume kedua dan pencetakan ulang kelima dari volume pertama]
Jilid lainnya telah dicetak ulang lagi dan sekarang sedang dalam cetakan kelima.
Ini semua berkat para pembaca yang budiman!
Dan juga, pada hari Rabu tanggal 1 Juni, volume 2 Kanoneto mulai dijual!
Saya harap sebanyak mungkin orang akan membacanya.
Cerita ini merupakan kelanjutan dari versi Kakuyomu.
Harap dicatat bahwa cerita ini memiliki pengembangan yang berbeda dari versi cetak (LN).
(Anggap saja ini sebagai dunia paralel dari versi cetak.)
*******************************************
Begitu kami meninggalkan restoran setelah makan siang, Honoka berkata.
“Hei, hei, selanjutnya ayo kita coba jalur hutan di sana.” katanya sambil membuka peta lereng.
Dia menunjuk ke jalur hutan yang terhubung ke resor ski sebelah.
Di sisi barat lereng, lurus ke depan adalah resor ski tetangga, sedangkan jalan yang memutar ke belakang adalah jalur hutan resor ski ini.
“Hmmm, tapi jika kita pergi ke jalur hutan ini sekarang, bukankah hari akan mulai gelap di pertengahan jalan ke sana?”
Matahari terbenam lebih awal di musim seperti ini.
Apalagi awan mulai terlihat siang ini.
Tergantung situasinya, hari mungkin akan menjadi gelap setelah pukul empat.
“Tidak masalah main di jalur kita yang sekarang, kan. Pintu masuk ke lereng tidak jauh dari jalur seluncuran, jadi kita bisa pulang segera setelah hari mulai gelap.”
Tapi dalam hal ini, Honoka keras kepala.
“Membosankan bermain di jalur yang sama terus! Selain itu, kudengar kalau jalur hutan di sini memiliki pemandangan yang luar biasa! Jika beruntung, kita bahkan dapat melihat embun es.”
Embun es adalah fenomena di mana tetesan air seperti kabut menempel di dahan pohon dan membentuk kristal es.
Kudengar fenomena itu terlihat berkilau dan indah, tapi aku tidak tertarik pada hal semacam itu.
“Embun es hanya bisa terjadi apabila kondisinya tepat. Bagaiamana kamu bisa yakin kalau kamu akan bisa melihatnya?”
“Tapi, kudengar pemandangannya bagus. Jalurnya memang sempit, tapi lerengnya landai dan mudah untuk bermain ski, bahkan untuk pemula sekali pun.”
“Asal tahu saja, aku cukup hebat dalam bermain ski. Jadi kau tidak perlu terpaku pada jalur pemula.”
Kemudian, Honoka cemberut dengan ekspresi sedih.
“Tapi… aku ingin ke sana…”
Aku lemah ketika aku melihat wajah seperti itu.
Bukannya aku menyukai Honoka atau semacamnya, tapi sebagai anak tunggal, tidak peduli mereka lebih muda atau tua, aku tidak ingin perempuan terlihat merasa sedih.
“Baiklah, ayo ke sana.”
Ketika aku mengatakan itu, wajah Honoka pun menjadi berseri-seri!
“Hore! Sudah kuduga kalau Isshiki-san orang yang baik hati!”
Dia pun melompat-lompat ke arahku.
Yah, melihatnya senang seperti itu, kurasa ini pengorbanan yang kecil.
“Kalau begitu untuk sampai ke jalur hutan, kita harus naik dari lift di sini dan naik satu lift lagi.”
Lalu kami berdua pun menuju stasiun lift.
Setelah naik dua lift, kami sampai di pintu masuk jalur hutan.
Ini sudah hampir jam empat.
“Ini gawat. Awan sudah semakin tebal. Sebaiknya kita cepat-cepat berseluncur. Kalau tidak, jalan akan gelap.”
Kataku sambil melihat ke langit, namun Honoka tidak setuju.
“Ini tidak akan gelap secepat itu. Jangan khawatir, tidak perlu terburu-buru!”
“Tapi jalur ini tidak memiliki fasilitas malam hari. Kita tidak dapat melihat lereng dengan baik di malam hari, jadi ini jauh lebih berbahaya dari yang kamu kira.”
“Kemiringannya tidak terlalu curam. Jadi tidak perlu terburu-buru, dan ayo kita bermain ski dengan santai.”
Aku merasakan sesuatu yang aneh saat melihat Honoka bersikap seperti itu.
“Hei, kau telah bertingkah aneh dari tadi. Apakah ada sesuatu?”
Kemudian Honoka membuat wajah seolah-olah ‘kaget.’
“T-Tidak ada apa-apa. Beneran. Kalau begitu, ayo!”
Kali ini Honoka meluncur lebih dulu, memasuki jalur hutan.
Ada sesuatu yang aneh dengan sikapnya.
◈◈◈
“Fiuh, ayo istirahat dulu.” kata Honoka, dan berhenti.
“Lagi? Yang kamu lakukan dari tadi hanyalah istirahat.”
Orang ini selalu ingin beristirahat sejenak bahkan sebelum kami menempuh jarak seratus meter, dengan mengatakan ‘ayo istirahat,’ ‘ayo kita lihat pemandangan,’ ‘ayo kita berfoto.’
Dan dia terus-menerus memeriksa ke arah langit.
Ketika aku bertanya padanya tentang hal itu, dia tertawa dan berkata, “Tidak, bukan apa-apa” untuk menyembunyikannya.
…Tapi gelagat orang ini benar-benar tidak wajar. Dia sedang merencanakan sesuatu…
Itulah yang aku rasakan.
Dan akhirnya tibalah di istirahat keempat.
“…Apakah hari ini tidak mungkin?”
Aku mendengar Honoka bergumam begitu.
“Apanya yang tidak mungkin?”
Ketika aku menanyakan itu, Honoka mengayunkan tangannya dengan panik.
“Eh, tidak, bukan apa-apa! Itu bukan masalah besar.”
“Kalau itu bukan masalah besar maka katakan padaku. Kau telah bertingkah mencurigakan sedari tadi. Ini seperti kamu sedang menunggu sesuatu…”
Honoka pun melepas peralatan ski-nya dan duduk di atas tumpukan salju di sisi lintasan.
Dia kemudian berkata dengan nada pasrah.
“Ya… Sebenarnya, aku mendengar ada kutukan tertentu di jalur ini.”
“Kutukan? Kutukan macam apa?”
Setelah melihat ekspresiku sejenak, Honoka membuang muka dengan malu-malu.
Entah kenapa pipinya memerah.
“Ng… Itu…”
Aku menunggu kata-kata Honoka selanjutnya.
Dan dia menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Katanya, jika sepasang kekasih melihat embun es yang berkilauan di bawah sinar mentari sore di jalur hutan ini, maka mereka akan menikah.”
“Hah?”
Aku refleks mengeluarkan suara seperti itu.
Jika sepasang kekasih melihat matahari terbenam disertai embun es di sini, maka mereka akan menikah?
“Darimana kamu mendengar kutukan itu?”
“Sepertinya ini adalah kutukan dari perkumpulan ini. Awalnya, sepertinya ada pembicaraan tentang itu di resor ski ini juga.”
“Siapa yang memberitahumu cerita itu? Aku tidak tahu ada cerita seperti itu.”
Honoka kemudian sedikit terdiam, seolah-olah dia mengalami kesulitan untuk mengatakannya.
“Kamokura-san… Sepertinya Kamokura-san awalnya berencana akan melamar kakakku setelah melihat embun es tersebut bersamanya di resor ski ini tahun ini.”
“Apa kau bilang!?”
Aku refleks berteriak keras.
Kamokura? Apakah dia serius?
Setelah melihat kutukan embun es di sore hari di jalur hutan ini, maka dia akan melamar Touko-senpai…
“Tapi bahkan Kamokura-senpai pun hanyalah seorang mahasiswa tahun ketiga. Sedangkan Touko-senpai masih mahasiswi tahun kedua. Jadi, mereka belum bisa menikah…”
“Namun, Kamokura-san akan menjadi mahasiswa tahun keempat musim semi ini, kan. Jadi dia berencana untuk lulus hanya dengan gelar sarjana dan tidak melanjutkan ke pascasarjana. Itulah sebabnya dia ingin menikah pada saat yang sama dengan kelulusan kakakku.”
Aku ingat seperti apa kondisi Kamokura pada Hari-X waktu itu.
Apakah ada harapan seperti itu di balik “ekspresi yang telah kehilangan segalanya” itu?
Meskipun ia pantas mendapatkannya, tapi aku merasa sedikit kasihan pada Kamokura.
“Kakakku juga telah mendengar tentang hal itu dari orang lain dan mengetahuinya. Itulah sebabnya dia ragu-ragu untuk ikut dalam perjalanan ski ini pada awalnya, tapi… karena aku dan Meika bilang kalau kami akan pergi, kurasa ia tidak punya pilihan lain selain ikut juga.”
“Apakah maksudmu… Touko-san masih tidak bisa melupakan Kamokura?”
Sesuatu yang pahit menyebar di hatiku bagaikan cat yang menetes.
Namun hal itu langsung dibantah oleh Honoka.
“Tidak, itu tidak benar. Aku dapat meyakinkanmu bahwa satu-satunya orang yang ada di pikiran kakakku saat ini adalah Isshiki-san. Dia hanya tidak ingin pergi ke tempat yang mungkin ada hubungannya dengan mantan pacarnya, itu saja.”
“Begitu, ya…”
Aku merasa lega.
Kemudian Honoka menatapku dengan ekspresi lemah dan berkata.
“Itulah sebabnya juga aku ingin datang ke sini, Isshiki-san. Itulah salah satu alasan aku ikut dalam perjalanan ski ini.”
Aku pun menatap ke atas ketika Honoka berdiri.
“Jika aku bisa berada di sini bersama Isshiki-san dan melihat embun es di bawah sinar mentari sore, aku bertanya-tanya apakah aku akan bisa menikah dengan Isshiki-san.”
Kemudian dia perlahan-lahan melihat ke belakang ke arahku.
“Kalau pun tidak sampai sejauh itu, aku ingin tahu apakah itu mungkin akan memberiku sedikit kepercayaan diri…”
Honoka, yang tersenyum sedih saat mengatakan itu, tampak begitu cantik hingga membuat jantungku berdebar-debar.