Epilog: Perasaan Kami
“Aku juga perlu ke toilet,” kata Yuuji-senpai, pandangannya mengikuti punggung Hasaki-senpai. Dia mencoba melepaskan tanganku, tapi aku tidak mau, jadi tanpa sadar aku memperkuat cengkeraman tanganku.
Yuuji-senpai menatapku dengan wajah datarnya yang biasa, tapi sikap diamnya itu sudah menjelaskan semuanya. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresiku saat ini. Aku yakin dia menganggapku menyedihkan.
Bukan berarti aku bisa memaksa dia untuk jangan pergi. Lagipula, kami hanya menjalin hubungan palsu. Apa hakku untuk mencegahnya mengejar Hasaki-senpai?
“…Oke.”
Yang bisa kulakukan hanyalah melepaskan, dan melihatnya pergi, tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Touka, kamu selalu seperti ini. Kalau kamu khawatir, kenapa tidak minta saja padanya untuk tetap di sini? Sejujurnya, itu akan membuatmu lebih tenang,” kata kakakku, menaruh tangannya di pundakku, jelas khawatir.
“Diamlah… Selain itu, kamu juga tahu kalau Hasaki-senpai tidak bersikap normal dan kamu hanya diam saja, dasar brengsek.”
“Aku mungkin sadar dan merasa khawatir, tapi aku yakin Kana hanya akan merasa terganggu jika aku memberitahunya. Kamu sendiri sudah tahu akan seperti apa reaksi Yuuji saat dia menyadarinya. Bukankah kamu juga bisa bilang sesuatu pada Kana, untuk mencegah semua ini terjadi?”
Aku benci mengakuinya, tapi dia ada benarnya. Sejujurnya, aku sudah lama tahu kalau Hasaki-senpai kesakitan, jadi aku seharusnya mengatakan sesuatu. Tapi aku tidak sanggup melakukan itu ketika Senpai ada di sisiku. Aku terus membohongi semua orang dengan berpura-pura tidak tahu, terutama karena aku tahu Hasaki-senpai mencintai Senpai.
“Tomoki-san sungguh jahat. Bagaimana bisa dia meninggalkan pacarnya sendirian untuk mengejar gadis lain? Beraninya dia…” kata Otome-chan sambil menghela nafas ke arahku.
Aku menggelengkan kepala, “Akulah yang jahat saat ini,” bisikku pada diri sendiri.
Otome-chan menatapku bingung, tapi aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa lagi, dan dia juga tetap diam. Tapi aku benar. Akulah yang salah di sini, bukan senpai. Dia hanyalah pria yang sangat canggung, namun baik hati, dan aku ingin semua perasaannya dan segalanya tentang dia menjadi milikku dan milikku seorang.
Dia adalah jenis pria yang diperlakukan tidak adil oleh kebanyakan orang, tapi tidak pernah ragu untuk membantu mereka yang membutuhkan. Itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.
Aku ingin menjadi satu-satunya miliknya. Tapi di sinilah aku, terus-menerus berbohong padanya, mencari alasan menyedihkan untuk membawanya ke sini bersamaku hanya karena aku ingin, sambil harus menahan melihat wajah Hasaki-senpai sepanjang acara. Hasaki-senpai terlihat sangat menderita, setidaknya begitu.
Tapi aku tidak akan menyerah pada apa yang aku inginkan. Aku akan berjuang untuk menjadi satu-satunya miliknya. Tapi bagaimana bisa aku melakukan itu saat aku hanya terus-terusan berbohong padanya, sementara Hasaki-senpai sudah mengungkapkan perasaan padanya, membuatnya terlihat lebih tulus dan jujur daripada aku?
…Aku yakin Senpai lebih menyukai orang yang jujur daripada seorang pembohong.
☆
“Maaf sudah membuat kalian menunggu,” kata Yuuji-senpai saat dia dan Hasaki-senpai kembali setelah beberapa menit.
…Mereka berpegangan tangan.
“Wow… kamu yang terburuk, Tomoki-san. Beraninya kamu berpegangan tangan dengan gadis lain selain pacarmu. Aku sangat kecewa padamu,” kata Otome-chan, menatap senpai dengan marah.
Aku juga agak kesal melihat ini, tapi di saat yang sama aku mengerti kalau Senpai adalah orang yang seperti itu. Dia hanyalah pria baik dan perhatian.
“I-Ini karena kakiku sakit! Yuuji-kun hanya membantuku berjalan dengan menggandeng tanganku.”
“…Kami sudah tahu itu, oke?” kataku, tidak bisa menahan kemarahan atas ini. Tapi aku tidak bisa menertawakannya begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa.
“…Jika kamu terus menyebabkan kesalahpahaman seperti ini, Touka-san mungkin akan tidak tertarik lagi padamu,” tambah Otome-chan.
“Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang,” kata Senpai padanya.
Keheningan menyelimuti udara beberapa saat, tapi untungnya kakakku memutuskan untuk mencairkan suasana, “Masih ada waktu sebelum kembang api dimulai. Bagaimana kalau kita mencari tempat yang bagus untuk menonton?” usulnya.
Kami semua mengangguk setuju.
Hasaki-senpai melirik ke arahku dan berkata, “Terima kasih, Yuuji-kun. Aku sudah baikan sekarang.”
“Jangan terlalu memaksakan diri.”
“Tidak, kok. Skarang aku sudah merasa lebih baik berkatmu, oke? Jangan khawatir.”
“Itu… senang mendengarnya,” katanya sambil tersenyum.
Kami memutuskan untuk menonton kembang api di lapangan terbuka, tempat di mana tidak ada stand, sehingga kami bisa dengan mudah menonton semuanya.
Mengejutkannya, kami berhasil menemukan tempat untuk kami berlima dapat duduk dengan cukup mudah, mungkin karena masih ada banyak waktu sebelum pertunjukan dimulai.
Kami menggelar kain piknik yang dibawa khusus untuk acara ini dan duduk dengan nyaman.
“Huff, untunglah kita menemukan tempat yang bagus,” kata Ike.
“Benar. Sekarang kita bisa bersantai dan menunggu kembang api dimulai,” tambah Otome-chan.
Kami berbicara sebentar sambil menunggu semuanya dimulai. Meskipun lapangan akhirnya mulai dipenuhi orang, aku menyadari bahwa sebagian besar orang memberi kami cukup banyak ruang, terutama karena mereka sangat sadar akan keberadaan Senpai.
“Orang lain tidak akan nyaman jika aku tetap di sini…” kata Yuuji-senpai saat dia berdiri, memaksakan senyum.
“Yuuji-senpai? Ada apa?” kataku, ikut berdiri juga saat melihatnya pergi.
“Jika ketidakhadiranku bisa membuat orang lain merasa lebih nyaman, maka biarlah. Mari bertemu lagi setelah kembang api selesai. Aku akan mengirim pesan ke kalian,” katanya.
Dia rela mengorbankan kesenangannya sendiri demi orang lain yang bahkan tidak dia kenal!
Sungguh menyebalkan melihat Senpai seperti itu. Walaupun dia terlihat tegar, aku yakin dalam hatinya dia merasa sedih. Aku tidak ingin meninggalkannya sendirian!
“Ada yang tidak jujur, nih. Jika kamu ingin berduaan denganku, kamu cukup bilang saja.”
“Huh? Aku… tidak bermaksud seperti itu.”
“Sudahlah, tidak usah malu-malu! Pokoknya! Kami akan menonton kembang api di tempat lain, jadi sampai jumpa nanti!” teriakku sambil menggenggam tangan Senpai yang sedikit gemetar.
Otome-chan tidak terlihat terlalu senang setelah mendengar kata-kata itu, tapi kakakku tersenyum padaku.
Hasaki-senpai juga ikut berdiri, jelas tidak nyaman dengan percakapan ini, dan dia berkata dengan suara yang gemetar, “…Ya. Sampai jumpa lagi. Tapi ingat, hanya karena kalian berduaan, bukan berarti kalian bisa melakukan hal yang aneh-aneh!”
Aku yakin Hasaki-senpai ingin menonton kembang api ini berduaan dengan Senpai, tapi aku rasa dia membiarkanku kali ini hanya karena aku mengizinkan Senpai untuk membantunya sebelumnya.
“Tidak akan kok, jangan khawatir,” kata Yuuji-senpai dengan tenang.
Terkadang aku merasa dia sama sekali tidak tertarik padaku, dan itu membuatku kesal, tapi aku akan tetap diam untuk saat ini.
Kami pun mulai pergi ke tempat lain. Sejujurnya, ini mengingatkanku bahwa dia bahkan belum memuji penampilanku. Dia memilih yukata ini untukku, jadi kenapa dia belum mengatakan apa pun tentang itu?
☆
Aku dan Yuuji-senpai dengan cepat menemukan tempat baru. Meskipun pemandangannya bagus, yang mengejutkannya, tempat ini tidak seramai sebelumnya. Ada pasangan lain di sini, secara terang-terangan memamerkan kemesraan mereka dengan… berbagai cara, anggap saja seperti itu.
“Hei, Touka, mungkin lebih baik jika kita pindah ke tempat lain. Tempat ini dipenuhi oleh pasangan yang bersikap berlebihan,” usul Yuuji-senpai.
Kemungkinan besar itulah alasan kenapa tempat ini tidak ramai. Mungkin tempat ini terkenal untuk hal-hal semacam itu.
“…Kenapa harus pindah? Kita juga pasangan, jadi tidak akan ada yang merasa aneh jika kita ada di sini bersama-sama, melakukan sesuatu…” kataku, sambil memegang tangan Senpai.
“Meski begitu…”
Kami melihat sekeliling, dan kebanyakan orang terlihat sedang berciuman, berpelukan, dan sebagainya.
“…Pikirkan lagi, mungkin tidak ada yang akan sadar bahwa kamu ada di sini. Lagian, mereka seperti berada di dunia mereka sendiri,” kataku.
“…Mungkin kamu benar,” kata Senpai dengan senyum paksa sambil mengangguk.
Aku mencuri pandang padanya, dan melihatnya dari samping membuatku sadar bahwa meskipun jelas dia tidak begitu nyaman saat ini, dia terliaht agak imut.
A-Aku harus bertanya padanya sekarang. Sekarang atau tidak sama sekali, aku butuh keberanian!
“Senpai… apakah kamu… memiliki perasaan pada Hasaki-senpai?” tanyaku padanya, membuatnya menatapku sambil tersenyum.
“Iya.”
Mendengar kejujurannya membuatku menyesali pilihanku. Jantungku terasa sesak, dan dadaku sakit. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Bagaimana bisa tidak? Maksudku, dia menyukai seseorang sepertiku apa adanya, dan dia sudah menjelaskan bahwa dia memiliki perasaan padaku, jadi bagaimana mungkin aku tidak mau membalas perasaannya?” lanjutnya.
Kenapa dia membenci dirinya sendiri seperti itu? Aku yakin jika ada lebih banyak gadis yang meluangkan waktu untuk mengenalnya, banyak gadis yang pasti akan mengejarnya. Maksudku, bukankah akhir-akhir ini aku dengan berani menunjukkan rasa sayangku padanya? Ayolah!
“Tapi… menurutku apa yang aku rasakan padanya bukanlah cinta, jika kamu tahu maksudku. Itulah sebabnya aku tidak sanggup untuk mengajaknya pacaran, atau memikirkan tentang kami berdua bersama,” katanya.
Meskipun perasaannya mungkin bersifat platonis, atau dia melihatnya hanya sebagai teman saja sekarang, itu dapat dengan mudah berubah menjadi perasaan suka. Selain itu, jika aku adalah laki-laki dan ada seorang gadis seperti Hasaki-senpai yang mengejarku, tidak akan butuh waktu lama bagiku untuk jatuh cinta padanya juga. Lihat saja betapa ceria, rajin, dan cantiknya dia… Selain itu payudaranya juga sangat besar…
“M… Maksudku, aku juga takut. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan ini dengan baik, tapi begitulah.”
Aku bisa merasakannya. Di balik rasa takutnya, dia ingin menyukai Hasaki-senpai. Atau setidaknya itulah yang bisa aku rasakan sampai taraf tertentu.
“Aku rasa…” tapi sebelum aku mengatakan apapun, aku terdiam. Bukan tempatku untuk mengomentari hal tersebut. Aku harus membicarakan hal lain saja.
“Mungkin karena Hasaki-senpai sebenarnya, yah, menguntitmu?” kataku bercanda.
“Kamu jahat sekali, sumpah…” ucapnya sambil tertawa, yang membuatku tersenyum.
Bum!
Tiba-tiba, kami mendengar suara kembang api, dan kami pun melihat ke langit malam.
“Oh, sudah mulai,” kata Senpai.
“Sepertinya begitu. Waktu berlalu begitu cepat,” balasku padanya.
Saat kami menyaksikan kembang api selama beberapa saat dalam diam, aku melihat pasangan lain di sekitar kami melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, dan setelah itu, aku melihat Senpai dan berpikir… Aku membayangkan diriku bersandar padanya, mengatakan betapa aku mencintainya, dan dia mengatakan itu balik padaku.
Aku tahu kami tidak benar-benar pacaran, dan ini mungkin hanya keinginanku saja, tapi setidaknya aku bisa berbagi momen ini dengannya. Hanya itu saja sudah membuatku bahagia.
“Indah sekali,” kataku pada Yuuji-senpai sambil menatap kembang api.
“Ya, benar… itu membuatku teringat…” kata Senpai.
“Apa itu, Senpai?”
“Aku lupa mengatakan ini padamu, tapi yukata yang kamu pakai terlihat cantik. Jauh lebih cantik daripada yang kubayangkan waktu itu.”
“…Huh?”
Aku tidak percaya apa yang baru saja dia katakan. Aku lengah!
“Uhh, lupakan, anggap saja aku tidak mengatakan apa-apa,” katanya sambil membuang muka, merasa malu.
Aku tidak bisa mengabaikannya! Ya Tuhan, aku merasa kepanasan saat ini, wajahku terasa panas, dan jantungku berdebar kencang! Segala sesuatu di sekitarku lenyap; kembang api, orang-orang di sekitar kami, langit malam yang diterangi oleh kembang api… Aku merasa seperti berada di duniaku sendiri, dunia dimana hanya ada aku dan Yuuji-senpai.
Hanya berada di sisi Senpai saja tidak lagi membuatku puas.
Hubungan ini mungkin dibangun di atas kebohongan.
Kata-kata yang kami ucapkan mungkin penuh dengan kebohongan.
Tapi perasaanku padanya ini tulus. Aku tidak bisa memendamnya lagi!
“Aku… Aku mencintaimu, Yuuji-senpai,” akhirnya aku mengungkapkan emosi yang membanjiriku akhir-akhir ini.
Untuk sesaat, aku merasa seolah dia terkejut, tapi dengan cepat dia berkata, “Maaf, Touka. Aku tidak bisa mendengarmu karena suara kembang api.”
Saat aku menyadari bahwa suara kembang api meredam kata-kataku, aku berhasil melihat sekilas kembang api yang indah mekar di sudut mataku.
…Aku mengerti, oke? Dia tidak merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Aku bukanlah seseorang yang tumbuh di hatinya seperti dia yang telah tumbuh di hatiku. Mungkin aku hanya mengatakan itu karena terlalu terbawa perasaan… sebuah ilusi semata. Aku… Aku seharusnya tidak mengharapkan dia membalas perasaanku, tapi… tapi setidaknya, aku merasa seperti aku harus mencoba lagi!
“Bisakah… kita berpegangan tangan?” tanyaku padanya.
“…Tentu, itu akan membuat kita setidaknya terlihat seperti pasangan,” katanya.
Saat aku memegang tangannya, berharap dia akhirnya sadar apa yang aku rasakan padanya, aku menyadari bahwa aku sekali lagi menjadi pengecut. Aku takut. Begitu takut bahwa dia akan menolakku dan mengakhiri apa pun hubungan yang telah kami jalin.
Dan selagi aku bertanya-tanya apakah dia akan mencintaiku, dia membalas genggaman tanganku, membuatku menjadi gadis paling bahagia di dunia ini, sekaligus membuatku merasa sangat menyedihkan, membenci kelemahanku sendiri karena tidak mampu jujur padanya.
Aku masih ingat hari yang sama saat aku mengungkapkan cintaku padanya untuk pertama kalinya, tepat ketika kereta itu melintas di dekatku dan kami semakin dekat hari itu, tapi sejak saat itu rasanya aku tidak membuat banyak atau sama sekali tidak ada kemajuan.
Berapa lama lagi aku akan sanggup bertahan dengan sedikit kebahagiaan yang kudapat dari momen-momen seperti ini? Kapan aku akan merasa tidak cukup? Kapan aku bisa membuatnya membalas perasaanku, dan berhenti menyakiti diri sendiri?
☆
“Bisakah… kita berpegangan tangan?” katanya dengan suara lembut.
“…Tentu, itu akan membuat kita setidaknya terlihat seperti pasangan,” jawabku sambil mengulurkan tangan untuk memegang tangannya. Tangannya, yang dingin dibandingkan dengan kehangatan malam di sekitar kami, meremas tanganku.
Aku ingin dia memberitahuku apa yang dia katakan sebelumnya saat aku tidak bisa mendengarnya karena suara kembang api. Tapi… Tapi aku takut. Aku takut jika aku mendesaknya sekarang, hubungan kami yang seperti ini akan berakhir.
Ini mengingatkanku pada waktu itu, saat kami berada di samping jalur kereta, dan dia mengucapkan sesuatu yang teredam oleh suara kereta yang lewat, membuatku tidak bisa mendengarnya. Itu terjadi satu bulan setelah kami pertama kali bertemu. Mungkinkah kejadian serupa terulang kembali?
Satu semester penuh telah berlalu sejak saat itu, dan hidupku telah berubah secara drastis. Aku mendapatkan teman selain Ike, ada adik kelas yang mengagumiku, mengetahui bahwa Makiri-sensei tidak hanya guru yang tegas di sekolah, dan bahkan ada seorang gadis yang mengungkapkan perasaannya padaku.
Aku merasa banyak hal akan terus berubah, dan inilah aku, berharap hubunganku dengan Touka tetap sama seperti sekarang. Meski terdengar menyedihkan, tapi itulah yang aku inginkan.
“Ngomong-ngomong… kapan ulang tahunmu, Touka?” tanyaku padanya sambil menatap kembang api.
Dia miringkan kepalanya dan menatapku sambil menggoda, “Tiba-tiba bertanya tentang ulang tahunku…? Apakah baru-baru ini kamu merayakan ulang tahun Hasaki-senpai, atau semacamnya?” tebaknya.
“Sebenarnya iya,” jawabku, membuatnya menghela nafas.
“Pantas saja. Meninggalkanku sendirian sementara kamu pergi merayakan ulang tahun gadis lain,” katanya dengan nada tajam.
“Dia temanku. Ayolah, itu tidak masalah, kan?” ucapku, yang dijawabnya dengan diam sejenak.
“…Ulang tahunku tanggal 25 Desember. Jangan lupa, oke?” kata dia tiba-tiba.
“Kalau ulang tahunmu di hari Natal, aku pasti tidak akan pernah lupa.”
“Ingatlah untuk memberiku hadiah dua kali lipat hari itu. Aku tidak ingin kamu menggabungkan hadiah Natal dan ulang tahunku, mengerti?”
“Sepertinya kamu bicara berdasarkan pengalaman,” ucapku, membuatnya mengangguk dengan marah.
“Itu membuatku merasa seperti telah dicurangi… bagaimanapun juga, aku tidak akan mempermasalahkanmu merayakan ulang tahun temanmu, tapi aku harap kamu memperlakukanku dengan baik atas bantuan itu,” katanya.
“Ya, aku janji.”
“Aku harap begitu,” kata Touka sambil meremas tanganku lebih keras dari sebelumnya.
Suara kembang api yang keras meledak di kejauhan, membuat Touka dan aku melihat langit malam yang indah, yang berpadu sempurna dengan kembang api, saat setiap kembangnya memudar dan larut dalam kegelapan malam.
Di satu sisi, aku merasa hubungan kami seperti kembang api itu, lho? Tidak hanya sementara dan sesaat, tapi juga indah dengan cara yang tidak bisa aku gambarkan dengan tepat.
Itulah sebabnya aku membalas genggaman tangannya, berharap dari lubuk hatiku bahwa apa pun hubungan yang kami miliki sekarang ini akan bertahan selamanya.