11. Natal Ulang
Di Pintu Keluar Selatan Marunouchi Stasiun Tokyo.
Aku berdiri tepat di luar gerbang tiket.
Bagian dalam sisi Marunouchi Stasiun Tokyo umumnya dikenal sebagai “Gedung Stasiun Bata Merah” dan telah dikembalikan ke gaya Stasiun Tokyo yang lama. Dan pintu keluar Selatan Marunouchi, dengan jelas memancarkan suasana tersebut.
Langit-langitnya dibuat berbentuk kubah yang mengingatkan pada bangunan Rokumeikan kuno.
Saat aku sedang memandangi berbagai macam pahatan yang menghiasi kubah itu—
“Maaf membuatmu menunggu!”
Sebuah suara ceria memanggilku.
Itu adalah Touko-senpai.
“Apa yang kamu lihat?”
“Kubah di atas sana. Menurutku pahatannya cukup rumit.”
Aku menunjuk ke langit-langit.
“Iya, relief di sini cukup terkenal.”
TLN: Relief adalah seni pahat dan ukiran 3-dimensi yang biasanya dibuat di atas batu. Bentuk ukiran ini biasanya dijumpai pada bangunan candi, kuil, monumen dan tempat bersejarah kuno.
“Relief apa burung dan lingkaran itu?”
“Lingkaran itu adalah relief zodiak Cina. Sedangkan, yang burung itu kurasa elang, mungkin.”
Fiuh, kukira itu ayam.
“Nah yang itu adalah relief pedang.”
Touko-senpai menunjuk ke bagian setengah lingkaran.
Eh, itu pedang, ya? Kupikir itu hanya ukiran biasa saja.
Merasa puas, aku pun mengalihkan pandanganku ke Touko-senpai.
Hari ini, Touko-senpai mengenakan sweter turtleneck tebal berwarna putih di balik mantel tebal merah muda salmon, dan rok mini berwarna coklat dengan lipatan halus.
Dia biasanya mengenakan pakaian yang chic, tapi hari ini dia terlihat lebih girly.
Aku merasa sedikit malu karena dia terlihat berbeda dari gaya biasanya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita jalan sekarang?” kataku, berusaha untuk menutupi rasa maluku.
× × ×
Pertama, makan malam. Aku telah membuat reservasi restoran untuk ini.
Setelah banyak pertimbangan, aku akhirnya memilih bistro. Seperti yang disarankan Karen, mengingat aku adalah “pemula dalam percintaan,” aku pikir akan lebih baik untuk tidak berusaha bersikap terlalu keren dan memilih opsi yang aman.
Pelayan datang untuk mengambil pesanan minuman kami.
Aku tidak punya pilihan lain selain memesan minuman non-alkohol, tapi Touko-senpai juga memesan minuman yang sama.
“Tolong jangan memikirkan aku; silakan pesan apa pun yang kamu suka.”
Tapi, Touko-senpai menggelengkan kepalanya.
“Ini kencan spesial, lho. Akan lebih baik kalau kita berdua memesan minuman yang sama. Kita bisa menikmati alkohol saat kamu berumur dua puluh tahun nanti, Isshiki-kun.”
“Ah, kalau gitu masih lebih dari setengah tahun lagi, dong.”
“Kapan ulang tahunmu?”
“Tanggal 4 Oktober.”
Sebenarnya, ulang tahunku berdekatan dengan ulang tahun Karen. Aku pribadi tidak terlalu memperhatikan hari ulang tahun, dan karena ulang tahunku terjadi tepat setelah kejadian itu, aku benar-benar lupa.
“Bagaimana kalau kita pergi minum bersama untuk merayakan ulang tahunmu yang kedua puluh?”
“Dengan senang hati! Menghabiskan ulang tahunku bersama Touko-senpai adalah hadiah terbaik!”
“Begitukah? Jadi, kamu tidak menginginkan hadiah ulang tahun?” katanya sambil tersenyum centil.
Tapi hal-hal seperti itu tidak terlalu penting bagiku.
“Tidak perlu. Sebagai gantinya, berjanjilah padaku bahwa kita akan pergi minum-minum bersama di hari ulang tahunku!”
“Baiklah. Tapi itu masih lama, lho,” kata Touko-senpai sambil tersenyum.
“Kapan ulang tahunmu, Touko-senpai?”
“Aku tanggal 3 Agustus. Itu tepat di tengah liburan musim panas. Itulah sebabnya aku tidak pernah punya pengalaman merayakannya bersama teman-teman saat aku masih kecil.”
“Kalau begitu, aku akan merayakan ulang tahunmu berikutnya!”
“Benarkah? Tapi, apakah kamu akan ingat? Itu tepat setelah ujian, jadi kamu mungkin saja akan kelelahan dan lupa, lho?”
“Aku tidak mungkin lupa! Aku akan mendaftarkan jadwalku sekarang juga!”
“Ya, aku menantikannya.”
Setelah mengatakan itu, dia tersenyum lembut padaku lagi.
Lalu hidangan pun disajikan.
Hidangannya terdiri dari ikan trout terrine, kubis ungu dan wortel yang dimarinasi, sepiring bebek asap dan prosciutto serta keju, potage bayam, penne arrabbiata, steak daging harami, dan lain-lain.
“Bagaimana kalau kita mengadakan acara pertama sebelum hidangan penutup?”
Saat aku menyarankan itu di sela-sela waktu makan, Touko-senpai pun berkata, “Tentu,” dan membuka tas tangannya.
Aku juga mengeluarkan kotak terbungkus rapi dari kantong kertas yang kubawa.
“Dalam hitungan ketiga, mari kita menunjukkannya bersama-sama. Satu-dua-tiga!”
Atas aba-aba Touko-senpai, kami pun memperlihatkan apa yang kami pegang di tangan kami.
Ini adalah tukaran kado.
“Aku penasaran apa yang kamu berikan padaku.”
“Jangan berharap terlalu banyak. Tidak ada yang istimewa, kok.”
Dan memang, itu bukanlah sesuatu yang menakjubkan. Salah satu alasannya adalah Touko-senpai menyarankan sebelumnya, “Jangan membeli sesuatu yang terlalu mahal. Bagaimana kalau kita tetapkan maksimalnya 5.000 yen?”
Touko-senpai tampaknya telah merasakan situasi keuanganku dan memberikan saran itu.
Aku pun membuka bungkus kado itu. dan di dalamnya terdapat bolpoin berkualitas tinggi.
Touko-senpai-lah yang pertama kali mengungkapkan kesannya.
“Wah, ini bingkai foto. Dan ada kerang yang menempel di sekelilingnya. Lucu sekali!”
“Kupikir akan bagus kalau aku memberikan sesuatu yang tidak mengganggu dan bisa menjadi kenang-kenangan.”
“Terima kasih. Aku ingin memajang foto kencan kita seharian di Boso. Aku akan memasangnya segera setelah aku tiba di rumah.”
“Aku sangat senang menerima bolpoin yang bagus ini. Terima kasih banyak.”
“Kamu harus mulai menulis banyak dokumen karena kamu sudah beranjak dewasa, jadi menurutku bolpoin mungkin akan berguna.”
Saat dia mengatakan itu, makanan penutup pun disajikan ke atas meja.
Sambil menyantap hidangan penutup, kami membicarakan perjalanan ski dan kehidupan kampus kami.
…Touko-senpai banyak tertawa, ya…
Saat aku melihatnya dari kejauhan, sejujurnya aku mendapat kesan bahwa dia adalah ‘wanita cantik yang kalem.’
Namun, saat kami berbicara bersama seperti ini, dia tertawa secara alami dan bebas.
Aku selalu ingin melihat wajahnya yang tersenyum seperti itu.
Setelah mengobrol sekitar satu jam, kami pun meninggalkan restoran.
Acara utama malam ini adalah melihat lampu hias.
Kami berjalan dari Stasiun Tokyo menuju Hibiya, menyusuri jalan pepohonan yang dihiasi lampu LED.
“Woah, indah sekali. Ini diperkenalkan sebagai ‘Emas Sampanye,’ dan memang benar-benar terlihat seperti sampanye.”
“Ya, seperti ada gelembung sampanye yang menempel di pepohonan.”
Ada beberapa orang juga yang mengagumi lampu hias tersebut.
Beberapa di antaranya tampak seperti pasangan yang sedang berkencan, sama seperti kami.
Namun, aku iri dengan pasangan sungguhan yang berpegangan atau bergandengan tangan.
…Aku ingin tahu apakah tidak apa-apa jika aku memegang tangannya…
Pikiran seperti itu telah terlintas di benakku sejak beberapa waktu lalu.
“Oh, iya.”
Suara Touko-senpai membuyarkan lamunanku.
Touko-senpai mulai mencari-cari isi di dalam tas tangannya lagi.
“Ini dia.”
Apa yang dia berikan padaku, sekali lagi, adalah sebuah kotak yang dibungkus.
Ukurannya kira-kira sebesar buku yang diikatkan dengan pita di sekelilingnya.
Melihat ekspresi bingungku, Touko-senpai tersenyum malu dan berkata, “Aku tahu ini terlambat, tapi ini untuk Hari Valentine.”
“Ah, terima kasih.”
Aku menatap kotak yang kuterima selama beberapa saat.
“Aku tidak menyangka akan menerima coklat Valentine dari Touko-senpai.”
Dalam hati, ada bagian dari diriku yang berharap, “Mungkin dia akan memberiku sesuatu di Hari Valentine.” Namun, tanggal 14 Februari datang dan berlalu begitu saja, sehingga aku pun menyerah pada harapan itu.
“Sebenarnya akan lebih baik jika aku memberikannya padamu di hari H, Tapi kupikir memanggilmu keluar hanya untuk itu mungkin akan mengganggumu.”
“Tidak akan mengganggu sama sekali kok. Tapi aku sangat senang menerima ini.”
“Sebenarnya, ini adalah pertama kalinya aku memberikan coklat Valentine pada seorang pria.”
Touko-senpai menunjukkan ekspresi malu-malu.
“Di SMP dan SMA, ada gadis-gadis yang bersemangat menyambut Hari Valentine. Namun aku tidak termasuk dalam kelompok itu.”
“Touko-senpai sepertinya bukan tipe orang yang semangat dengan hal semacam itu, ya.”
“Meskipun begitu, ada banyak acara untuk pasangan di musim dingin, kan? Dan aku merasa sedikit kesepian ketika aku satu-satunya yang di rumah, di saat semua orang sedang berkencan.”
…Ya, itu masuk akal. Kami secara sewenang-wenang menjulukinya sebagai ‘senpai yang dikagum-kagumi,’ namun pada dasarnya, Touko-senpai hanyalah seorang gadis biasa…
“Ini pertama kalinya aku membuat coklat sendiri, jadi bentuknya mungkin agak aneh. Maaf untuk itu.”
“Ini adalah coklat yang aku terima dari Touko-senpai. Aku akan menyimpannya baik-baik.”
“Tolong jangan disimpan, langsung makan saja.”
Dia tersenyum masam.
“Touko-senpai, apakah kamu tidak pernah membuatkan untuk Kamokura-senpai?”
Aku tidak sengaja menanyakan sesuatu yang tidak perlu.
Ekspresi Touko-senpai menjadi muram.
Aku langsung menyesal setelah pertanyaan itu keluar dari mulutku. Apakah aku secara tidak sadar masih membandingkan diriku dengan Kamokura di alam bawah sadarku?
“Maaf. Aku seharusnya tidak menanyakan itu.”
“Ya, tapi tidak apa-apa. Bohong kalau kubilang itu tidak menggangguku. Kecuali bekal untuk rencana itu, kurasa aku tidak pernah benar-benar membuat apa pun untuk Tetsuya. Bahkan tidak ada acara seperti Hari Valentine juga.”
Setelah mengatakan itu, dia melihat ke langit.
“Tapi itu aneh. Aku tidak pernah merasa ingin bersusah payah memasak untuk Tetsuya. Padahal dia pernah beberapa kali memintaku untuk datang memasak di apartemennya.”
Kemudian, nada suaranya menjadi sedikit lebih pelan.
“Tapi untukmu, aku berpikir, ‘Aku ingin membuat sesuatu. Aku ingin kamu memakannya.’”
Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Campuran rasa senang dan malu muncul dalam diriku.
“Selain itu, aku juga sedikit takut untuk pergi ke apartemen Tetsuya.”
Mendengar itu, aku pun dengan malu-malu berkata.
“Apakah karena aku orang yang aman, jinak, dan tidak berbahaya?”
“Siapa yang bilang begitu?”
“Ishida mengolokku dengan mengatakan itu.”
“Menjadi pria yang aman dan jinak bukanlah hal yang buruk, kan? Tidak, malah menurutku itu adalah pujian. Maksudku, bukankah lebih buruk jika pria membuat gadis merasa tidak nyaman?”
Rasa malu dalam diriku berubah menjadi kegembiraan.
Kenapa kata-kata Touko-senpai begitu menyentuh hatiku?
“Aku menyukai sisi dirimu itu, Isshiki-kun.”
…Aku juga menyukai sisi Touko-senpai itu.
“Tapi terkadang, tidak apa-apa untuk bersikap sedikit aggresif, lho,” kata Touko-senpai sambil tersenyum.
Kemudian terdengar suara musik datang dari suatu tempat.
Itu lagu yang sama yang diputar saat kami berada di pemandian terbuka.
“Itu Moon River.”
Sama seperti saat itu, Touko-senpai menyebutkan judul lagunya.
“Itu lagu yang Touko-senpai sebutkan saat ingin melakukan tarian rakyat udara, kan?”
Setelah hening sejenak, Touko-senpai pun membuka mulutnya.
“Bagaimana kalau kita berpegangan tangan?”
…Huh?…
Aku refleks melihat ke arah Touko-senpai.
Touko-senpai juga menatapku. Dia mengucapkan kata-kata berikutnya seolah merasa malu.
“Begini, kita melakukan tes psikologi di pemandian terbuka, kan? Jadi, ini semacam pengganti tarian yang tidak bisa kita lakukan saat itu. Tentu saja, kita tidak bisa benar-benar menari, tapi…”
“Ya, kamu benar.”
Aku seharusnya tidak membiarkan seorang wanita yang mengatakan itu.
Meski merasa malu pada diri sendiri akan betapa lemahnya aku, aku memegang tangan Touko-senpai.
Tangannya kecil, lembut, dan hangat.
Mungkin karena merasa sedikit malu, aku dan Touko-senpai berjalan dalam diam melewati cahaya lampu hias selama beberapa saat.
“Semua orang merasa sangat senang karena Touko-senpai ikut dalam perjalanan tempo hari.”
Saat kami mendekati Hibiya, aku memecah kesunyian.
“Semua orang?”
“Serius, semuanya. Bahkan alumni dan mahasiswa pascasarjana pun berpartisipasi karena Touko-senpai ikut.”
“Siapa yang memberitahumu hal itu?”
“Nakazaki-san. Awalnya, dia kesulitan dengan jumlah peserta yang sedikit. Jadi, dia memintaku untuk membujuk Touko-senpai berpartisipasi. Dia bilang, ‘Tidak peduli apa kata orang, Touko-senpai adalah dewi perkumpulan kita.’”
Dia tidak langsung menanggapi.
“Apakah kamu mengajakku karena alasan itu?”
Ada nada kecewa dalam bicaranya.
Aku buru-buru menjelaskan, “Tidak, bukan seperti itu. Aku sendiri yang ingin pergi bersamamu, Touko-senpai.”
Touko-senpai menundukkan kepalanya sejenak.
“Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, tolong berhentilah menyebutku dewi atau hal-hal semacam itu. Aku lebih suka disayangi oleh satu orang daripada dipuja-puji oleh banyak orang.”
Touko-senpai menghentikan langkahnya, dan aku pun juga berhenti mengikutinya.
Lalu, Touko-senpai menatapku.
“Aku hanya ingin menjadi seseorang yang benar-benar dibutuhkan oleh orang yang aku sayangi.”
Tatapanku dan Touko-senpai saling bertemu.
Tatapan kami seperti dipenuhi oleh kehangatan akan satu sama lain.
“Itulah sebabnya… Aku…”
Drrrt, drrrt, drrrt!
Getaran ponselku berdering begitu keras hingga aku mengira jantungku akan berhenti berdetak.
Aku sangat kesal sehingga aku refleks mengambil ponsel, dan tanpa sadar menerima panggilan tersebut.
“Yuu, apakah kamu sudah tahu?”
Itu adalah telepon dari Ishida.
“Eh? Ada apa sih tiba-tiba begitu?”
Suasana hatiku sedang buruk karena kencanku dengan Touko-senpai terganggu.
Aku hendak segera menutup telepon, tapi sebelum aku bisa melakukannya, suara bersemangat Ishida terdengar.
“Kamu sudah tahu soal acara baru kampus, ‘Miss Muse,’ kan?”
“Ya.”
Aku pernah mendengarnya saat perjalanan ski baru-baru ini.
“Mereka bilang Touko-senpai akan berpartisipasi dalam ‘Miss Muse’ itu!”
“Apa?!”
Tanpa sadar aku melihat ke arah Touko-senpai.
Touko-senpai sepertinya juga mendengar isi percakapan kami, dan tampak terkejut.
“Coba lihatlah medsos dewan mahasiswa kampus.”
Setelah mengatakan itu, Ishida pun menutup telepon.
Kemudian, pesan berisi link dikirimkan padaku.
Aku mengklik link-nya.
Itu adalah link postingan terbaru tentang artikel terkait “Miss Muse” dari Dewan Mahasiswa.
────
Touko Sakurajima-san, mahasiswi tahun kedua Fakultas Sains dan Teknik, akan mengikuti “Miss Muse”!
Ini adalah pertama kalinya “Miss Muse” diadakan.
Proyek ini bertujuan untuk menampilkan berbagai aspek pesona wanita, berbeda dari format kontes kecantikan sebelumnya.
Mendukung konsep ini, seorang tokoh terkenal memutuskan untuk berpartisipasi dalam “Miss Muse” tahun ini.
Tokoh itu tidak lain tidak bukan adalah Touko Sakurajima-san!
Dikenal tidak hanya karena kecantikan intelektualnya dan proporsi tubuhnya yang luar biasa, melainkan juga karena sikapnya yang anggun dan auranya yang bermartabat, dia telah mendapatkan reputasi sebagai “Miss Universitas Jouto Sejati.”
Namun sayangnya, semua orang tahu bahwa Touko Sakurajima-san belum pernah mengikuti kontes kecantikan festival kampus hingga saat ini.
Meski begitu, dia telah memutuskan untuk berpartisipasi dalam “Miss Muse” kali ini.
Sebagai panitia yang berdedikasi untuk mengeksplorasi beragam pesona wanita, ini merupakan kabar yang sangat menggembirakan bagi kami.
Tidak diragukan lagi bahwa partisipasinya akan membuat “Miss Muse” ini semakin seru.
────
“Touko-senpai, apakah kamu akan berpartisipasi dalam ‘Miss Muse’?” tanyaku, terkejut. Aku belum pernah mendengar ini sebelumnya.
Tampaknya Touko-senpai sendiri mencari artikel tersebut di medsos kampus.
“Tidak… itu bohong. Aku belum mengatakan sepatah kata pun tentang itu. Aku sendiri baru tahu.”
“Lalu kenapa ada artikel seperti ini?”
Aku juga kaget. Berpartisipasi tapi orang yang bersangkutan tidak tahu? Bagaimana mungkin?
“Aku tidak tahu. Tapi, kok bisa…” kata Touko-senpai dengan tertegun, terlhat bingung.