Bonus Cerita Pendek
Pengikut Kesendirian
“—Kecemasan, kurangilah. Ada apa, Itou?”
Meskipun nada suara Akane lebih ramah dari biasanya, Itou Haruka tidak sanggup mengangkat kepalanya. Mereka berdua telah duduk berseberangan di ruang konferensi terpisah yang kecil selama lebih dari sepuluh menit. Haruka sudah tahu kalau Akane lebih sibuk daripada siapa pun di klub ketika dia meminta untuk bertemu dengan Akane, tapi sekarang setelah mereka bertatap muka, kata-kata Haruka tercekat di tenggorokannya.
“Singkat, padat, jelas” Akane melanjutkan dengan nada standarnya, tanpa basa-basi. “Bahkan sebagai seorang programmer, pasti akan ada saatnya kau harus menjelaskan idemu kepada orang lain—misalnya, saat mendiskusikan cara penerapan. Ketika saat itu tiba, yang paling penting adalah menjelaskan dirimu dengan singkat, padat, dan jelas… Tapi aku mengerti kalau kau gelisah. Aku tidak keberatan jika pikiranku kemana-mana. Sebagai permulaan, cobalah dan ungkapkan dengan kata-kata.”
Jangan terlalu dipikirkan. Mulailah dengan berbicara tentang apa yang kau bisa—tentang apa yang kau inginkan. Apakah itu maksud perkataannya? Haruka bertanya-tanya. Pernyataan Akane cukup mendorongnya untuk mengingat cara bicara yang telah lama terlupakan, dan suaranya mulai keluar. “…………Apakah…”
“Ya?” dorong Akane.
“…Apakah… tidak apa-apa aku berada di sini?” tanya Haruka, menyelesaikan isi pikirannya.
“Lingkungan, abaikanlah. Satu-satunya yang dapat menentukan di mana kau seharusnya berada adalah dirimu sendiri.”
“Itu mungkin benar, tapi…” Selama ini.
Selama ini, Haruka berpikir bahwa itu semua salahnya sendiri: bahwa Rondo berada dalam kekacauan seperti itu; bahwa dia telah mencuri tempat Shiraseki Kai, ketika dia jauh dari kata sebuah aset untuk proyek tersebut. Bahwa semua itu—semua itu, semua itu—adalah akibat tindakan tanpa pikir panjang dari satu orang yang dikenal sebagai Itou Haruka.
Pria itu tidak melakukan kesalahan apa pun, namun nama Shiraseki Kai telah diarak di penjuru internet sebagai nama pelaku, dengan fitnah tak berdasar keluar kesana kemari. Bahkan ketika Haruka mencoba menjelaskan kebenaran secara online, dia benar-benar diabaikan karena “pengendalian kerusakan yang jelas.” Kalau terus seperti ini, nama Kai yang ternoda akan terus melekat padanya selama sisa hidupnya. Ketika Haruka akhirnya memahami posisi yang telah dia berikan kepada Shiraseki Kai, dia membenci dirinya sendiri, dan tidak sanggup lagi memaafkan kebodohannya sendiri.
Akane mengarahkan pandangannya pada tas Haruka. “Apakah ada formulir pengunduran diri di sana?” tanya Akane ingin tahu.
“…Ya,” kata Haruka mengakui.
“Jika itu yang kau mau, maka aku tidak akan menghentikanmu. Aku akan menerima pengunduran dirimu,” kata Akane, tapi terhenti sebelum mengulurkan tangannya kepada Haruka. Suara Akane terdengar, seolah-olah dia bermaksud menghadang telapak tangannya yang terbuka dengan kata-kata, bahkan saat dia terus berbicara.
“Tidak ada gunanya menangisi nasi yang sudah menjadi bubur,” katanya kepada Haruka. “Kedalaman keputusasaan itu gelap dan tak dapat diukur; Aku tidak tahu berapa banyak kau telah menyiksa diri sendiri dengan rasa bersalah. Jadi, apa yang akan aku katakan selanjutnya bukanlah perintah… tapi jika kau masih memiliki kemauan untuk bertahan, maka tunggulah. Tunggulah dua minggu lagi.”
“…Dua minggu?” ulang Haruka.
“Benar.” Akane mengangguk pelan. “Dahulu kala, hiduplah seorang raja yang percaya bahwa kucing hitam adalah utusan iblis, dan tidak ingin membiarkan seekor pun tinggal di kerajaannya.”
“Apa?” tanya Haruka.
“Kucing hitam dibantai tanpa terkecuali,” lanjut Akane, melanjutkan ceritanya yang tiba-tiba dan memusingkan. “Itu adalah akal sehat dunia ini. Semua orang mengikuti perintah raja untuk membunuh kucing hitam, dan mereka bangga melakukannya.”
“Namun, seorang pria yang mempertanyakan tindakan tersebut muncul. Pria itu bangkit untuk melindungi para kucing hitam, dan mulai berbicara menentang praktik itu sendirian. Yang lain mengejeknya karena kegilaannya, tapi pria itu bersikeras pada pendiriannya. Meski memakan waktu lama, pesan pria itu perlahan tapi pasti mulai sampai ke telinga masyarakat. Dan kucing hitam sekali lagi aman berkeliaran di daratan, bahagia selamanya.”
“…B-Benar,” kata Haruka setuju dengan ragu.
“Itou,” tanya Akane, “dalam cerita ini, menurutmu siapa orang baiknya?”
“Itu… si pria itu, kan?”
“Tentu saja. Namun, ada orang kedua yang tidak disebutkan dalam cerita.”
“Orang kedua?”
“Di dunia ini, pikiran pria itu tidak normal,” kata Akane memberitahu. “Tidak ada orang normal yang akan setuju dengannya. Tidak ada satu alasan pun untuk mendengarkannya. Namun, pada suatu waktu, orang kedua pasti muncul mengikutinya… Apakah kau pikir kau bisa percaya pada pria yang terus-menerus berbicara menentang retorika umum? Pria yang diabaikan oleh semua orang lain?”
“…Kupikir itu akan menjadi tugas yang cukup berat,” kata Haruka mengakui.
“Aku yakin akan begitu. Aku juga kurang percaya diri untuk bilang kalau aku akan percaya. Itulah kenapa kita harus memuji keberanian orang kedua ini sama seperti kita memuji pria itu.”
Haruka hampir tertelan oleh tatapan tak tergoyahkan Akane.
“Kreator selalu merupakan pekerjaan yang sepi, itu tidak terbatas pada pengembangan game. Tidak peduli berapa banyak orang yang ditempatkan bersama dalam satu tim, upaya serius apa pun akan selalu melibatkan waktu yang dihabiskan sendirian,” kata Akane. “Bahkan jika kau mengatasi kesendirian itu, pada akhirnya, ada saat di mana kau hanya bisa percaya bahwa pesanmu akan sampai ke seseorang.”
“…Um, Ketua, aku tidak… aku minta maaf. Apa yang sebenarnya kamu bicarakan?” tanya Haruka, merasa bingung.
“Suatu hari—tidak, dalam waktu dua minggu, kau akan mengerti. Aku percaya kau akan mengerti, karena aku memiliki keyakinan pada pria yang aku percayai. Jika kau mendapati dirimu mengikuti cahaya kesepian di mana dia berpidato… ketika saatnya tiba, lakukanlah sesuatu,” kata Akane menasihatinya. “Tepuk tanganlah, atau apa pun itu. Kali ini, temukanlah keberanian untuk menunjukkan keinginanmu yang sebenarnya.”
Setelah mengatakan semua itu, Akane diam-diam tersenyum.
Misako yang Kesepian ~Pemuda Silam yang Tenggelam dalam Tare Katsudon Spesial~
Saat itu adalah malam sebelum Kai harus pergi ke Tokyo dan mempresentasikan rencananya kepada Akane dan kawan-kawan.
“Kai! Ayo pergi!” kata Misako, hampir seperti menendang pintu untuk menyeret Kai keluar dari rumah sebelum Kai sempat bertanya kemana mereka akan pergi. Ada satu mobil mini yang diparkir di depan rumahnya, dan kakaknya segera mendorongnya masuk ke kursi penumpang.
“Huh?” kata Kai. “Mobil? Kita mau pergi kemana?”
“Apa-apaan?! Tuan, boekankah ada pertempuran di depanmoe besok? Hanya ada satu tempat yang bisa kita tuju!” jawab Misako dengan percaya diri, setelah mengunci pintu depan dan kembali duduk di kursi pengemudi.
“Aku tidak akan bertanya kenapa kamu berbicara dengan logat Edo, tapi—tunggu. Nee-san, kamu bisa menyetir?” tanya Kai ingin tahu. “Kamu tidak punya SIM, kan?”
“Aha ha,” kata Misako, tersenyum pada Kai dari lubuk hatinya. “Aku senang kamu bertanya! Aku sudah mendapatkan SIM beberapa saat yang lalu, kalau-kalau kamu nanti memintaku untuk jalan-jalan keluar naik mobil di malam hari karena kau susah tidur!”
“Jadi, kamu sepenuhnya masih pemula…” kata Kai mengamati. Dan juga, pikirnya dalam hati, hari seperti itu tidak akan pernah datang.
“Jangan khawatir, anak muda. Bahkan kapal yang terbuat dari lumpur akan berlayar selama kamu mendayung.”
“Yah, jantungku sudah karam…”
“Berlayar yang kencang!” kata Misako bersendung.
Kai tidak lagi punya tenaga untuk memberitahu kalau mereka berada di dalam mobil, bukan perahu. Tetap saja, dia mendapati kalau kemampuan mengemudi Misako jauh lebih kompeten daripada yang dia kira saat mobil meninggalkan rumahnya dan masuk ke jalan besar, sebelum menuju ke jalan pintas yang dulu sepertinya merupakan sungai. Sesaat setelah Kai mulai menduga kalau mereka akan terus menyusuri jalan itu lebih lama lagi, Misako berhenti di tempat parkir di sebelah apa yang tampak seperti sekumpulan rumah pribadi di sepanjang jalan. Di samping mereka ada bangunan lain yang sangat besar, yang tandanya dibaca Kai untuk mengetahui kalau itu adalah tempat pachinko.
“Di sini,” kata Misako memberi isyarat.
Bangunan tempat Misako melambaikan tangan pada Kai untuk ke sini memiliki tulisan “Tonkatsu Masa-chan” di papan namanya, dan Kai cukup yakin itu adalah semacam restoran. Arsitektur bangunannya bergaya Jepang yang tenang, dan interiornya dipenuhi pelanggan, karena ini adalah waktu makan malam.
“Hei, bos!” panggil Misako. Saat kakak beradik itu duduk di konter, dia mengangkat tangannya ke arah seorang pria yang menatap mata mereka dari dalam dapur. Dia tidak balik mengatakan apa-apa, tapi menggerakkan tubuh ke arah mereka sebagai salam kecil.
Misako lanjut bicara, “Aku mau pesan yang biasa. Berikan dia yang spesial!” di mana pria itu memberikan anggukan singkat dan diam sebagai tanda terima.
“Nee-san,” kata Kai, “apakah kamu sering ke sini?”
“Ya.”
“Apakah kamu… membawaku ke sini karena takhayul keberuntungan?”
“Tentu saja! Katsu artinya menang! Makanlah katsu dan menangkan, itu jelas dan simpel!” sorak Misako. Kemudian, dia tiba-tiba berdiri tegak dan menatap Kai dengan serius. “…Kai. Kadang-kadang, pertempuran kita tanpa ampun,” katanya dengan serius. “Tidak peduli berapa banyak waktu yang kamu habiskan, berapa banyak pemikiran yang kamu tuangkan ke dalamnya, seberapa besar jaminan kemenanganmu… ada kalanya kamu bisa menyinggung Dewi Keberuntungan. Tapi jangan lupakan ini, Kai: Aku akan ada di sini menunggu. Apakah kamu tersenyum atau menangis, aku akan menunggumu pulang.”
“…Ini bukan masalah besar,” gumamnya.
“Sudahkah kamu melihat dirimu sendiri di cermin beberapa hari terakhir ini?”
“Tidak… Tapi aku tahu maksudmu.” Kai sadar bahwa dia terlihat mengerikan. Nanaka juga sangat khawatir, dan menawarkan diri untuk menemaninya ke Tokyo hampir setiap kali mereka bertemu.
“Ditambah lagi,” tambah Misako, “Kai, kamu belum pernah makan tare katsu, kan?”
“Tare katsu?” ulang Kai.
Misteri di balik kata-kata yang tidak diketahui ini terungkap kepadanya segera setelah makanan mereka disajikan. Hidangan Kai tidak salah lagi adalah katsudon — itu adalah semangkuk nasi dengan tonkatsu di atasnya — tapi sebaliknya, itu benar-benar berbeda dari apa yang dia tahu. Katsudon umumnya diletakkan di atas telur, tapi tidak ada telur sama sekali di depannya. Tidak ada bawang, juga. Hanya ada tiga potong katsu, yang digoreng hingga berwarna cokelat keemasan dan ditumpuk di atas nasi. Seperti namanya, ada saus tare yang dituangkan ke katsu, yang juga meresap ke nasi di bawahnya. Misako dalam diam mendesaknya, jadi Kai memulai dengan menggigit katsu.
“…Whoa,” kata Kai. Dia bertanya-tanya, Apa ini? Bukannya garing, tare-nya malah meresap ke dalam irisan daging dan membuatnya lembab. Meskipun dagingnya masih perlu beberapa kunyahan, kualitas daging babinya cukup bagus sehingga gigi Kai bisa memotongnya tanpa masalah. Setiap gigitan menyebarkan rasa manis saus tare ke seluruh mulutnya. Rasa klasik dan gurih dari daging yang juicy berpadu dengan saus untuk melahirkan rasa lezat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kemudian Kai meminggirkan katsu dan mencoba nasi yang direndam tare untuk mengetahui bahwa itu juga luar biasa. Luar biasa menakjubkan. Konsepnya sama dengan nasi yang dilumuri saus yakiniku: tidak mungkin rasanya tidak enak.
Hidangan itu dilengkapi dengan acar di sampingnya, mungkin karena tarenya sendiri memiliki rasa yang lebih manis. Setelah makan acar yang menyegarkan, mulut Kai kemba—tidak. Faktanya, gigitan tare katsu berikutnya yang dia makan bahkan lebih enak daripada gigitan pertama yang dia makan. Dia tidak bisa berhenti memakannya; itu adalah siklus tak terbatas yang sempurna.
“Apakah itu enak?” tanya Misaka.
“…Enak sekali,” jawab Kai.
“Kan?” Misako mengangguk penuh kemenangan, seolah-olah dia yang membuat hidangan itu sendiri. “Ngomong-ngomong,” dia menambahkan, “Set spesial itu bukan lagi sesuatu yang bisa aku makan… Ingatlah itu saat kamu menikmatinya.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu akan mengerti jika kamu terus makan.”
Seperti yang Misako katakan, Kai mulai mengerti saat terus makan. Pada pandangan pertama, katsudonnya tidak jauh berbeda dari yang dipesan kakaknya, jadi dia agak bingung apa yang membuatnya menjadi hidangan spesial. Jawabannya ada di dasar nasi. Atau lebih tepatnya, di tengah nasi. Saat dia memakan katsu di atasnya dan nasi di bawahnya, Kai membentur… katsu.
Kai benar-benar menyodok katsu lain. Bagian ‘spesial’ dari tare katsudon ini adalah fakta bahwa ada lapisan katsu lain yang terkubur di dalam nasi. Terlebih lagi, katsunya dilumuri saus yang meresap ke dalam nasi dan memiliki rasa yang sedikit berbeda—namun tetap enak—dibandingkan dengan yang lain.
Enak… tapi Kai sadar kalau ini pasti terlalu berlebihan untuk Misako, yang beberapa waktu lalu, menangis sambil mabuk soal bagaimana dia harus mengurangi makan makanan berminyak. Faktanya, Kai sendiri bukan orang yang makan banyak, jadi dia juga kesulitan untuk menghabiskannya.
Tapi setelah makan sebanyak ini, Kai tahu itu sudah cukup. Mereka bilang kalau pasukan berparade dengan perutnya, dan sekarang setelah dia makan sampai kenyang, tidak ada lagi yang perlu ditakuti. Dia bahkan menerima efek keberuntungannya.
Yang tersisa hanyalah memantapkan diri sendiri dan melakukan apa yang perlu dia lakukan.
Di Mana Bumi Dipijak
“Senpai, Senpai!”
“…? Ada apa?” tanyanya.
Aya sedang menggunakan salah satu komputer di ruang klub dan tiba-tiba berbalik, menunjukkan seringai nakal. Nanaka duduk tepat di antara dia dan Kai, jadi dia juga melihat ke atas. Eru tenggelam dalam dunianya sendiri, seperti biasa, dan menggambar dengan menggunakan headphone.
“Aku akan mengucapkan sebuah kata. Bisakah kamu menebak apa artinya?” tanya Aya.
“Sebuah kata?” kata Kai tampak bingung.
“Wokeh, ini dia… Senpai, ada kōko di lemari es,” kata Aya.
“…K-Kōko?” ulang Kai.
“Kōko,” kata Aya menegaskan.
Kai melihat ke monitor di belakang Aya, dan dia bisa membaca tulisan besar yang bertuliskan “Dialek Niigata.” Tampaknya, kōko adalah semacam kata dari dialek daerah itu. Kai pikir kalau Aya penasaran apakah orang Tokyo seperti Kai bisa memahaminya atau tidak.
“Ah-chan, bukankah itu agak sulit?” Nanaka menangkap inti dari rencana Aya dan berkomentar sambil menunggu tanggapan Kai.
Agak? pikir Kai tidak percaya. Ini sangat sulit langsung dari awal. Aku tidak bisa kepikiran apa pun. Dia mungkin mengatakan ‘lemari es’ sebagai petunjuk. Paling tidak, itu pasti sesuatu yang muat di lemari es. Aku cukup yakin kalau wajar untuk menganggap itu sebagai semacam makanan. Jadi, itu semacam makanan yang muat di lemari es dan disebut kōko… kōko… koko? Kokokoko… Kokoruyuk?
“Ay…” buka Kai.
“‘Ay?’” dorong Aya.
“…Ayam?”
“Hanya karena Niigata ada di pinggiran kota, bukan berarti ada ayam potong disimpan di lemari es kita,” bantah Aya.
“…Pft. Ay—pfft, ayam…” Respon Kai sepertinya membuat Nanaka geli, yang sekarang sedang menutup mulutnya sambil menahan tawa. “Jawabanmu mengingatkanku ketika kamu mendengar apa yang kupikirkan soal KPI, dan… Kurasa ada hal-hal yang bahkan kamu pun tidak tahu, ya, Kai-kun?”
“Nana-sen, apakah jawabanmu saat itu sangat konyol?” tanya Aya.
“I-Itu rahasia! Aku tahu apa artinya sekarang!” Nanaka menghindari topik pembicaraan dengan menoleh ke arah Kai dan berkata, “Kōko hanyalah takuan. Kami tidak sering menggunakan kata itu, tapi kupikir nenekku masih sering mengatakannya.”
“…Takuan?” ulang Kai. “Seperti acar lobak kuning?”
“Ya, benar,” jawab Nanaka.
“Jadi, kenapa disebut kōko?” tanya Kai.
“Mana kami tahu? Dialeknya ya begitu,” balas Aya.
“B-Benar juga.” Kai mengira mungkin begitulah dialek berkerja.
“Ngomong-ngomong,” kata Aya melanjutkan, “Aku ada lagi. Ingin taruhan satu kali gacha kalau kamu salah tebak?”
“Ya, tidak, terima kasih.”
“Apa?! Jangan merusak kesenangan! Bagaimana kalau aku yang akan memutar gacha jika kamu menang atau kalah? ”
“Kalau begitu kamu sebaiknya memutarnya sendiri…” gumam Kai.
“Kamu ‘ngerti kan bagaimana terkadang kamu tidak bisa memutuskan apakah kamu ingin memutar gacha atau tidak?” tanya Aya, sebagai penjelasan.
“Kupikir aku akan menolak untuk memutuskan sesuatu seperti itu.”
“Hei, hei!” sela Nanaka, “Jika kalian mau taruhan, maka kuis dialek ke depannya akan dilarang!” Kemudian, dia melirik jam di dinding. Dia tentu melanjutkan bicaranya dengan, “Whoa, sudah selarut ini? Ayo mengemas dan pulang.”
Mengesampingkan Eru, yang tidak bisa mendengar apa-apa, Aya bertingkah sangat normal, hanya mengatakan, “Kedengarannya bagus.” Tampaknya hanya Kai yang menganggap pilihan kata Nanaka aneh.
“Um… Nanaka-san?” panggil Kai.
“Hm? Ada apa?” jawab Nanaka.
“…Eh, baiklah, apakah ada alasan khusus kita harus pulang dengan membungkus hari ini?”
“Membungkus?” Nanaka memiringkan kepalanya.
“Apa yang kamu bicarakan, sih?” Aya hampir memutar matanya saat dia bertanya.
“Maksudku, kita perlu ‘mengemas’ saat pulang, kan…?”
“Hah? Yang kubilang itu—tunggu… Kai-kun, mungkinkah… apakah kamu tahu apa artinya ‘mengemas’?” tanya Nanaka.
“…Membungkus rapi sesuatu?” katanya memberanikan diri.
Nanaka menutupi wajahnya dengan malu saat dia menyadari apa yang telah terjadi.
“…Nana-sen,” kata Aya memberitahu, “Aku tidak menyangka kamu memberi Senpai kuis dialek sesaat setelah melarang itu. Itu tidak adil!”
“Tapi Ah-chan, sepertinya kamu juga tidak sadar apa yang aku katakan!”
“Meskipun itu tidak benar? Oh, Senpai,” ujar Aya menjelaskan, “‘mengemas’ sama artinya dengan beres-beres.”
Begitu ya, pikir Kai. Itu membuat pernyataan Nanaka sebelumnya pas. Dia melihat jam dan menyadari sudah hampir waktunya untuk pulang, jadi mereka semua harus mengemas dan pulang. Tentu saja, beres-beres. Sekarang setelah Kai tahu, itu sangat masuk akal.
“…Baiklah kalau begitu,” kata-kata itu mengalir secara alami dari mulut Kai. “Nanaka-san, ayo mengemas dan pulang.”
Sebagai tanggapan, Nanaka dengan main-main menangis, “Kai-kun membullyku!” dan Eru (yang kebetulan mendengarnya) meledak dengan nada main-main yang jauh lebih sedikit, “Apa yang kamu lakukan pada Nanaka-ku tersayang?!” sementara Aya menertawakan situasi dengan, “Ah astaga.” Tapi tentu saja, Kai sama sekali tidak bermaksud membullynya.
Itu hanya karena dia ada di sini, dan ingin menggunakan kata baru yang hanya berhasil dia pelajari karena dia bersama mereka. Di tengah kekacauan ruang klub, dia berpikir dalam hati…
Kuharap, ke depannya, kalian semua akan mengajariku lebih banyak kata seperti ini.
Suatu Hari di Klub Social Game ~Debat Pakaian Renang~
Kai dan Nanaka sedikit terlambat karena kelas mereka lebih lama dari biasanya. Ketika mereka sampai di ruang klub, Aya dan Eru berdebat dengan aura yang menakutkan.
“Seperti! Yang! Kubilang!” teriak Aya. “Gadis ini butuh bikini! Bayangkan, gadis lemah lembut ini mengumpulkan semua keberaniannya sehingga dia dapat menikmati petualangan musim panas seumur hidup, tapi dia tidak tahu seberapa jauh dia harus melangkah, jadi dia kebablasan hingga dia akhirnya membeli bikini mahal yang agak vulgar— itulah yang imut!”
“Jangan konyol!” bentak Eru balik. “Gadisku sayang tidak akan bisa membeli bikini! Dia akan terlalu malu! Tapi dia tentunya tidak ingin ketahuan memakai baju renang sekolah yang ada label namamya, jadi dia akan mencari pakaian renang yang bagian tertutupnya mirip baju renang sekolah… dan kemudian, dia menemukan pakian renang untuk lomba! Tapi dia tidak tahu kalau pakaian renang lomba dirancang untuk mengurangi hambatan dengan mengetat erat pada tubuhnya, jadi pada akhirnya dia memiliki petualangan kecilnya sendiri yang sedikit aneh, dan itulah yang imut!”
“Aku belum pernah mendengar tentang standar internalmu, dan aku tidak peduli dengan fetishmu!” teriak Aya.
“Kalau begitu, bikini adalah fetishmu!” kata Eru menuduh.
“Baiklah! Kalau begitu, lihatlah seperti ini: apakah menurutmu orang-orang akan meneg-gacha untuk baju renang seperti itu?!”
“Aku tidak menggambar ini demi gacha!” ungkap Eru mencemooh. “Mungkin kau sebaiknya sedikit mengurangi gacha dan lebih banyak mengembangkan otak!”
Saat argumen berkecamuk, itu kurang dari “percikan terbang” dan lebih ke arah “ledakan roket yang melintasi ruangan.” Intensitas mereka telah membuat Kai membeku di tempat, di ambang pintu, tapi Nanaka mulai mendekati mereka. Dia mengambil ilustrasi cetak Eru dari meja.
“Nanaka, bagaimana menurutmu?!”
“Nana-sen, bagaimana menurutmu?!”
Keduanya menoleh tajam ke arah Nanaka dengan mata merah. Nanaka melihat ke arah gambar sejenak, dan kemudian mengutarakan pikirannya. “Pakaian renang balap… terbuka lebar di bagian punggungnya, kan? Misalkan saja kita akan memilih pakaian renang lomba; menurut kalian sudut menghadap ke depan atau belakang yang akan terlihat lebih baik? Mana yang akan lebih disukai pengguna?”
Nanaka-san, menurutku kau seharusnya tidak mengatakan— Kai tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan jalan pikirannya, apalagi mengatakannya dengan keras.
“Dia akan memperlihatkan punggungnya, sayang,” kata Eru.
“Pastinya dari depan,” ujar Aya tidak setuju.
Keduanya menawarkan pendapat yang berlawanan pada saat bersamaan, dan situasi mulai memanas sekali lagi. Tentu saja, kali ini, Nanaka ditarik ke dalam perdebatan dan dia meminta bantuan Kai, jadi semua anggota klub akhirnya berdebat tentang pakaian renang bersama.
…Kesimpulannya, mereka berempat berdebat untuk waktu yang lama dan memutuskan bahwa gadis itu pergi berbelanja bersama teman-temannya, dan sebagian besar karena saran mereka, dia keluar dari zona nyamannya untuk membeli bikini. Namun, dia akhirnya tidak bisa menahan rasa malu, dan ilustrasi terakhir menggambarkan dia bersembunyi di balik kain hoodie besar untuk menutupi dirinya.
Karena Aku Ingin Melihat Senyumanmu
Nanaka dengan hati-hati memberikan sentuhan akhir pada gambarnya dan mengangkat wajahnya dari kertas kartrid yang diletakkan di depannya. Dia bersantai sejenak untuk memejamkan mata. Matanya perlahan kembali terbuka, untuk melihat karakter yang dia gambar, dan dia memegang kertas itu dari jarak dekat dengan kedua tangannya sehingga dia bisa melihat gambarnya dengan baik.
Tidak… ada masalah. Setidaknya, Nanaka tidak melihat ada masalah. Terutama, dia merasa mata yang dia gambar sangat imut, dan gerakan rambutnya memiliki momentum yang cocok dengan pose melompat yang dia buat.
Setidaknya… itulah yang Nanaka pikirkan.
Nanaka pelan-pelan menurunkan lembaran kertas yang memenuhi garis pandangnya. Tersembunyi di balik kertas, Eru perlahan mulai terlihat. Dia duduk di seberang meja kopi Nanaka, sepenuhnya asyik mencoret dengan penanya, tapi dia mengalihkan tatapan tajamnya ke arah Nanaka begitu gambar diturunkan.
Apakah kamu siap? tanya Eru dengan tatapannya.
Nanaka melihat karyanya sekali lagi… Ya. Tidak masalah. Malahan, Nanaka bisa membusungkan dadanya dan mengatakan kalau dia telah membuat sesuatu yang bagus. Nanaka mengangguk, sebelum membalik kertas itu dan perlahan-lahan mendorongnya ke depan.
Eru melepas headphone-nya dan mengambil gambar itu dengan kedua tangan saat dia langsung mulai memeriksanya. Nanaka bahkan tidak punya waktu untuk menunggu dengan napas tertahan.
“Ini tidak bagus, sayang.” Eru hanya melihatnya sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. Dia meletakkan lembaran itu di atas meja dan mengeluarkan pena merah dari kotak pulpennya sebelum menggambar serangkaian garis merah tanpa ragu-ragu.
Dan kemudian, gambar yang ditambahkan dikembalikan ke Nanaka.
“Mungkin karena pose melompatnya sulit, tapi struktur tubuhnya benar-benar tidak seimbang,” jelas Eru.
“Begitu… ya,” kata Nanaka. Tanda merah di seluruh kertas dengan jelas menunjukkan bentuk yang tepat untuk pose tersebut. Hanya beberapa detik yang lalu, dia mengira dia telah membuat gambar yang bagus, tapi sekarang semuanya runtuh dalam sekejap.
“…….Begitu ya,” kata Nanaka lagi, bersandar ke belakang kursi dengan ilustrasi masih di tangannya.
“.…Nanaka?”
“Aku baik-baik saja.” ulang Nanaka pada diri sendiri, “….Aku baik-baik saja. Makasih, Eru.”
“Apakah kamu… benar-benar baik-baik saja?” tanya Eru.
Jangan khawatir, aku sungguh baik-baik saja. Nanaka memaksakan dirinya agar dia bisa menatap mata temannya saat dia berkata begitu, tapi ketika dia berhenti bersandar, Eru sedang mengaduk-aduk tasnya. Nanaka bisa langsung tahu apa yang sedang dia cari. Barang yang ditarik Eru dengan cepat diletakkan di atas meja di depannya.
Itu adalah sasa dango.
“Istirahat juga penting, sayang,” jelas Eru.
“Itu benar… Yup, makasih—hei, tunggu? Apakah kamu hanya bawa satu?” tanya Nanaka.
“Kami hanya punya satu di rumah, jadi aku bawa saja.”
“Eru,” kata Nanaka bersikeras, “apakah kamu tidak mau?”
“Aku tidak benar-benar perlu—” Tergantung pada perspektif, waktunya bisa sempurna atau buruk. Bersamaan dengan kata ‘perlu’, geraman kecil yang lucu datang dari dalam perut Eru. Dia tidak bertingkah malu, dan dengan tenang menatap perutnya.
“…Pft.” Nanaka tertawa kecil saat dia mulai melepaskan tali juncus yang melilit bungkusan itu. Sasa dango adalah makanan manis Jepang, di mana yomogi mochi yang diisi dengan anko dibungkus menggunakan beberapa lapis daun bambu dan akhirnya diikat pakai tali yang terbuat dari rumput juncus. Begitu dia selesai melepaskan talinya, Nanaka mulai dengan hati-hati mengupas daun bambu. Satu kesalahan bisa berupa meninggalkan bagian daun pada mochi, atau memecahkan mochi dan membuat anko tumpah ke mana-mana. Bagian ini membutuhkan kehati-hatian yang tinggi.
Setelah berhasil mengupas dango, Nanaka memegang ke dua sisinya dan membelah tengahnya. Kacang merah yang menggugah selera menyembul dari potongan melintang dan mengeluarkan aroma manis yang samar dari sana.
“Nih, Eru.”
“Nanaka, sayang, kamu bisa memakannya sendiri.”
“…Tidak. Ayo makan sama-sama.”
Eru melirik sasa dango dengan ragu, tapi kemudian menerimanya dengan tenang. Kedua gadis itu bertukar pandang dan mengambil gigitan pertama mereka pada saat yang bersamaan. Yomogi mochi yang menyegarkan dipasangkan dengan manisnya butiran anko, terjalin di mulut mereka saat mereka terus mengunyah. Enak, pikir mereka.
“…Hei Eru, apakah kamu ingat?” tanya Nanaka.
“Ingat apa?”
“Dulu ketika kita masih kecil, kita sering menggambar bareng seperti ini, kan?”
“…Itu benar,” kata Eru setuju.
“Ada suatu waktu di mana aku tidak bisa menggambar dengan benar, dan aku mulai cemberut—hanya sedikit, kok. Dan kemudian, Eru, kamu memberiku sasa dango yang kamu bawa sebagai camilan. Seperti yang barusan kamu lakukan. Aku tidak tahu apakah kamu mengingat ini.”
Ketika aku makan sasa dango, pikir Nanaka, terkadang aku berpikir kembali dan bertanya-tanya… Kenapa yang aku makan hari itu rasanya begitu manis… begitu enak? Memikirkannya sekarang, aku merasa kayak Eru mulai membawa sasa dango sesekali setelah itu. Aku pasti membuat sasa dango-nya terlihat sangat enak ketika aku makan yang pertama.
“Sebenarnya,” lanjut Nanaka, “Saat itulah aku mulai menyukai sasa dango. Jadi… aku mengingatnya dengan sangat jelas.” Setelah menyelesaikan apa yang ingin dia katakan, Nanaka dengan cepat meneguk sisa mochinya. Dia makan sesuatu yang enak dan semangatnya sedang tinggi; yang tersisa adalah memberikan yang terbaik. “Baiklah!” katanya menyatakan. “Aku akan mencoba menggambar pose itu sekali lagi!”
Nanaka mengeluarkan selembar kertas kartrid baru dengan penuh semangat. Kemudian dia menatap Eru untuk melihat apa yang dia lakukan, dan menyadari kalau Eru balas menatapnya.
“…Cerita itu…” buka Eru.
“Huh?”
“Aku juga ingat cerita itu.” Eru tampak malu dan mengalihkan pandangannya, tapi tidak sebelum menambahkan, “Tidak mungkin aku lupa, sayang.”
Lagi-lagi, Hujan Turun di Sebelahmu
“Ah.”
Suara mereka terdengar bersamaan. Tetesan hujan yang mendarat di kepala Kai turun ke telinganya dan membasahi kulitnya hingga terserap oleh kerah kemejanya. Nanaka terkena di pangkal hidungnya, dan dia menekuk jari telunjuk kanannya untuk menyeka hidungnya. Namun, bahkan saat dia melakukan itu, hujan semakin lebat.
Hanya masalah waktu sebelum berubah menjadi badai besar, Kai menyadari. Cuaca Niigata benar-benar tidak menentu. “Ayo cepat lari sebelum mulai—” deras, dia hendak berkata begitu, tapi mulutnya tetap tertutup.
Nanaka memiliki ekspresi sombong, dengan ekspresi lihat-apa-yang-aku-bawa di wajah Nanaka saat dia menoleh ke arah Kai dan bertanya, “Nah, apakah ini?”
“…Payung lipat?” tebak Kai.
“Benar!” Payung terbuka bersamaan dengan jawaban antusias Nanaka. Kai kira dia akan mengeluarkan payung hitam dari tasnya, tapi bagian dalamnya memiliki desain langit cerah yang stylish. Senyum cerah Nanaka sangat pas dengan langit biru payung hingga membuat Kai terpesona.
“…Kai-kun?”
“Ah, m-maaf! Aku agak melamun.”
“Tidak apa-apa, nih.”
“Apa?”
“Astaga, lihat,” kata Nanaka, sambil mengulurkan tangan yang memegang payung. “Nih.”
“O-Oke.” Guyuran hujan di sekitar mereka terus mengeluarkan suara tetesan air menghantam payung saat hujan itu semakin kuat. Kebisingan itu membuat Kai yang-sudah-bingung menjadi buru-buru, dan dia meraih pegangan payung. Tindakan itu sendiri sebagian besar karena refleks. Nanaka tampak seperti menawarkan payung, jadi dia mengambilnya. Dia tidak berpikir lebih atau kurang dari itu.
Akibatnya, Kai menjadi sangat terkejut.
“Oh, kamu akan memegangnya untukku?” tanya Nanaka. “Kurasa itu akan lebih baik karena kamu lebih tinggi dariku, Kai-kun.”
“Huh? Um…” Sebelum dia bisa mengeluarkan kata-katanya, Nanaka pindah ke tempatnya, menyelinap dari samping kirinya ke bawah payung dengan anggun seperti seekor kucing. Tentu saja, di bawah payung yang dipegang Kai.
Payung lipat itu kecil—sangat kecil. Jika Nanaka mencoba ikut dengannya di bawah payung, mereka perlu untuk sangat berdekatan. Dan ketika Kai mulai memahami situasi mereka, jantungnya mulai berdetak sangat kencang, sampai pada titik di mana itu menjadi konyol. Sejujurnya, dia khawatir Nanaka mungkin bisa mendengar detak jantungnya. Diamlah diamlah diamlah, Kai berdoa, tapi detak jantungnya bukanlah sesuatu yang bisa dia ubah.
“Kai-kun.” Kai melihat ke bawah, hanya untuk berpapasan langsung dengan mata Nanaka saat dia menatapnya. “Bukankah kita akan pulang?”
“Um… Nanaka… san?” Kai berhasil berkata.
“Ada apa?”
“Um… yah…”
“Yah?”
“Ini, yah… kita berbagi payung… kan?”
“Ku… rasa bisa dianggap begitu,” kata Nanaka setuju dengan hati-hati. “Tidak, sebenarnya, kupikir kamu harus anggap begitu. Ahahaha.” Nanaka dengan malu-malu menggaruk pipinya. Nanaka menatap ke atas, ke arahnya lagi dan bertanya, “…Apakah kamu keberatan?”
“B-Bukan begitu!” bantah Kai keras. Itu sepenuhnya tidak benar. “Hanya saja, yah, aku tak masalah… Tapi Nanaka-san, apakah kamu… yah, tidak keberatan?”
“Aku…” Nanaka terdiam dan mengalihkan pandangannya sejenak sebelum dengan penuh semangat berbalik menghadap Kai. Nanaka memegang smartphone di tangannya, dan itu membuat suara potret kamera saat flash-nya berkedip terang ke arah Kai. Ketika Nanaka membalik ponselnya untuk menunjukkan layar pada Kai, Kai melihat wajah seorang introvert, tampak merah karena malu menghadapi situasi yang pertama kali baginya.
“Astaga! Kai-kun, kamu terlalu malu! A-aku pikir akan aneh kalau terlalu keras memikirkannya, jadi aku mencoba yang terbaik untuk bersikap normal! Jika kamu membuat wajah seperti itu, bahkan aku pun…” mata Nanaka berkaca-kaca dan, seperti Kai, pipinya juga merah padam.
Suara hujan yang menghantam payung mengisi keheningan di antara mereka.
“…A-Ayo kita segera pulang,” saran Nanaka.
“…Y-Ya,” katanya setuju.
Mereka mulai berjalan canggung menembus gema suara hujan dengan cara berjalan lomba lari tiga kaki. Jika ini berlanjut selamanya, jantung Kai akan meledak atau berhenti. Tapi, untuk sedikit lebih lama… Hanya sedikit lebih lama, dia berharap hujan akan terus berlanjut. Dia tidak bisa tidak memikirkan dua pemikiran yang kontradiksi ini…
Setidaknya, Kai memutuskan, biarkan kami berjalan seperti ini sepanjang perjalanan pulang.