Chapter Dua: Berkemah Sendiri
Setelah kejadian di mana aku berhasil menipu ayah Makiri-sensei dengan berpura-pura bahwa kami berpacaran, aku masih memiliki banyak waktu luang. Aku memutuskan menggunakan waktu tersebut untuk menyelesaikan PR musim panasku, dan menjelang pertengahan liburan, aku sudah berhasil menyelesaikan PR-ku sepenuhnya, yang berarti aku kembali memiliki terlalu banyak waktu luang.
“Ya ampun, aku bosan…”
Yang kulakukan sekarang hanyalah membaca manga di kamar menggunakan ponselku, sambil berusaha bertahan dari panas terik dengan mengatur suhu AC semaksimal mungkin.
Aku merasa sedikit dalam kebimbangan. Aku ingin mengundang teman-temanku datang ke rumah, tapi aku memiliki kecemasan sosial yang cukup besar. Aku bahkan tidak tahu bagaimana atau apa yang seharusnya kukatakan untuk mengundang mereka, jadi aku duduk di sini berharap sebagai gantinya seseorang bisa mengundangku untuk menyelamatkanku dari masalah ini.
Namun, kurasa seorang pengemis tidak bisa memilih-milih. Dibandingkan dengan musim panasku sebelumnya, musim panas tahun ini telah menjadi yang paling berkesan sejauh ini. Aku ingat pernah pergi beberapa kali ke kolam terdekat tahun lalu untuk nongkrong sendirian, dan itu bisa dianggap sebagai momenku yang paling menonjol. Dan jangan tanya soal liburan musim panasku saat aku masih SMP.
Jadi ya, aku terbiasa hampir tidak melakukan apa pun sama sekali, itulah sebabnya aku tidak terlalu khawatir untuk dapat melakukan sesuatu yang berkesan selama berhari-hari.
Untuk sementara, kupikir aku akan terus membaca manga sejenak, dan mungkin ketika matahari terbenam, aku akan pergi jogging di luar sebentar dan hanya itu… hm? Ada yang mengetuk pintu kamarku.
Saat aku berdiri dan membuka pintu kamarku, aku menemukan ayahku berdiri di balik pintu. Aneh. Dia tidak pernah datang ke kamarku seperti ini.
“Ada yang ayah butuhkan?”
“Yah, kurang lebih…” dia berhasil berbisik pelan, diikuti dengan “Sepertinya kamu punya banyak waktu luang sekarang.”
“Kurasa begitu. Tapi bagaimana dengan ayah? Bukankah ayah seharusnya bekerja? Hari ini hari kerja, kan?”
Aku tidak menyadari sebelumnya hari ini hari apa, tapi seharusnya aku tahu karena semua bab manga favoritku rilis di hari yang sama.
Mengingat ayahku selalu agak keras tentang pekerjaannya, aneh melihatnya di rumah sebelum larut malam, terutama di hari kerja.
“Aku memutuskan untuk mengambil liburan musim panasku sekarang,” jawabnya dengan wajah serius.
“Huh, oke.”
Aku lupa bahwa dia bisa mengmabil sejumlah hari cuti dalam setahun untuk berlibur. Kebanyakan orang yang bekerja cenderung mengambil liburan pada sekitar waktu ini. Itu masuk akal.
“…Ngomong-ngomng, bagaimana perkembangan belajarmu? Aku berasumsi bahwa kamu diberi PR musim panas, kan?” tanya dia padaku, dengan wajah serius.
Kupikir dia datang ke sini untuk memberi tahuku bahwa aku sebaiknya mengutamakan menyelesaikan PR-ku daripada tidak melakukan apa-apa, seperti yang kulakukan sekarang ini. Itulah caranya mencoba bertindak seperti orang tua yang baik. Dia sudah sering melakukan itu akhir-akhir ini. Sejak Makiri-sensei datang ke sini untuk berbicara dengannya, dia mencoba lebih keras mendekatiku dan bertindak lebih seperti seorang ayah, dan hal itu kusambut dengan baik.
“Aku sudah menyelesaikan PR yang diberikan. Ketika aku merasa siap, aku juga akan mempersiapkan beberapa mata pelajaran yang akan kami hadapi tahun depan.”
“Mhm,” dia mengangguk sebagai jawaban. Namun, bukannya menjawab dengan senyuman, dia memberiku tatapan sinis dan kemudian…
“Kamu tidak boleh berdiam di kamarmu hanya untuk belajar sepanjang hari!”
“Tunggu, apa? Lalu untuk apa kau datang ke sini? Bukankah kamu mau menyuruhku untuk belajar lebih giat?” jawabku, kaget. Sejujurnya aku agak terkejut bahwa dia tidak datang ke sini untuk mengomeliku tentang hal itu.
“Yuuji, kenakanlah pakaian yang nyaman, dan panggil aku begitu kamu sudah selesai berganti pakaian. Kamu akan mempelajari beberapa pelajaran hidup yang berharga hari ini,” katanya, lalu segera pergi.
Menurutku hal terpenting dalam hidup adalah dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan benar, tapi ayahku tidak pernah mengajariku cara berbicara seperti orang normal, jadi aku tidak yakin apa yang ingin dia ajarkan padaku.
Bagaimanapun juga, membuang-buang waktu tidak akan membantuku. Aku hanya perlu melakukan apa yang dia katakan dan melihat ke mana hal ini akan membawaku.
☆
Sudah satu jam sejak aku naik ke mobil bersama ayahku. Aku bertanya padanya ke mana kami akan pergi, tapi dia tetap diam seperti batu sejak kami memulai perjalanan. Pada titik tertentu aku menyerah, dan alih-alih mencoba mengajukan lebih banyak pertanyaan padanya, aku hanya pasrah melihat ke luar jendela dan mengamati pemandangan di sekitarku.
Awalnya aku melihat kota tempat kami tinggal, yang merupakan tempat yang biasa aku lihat, tapi tidak lama kemudian kami memasuki daerah yang lebih pedesaan, dan akhirnya kami tiba di jalan pegunungan.
“Kita sudah sampai,” katanya. Dia menghentikan mobil dan kami berdua pun keluar.
“Uhh, jadi… ini bumi perkemahan…?” tanyaku, sembari melihat sekeliling.
Hal pertama yang memberikan indikasi tersebut adalah papan iklan lebar yang bertuliskan “Bumi Perkemahan Marui.” Sejujurnya, itu tidak terlalu sulit ditebak.
Aku sebenarnya agak tersentuh. Dia ingin menghabiskan waktu ayah-dan-anak berkemah bersamaku? Ini hebat, aku pasti akan—
“Aku telah membaca manga tentang gadis-gadis berkemah, dan aku tidak bisa menahan panggilan alam setelah itu, jadi di sinilah kita. Sudah lama sejak terakhir kali aku berkemah di luar.”
…Jadi itu karena dia membaca Y*ru Camp dan bukan karena dia ingin menghabiskan waktu bersamaku di sini? Haah, kenapa pula aku sempat berpikir bahwa pria ini mampu bertindak seperti orang tua… dia juga terlihat sangat serius.
“Tunggu, apa maksudmu dengan bagian terakhir itu? Apakah kamu pernah berkemah sebelumnya?”
Aku memiliki firasat buruk tentang hal ini.
“Dulu aku sering datang ke sini.”
“Menurutku kita belum pernah datang ke sini seumur hidupku.”
“Itu sebelum kamu lahir. Sejak kamu lahir, pekerjaanku jadi agak sibuk, lho. Hahaha!” katanya, dengan nada mencela diri sendiri.
“Kalau begitu, kurasa itu memang sudah lama.”
“Aku dan Ibumu datang ke sini berkali-kali sebelum kami menikah, rasanya hampir seperti kami tinggal di sini,” katanya, dengan nada muram sambil merundukkan bahunya, mengkhianati kata-katanya karena percakapan itu meredakan mood-nya.
“B-Baiklah, mari kita bayar tempat menginap kita dan memasang tenda,” kataku cepat, dalam upaya mencegah keheningan canggung di antara kami.
“Ide bagus. Bisakah kamu membantu mengeluarkan barang bawaan dari mobil juga?”
“Bagaimana jika aku membantu mengeluarkan barang bawaan, dan kamu pergi melakukan apa pun yang harus kamu lakukan untuk membayar biaya menginap kita di sini sementara itu?”
“Oh, oke. Aku akan menyerahkannya padamu kalau begitu,” katanya, saat dia menuju kabin terdekat tempat resepsionis perkemahan berada.
Pertama, aku menurunkan gerobak kecil yang kami siapkan untuk perjalanan ini, dan setelah selesai, aku meletakkan semua barang bawaan di dalamnya. Akhirnya, Ayahku selesai membayar biaya menginap kami, dan kami pun menuju ke tempat perkemahan.
Sesampainya di sana, kami bisa melihat berbagai jenis orang, dari anak-anak yang gaduh bersama keluarga mereka, hingga kelompok mahasiswa, diikuti juga pria dan wanita yang datang berduaan.
Aku beranggapan bahwa salah satu alasan ayahku memutuskan untuk datang ke sini juga karena dia ingin menjauh dari hiruk pikuk kota, dan meluangkan waktu untuk bersantai di sini. Dari sudut pandang pribadi, kupikir ini mungkin akan menjadi cukup bising, tapi kita lihat saja nanti.
“Oh, lihat ke sana. Ada tanah kosong yang bagus untuk kita memasang tenda. Bisakah kamu membantuku, Yuuji?”
“Tentu.”
Aku mengeluarkan tenda dari gerobak dan membantu memasangkannya. Setelah selesai, kami meletakkan meja dan beberapa kursi juga.
“Baiklah, sudah selesai. Sekarang kita bisa tenang. Yuuji, kamu bisa bersantai selama sisa masa menginap kita.”
Lalu dia pun duduk di salah satu kursi dan mulai mengobrak-abrik gerobak untuk mencari kompor dan wajan, dan juga menggeledah kotak pendingin yang kami bawa.
“Benar, kita belum makan siang.”
Dia mengajakku pergi dalam perjalanan ini begitu tiba-tiba sehingga aku hampir lupa makan. Dia mungkin juga belum makan.
Dari kotak pendingin, dia mengeluarkan sebuah wadah plastik, dan setelah itu, dia menyalakan kompor gas dan meletakkan wajan di atasnya. Melihat bahwa dia tidak mengeluarkan bahan mentah, pisau atau semacamnya, aku beranggapan bahwa apa pun yang ada di dalam wadah plastik itu hanya perlu dipanaskan.
Dia membuka wadah plastik, yang memperlihatkan nasi telur yang dicampur dengan mie. Dia menuangkan sedikit minyak ke dalam wajan, lalu menjatuhkan seluruh isi wadah plastik ke dalam wajan tanpa ragu. Setelah melihatnya mengaduk makanan di dalam panci selama beberapa menit, aku dengan cepat menyadari apa yang sebenarnya sedang dia buat. Ini adalah tren baru yang viral belakangan ini di Jepang, di mana orang-orang mempersiapkan nasi goreng dengan mie cup.
“Aku tempo hari melihat seorang youtuber masak yang membuat ini, dan itu membuatku ingin mencoba memasaknya juga,” katanya, sambil menyelesaikan masakan itu dan membagi makanan di antara dua piring, memberikan salah satu piring itu padaku.
“Ayah…”
Aku merasa kebingungan saat menerima piring itu—aku tidak pernah bisa membayangkan ayahku menonton youtuber atau bahkan membaca manga, tapi beginilah dia sekarang. Ini bahkan lebih mengejutkan karena saat aku masih kecil, dia akan mengabaikan apa pun selain siaran berita, dan menganggapnya sebagai “membuang-buang waktu.”
Mengingat dia harus menghadapi perceraian, dan aku menjadi seorang yang brengsek selama ini, aku merasa cukup bersalah karena membuatnya harus melalui itu semua.
Ngomong-ngomong, sebaiknya aku berhenti terlalu banyak memikirkan hal itu dan mulai mencoba masakan ayahku.
“Jadi, bagaimana rasanya, Nak?”
“Rasanya enak sekali.”
Aku merasa hampir mau menangis sekarang, tapi bukan karena makanannya enak. Sejujurnya, siapa pun bisa membuat ini tanpa perlu terlalu banyak usaha. Aku hampir menangis karena menurut pendapatku, ayahku berubah menjadi lebih baik dan dia juga tertarik pada hal-hal yang kusukai, membuatku sedikit terharu. Aku buruk dalam menyembunyikan emosiku, dan aku mungkin terlihat seperti badut di acara TV.
“Tidak perlu sampai terharu begitu oleh rasanya, Nak, ayolah…” jawabnya sambil memberiku pandangan lembut.
Lebih baik aku tidak memberitahunya bagaimana perasaanku saat ini, tapi aku juga ingin menghindari keheningan yang canggung, jadi aku hanya akan diam saja dan tetap tenang sambil memakan sisa makananku.
☆
Begitu kami selesai makan, kami duduk di depan satu sama lain, dan aku menyadari bahwa mungkin kami akan memiliki salah satu percakapan ayah-anak yang sangat serius di tengah hutan ini. Tapi kami tidak berbicara apa-apa. Kurasa kami berdua tidak tahu bagaimana caranya mencairkan suasana.
Akhirnya, kami mulai berbicara tentang hal-hal yang kami berdua sukai: membaca manga dan webtoon secara online, menonton video YouTube, dan saling merekomendasikan manga yang kami sukai. Sampai akhirnya, kami sampai pada topik komedi romantis, yang merupakan topik yang sangat kami sukai, dan percakapan pun menjadi canggung, hingga kami berdua terdiam lagi. Untuk menghindari kecanggungan, ayahku mengeluarkan tempat tidur gantung portabel yang dia bawa, lalu tidur di atasnya. Aku tahu saat dia tertidur karena dia mulai mendengkur dengan keras.
Aku mengerti kenapa dia seperti itu. Dia mungkin lelah karena pekerjaannya. Aku akan membiarkannya dan melihat-lihat apa yang ada di sekitar sini.
☆
Bumi perkemahan ini cukup besar. Hal pertama yang kusadari adalah betapa luasnya hutan ini, dan sungai kecil yang mengalir di dekatnya. Matahari tepat di atas kepala, tapi pepohonan menghalangi sebagian besar panasnya. Aku menuju sungai untuk melihatnya lebih dekat.
Airnya terlihat segar, jadi aku menggulung celanaku hingga ke lutut, melepas sepatu dan kaos kaki, lalu merendam kakiku di dalam air, yang rasanya lebih dingin dari yang kuduga—sensasinya luar biasa. Ini sama enaknya seperti berada di kamarku dengan AC di suhu terendah.
“Eh, Tomoki-kun?” Aku mendengar suara feminin dari belakangku. Aku tahu suara ini milik siapa, jadi aku berbalik, dan…
“Makiri-sensei? Sungguh kebetulan.”
Pemilik suara itu adalah Makiri-sensei. Dia mengenakan pakaian yang berbeda dari biasanya, dan dia tampak terkejut melihatku. Sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku melihatnya—Aku mengunjungi rumah ayahnya untuk berpura-pura menjadi pacarnya—jadi aku tidak merasa seperti sudah lama sekali sejak kami terakhir bertemu. Meski begitu, aku masih terkejut, sama seperti dia. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di tempat seperti ini.
“B-Benar. Sungguh kebetulan memang…” jawabnya, sambil memeriksa pakaiannya dan memainkan rambutnya sedikit, entah kenapa dia terlihat jelas mengkhawatirkan penampilannya saat ini.
Rambutnya disanggul. Dia juga mengenakan hoodie, celana pendek, dan legging di baliknya, serta sepatu lari. Singkatnya, dia mengenakan pakaian kasual saat ini… oh, sekarang aku mengerti kenapa dia malu terlihat olehku seperti ini. Satu-satunya saat aku melihatnya mengenakan pakaian kasual adalah ketika kami melakukan perjalanan OSIS dengan yang lain. Aku tidak pernah melihatnya mengenakan sesuatu yang santai seperti ini, jadi mungkin itulah alasan dia memerah sekarang. Apapun alasannya, aku selalu menganggapnya sebagai orang yang menarik, jadi menurutku pakaian ini cocok dengannya, dan karena kami berada di bumi perkemahan, menurutku tidak aneh jika dia mengenakan pakaian santai agar dia dapat bergerak lebih leluasa.
“Ditatap tajam itu memalukan, lho,” katanya sambil menatapku dengan tatapan tidak suka.
“Maaf.”
Dia benar, mungkin aku menatapnya terlalu lama. Aku akan mengalihkan pandangan dan mencoba mengubah topik pembicaraan agar ini tidak menjadi canggung.
“Jadi, Anda juga mengambil cuti musim panas, ya?”
“Ya. Aku mengambil cuti beberapa hari, dan di sinilah aku sekerang.”
Jadi, pada dasarnya, dia melakukan hal yang sama dengan ayahku. Bukan hal yang aneh.
“Apakah Anda sering ke sini?”
“Yah, aku tidak sering berkemah, tapi aku suka menghabiskan waktu sendirian di alam sesekali. Ini adalah hobiku,” jawabnya, sambil melihat apa yang aku lakukan.
“Air sungainya terlihat segar. Apakah airnya dingin?”
“Ya. Ini dingin, tapi rasanya enak.”
“Oh, begitu ya. Kalau begitu, izinkan aku bergabung denganmu,” katanya, sambil melepas sepatu, kaus kaki, dan menggulung legging-nya.
Melihat kulit putihnya di balik legging hitam itu mengingatkanku pada saat aku melihatnya di pemandian air panas beberapa waktu lalu. Namun, aku tidak ingin memikirkan hal itu lagi, jadi aku menggelengkan kepala dan melihat ke kejauhan untuk mencoba menenangkan pikiranku.
“Kamu benar. Air ini terasa cukup enak,” katanya, sambil berdiri di sampingku. Aku bisa melihat dari sudut mataku bahwa dia melirik ke arahku—dia terlihat lebih ceria dari biasanya, dan aku merasa dia sangat menawan. Aku suka melihat senyumannya.
“Ada apa?” tanyanya, menyadari bahwa aku lagi-lagi menatapnya.
“Oh, bukan apa-apa. Jangan pedulikan saya,” jawabku, sambil cepat-cepat memalingkan muka.
“Oke,” bisiknya, diikuti dengan, “Apakah kamu di sini sendirian juga, Tomoki-kun?”
Menilai dari apa yang dia katakan, aku berasumsi bahwa dia datang ke sini sendirian.
“Tidak, saya datang ke sini dengan ayah saya.”
“Senang mendengarnya,” jawabnya, dengan senyum cerah di wajahnya.
Alasan aku dan ayahku mulai lebih akur adalah berkatnya, jadi ini mungkin sangat berarti banyak baginya.
“…Ya, itu bisa saja jadi lebih buruk, pastinya,” kataku padanya, membuatnya tersenyum.
“Aku akan menyapanya nanti, itu jika kamu tidak keberatan,” dia mengusulkan.
“Apakah Anda yakin? Saya tidak ingin mengganggu liburan Anda,” kataku, khawatir akan merusak waktu luangnya.
“Oh, itu sama sekali tidak akan menggangguku, kok,” katanya kembali menegaskan.
Ya ampun, kuharap ayahku bisa berperilaku lebih baik kali ini, karena pertemuan terakhir mereka sangat memalukan.
☆
Setelah percakapan singkat kami, kami berdua keluar dari sungai, mengeringkan kaki kami dengan handuk, dan mengenakan sepatu kami lagi. Kurasa ayahku masih tidur, tapi aku memandu Makiri-sensei ke tempat perkemahan kami.
“Apakah ayahmu sering ke sini?”
“Sepertinya dia sering datang ke sini bersama Ibu saya sebelum saya lahir, sebelum perceraian terjadi.”
Meskipun aku hampir tidak bisa mendengar apa yang dia katakan selanjutnya, aku menangkap kata “Maaf” keluar dari bibirnya, diikuti dengan “Aku akan pastikan untuk menghindari topik itu setiap kali aku bertemu dengannya,” yang dia katakan sambil menghindari kontak mata denganku.
“Maaf membuat Anda khawatir tentang itu.”
Ketika kami menyelesaikan percakapan singkat itu, tenda mulai terlihat, dan kami berdua bisa melihat dengan jelas ayahku masih tidur di tempat tidur gantung.
“Kelihatannya dia masih tidur. Apakah kamu keberatan jika aku menunggu di sini sampai dia bangun?”
“Bagaimana kalau saya memukul kepalanya untuk membangunkannya?”
“Aku yakin dia lelah, jadi biarkan saja. Lagi pula, aku tidak keberatan menunggunya sambil mengobrol denganmu, Tomoki-kun. Aku senang berbicara denganmu,” katanya, sambil tersenyum cerah ke arahku.
Wah, setiap kali dia tersenyum, aku tidak bisa menahan diri. Dia mungkin belum menyadarinya sendiri, tapi hari ini aku merasa dia jauh lebih menarik dari biasanya, dan lebih lembut daripada saat kami di sekolah. Itu mungkin karena dia sedang berlibur dan bisa bersikap seperti orang normal?
“Hngh… ngaah… Yuuji? Apakah terjadi sesuatu?” kata ayahku tiba-tiba, meregangkan tubuhnya saat dia perlahan-lahan bangun. Kurasa dia mendengar percakapanku dan Makiri-sensei, dan itulah yang membuatnya terbangun.
“Selamat siang, ayah,” kata Makiri-sensei saat dia menyapanya.
“Ayah…? Eh, tunggu, jadi apakah aku melewatkan sesuatu dan kamu menikahi Yuuji, Makiri-sensei?” katanya, masih setengah sadar.
“Maafkan dia, Makiri-sensei, jangan hiraukan omong kosongnya. Dia masih setengah sadar… Iya, kan, Yah?” kataku, sambil menampar wajahnya—oh Tuhan, kuharap aku bisa lari dari bumi perkemahan ini dan tidak pernah kembali. Aku merasa sangat malu sekali.
“O-Oh tidak! B-Bukan itu yang kumaksud saat mengatakan itu! Aku hanya…! Aku hanya merasa ingin mengatakan itu hari ini, itu saja!” teriaknya, sembari wajahnya memerah seperti tomat—tidak heran sih. Ayahku sekali lagi telah membuatnya malu dan menyiratkan hal-hal yang tidak benar, jelas membuatnya merasa tidak nyaman.
Aku merasa tak bisa berkata-kata sekarang. Baik aku maupun Makiri-sensei jelas merasa gusar, dan kami dalam diam menunggu dia sepenuhnya sadar. Akhirnya, ayahku meneguk air dari botol di sampingnya, lalu menyadari apa yang terjadi, jadi dia berdiri dan melihat kami dengan serius—kumohon, Ayah, tolong bangunlah.
“Makiri-sensei…? Oh, maaf, Chiaki-san, ya? Kuharap kamu bisa merawat anakku yang menyedihkan ini. Dia adalah pembuat onar, dan dia membutuhkan seorang wanita sejati untuk merawatnya.”
“Kaulah yang pembuat onar, Yah. Bagaimana kalau kamu tidur lagi saja, tapi kali ini untuk selamanya?” kataku, dengan wajah datar, bersama dengan nada yang mengancam, sambil mengepalkan tinjuku ke kepala ayahku saat dia membungkuk ke arah Makiri-sensei.
“Maafkan Ayah saya, Makiri-sensei. Anaknya yang ‘pembuat onar’ dan perceraiannya benar-benar telah merusaknya, dan dia adalah seorang pria dengan hati yang hancur yang perlu diperbaiki,” kataku kemudian, sambil membungkuk kepada Makiri-sensei.
“T-Tentu saja, Pak!” kata Makiri-sensei, menjawab apa yang ayahku katakan sebelumnya. Dia berhasil menghentikan kepanikannya sejenak, tapi aku beranggapan bahwa maksud perkataannya adalah sebagai seorang guru, karena menurutnya itulah yang disiratkan oleh ayahku.
Ah yah, kalau dia menanggapi kata-kata ayahku sebagai seorang pendidik, maka aku tak masalah dengan hasil itu. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh membiarkannya berbicara dengan Ayahku terlalu lama, kalau tidak dia akan dihadapkan pada situasi yang lebih canggung dan siapa yang tahu kegilaan apa lagi yang akan dilakukan ayahku.
“Uhh, melihat bahwa kalian berdua muda-mudi sudah bersama, kurasa sudah saatnya orang tua ini untuk pergi dan memberi kalian berdua privasi, ya…” kata ayahku tiba-tiba, sambil berlari ke tempat parkir.
Tunggu, apa? Apa yang sedang terjadi…?
“Apa-apaan sih, Yah?!” Aku berhasil berteriak setelah beberapa saat terkejut, yang kemudian aku tanggapi dengan berlari mengejarnya sekuat tenaga.
Aku berhasil dengan perlahan menutup jarak, tapi dia sudah masuk ke dalam mobil, dan dia menyalakan mesinnya… tunggu, apakah dia benar-benar akan pergi?!
“Tunggu, Ayah! Apa yang sedang kau lakukan?! Ada apa?!” tanyaku sambil menggedor jendela samping. Dia menurunkan jendelanya sedikit, lalu berkata…
“Anakku, aku minta maaf karena butuh waktu lama untuk menyadarinya.”
“Menyadari apa, Yah…?! Jangan bilang kalau kamu minum bir ekstra saat aku tidak melihatmu!”
“Sejak kamu mengalahkanku musim panas lalu, aku masih belum bisa melihat cahaya di ujung terowongan… Selain itu, tidak, aku tidak mabuk,” katanya, dengan ekspresi serius. “Meskipun rasa keadilanku mungkin tumpul, kupikir ini adalah jawaban yang paling tepat yang pernah aku dapatkan, yaitu…” dia kemudian mengangkat tinjunya ke arahku, dan dengan bangga menyatakan, “Kejarlah wanita yang lebih tua, Yuuji! Itulah yang bagus!”
Meskipun aku berhasil menghindari tinjunya dengan jatuh terduduk, aku masih bingung dengan apa yang dia coba katakan di sini. Apakah dia sedang bercanda atau semacamnya? Mungkinkah aku hanya sedang bermimpi buruk?
“O-Oke…?”
Mempertimbangkan bahwa aku agak merusaknya tahun lalu setelah pukulan yang kuberikan padanya, mungkin aku telah melonggarkan beberapa baut di kepalanya dan inilah cara dia mengatasinya?
“Semoga berhasil, anakku!” katanya, sembari mengacungkan jempol dan senyum sombong, diikuti dengan menaikkan jendela sekali lagi dan melaju pergi.
Aku sangat terkejut sekarang. Setelah aku pulang nanti, aku akan berbicara dengannya, dan kuharap aku tidak kalah, karena sebaliknya, dialah yang akan mendapat pukulan.
“Tomoki-kun! A-Apakah ayahmu benar-benar pergi barusan?!” teriak Makiri-sensei, yang berlari ke arahku secepat mungkin. Dia kesulitan menarik napas dan juga dia dalam keadaan syok.
“Saya tidak tahu apakah dia benar-benar pulang, ataukah dia sedang memainkan lelucon terburuk yang pernah ada, tapi dia masuk ke mobil dan pergi dengan cepat, itulah yang pasti. Saya akan mengirimkan pesan padanya,” kataku, sambil mengeluarkan ponsel, siap mengirimkan beberapa SMS ke Ayahku.
Namun, sebelum aku sempat melakukannya, Makiri-sensei menyelaku. “Um, kurasa dia juga melupakan ini di tempat tidur gantung…” katanya sambil menunjukkan ponsel ayahku.
“…Yah, itu ponselnya.”
Cih, bajingan itu. Dia meninggalkan ponselnya di sini, jadi sekarang aku bahkan tidak bisa menghubunginya dengan cara apa pun.
“M-Menurutku jika dia tidak sengaja meninggalkan ponselnya di sini, mungkin dia akan kembali untuk mengambilnya, jadi mari kita tunggu sebentar untuk melihat apakah dia akan kembali.”
“Benar.”
“Karena aku juga orang dewasa, untuk sementara aku akan bertanggung jawab atasmu sampai ayahmu kembali.”
Tidak heran Makiri-sensei terlihat begitu syok sekarang. Dia pasti menganggap ayahku sudah gila. Siapa yang tidak?
“Begini, Anda tidak perlu bertanggung jawab atas saya. Ini hanya ayah saya yang bersikap brengsek, dan itu salahnya, bukan salah Anda. Haah… Maaf telah merusak liburan Anda seperti ini,” kataku sambil menundukkan kepala ke arahnya.
“Huh?” serunya, terkejut dengan reaksiku yang tiba-tiba.
“Ya, saya tahu Anda datang ke sini untuk menghabiskan waktu sendirian, dan saya tidak ingin Anda merasa berkewajiban untuk mengurusku karena hal-hal bodoh yang baru saja dilakukan ayahku.”
“Pfft, tidak apa-apa, Tomoki-kun. Menurutku hal-hal semacam ini menambah keseruan dalam pengalaman, percayalah,” katanya sambil tersenyum centil dan menjulurkan lidahnya sedikit. “Apakah kamu tidak merasa seperti itu?” tanya dia kemudian.
Apakah hanya perasaanku saja, ataukah dia memang sangat baik hari ini? Maksudku, jauh lebih baik dari biasanya. Apakah sesuatu terjadi?
“Meskipun saya tidak menghargai aksi ayah saya barusan, saya menghargai bisa menghabiskan waktu bersama Anda. Setidaknya itu menyenangkan,” kataku, sambil memalingkan muka, tidak bisa menatap matanya.
☆
“Sepertinya dia tidak akan kembali.”
Sudah beberapa jam sejak ayahku menghilang. Matahari sudah mulai terbenam, dan orang-orang mulai menyalakan api unggun mereka di sekitar tempat.
Akhirnya kami menyerah, jadi aku dan Makiri-sensei membuat api unggun untuk diri kami sendiri sambil duduk saling berhadapan.
“Cih, tentu saja dia tidak akan mau kembali. Pria paruh baya pecandu youtube itu, sumpah… haaaaah… Yah, setidaknya anak di bawah umur bisa menginap di sini semalaman, jadi aku akan mendirikan tendaku, tidur di sini, dan naik kereta pulang besok.”
Makiri-sensei menyilangkan tangannya saat mendengar ideku. Dia menatapku dengan sangat serius.
“Meskipun diperbolehkan, sebagai gurumu, aku tidak nyaman meninggalkan anak di bawah umur tanpa pengawasan, terutama anak yang menjadi tanggung jawabku di sekolah.”
Tidak heran insting pendidiknya muncul di sini. Mengesampingkan sikap santainya secara umum, aku rasa ketika aku menyebutkan bahwa aku akan menghabiskan malam sendirian, jiwa guru di dalam dirinya terbangun.
“Baiklah. Saya harap setidaknya bisa menghabiskan malam di sini setelah perjalanan panjang yang saya lakukan, tapi itu masuk akal. Saya akan langsung pulang sekarang.”
“Tunggu, apa?!” teriak Makiri-sensei saat aku mengatakan itu.
“Ada apa?”
“Ahem! Ahem! Bukan itu yang aku maksud ketika aku mengatakan bahwa aku tidak ingin meninggalkanmu tanpa pengawasan. Maksudku, aku bersedia bertindak sebagai walimu untuk hari ini.”
“…Apa?”
“Aku yakin membawa pulang semua barang yang kamu bawa dengan naik kereta akan menjadi hal yang berat, jadi jika kamu tidak keberatan pulang bersamaku besok, kita bisa menggunakan mobilku.”
“Um, tapi, bukankah itu buruk? Jika seseorang yang kita kenal melihat kita bersama di sini dan menghabiskan malam di tenda, mereka akan berpikir… hal-hal yang mungkin ingin Anda hindari, kan?”
Aku tidak ingin mengatakannya dengan lantang, tapi jelas bahwa hubungan antara guru dan murid itu dilarang, jadi aku beranggapan bahwa dia ingin menghindari tersebarnya tuduhan palsu sebisa mungkin.
“Tidak apa-apa. Tentu saja menurutku tidur di tenda yang sama bukanlah ide yang bagus, tapi kita selalu bisa mendirikan tenda kita bersebelahan. Itu akan memberi kesan bahwa kita berdua pergi berkemah sendirian dan bertemu secara kebetulan.”
“Meskipun itu tidak termasuk bagian di mana saya datang dengan ayahku dan dia memutuskan untuk meninggalkanku…”
“Selain itu, jangan lupa bahwa ayahmu memintaku untuk menjagamu sebelum dia pergi.”
“Oh ayolah, jangan bilang kalau Anda menganggapnya serius?”
“Heh, kamu tahu betul bahwa itu sama sekali tidaklah merepotkan bagiku,” katanya dengan senyum. Apa yang baru saja dia sebutkan memiliki banyak makna, karena kami sudah melalui banyak hal bersama. Kurasa aku tidak perlu khawatir merepotkannya.
“Saya rasa Anda ada benarnya.”
Akhirnya, aku pun menerima tawarannya dan bermalam di sini.
☆
Setelah membantu Makiri-sensei memindahkan tendanya di samping tendaku, dia membalas budi dengan membuatkan makan malam. Yah, aku menyebutnya “membalas budi,” tapi mengingat kalau akulah yang merepotkannya, yang aku rasakan sekarang adalah rasa bersalah.
“Maaf, aku hanya bisa membuatkan makan malam yang sederhana,” katanya sambil cepat-cepat menyiapkan sejumlah hidangan kecil.
Dia membuat salad cepat, yang dia tambahkan beberapa kaleng tuna dan pasta yang sudah dimasak sebelumnya. Ini jauh lebih enak dari yang dibuat ayahku tadi siang. Ini juga lebih menarik secara visual, dan dia melakukannya dengan sempurna.
“Rasanya sangat enak.”
“Kurasa beginilah rasanya piknik di luar,” kata Makiri-sensei dengan senyuman.
“Makanan Anda terasa enak, mau Anda memasaknya di luar maupun di dalam dapur, saya serius.”
“B-Benarkah? Mungkin aku akan membuat sesuatu yang lebih rumit jika aku punya lebih banyak bahan. Tapi aku tidak mengira akan jadi seperti ini, terlebih lagi aku juga tidak sedang mood,” katanya dengan sedikit tersipu, berusaha untuk tidak terlihat besar kepala.
“Sebenarnya, saya tidak keberatan mencoba masakan Anda yang lebih rumit suatu hari nanti.”
“…Kurasa cara tercepat untuk mencuri hati seorang pria adalah melalui perutnya.”
Apa yang barusan dia katakan? Dia membisikkan sesuatu dengan pelan, dan aku tidak bisa mendengarnya.
“Apakah Anda mengatakan sesuatu?”
“Oh, bukan apa-apa… Aku memikirkan hal yang sama, jadi aku harap kamu menantikan lebih banyak masakanku!”
“Oh, tentu saja. Aku pasti akan menantikannya,” jawabku, sambil bertanya-tanya kapan itu akan terjadi. Meski aku senang bahwa dia terbuka dengan usulan tersebut.
Saat kami selesai makan malam dan membereskannya, matahari terbenam sepenuhnya, dan semuanya menjadi gelap saat kami menyesap kopi malam kami. Kami berdua duduk di kursi, melihat tenda-tenda dan api-api unggun di kejauhan. Kami bisa mendengar suara samar-samar orang berbicara, suara derak kayu bakar di dekat kami, dan angin musim panas yang sepoi-sepoi. Rasanya luar biasa berada di alam seperti ini.
“Apakah Anda pernah datang ke sini bersama Sennouji-san sebelumnya?” tanyaku pada Makiri-sensei, memecah keheningan.
Tanpa melihat ke arahku, dia menjawab, “Kurasa aku pernah berkemah dengan keluargaku beberapa kali, saat aku masih kecil. Bagaimana denganmu, Tomoki-kun? Apakah kamu sering pergi berkemah dengan ayahmu?”
“Hari ini adalah pertama kalinya, dan lihatlah apa yang terjadi.”
“Yah… tidak baik baginya meninggalkanmu di sini,” katanya, sambil menatapku dan memaksakan senyum.
“Tidak apa-apa. Dia pergi karena dia ingin pergi. Anda bahkan tidak perlu merasa tak enak karena itu. Saya akan mengerti jika Anda marah pada saya, mengingat masalah yang dia sebabkan untuk Anda… Meski, saya harap ini bukanlah yang terakhir kalinya kami berkemah bersama…”
Makiri-sensei kemudian tertawa kecil, menyipitkan matanya, dan kemudian menatapku sebentar.
“…Ada apa?”
“Oh, bukan apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum.
Kurasa dia senang melihatku dan ayahku menjadi lebih akur. Meskipun aku tahu dia tidak mengolok-olokku, aku tidak benar-benar menganggap situasi ini lucu.
“Aku pasti akan mencoba mengajak ayahku juga lain kali.”
“Itu ide yang bagus.”
Aku yakin ayahnya akan sangat senang jika diajak olehnya.
“Aku pasti akan mengajakmu juga.”
“Baiklah, lupakan saja. Sekarang itu bukan ide yang bagus,” kataku dengan cepat, tercengang oleh pemikiran itu.
“Benarkah? Oh, begitu,” kata Makiri-sensei, menjulurkan lidahnya sedikit dan tersenyum kecil. Oh, syukurlah, dia sedang bercanda… tapi tunggu, kenapa dia terlihat sedikit sedih?
“Apakah masih ada yang mengganjal di antara kalian berdua?”
“…Tidak, bukan begitu,” katanya sambil menggembungkan pipinya sedikit dan memalingkan muka.
Aku tidak mengerti kenapa dia bereaksi seperti itu. Ada sesuatu yang tidak dia beritahukan padaku, tapi apa itu?
“Tiba-tiba aku merasa haus.”
Itu bisa dimengerti. Meskipun malam musim panas di sekitar sini tidak terlalu panas, kami masih berada di dekat api unggun, dan itu membuat kami, atau setidaknya aku, sedikit berkeringat.
Makiri-sensei mengambil botol air dari pendingin yang dia bawa dan meminumnya. Ketika dia membuka pendingin yang dimaksud, aku melihat ada juga alkohol di dalamnya. Aku berasumsi bahwa rencana awalnya adalah untuk mabuk sendirian di sini sambil menikmati api unggun.
“Uhh, apakah Anda yakin tidak ingin minum minuman lain yang Anda bawa?”
“Ukh… Nah, mengesampingkan fakta bahwa kamu sudah harus menjagaku berkali-kali saat aku mabuk, aku lebih suka menghindari mabuk di depan anak di bawah umur, terlebih lagi apabila seseorang itu kebetulan adalah salah satu muridku.”
Baiklah, jadi dia tidak akan minum-minum karena dia memikirkanku. Aku merasa ini kurang lebih salahku, sih. Jika aku tidak ditinggalkan ayahku di sini, dia akan bisa menikmati minumannya dengan tenang. Lagi pula, ini adalah liburannya, dia seharusnya melakukan apa pun yang dia mau. Harinya tidak boleh dirusak karena ayahku yang brengsek.
“Jangan mengkhawatirkan saya. Jika Anda benar-benar ingin minum, lakukanlah. S-Saya akan pastikan untuk menjaga Anda jika Anda berlebihan.”
“B-Bukan itu yang aku khawatirkan, oke?!” dia balas berteriak, kaget.
“Maksudku, pada titik ini, saya seharusnya dianggap sebagai semacam wali sah bersertifikat setiap kali Anda mabuk, jadi saya tidak masalah dengan itu.”
Setelah pernyataan itu, dia menatapku tajam selama beberapa detik, diikuti dengan ekspresi terkejut, dan kemudian tersenyum.
“Oh, aku mengerti. Kamu marah padaku karena aku menyebutmu anak kecil yang membutuhkan wali, bukan? Itulah kenapa kamu meledekku sekarang. Aku rasa kamu masih memiliki sedikit sifat mudah marah di dalam dirimu. Itu cukup imut, bocah kecil.”
Pernyataannya itu membuatku sedikit kesal, tapi aku kemudian menyadari bahwa mungkin dia benar dan aku menjadi sedikit kesal ketika dia bersikeras bahwa aku membutuhkan orang dewasa di dekatku.
“Bukan itu yang saya maksud. Karena Anda menawarkan diri untuk menjaga saya, saya pikir saya harus setidaknya membalas budi dengan menjaga Anda jika Anda membutuhkannya, itu saja.”
Dia kemudian menatapku dengan ekspresi kosong selama beberapa detik, lalu meraih pendinginnya.
“Membalas budi agar kita sejajar… Aku akui, Tomoki-kun, bahwa terlepas dari hubungan guru-murid kita, aku menganggap kita berdiri sejajar,” katanya, diikuti dengan bisikan “…Atau setidaknya aku ingin mempercayai bahwa begitulah adanya.”
Aku memaksakan senyum agar ini tidak menjadi canggung, “Jadi Anda tidak menyangkal memperlakukan saya seperti anak kecil sebelumnya,” kataku.
“Oh, kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu. Begitu kamu lulus SMA, kamu akan menjadi orang dewasa seperti aku,” katanya sambil masih mengaduk-aduk pendinginnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya sekarang, tapi aku penasaran bagaimana dia merespons seluruh percakapan ini.
“Sejujurnya, saya tidak sabar.”
“Mhm, nantikanlah saat itu terjadi,” katanya, sambil akhirnya berbalik—pipinya memerah saat dia melambaikan kaleng bir di salah satu tangannya. Aku berasumsi dia memerah karena apinya cukup panas.
“Nah, mengingat aku memiliki wali sekarang, apakah kamu tak masalah jika aku minum satu atau dua kaleng?”
“Cobalah untuk tidak berlebihan, tapi tentu saja, silakan.”
“Baiklah,” katanya sambil membuka kaleng bir, diikuti dengan suara berdesir yang enak di telinga saat kalengnya dibuka. Kemudian, tanpa menuangkan isinya ke dalam gelas, dia langsung meneguk panjang bir dari kaleng.
“Mphaah…” dia menghela nafas setelah tegukan pertama pada kaleng birnya.
“Kamu mau mencoba meminumnya? Ah, sayang sekali, kamu tidak bisa,” katanya sambil tersenyum.
Setiap kali dia mulai minum alkohol, dia selalu menjadi lebih… santai dan bahagia. Itulah yang selalu dia lakukan.
“Tidak masalah. Lagian saya tidak berniat begitu,” kataku, separuh tertidur.
“Yup. Tunggu sampai kamu berusia dua puluh jika kamu benar-benar ingin mencobanya,” katanya sambil menempatkan kaleng di bibirnya sekali lagi. Semakin banyak dia minum, semakin bahagia dia, dan akhirnya sepertinya dia sedang bersenang-senang.
“Meskipun saya tidak benar-benar berpikir untuk minum alkohol sekarang, saya ingin suatu hari nanti kita bisa minum-minum bersama, tapi hanya setelah saya berusia 20 tahun.”
Dia melebarkan matanya dalam diam sejenak, lalu berkata…
“A-Aku mengerti, oke? Setelah kamu berusia dua puluh, kita bisa melakukannya. Aku juga tidak keberatan minum satu atau dua gelas bersamamu, Tomoki-kun. Sebenarnya, kita bisa minum-minum bersama dalam keadaan seperti ini. Duduk di depan api unggun, menatap langit malam…”
Setelah jeda singkat, dia melanjutkan, “Oh ya, aku juga akan mengajarkanmu bagaimana cara minum alkohol yang benar, jadi kamu tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti yang kulakukan saat aku baru mulai minum-minum.”
“Lihat, ada guru teladan di sini,” kataku dengan senyuman, yang dibalasnya dengan senyuman juga.
“Yup. Guru teladan memang.”
“Sepertinya saya akan menantikan minum-minum yang menyenangkan.”
“Hahaha! Ya, sejujurnya aku juga tidak sabar untuk itu.”
Sebenarnya, apakah hanya perasaankuku saja, atau…? “Hei, Makiri-sensei, di sini agak gelap jadi saya tidak bisa melihat dengan jelas, tapi saya rasa wajah Anda agak merah.”
Awalnya, aku pikir itu hanyalah ilusi optik yang diciptakan oleh api unggun, tapi wajahnya benar-benar merah. Sebelumnya, aku pikir itu karena panasnya api unggun yang membuatnya merasa panas, tapi pasti ada alasan lain untuk itu.
“Apa?! B-Benarkah?! Tidak! Aku baik-baik saja!” katanya sambil memalingkan muka dan menutupi wajahku dengan tangannya agar aku tidak bisa melihatnya.
Jadi dia sekarang sedang malu. Sudah kuduga. Alasan wajahnya begitu merah adalah… “Anda sudah terlalu banyak minum, kan?”
Saat aku mengatakan itu, dia kembali ke ekspresi seriusnya, dan rona merah di pipinya sepenuhnya menghilang. Rasanya seperti dia sudah kehilangan semua kegembiraan mabuk yang dia miliki.
“Haah,” desahnya, terlihat lelah. “Aku bahkan belum menghabiskan satu kaleng pun,” katanya sambil menggoyangkan kaleng birnya agar aku bisa melihatnya.
Tunggu, kenapa dia memelototiku sekarang? Apakah aku mengatakan sesuatu yang kasar? Aku tidak mengerti.
“Aku yakin kamu sama sekali tidak tahu kenapa aku marah padamu sekarang,” tebaknya dengan benar.
“Apakah saya sudah mengatakan sesuatu yang tidak sopan?” tanyaku dengan takut-takut, menyebabkan dia melototiku dengan marah lagi. Namun, itu dengan cepat berubah menjadi tawa… oke, sekarang aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Apakah Anda yakin belum mabuk?”
“Yeah… Mungkin aku sedikit mabuk… Jadi abaikan saja aku,” katanya, sambil tersenyum lembut ke arahku, membuat jantungku berdegup kencang.
“Ya ampun, wajahmu juga memerah sekarang, lho?”
“…Itu hanya karena ilusi optik dari cahaya api unggun.”
“Mungkin kamu benar…” jawabnya dengan nada menggoda—sial, dia melihatnya dengan sangat jelas.
Setelah itu, kami pun terus berbicara tentang hal-hal yang sepele, dan menghabiskan malam yang santai.
☆
Setelah Makiri-sensei mengantarku pulang dengan mobilnya keesokan hari, aku berhenti merasa marah pada ayahku atas apa yang dia lakukan. Pada suatu titik di tengah malam, aku hanya akan membiarkannya dan memutuskan bahwa aku hanya akan sedikit menegurnya atas apa yang dia lakukan, dan tidak lebih.
…Atau begitulah yang aku pikirkan.
“Maaf atas yang terjadi, Yuuji. Aku tahu bahwa meninggalkan anak mereka sendirian di bumi perkemahan bukanlah sesuatu yang akan dilakukan oleh ayah normal.”
“Tidak apa-apa. Aku lebih dari sadar bahwa Ayah adalah kasus khusus, jadi sudahlah.”
“Heh, ngomong-ngomong,” lanjutnya, “Kapan menurutmu aku harus datang ke rumah orang tua Chiaki-san untuk menyapa mereka?” tanyanya, dengan wajah datar.
Pertanyaan itu memicu kembali kemarahanku, dan kami pun beradu jotos setelah itu.