Selingan: Reuni
Ksatria berzirah putih selalu ada untukku setiap kali aku dalam bahaya. Dia satu-satunya pria yang pernah aku cintai—dulu dan sekarang. Saat kecil, yang selalu aku lakukan hanyalah menarik masalah. Lalu dia tiba-tiba muncul di hadapanku. Setelah menghabiskan beberapa waktu bersamanya, aku akhirnya sadar bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Dan sekarang, hidupku adalah siklus rasa sakit. Itulah hukuman untukku karena telah menipunya hingga sekarang, dan semakin aku memikirkannya, semakin terasa menyakitkan.
☆
Aku bertemu dengannya selama liburan musim panas saat aku kelas 2 SD. Aku biasa tinggal di rumah kerabatku di pedesaan. Aku ingat pernah membenci rencana pergi ke sana. Musim panas yang berarti isolasi—aku cukup terikat dengan Haruma dan Touka-chan, dan pergi ke sana berarti aku harus meninggalkan mereka. Ditambah lagi, tidak ada satu pun anak seusiaku di tempat kerabatku; semuanya orang dewasa.
Suatu hari, aku sangat bosan sehingga aku keluar rumah dan kebetulan menemukan taman di dekatnya. Cukup mengejutkan, bahwa ada anak-anak seusiaku yang bermain bersama-sama. Aku juga ingin ikut, tapi ketika aku bertanya apakah aku boleh ikut…
“Siapa kau?” salah satu dari mereka bertanya sambil menatapku seolah-olah aku semacam alien.
Aku ingin bilang bahwa aku tidak berasal dari daerah sini dan aku hanya di sini selama musim panas, tapi mereka tertawa begitu aku membuka mulut. Aku bengong—apa yang telah aku lakukan sehingga mereka tiba-tiba menertawakanku? Mereka semua menunjuk ke arahku dan terkekeh.
“Kau terlihat dan bertingkah seperti ceweeek! Kau yakin kau cowok?”
“Atau mungkin… dia gay! Hahaha! Dia benar-benar gay!”
Kalian sudah bisa membayangkan bagaimana perasaanku. Tak perlu dikatakan lagi, yang ingin aku lakukan hanyalah melarikan diri dan menangis. Saat kecil, aku terlihat sedikit lebih mirip cowok daripada yang aku inginkan. Aku selalu lebih suka bermain di luar dibandingkan di dalam rumah, jadi aku memakai pakaian cowok daripada gaun yang bisa robek dan kotor. Rambutku juga pendek. Karena hal itulah dan beberapa hal lain yang membuat anak-anak lain menganggapku laki-laki. Itu sampai ke titik di mana orang-orang di kelasku berhenti memanggilku Kana dan mulai memanggilku Natsuo.
Namun, kembali lagi ke bocah yang menyebalkan itu—meskipun biasanya, aku tidak akan menghiraukannya, pemikiran bahwa aku akan menghabiskan musim panas sendirian dan perlakuan buruk mereka terhadapku membuatku ingin menangis. Aku ingat pernah berpikir dalam hati, “Aku hanya ingin pulang sekarang.”Aku mau berbalik, bersiap untuk pulang dengan air mata mengalir di pipiku, ketika seseorang berbicara.
“Kalian benar-benar suka mengganggu orang lemah? Itu sangat payah.”
Seorang anak berwajah bengis muncul entah dari mana. Dia memiliki tampang pembuat onar yang selalu gatal untuk berkelahi.
“Apa kau bilang?!”
“Dan siapa kau?!”
“Kau benar-benar punya nyali!”
Sekelompok anak-anak itu segera mengeroyoknya. Aku ingat anak paling besar berteriak, “Aku akan menghancurkanmu!” saat dia bergegas menuju bocah baru itu, tangannya bersiap untuk berayun. Untungnya, bocah misterius itu dengan mudah berhasil menghindari serangannya. Anak laki-laki yang lebih besar itu tersandung, dan dia mengambil keuntungan dari itu dan menendang perutnya dengan cepat.
“Ugh!” teriak penyerang pertama itu saat dia jatuh ke tanah.
“Ada apa? Kalian semua bisa maju padaku di saat bersamaan. Aku tidak peduli,” kata bocah misterius itu.
Anak-anak cowok lain melihat “pemimpin” mereka yang jatuh dan mulai mundur.
“Hmph! Ayo pergi saja. Orang aneh biarlah main dengan sesamanya!”
“Kami tidak akan pernah bermain dengan kalian berdua, mengerti?!” teriak mereka sambal lari terbirit-birit.
“Cih. Bodoh,” gumam bocah misterius itu begitu dia memastikan mereka telah pergi. Dia menatapku dan tersenyum. Aku ingat kalau aku terkejut dengan sikap itu—dia punya senyum yang begitu indah dan menenangkan sehingga aku tidak menduganya sedikit pun. Dia berbicara padaku dengan suara yang manis dan menenangkan, “Hei, kau lihat apa yang mereka lakukan ketika kau mencoba berbicara dengan mereka. Jangan khawatir; Aku yakin mereka hanya iri karena kau manis.”
Dia juga memperlakukanku seperti anak cowok. Tapi, seaneh kedengarannya, untuk kali ini, aku tidak keberatan sama sekali.
Dia melanjutkan dengan suara muram, “Kau tidak terlihat seperti berasal dari daerah sini. Aku juga selalu di sini saat liburan musim panas, jadi aku tidak benar-benar mengenal siapa pun.” Kesedihan dalam suaranya sangat mencolok bagiku. Aku ingin bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi dia mulai berbicara lagi. “Um, bagaimanapun, yang aku maksud adalah… jika kamu juga tidak punya teman, uh…” Dia mulai gelisah, dan pipinya memerah. Aku tahu persis apa yang dia coba ungkapkan.
“Ya! Ayo main bareng!” jawabku sambil tersenyum sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya.
Dia mengangguk tanpa kata dan tersenyum. Dia baru saja berkelahi dengan seorang anak beberapa saat yang lalu, tanpa kesulitan, tapi sekarang, dia kesulitan memintaku untuk menjadi temannya. Jujur saja, menurutku itu cukup lucu.
“Aku Yuuji. Siapa namamu?” katanya, membuatku benar-benar terkejut. Dia mengira aku laki-laki, tapi aku terlalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya. Jika dia tahu aku perempuan, dia tidak akan mau bermain denganku lagi.
Dan itulah sebabnya aku akhirnya menjawab menggunakan nama panggilan di kelasku, “…Natsuo.”
“Oke, Natsuo,” katanya sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya ke arahku untuk berjabat tangan. Aku membalasnya dengan senyum di wajahku—aku akhirnya mendapatkan seorang teman!
Itu adalah pertemuan pertama kami, dan saat pertamaku berbohong padanya.
☆
Setelah dia masuk ke dalam hidupku, musim panasku berubah. Bukannya membenci liburanku, malahan, itu adalah saat-saat yang paling aku nantikan. Aku menghabiskan seluruh waktuku bersamanya tahun itu, lalu tahun depan, dan tahun depannya lagi, juga. Aku hampir tidak pergi ke mana pun bersama orang tua dan kerabatku lagi. Aku tidak pernah bisa berteman dengan anak-anak lain, tapi aku tidak keberatan. Aku akrab dengan Yuu-kun, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Itu juga saat aku mulai bermain tenis. Aku ingat terkadang kami bermain tenis bersama, tapi dia selalu menang. Refleks, kecepatan, dan kekuatannya jauh melebihi kemampuanku.
“Bung, ayolah! Aku belum pernah memainkan ini sebelumnya. Bagaimana bisa aku begitu banyaknya menang melawanmu? Bukankah kau seharusnya anggota klub tenis di sekolahmu? Mungkin kau harus berhenti membuang-buang waktu bersama para gadis dan berlatih lebih giat!”
Dia selalu mengolokku seperti itu, tapi itu tidak menggangguku. Aku menyukai cara bermainnya—itu sangat eksplosif, sangat menakjubkan! Maksudku, aku hanya mengira dia pria yang luar biasa secara umum. Dan meskipun aku hanya bisa bermain dengannya selama dua minggu dalam setahun, aku menghargai waktu bersama kami yang singkat seperti waktu yang aku habiskan dengan Touka-chan dan Haruma.
Adapun ketika perasaanku padanya mulai berkembang, itu terjadi saat musim panas kelas lima.
☆
Aku mengingatnya dengan jelas: Aku sedang menunggu Yuu-kun di tempat biasa di taman. Entah kenapa, Yuu-kun sangat terlambat, jadi aku sendirian sebentar. Ketika aku sedang duduk-duduk, sekelompok anak laki-laki tiba-tiba mendekatiku.
“Kami tahu kalian para pecundang selalu bersama, tapi tidak mungkin kalian benar-benar berteman,” salah satu dari mereka terkekeh dengan seringai paling keji di wajahnya. Aku mengingat dia—anak besar itulah yang ambruk saat Yuu-kun menendangnya. Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, dan dia telah semakin tumbuh besar sejak hari itu.
Anak laki-laki lain menimpali, “Kau hanya bermain dengannya karena kalau tidak, kau tidak akan punya teman, tapi kami tahu kalau kau tidak menyukainya.”
“Sungguh tragis.”
Aku mengabaikan mereka. Maksudku, apa gunanya meladeni ocehan murahan mereka? Aku hanya akan kehilangan ketenanganku tanpa alasan. Orang-orang ini tidak penting bagiku.
“Ada apa denganmu, huh? Jangan mengabaikan kami!” sembur salah satu dari mereka sambil menatapku.
Sebagai balasan, aku terus mengabaikannya. Teriakannya mengejutkanku, tapi aku berusaha untuk tidak menunjukkannya. Aku bahkan tidak menatapnya balik.
“Hah. Kau sombong, tapi jangan khawatir. Kami di sini untuk membantumu,” kata anak laki-laki besar itu dengan seringai jahat. “Kami akan mengalahkan pria menyeramkan yang bermain bersamamu dan memastikan dia tidak akan pernah mendekatimu lagi. Lalu kau bisa bermain dengan kami mulai sekarang!”
Nah, itu adalah sesuatu yang tidak bisa aku abaikan. Itu membuatku takut sekaligus terkejut, tapi aku sangat terkejut hingga aku tidak bisa membalas perkataannya.
“Dia mengancammu untuk menjadi temannya, kan? Itu terlihat jelas dari wajahnya—dia selalu mencari keributan,” lanjutnya. “Aku belum lupa apa yang terjadi terakhir kali. Aku takut karena dia kuat, tapi dia tidak membuatku takut lagi! Kau harus bergabung dengan kami. Kita bisa mengalahkannya bersama-sama, dan kami akan ada untuk melindungimu sesudahnya. Jika kau membantu kami mengalahkannya, maka kami akan membiarkanmu bermain bersama kami.”
Yuu-kun dulu tidak sebesar atau sekuat sekarang; dia masih cukup rata-rata dalam hal ukuran. Dari segi ukuran, dia bukan tandingan anak itu. Anak laki-laki itu lebih tinggi dari anak seusianya, dan dia haus akan balas dendam.
“Aku kalah saat itu, tapi aku akan menang sekarang. Kami tidak ingin penyendiri sialan seperti dia ada di taman ini! Kau setuju, kan?” katanya sambil meletakkan tangannya di salah satu pundakku.
Aku sangat marah pada saat itu—dia mengatakan hal-hal buruk tentang Yuu-kun, dan dia bahkan tidak mengenal Yuu-kun! Aku menepis tangannya, mendorongnya ke samping, dan berteriak, “Jangan berani-beraninya kau menjelek-jelekkannya!”
Dia kehilangan keseimbangan dan terjungkal. Pada awalnya, dia tampak benar-benar bingung dengan reaksiku—dia sungguh berpikir bahwa Yuu-kun telah memaksaku bermain dengannya. Tapi kebingungannya segera berubah menjadi kemarahan begitu dia menyadari apa yang telah aku lakukan, dan wajahnya memerah karena marah.
“Dasar brengsek…!” teriaknya. Dia menarik rambutku dan menjatuhkanku.
“Eek!” jeritku. Sangat menyakitkan sampai aku akhirnya menjerit dengan suara femininku yang biasa.
“Hahaha! Kalian dengar jeritan itu?!”
“Sudah kubilang dia gay!”
“Ew, menjijikkan sekali!
“A-Aku bukan gay!”
“Ya benar! Kau jelas-jelas gay!”
“Tidak mungkin. Malahan, aku yakin dia tidak punya titit!”
“Kalau begitu, pastikan itu!”
“Oke, Atsushi—aku dan kau akan memegangi tangannya, dan Kaito akan membuka celananya.”
“Daaaak. Kenapa harus aku yang melihat tititnya? Kenapa tidak kau saja yang melakukannya, Futti?”
Anak besar itu, yang mereka sebut sebagai Futti, sepertinya tidak berniat untuk menerima perintah dari orang lain lagi. Dia mengangkat tinjunya dengan mengancam dan berteriak, “Lakukan saja apa yang aku katakan!”
“Ugh! Baiklah, oke bung!”
Mereka menahan tanganku di belakang punggungku sementara Kaito ragu-ragu di depanku—yang jelas, dia tidak begitu suka dengan tugas yang diberikan padanya. Memikirkan tentang apa yang akan mereka lakukan padaku membuatku sangat takut, lebih dari yang pernah aku rasakan sebelumnya. Yang bisa aku lakukan hanyalah menangis.
“Hiks! Berhenti! Jangan lakukan itu!” mohonku dengan berlinangan air mata.
Anak laki-laki itu menertawakannya, seolah melihatku menangis seperti menonton acara talkshow larut malam yang vulgar. Mereka semua bergiliran mengejekku.
“Lihatlah si homo kecil itu; dia menangis!”
“Ah, apakah orang ini cengeng? Sial, sungguh cemen,” cibir Kaito saat tangannya mendekati celanaku.
“Yuu-kun—tolong selamatkan aku!” teriakku ketakutan tiba-tiba. Aku tidak lagi peduli akan apa pun, jadi aku tanpa sadar meneriakkan hal pertama yang terlintas dalam pikiranku. Aku tidak pernah berpikir bahwa dia benar-benar akan datang, tapi tiba-tiba, aku bisa mendengar suaranya.
“Apa yang kalian lakukan pada temanku?!”
Dia muncul entah dari mana, seolah-olah dipanggil oleh teriakan minta tolongku. Dia bergegas menerjang Kaito dari belakang.
“Augh!” teriak anak laki-laki itu saat dia jatuh ke tanah.
Dua anak lainnya berdiri tercengang selama beberapa detik, tapi mereka segera menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka mendorongku menyingkir, membuatku terbang ke tanah. Sakit, tapi aku hampir mati rasa pada saat itu. Semua perhatianku terfokus pada penyelamatku, Yuu-kun. Dia lebih marah dari yang pernah aku lihat sebelumnya; Aku bahkan bisa bilang bahwa dia sangat geram.
“Kau baik-baik saja, Kaito?” teriak Atsushi saat dia bergegas menuju Kaito.
“Dan inilah penyendiri lainnya! Kau akan memerlukan operasi plastik setelah aku menghabisimu!” teriak Futti saat dia menerjang ke arah Yuu-kun.
“Whoa!” serunya saat dia dengan cepat menghindari tinju anak yang lebih besar itu. Dia segera membalas dan berteriak, “Dasar sekelompok badut payah!”
“Gah! Owww!” Futti berteriak saat tinju Yuu-kun menghantam wajahnya. Seperti Kaito, dia tergeletak di tanah.
Atsushi, yang sedang menggendong Kaito dengan satu bahunya, juga berlutut untuk membantu Futti kembali tegak. Anak laki-laki yang lebih besar menangis. Mereka bertiga dengan cepat lari sambil berteriak, “Kami akan mengingat ini!” Semuanya terjadi begitu cepat hingga aku tidak dapat bereaksi.
“Natsuo, Bung, menangis tidak cocok untukmu. Kau tidak ingin merusak wajahmu yang tampan itu, kan?” candanya dengan lembut sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Aku berhasil berdiri dan mencoba untuk mengatakan sesuatu sebagai balasannya, tapi butuh waktu beberapa saat untukku menenangkan diri. Akhirnya, aku tergagap, “A-Aku tidak menangis…” sambil menyeka air mataku.
Dia dengan sopan mengabaikan fakta bahwa aku jelas-jelas menangis dan mencoba mengubah topik pembicaraan. “Cukup aneh kau bisa terlibat masalah, khususnya dengan mereka bertiga.”
“Mereka membicarakan hal buruk tentangmu, jadi aku menyerang mereka.”
“Oh, benarkah? Sial. Yah, makasih. Kau memang agak cengeng, jadi cobalah untuk tidak terlalu sering berkelahi, oke?”
“Tapi bagaimana bisa kau mengharapkanku untuk tidak begitu ketika mereka mengolok-olok temanku?”
“Jika aku melihat mereka lagi, aku akan pastikan untuk menghantam wajah mereka kuat-kuat sehingga mereka paham untuk menjauh darimu. Mereka tidak akan pernah mengganggumu lagi,” katanya sambil melihat ke arah anak-anak itu kabur.
Yang ada di pikiranku adalah betapa keren dan bisa diandalkannya dia, tahu? Kuharap aku bisa berterima kasih padanya atas apa yang dia lakukan, tapi aku tidak pernah melakukannya.
“Whoa! Hati-hati, Natsuo!” teriaknya tiba-tiba. Dia dengan cepat berlari dan menarikku. Saat dia melakukannya, pikiranku menjadi kosong. Aku masih ingat kehangatan pelukannya. Aku mendengar suara tajam, diikuti oleh suara teriakan salah satu anak, “Sial! Lari!” Apakah mereka kembali lagi? Suara apa barusan itu? Aku membuka mata dan melihat ke bawah. Ada sesuatu berwarna merah tua menetes dari atas dan merintik di tanah.
“Huh?” seruku saat aku mengangkat kepalaku. Saat itulah aku melihat wajah Yuu-kun berlumuran darah. Ada luka di dekat matanya yang mengeluarkan banyak darah. Kelihatannya sangat menyakitkan, dan aku langsung khawatir apakah matanya baik-baik saja. Aku juga melihat batu yang berlumuran darah di dekatnya. Tiba-tiba, semuanya tampak sesuai—Atsushi telah melempar batu ke arah kami, dan Yuu-kun telah melindungiku. Setelah aku sadar, aku mulai berteriak, “Yuu-kun, kau baik-baik saja?! Kau harus pergi ke rumah sakit!”
“Ugh. Ouch, kurasa. Ya, aku mungkin harus memeriksakannya. Tapi jangan khawatir, tidak apa-apa. Ini benar-benar tidak sesakit itu.”
Tidak sakit pantatmu! Dari sekilas aku sudah tahu bahwa itu pasti sangat menyakitkan! Dia hanya mengatakan itu untuk menenangkanku, karena aku hampir menangis lagi. Meskipun itu pasti menyakitkan, dia bersikap tenang supaya aku tidak panik. Aku merasa tidak enak; dia terus-menerus menyelamatkanku dari masalah, dan aku disini tak berdaya.
Pada akhirnya, dia pergi ke rumah sakit. Aku memastikan untuk tetap bersamanya… Hanya itulah yang bisa aku lakukan.
☆
Setelah itu, kami jarang bertemu. Aku sangat takut bertemu dengannya lagi—maksudku, bagaimana bisa dia menganggapku sebagai teman setelah apa yang terjadi?
“Maafkan aku, Natsuo, tapi sepertinya aku tidak akan bisa keluar sampai mereka melepaskan jahitan ini. Perintah kakek,” beritahu Yuu-kun padaku saat aku pertama kali mengunjunginya. Lega rasanya melihat dia baik-baik saja. Meskipun dia tidak membenciku atas apa yang terjadi, aku masih diliputi rasa bersalah setiap kali aku melihat luka di bawah matanya.
“Jangan khawatir; codet ini sebenarnya keren! Aku mendapatkannya dari melindungi teman! Jangan khawatir, Natsuo!”
“Tapi…” Aku ragu-ragu.
“Aw bung, jangan melihatku seperti itu. Aku tidak ingin kau terluka. Maksudku, kau ingin punya cewek saat besar nanti, kan?” katanya dengan senyum di wajahnya.
Rasa sakit memenuhi dadaku saat dia tersenyum. Namun kali ini, itu bukan karena rasa bersalah—itu adalah emosi baru yang tidak dapat aku pahami saat itu. “Perasaan apa ini?” Aku sering bertanya-tanya. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk memahami perasaan apa sebenarnya itu.
“Ada apa?” tanya dia padaku, memperhatikan ekspresi suramku.
Dadaku terasa lebih sesak dari sebelumnya. Kenapa aku merasa seperti itu? Karena aku tidak bisa memahaminya, aku malah tersenyum. “Tidak ada, aku baik-baik saja. Lagipula, aku tidak akan pernah punya cewek,” kataku padanya.
Saat itulah aku seharusnya memberi tahu dia bahwa aku sebenarnya perempuan, tapi aku tidak pernah menyelesaikan kalimatku.
☆
Kami terus bermain di musim panas saat itu—untungnya tanpa masalah lagi. Setiap saat yang aku habiskan bersamanya dipenuhi dengan kebahagiaan, tapi perasaan sesak yang aneh itu tetap ada di dalam diriku. Itu benar-benar membuatku khawatir, meskipun dengan saat-saat menyenangkan yang aku alami. Aku akhirnya menyadari sumber rasa sesak itu pada hari kami berpisah. Saat itu akhir musim panas, dan pertemuan terakhir kami berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami menatap matahari terbenam dengan menyadari hari apa itu.
“Hari ini luar biasa, seperti biasanya! Terima kasih karena selalu ada, Natsuo! Ini akan lama sampai kita bertemu lagi, tapi aku tahu kita akan bertemu lagi di taman tahun depan!” katanya sambil tersenyum.
Yep. Mulai besok, aku harus menunggu setahun penuh untuk bertemu dengannya lagi, dan aku sangat terpukul. Biasanya, itu akan baik-baik saja karena ada Haruma dan Touka-chan di rumah, tapi kali ini berbeda. Ketika pikiran itu akhirnya muncul di kepalaku, rasa sakit di dadaku semakin parah.
Aku melihat bekas lukanya, bukti bahwa dia melindungiku dari bahaya. Aku masih merasa bersalah ketika melihatnya, tapi pada saat yang sama, mau tidak mau aku berpikir bahwa itu sangat cocok untuknya. Dan itu juga membuatku merasa sangat, sangat bahagia. Kami berpelukan sebagai perpisahan, dan pikiranku menjadi kacau balau saat kami berpelukan. Akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kurasakan padanya berbeda dari apa yang kurasakan pada Haruma atau Touka-chan. Aku akhirnya menyadari bahwa aku—
“Ada apa?” tanya Yuu-kun padaku, terlihat khawatir.
Aku mengangkat kepalaku, dan mata kami saling bertatapan. Sekarang aku akhirnya menyadari perasaanku, aku tidak bisa berperilaku seperti biasanya.
“B-Bukan apa-apa, oke?! Ngomong-ngomong, sampai jumpa tahun depan!” seruku. Aku tahu wajahku pasti semerah tomat, jadi aku segera berbalik agar dia tidak bisa melihatnya. Setelah pelukan itu, aku tidak sanggup menatapnya. Aku tahu itu membuatnya bingung sejenak, tapi sepertinya dia tidak terlalu memikirkannya. Dia melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat tinggal dan dengan riang menjawab, “Oke, sampai jumpa tahun depan!”
Begitulah cara kami berjanji untuk bertemu lagi tahun depan. Saat matahari terbenam, liburan musim panas, dan waktu kami bersama selanjutnya, telah berakhir. Pada akhirnya, aku tidak bisa menepati janjiku; Aku tidak sanggup bertemu dengannya lagi.
☆
Selama tahun depannya, tubuhku mengalami beberapa perubahan besar. Misalnya, aku menjadi jauh lebih tinggi. Itu bukanlah masalah, tapi dadaku juga membesar bersama dengan tinggiku. Aku cukup rata sampai akhir kelas 5, tapi setelah itu, aku harus mulai memakai bra. Secara umum, aku juga mulai terlihat lebih feminin. Aku tidak akan bisa lagi membodohi dia dengan berpura-pura menjadi Natsuo. Itulah alasan utamaku enggan bertemu dengannya lagi. Saat itu, aku berpikiran bahwa dia akan menolakku jika dia tahu bahwa aku seorang perempuan. Meskipun aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa itu tidak akan terjadi, pikiran negatif mengambil alih diriku dan menang. Bagaimanapun, aku telah menipunya selama bertahun-tahun. Aku takut akan reaksinya, takut akan konsekuensinya.
Aku ingin bertemu dengannya lagi, karena dia adalah cinta pertamaku. Tapi secara bersamaan, aku takut dia akan menolak diriku ini, dan akibatnya, menolak perasaanku. Aku memendam perasaan itu jauh di dalam hati untuk waktu yang lama. Aku berpikir panjang dan keras tentang apa yang harus aku lakukan dengan perasaan ini. Aku membawa perasaan itu ke rumah kerabatku di musim panas tahun depannya. Akhirnya, pada hari sebelum aku seharusnya pulang, aku memutuskan untuk pergi menemuinya. Aku mengenakan sesuatu yang imut dan feminin, dan aku meluangkan waktu untuk menata rambutku, yang menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Akhirnya, aku putuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.
Aku mengumpulkan semua keberanianku dan menuju ke taman tempat kami biasanya bertemu. Dalam perjalanan, aku ragu berkali-kali. Aku berjuang melawan diri sendiri yang ingin berbalik, tapi aku akhirnya sampai di taman. Itu dia, duduk dan menunggu di tempat biasa. Dia tampak sedih, yang membuatku merasa tidak enak sekaligus bahagia karena dia merindukanku. Hanya melihatnya saja sudah membuat jantungku berdebar kencang, dan perutku terasa mulas. Aku sadar bahwa aku mencintainya.
Yuu-kun, duduk di kejauhan, menghela nafas dengan tidak senang. Sepertinya dia menyadari Natsuo tidak akan datang, dan dia bangkit untuk pergi dengan ekspresi masam di wajahnya. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengawasinya saat dia mulai pergi. Aku tidak bisa memanggilnya. Aku harus melakukan sesuatu—apa saja—sebelum dia pergi, tapi aku terpaku tak berdaya. Ketika dia melewatiku, yang bisa aku lakukan hanyalah berdiri diam di sana. Aku tahu bahwa jika aku berteriak memanggilnya, dia akan berbalik. Aku harus berani! Tapi bagaimana jika dia membenciku atas apa yang aku lakukan, karena berbohong tentang identitas asliku? Semua pikiran ini berputar-putar di benakku saat dia akhirnya meninggalkan taman. Pada akhirnya, aku tidak cukup berani, dan aku melanggar janjiku padanya. Kami tidak pernah bertemu lagi di taman.
☆
Musim-musim berlalu, dan aku memasuki SMP. Tahun itu, aku memutuskan bahwa aku pasti akan bertemu dengannya. Aku menghabiskan setiap menitku hidup dalam penyesalan setelah musim panas itu. Yang bisa aku pikirkan hanyalah hari-hari musim panas yang kami lewati. Pada saat itu, aku bahkan tidak takut akan kemungkinan dia menolakku. Aku hanya ingin bertemu dengannya lagi, dan itu mengalahkan rasa takut yang mungkin kumiliki.
Hari pertama liburanku, aku putuskan untuk memastikan bahwa dia akan melihatku sebagai seorang gadis. Aku memakai rok, menata rambutku, dan bahkan memakai sedikit lipgloss. Tidak mungkin dia tidak akan tertarik padaku seperti itu, pikirku dalam hati. Tapi, yang lebih penting, dia akan melihatku sebagai Kana, bukan Natsuo yang pernah dia kenal. Saat aku memikirkan ini, aku menuju ke taman… tapi dia sudah tidak ada lagi. Nyatanya, aku tidak pernah melihatnya lagi setelah tahun terakhirku di SD, meskipun aku sudah kembali ke taman selama dua tahun lagi setelah saat itu.
☆
Saat aku melihat Yuu-kun di tahun pertama masa SMA kami, aku langsung mengenalinya. Kupikir takdir telah mempersatukan kami kembali. Teman sekelas kami telah menyebarkan rumor tentang dia yang merupakan individu berbahaya, dan saat itulah aku juga mengetahui nama lengkapnya—Tomoki Yuuji. Dia tampak mengancam pada awalnya, tapi aku tahu betapa lembut hatinya. Dia diam, dan sikapnya yang suram membuatnya tampak lebih tua dan lebih dewasa dari yang sebenarnya. Tapi yang paling penting adalah, dia masih memiliki bekas luka di bawah matanya. Melihat bekas luka itu membuat jantungku berdebar kencang. Aku tahu bekas luka itu membuat orang lain takut dan menambahkan minyak ke dalam api gosip, tapi aku tidak pernah mengerti alasannya. Sejujurnya, aku selalu berpikir, bahwa bekas luka itu terlihat sangat bagus untuknya! Dia selalu sangat keren.
Aku mencoba untuk berbicara dengannya beberapa kali, tapi aku menjadi terlalu gugup setiap kali aku mencobanya. Upayaku selalu berakhir dengan kegagalan. Dia sangat tampan sekarang! Kenapa dia harus jadi begitu tampan?! Takdir benar-benar kejam. Itu hanya membuat segalanya semakin sulit bagiku, lho?! Yang ingin aku lakukan hanyalah berbicara dengannya lagi, menghabiskan waktu bersamanya lagi seperti dulu… Tapi kenapa dia harus menjadi sangat tampan?! Tuhan. Persetan denganmu, Takdir!
Selama aku bisa melihatnya setiap hari, itu sudah cukup—setidaknya, itulah yang aku pikirkan pada awalnya.
☆
Bisakah aku membiarkan segalanya tetap seperti itu? Meski pada akhirnya, aku akan menderita, aku masih tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Seperti yang terus aku bilang pada diri sendiri—selama dia bersekolah di sekolah yang sama, maka aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu berbicara dengannya sekali; itu saja—hanya satu kali untuk menceritakan semuanya, dan kami bisa kembali ke masa-masa itu lagi. Aku terus membayangkan hal itu ketika aku melihatnya dari kejauhan, tidak dapat benar-benar berbicara dengannya.
Dan satu tahun lagi telah berlalu. Tahun kedua kami di SMA sudah dimulai, tapi kemudian… Yuu-kun telah mempunyai pacar.