Chapter 16: Deklarasi Perang
Saat ini adalah hari setelah pengakuan cintanya. Aku sedang dalam perjalanan ke sekolah, mengagumi pemandangan di sekitarku saat aku sedang merenungkan semuanya.
“Ugh, itu Tomoki.”
“Apakah hanya perasaanku saja, atau dia memang terlihat sangat marah hari ini?”
“Jangan melakukan kontak mata jika kalian sayang nyawa.”
Setiap orang yang lewat mengatakan omong kosong, seperti biasa, tapi mereka segera mempercepat laju mereka untuk menghindari kehadiranku. Ini adalah rutinitasku yang monoton, jadi aku tidak dapat bilang bahwa aku tidak terbiasa dengan itu, tapi hal itu masih juga menyebalkan. Sungguh menyakitkan melihat orang-orang bereaksi seperti aku orang yang haus akan darah hari ini, hanya karena kebetulan aku sedang memikirkan sesuatu. Seperti, bung—apakah aku bahkan tidak diizinkan untuk serius merenungkan sesuatu tanpa semua orang di sekitarku bertingkah seolah-olah aku sedang berjalan dengan membawa pisau di tanganku? Sigh. Masa bodolah. Mereka semua sudah pergi sekarang, jadi aku akhirnya bisa mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Ya ampun, aku tentunya masuk ke dalam situasi yang sulit. Siapa yang akan mengira bahwa Kana dan Natsuo adalah orang yang sama selama ini? Dan yang terpenting, teman masa kecilku itu bahkan menembakku kemarin. Meskipun aku menolaknya, aku merasa kasihan padanya. Aku lebih memilih hubungan palsu dengan Touka daripada perasaannya yang sebenarnya. Kana menghadapiku langsung empat mata dan mengatakan yang sebenarnya, namun aku tidak bisa membalas perasaannya. Jadi begitulah, aku merasa sangat bersalah karena menolaknya.
“Selamat pagi, Senpai!” seru Touka saat dia tiba-tiba muncul dari belakangku, langsung mengganggu jalan pikiranku. Dia segera menyusul dan memposisikan dirinya di sampingku.
“Hei, pagi,” jawabku.
“Cuacanya sangat bagus hari ini! Bukankah begitu? …Wow—kau terlihat, seperti, jutaan kali lebih mengancam dari biasanya, Senpai. Apakah terjadi sesuatu?” tanyanya.
Astaga, bahkan Touka berpikir bahwa aku terlihat lebih menakutkan saat aku berusaha serius akan sesuatu. Setidaknya dia tidak kabur dari sini seperti yang lainnya. Itu agak menghibur hati.
Melihat tampangnya yang begitu khawatir membuatku menyadari sesuatu: sejak kami mulai “berpacaran”, aku belum benar-benar memikirkan akan kemungkinan untuk bersama orang lain. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku sangat menyukai dinamika yang kami alami saat ini. Itulah alasan utama kenapa aku menolak Kana sejak awal. Aku tidak menyesal mementingkan “hubungan” kami daripada kemungkinan menjalin hubungan dengan Kana.
“Hanya memikirkan sesuatu,” gumamku.
“Tentang Natsuo-kun?”
Aku terkejut dengan pertanyaannya, tapi dia sudah tahu tentang identitas asli Natsuo sebelum aku. Dia mungkin tidak mempercayai alasan “toilet”-ku sama sekali dan menebak ke mana aku pergi kemarin.
“Sebenarnya, ya,” jawabku.
“Apakah kamu berhasil bertemu dengannya?”
“Ya.”
“Apakah kamu terkejut?” tanyanya sambil tersenyum.
“Mhm.”
“Dan bahagia?”
“Yep… Makasih, Touka.”
Aku curiga bahwa Touka mungkin adalah orang yang mendorong Hasaki untuk mengatakan yang sebenarnya, jadi itulah alasan aku berterima kasih padanya.
“Makasih untuk apa?” tanyanya, tidak mengerti maksudku.
“Tidak apa-apa; lupakan saja.”
Biasanya dia akan bilang tidak perlu berterima kasih padanya, tapi dia malah berpura-pura tidak tahu. Jelas dia peduli tentang orang lain dengan cara spesialnya sendiri. Yah, kurasa aku akan mengabaikan topik ini.
“Hei yang di sana!”
Kami mendengar sapaan riang muncul dari belakang kami. Saat kami berbalik, kami melihat Kana melambaikan tangan ke arah kami.
“Selamat pagi!” balas Touka dengan senyum ceria.
“Hei, yo.”
Melihat wajahnya mengingatkanku pada kejadian kemarin. Sejujurnya, aku agak malu sekarang. Aku harus tetap tenang—kami hanya berteman. Kami berjanji satu sama lain dari situlah kami akan memulainya.
Kana mengejar dan mulai berjalan di samping kami. “Omong-omong, makasih sudah datang untuk mendukungku kemarin! Kamu juga terlihat baik hari ini, Yuuji-kun!” serunya dengan riang. Tiba-tiba, dia meraih salah satu lenganku dan memeluknya.
“Huh?!” “Apa—?!” Aku dan Touka berteriak pada saat yang sama, sama tercengangnya dengan tindakannya.
“Apa yang sedang kamu lakukan, Kana?” Aku akhirnya berhasil bertanya.
“Aku hanya memperdalam ikatan persahabatan kita!” jawabnya dengan cepat, seolah-olah itu adalah hal paling jelas di dunia.
Begitukah cara pria dan wanita meningkatkan persahabatan mereka? Maksudku, Kana terdengar cukup pede tentang itu, jadi mungkin dia benar? Mari kita lihat pendapat Touka.
“…‘Yuuji-kun?’ ‘Kana?’” katanya, suaranya sedingin es.
“Yup. Kami memutuskan untuk memanggil satu sama lain dengan nama depan kami kemarin. Benarkan, Yuuji-kun?” umum Kana dengan bangga, sepenuhnya mengabaikan aura dingin Touka.
“Y-Ya, itu benar.”
“Apa?! Kenapa kamu mau melakukan itu?! Bukankah kamu hanya bertemu dengan Natsuo…?!”
Oke, lebih baik aku menjelaskan itu padanya sebelum segala hal menjadi di luar kendali—
“Apakah dia belum memberitahumu, Touka-chan? Aku menembaknya kemarin,” terang Kana tiba-tiba.
“A-Apa…?” gerutu Touka. Dia terlihat sangat syok sekarang.
“Meski dia menolakku,” tambahnya saat Touka mulai memelototiku.
“O-Oh, benar. Tentu saja dia akan melakukan itu! Dia sudah memilikiku, jadi tentu saja dia akan menolak. Benarkan. Benarkan…? Hei, tunggu sebentar! Kau tahu kami sepasang kekasih, jadi kenapa kau malah menambaknya!? Dasar brengsek…! Ya Tuhan, aku tidak percaya ini! Bisakah kau menjauh darinya sekarang?!” teriaknya dengan marah saat dia mencoba memisahkan kami secara fisik.
Namun Kana tidak menyerah. Ekspresinya muram, dan dia berbisik, “Dia mungkin sudah menolakku, tapi dia menyuruhku untuk terus berusaha. Yah, itu sebelum aku menembaknya sih… Bagaimanapun, itu berarti dia tak masalah kalau aku melakukan hal-hal semacam ini.”
“Huh?! Senpai tidak akan pernah mengatakan sesuatu seperti itu. Jika kau akan mencoba mengatakan omong kosong untuk lolos dari ini, setidaknya, cobalah mempelajari cara berbohong yang lebih baik. Benarkan, Senpai?!” serunya saat dia berbalik ke arahku.
Aku mengangguk. Ya, aku menolak pernyataan cinta Kana. Itu jelas benar. “Mhm, kamu benar tentang it—Tunggu dulu!” Kata-kata nasihatku sebelumnya sangat terlambat muncul dari dalam ingatanku. Aku sadar bahwa aku benar-benar menyemangatinya sebelum aku mendapatkan pernyataan cintanya. Saat itu aku mengira dia sedang membicarakan Ike. Tai.
“Huh? Apa-apaan reaksimu itu? Maksudmu, kamu benar-benar mengatakan hal itu padanya? Tidak mungkin kau bilang padanya bahwa dia bisa menjadi cabe sampingan atau kau ingin agar pilihanmu tetap tersedia… benarkan, Senpai?” tanyanya dengan muram.
Kenapa aku harus begitu bodoh?! Kenapa?!
“Aku, eh, mungkin telah mengatakan sesuatu seperti itu, begitulah,” aku tergagap.
“A-Apa?!” teriaknya. Dia seperti akan langsung menangis di tempat.
Aku harus jujur padanya di sini. Kejujuran adalah kebijakan terbaik. Aku akan memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi; dengan begitu, dia tidak akan marah padak—
“Tepat, begitulah! Itulah sebabnya ini tidak akan berhenti sampai dia menyukaiku!” potong Kana tiba-tiba saat aku mencoba menjelaskan. Dia menekan dirinya sendiri ke lenganku lebih keras.
“Huh? Apa yang kau bicarakan?” kata Touka.
“Aku akan terus melakukan ini sampai Yuuji-kun menerima perasaanku,” jelasnya sambil menyeringai. “Aku tidak pernah berhasil menemukan ide agar kita bisa berbaikan setelah pertengkaran yang kita lakukan saat SD. Sekarang setelah kita bersaing memperebutkan orang yang sama, kita pasti akan menjadi lebih akrab!”
“Apa kau tidak akan menjauh darinya sekarang?!” teriaknya pada gadis lain itu.
“Um, tidak, makasih. Aku tidak akan menahan diri di sini, Touka-chan. Aku tidak akan pernah melakukannya! Aku tidak ingin kalah melawanmu! Itulah sebabnya, Touka-chan…” suaranya mengecil untuk memberikan efek tambahan. Dia mengedipkan mata, menyatukan kedua tangannya, dan berkata, “Aku minta maaf sebelumnya karena akan mencuri pacarmu.”
Touka tetap diam, memberikan tatapan membunuh pada Kana.
“Kana, menurutku kamu tidak benar-benar mengerti apa yang aku katakan sebelumnya!” timpalku dengan ragu-ragu. Aku harus menghindari malapetaka yang akan terjadi!
“Aku mendengar apa yang aku dengar, Yuuji-kun! Kamu memujiku, dan kamu juga bilang padaku untuk tidak pernah menyerah! Sudah kubilang, ingat? Aku tidak akan memperdulikan alasanmu saat ini!” balasnya.
Ugh, itu terasa seperti tamparan di wajah. Aku tidak bisa membalas perkataannya. Dia membuatku terpojok, dan pada akhirnya aku hanya akan mencoba mencari alasan payah untuk menghindari bencana. Aku mendapatkan apa yang pantas aku dapatkan.
Dia menatap mataku ketika aku mati-matian mencoba memikirkan hal lain. Dia tersipu saat mata kami bertatapan, tapi dia tidak mundur. Dia dengan bangga berseru sambil tersenyum, “Jadi begitulah! Sebaiknya kalian berdua bersiap-siap untuk apa yang akan terjadi!”
Senyumannya membuat jantungku berdegup kencang, meski itu sepenuhnya dengan enggan.