Chapter 11: Pertandingan Kana
“Oof, hari ini sangat panas,” kata Touka, menutupi matanya untuk menghalangi sinar matahari.
“Ya, kau benar. Sungguh menakjubkan bahwa pertandingan tenis benar-benar diadakan pada hari seperti ini.”
“Mhm. Aku akan khawatir terbakar sinar matahari jika aku jadi mereka… Sebenarnya, aku harus membeli tabir surya untuk diriku nanti,” dia menghela nafas sambil menyilangkan lengannya.
Ini akhir pekan. Seperti yang kami janjikan pada Hasaki, kami datang ke taman atletik untuk menonton pertandingannya. Sejak awal, aku agak terkejut dia mengundang kami, tapi ini adalah kesempatan besar baginya untuk membuat kemajuan dengan Touka. Kuharap aku bisa mengerti bagaimana perasaan Touka tentang semua ini, meskipun—kenapa dia begitu mudah menerima undangannya tempo hari? Aku tidak bisa membayangkan dia ingin mendukung Hasaki, jadi sejujurnya aku tidak tahu. Secara pribadi, aku ingin berpikiran bahwa, jauh di lubuk hatinya, Touka juga memiliki keinginan untuk berbicara dengan Hasaki lagi; meski, itu hanya aku yang mencoba untuk optimis tentang segala hal.
“Oh ya! Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu—mana yang lebih kamu sukai, Senpai? Gadis berkulit kecokelatan, atau berkulit putih?” tanya dia tiba-tiba padaku, matanya berkilauan karena penasaran.
“Aku tidak terlalu memikirkannya. Selama kepribadiannya baik, aku tidak terlalu peduli dengan penampilannya.”
Kegembiraannya dengan cepat berubah menjadi kekecewaan. Dia berkata, “Okelah, kalau begitu, biar kuubah pertanyaannya—apakah kamu tertarik melihatku berkulit cokelat?”
Melihatnya berkulit cokelat? Hm, biar kubayangkan dulu… “Aku tidak tahu apakah itu cocok untukmu, tapi aku tidak keberatan melihatnya,” jawabku.
“Payah. Itu bukan jawaban. Katakan saja ya atau tidak. Semudah itu! Jika itu untukmu, aku tidak keberatan melakukannya!”
Maksudku, aku ingin memberitahunya untuk melakukan apa pun yang dia suka, tapi aku tidak yakin. Bohong jika aku bilang kalau aku tidak penasaran, tapi aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus untuk memutuskan sesuatu untuknya. Aku lebih suka tetap netral. Tapi…
“Sejujurnya, kupikir kau sudah terlihat cukup bagus dengan dirimu yang sekarang. Menurutku, kulit cokelat tidak cocok untukmu,” kataku akhirnya.
Dia sadar bahwa aku sedang menatapnya; Dia dengan cepat menggerakkan tangannya ke belakang, tersipu, dan mulai berlinangan air mata. “A-Apa yang barusan kau katakan?! Jadi begitulah caramu melihatku, huh?! D-Dasar mesum! Kau telah mencoba menggodaku tanpa henti akhir-akhir ini!” dia tergagap dalam satu tarikan nafas. Sungguh mengesankan mendengarnya. Aku hanya mencoba memujinya, tapi kurasa kalian bisa menafsirkannya seperti itu. Terserah, aku akan diam sajalah.
“Maaf, Touka. Tidak bermaksud membuatmu takut,” aku meminta maaf. Aku harus ingat bahwa aku masih merupakan pecundang sosial dan aku tidak tahu cara berbicara atau berhubungan dengan orang lain. Aku merasa tidak enak sekarang. Kurasa Touka menyadari ekspresiku yang tertekan, karena dia tiba-tiba berdehem untuk mendapatkan kembali perhatianku.
“Kau tidak membuatku takut atau semacamnya, oke? Aku sepenuhnya sadar bahwa aku super imut! Aku benar-benar mengerti alasanmu merasa berkewajiban untuk memujiku dan semua itu. Jika kau tidak ingin aku mencoklatkan kulit, maka aku tidak akan melakukannya. Aku memaafkanmu, oke? Jangan terlihat sedih begitu.”
Dia memalingkan wajahnya—yang masih agak merah—menjauh agar tidak menatap mataku. Wow, dia menyadari bagaimana perasaanku dan mencoba menghiburku. Dia benar-benar orang yang baik.
“Tidak masalah. Bukan berarti terus-menerus melongo padamu ada dalam rencanaku hari ini, jadi tak masalah,” kataku.
“Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tidak keberatan hal itu terjadi?” jawabnya dengan cepat.
Baiklah, aku akan mencoba menghindari situasi apa pun yang dapat disalahartikan.
“Hei, kalian datang juga akhirnya!” seseorang tiba-tiba berteriak kepada kami. Itu Ike.
“Oh, kau juga di sini?” kataku.
“Kau bercanda, kan? Kapan kau meninggalkan rumah? Ya ampun, kau seperti ninja atau semacamnya,” gurau Touka.
“Kau tidak menyadarinya karena kau selalu memikirkan Yuuji di otakmu. Meski, itu bukan berarti kau biasanya tahu kapan aku ada atau tidak,” jawabnya.
Wajah Touka menjadi merah padam, dan dia melotot langsung ke arahnya. “Huh? Beraninya kau, brengsek. Ya, kau dengar. Jangan bicara padaku lagi, ew. Dan berhentilah mengatakan hal seperti itu di depan Yuuji-senpai. Pertama, itu menjijikkan sekali. Kedua, itu sepenuhnya bohong,” balasnya secepat mungkin.
“Maaf tentang adikku. Kadang-kadang, dia bisa sangat menyebalkan,” ucap Ike sambil tersenyum sinis.
“Tidak sama sekali. Dia sebenarnya sangat perhatian saat berada di dekatku, begitulah…” kataku.
“Ya, katakan padanya! Tentu saja aku akan memperlakukanmu jauh lebih baik daripada kakakku yang brengsek ini, Senpai! Benarkan?” timpalnya.
Bukankah dia baru saja menuduhku melecehkannya beberapa saat yang lalu? Masa bodolah. Aku penasaran tentang fakta bahwa dia menggunakan “lelucon” yang sama di dekat Ike. Kuharap aku dapat membantu mereka untuk akrab dengan lebih baik, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku merasa mereka membutuhkan waktu, sama seperti Hasaki, tapi itu sepenuhnya lain cerita.
“Ada apa, Senpai? Kau tiba-tiba terlihat murung,” tanyanya.
“Oh, tidak ada. Aku baru saja memikirkan tentang kalian berdua yang akrab dengan cara spesial tersendiri.”
Ike dan Touka saling memandang, terkejut, lalu tersenyum.
“Ya. Semua berkatmu, Senpai.”
“Seperti katanya. Itu semua berkatmu, Bung.”
Apa pun yang terjadi antara keduanya dan Hasaki pasti terjadi ketika mereka semua biasa bergaul satu sama lain. Aku bahkan tidak dapat memahami apa yang terjadi, atau apa yang harus aku lakukan. Aku telah memutar otak, tapi sejauh ini tidak ada yang muncul. Mungkin aku harus bertanya langsung pada mereka? Kurasa itu layak dicoba.
“Omong-omong, di mana Hasaki-senpai?” tanya Touka tiba-tiba sebelum aku sempat untuk mengajukan pertanyaan. Baiklah, aku akan menanyakannya nanti.
“Dia ada di sana, bermain di salah satu lapangan. Lihat?” kata Ike sambil menunjuk ke salah satu lapangan tenis.
Benar saja, itu Kana. Tapi dia benar-benar berbeda 180 derajat dari biasanya—sikapnya benar-benar serius. Dia mengikuti lintasan bola dengan intensitas yang tajam, dan gerakannya tenang serta diperhitungkan. Dia siap menerima bola, dan kapan pun dia memukulnya, dia berteriak keras. Sejujurnya, melihatnya seperti itu membuatku berpikir dia cukup keren. Luar biasa; Aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.
“Bukankah kau terlalu berlebihan menatapnya, Senpai?” marah Touka, memelototiku dengan niat membunuh.
“Kau ada masalah dengan aku yang melihatnya bermain, atau apa?”
Dia tidak menjawab keras-keras, tapi dia terus merengut padaku. Apa yang aku lakukan hingga membuatnya kesal? Ada apa dengannya? Kuharap dia memberi tahuku secara langsung. Dia menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Oke, salahku. Maafkan aku yang kesal karena kau menonton dia berjingkrak-jingkrak dengan rok super pendek dan teteknya yang memantul kemana-mana. Yup, aku sepenuhnya salah… Psik! Bagaimana kalau kau berhenti bersikap begitu sangean, huh?!”
Dia nantinya akan tenang sendiri. Aku hanya akan kembali menonton Hasaki. Sebenarnya, setelah dia menyebutkannya… ya, dadanya jelas bergoyang setiap kali dia mengayunkan raketnya. Dan roknya berkibar dengan cara yang agak terlalu merangsang. Oke, aku akan berhenti melihat. Awalnya, aku melihatnya karena dia terlihat keren, tapi Touka benar-benar merusak kesan itu dariku. Yang bisa aku pikirkan sekarang adalah payudara dan rok pendek. Persetan hidupku.
Aku melihat kembali ke arah Touka untuk memeriksanya, tapi dia masih memberiku tatapan hina.
“Aku tidak melihatnya seperti itu,” gumamku.
“Omong kosong. Kau benar-benar menggerayanginya dengan matamu itu. Tapi, tidak apalah—ini salahku karena aku tidak tahu anumu jadi berdiri karena rok pendek. Seharusnya aku memakainya agar matamu tidak jelalatan. Salahku! Tidak mengira kau memiliki fetish aneh seperti itu!” katanya sambil menepuk-nepuk kakinya yang memakai jeans ketat.
Apa yang harus aku katakan dalam situasi ini? Mungkin sebaiknya aku melakukan keahlianku saja: tetap diam.
“Sekarang, aku kurang lebih tahu bagaimana hubungan kalian berjalan, tapi apakah ini cara kalian berdua biasanya saling menggoda?” tanya Ike tiba-tiba sambil tersenyum paksa.
Ini tidak seperti kami saling menggoda atau semacamnya… Tapi ya, biasanya begitulah cara kami berinteraksi satu sama lain.
“Ya, ini hal yang normal bagi kami,” jawabku.
“Oh, begitu. Ngomong-ngomong, Yuuji—jika kau ingin memanggilku kakak iparmu, aku tidak keberatan.”
“Huh?” seruku. Oke, itu sudah kelewatan, bung.
“Sepertinya masih terlalu dini bagiku untuk mengatakan itu,” jawabnya cepat dengan ekspresi puas.
Maaf, Ike. Tidak mungkin terlalu dini karena sejak awal kami memalsukan segalanya. Touka juga tidak terlihat senang dengan leluconnya. Dia berteriak, “Apa-apaan kau ini, bedebah? Mulai lagi bertingkah menjijikan. Seperti, apa yang sebenarnya kau bicarakan? Pergilah ke neraka sana.” Setelah omelan kecilnya, dia benar-benar terdiam. Wajahnya merah padam, tanda pasti bahwa dia sedang kesal. Oh sial.
“Sial, Touka. Aku tidak pernah menyangka kau akan bertingkah begitu imut di depan pacarmu,” canda Ike, menyeringai lebar.
Huh? Imut? Apakah dia menyiratkan bahwa Touka sedang malu atau semacamnya? Bukankah dia sangat marah sekarang, atau hanya perasaanku saja? Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata sekarang. Dan di sini, kupikir aku bisa memahami orang dengan baik. Pada akhirnya, kurasa aku bukanlah tandingan protagonis.
Tiba-tiba, semua orang di lapangan tenis berteriak dan menarik perhatian kami.
“Oh, sepertinya pertandingan Hasaki sudah berakhir.”
Berapa skornya? Sial, Hasaki benar-benar menghancurkan lawannya. Sepertinya dia belum kalah dalam satu game pun. Semua orang di sekitar kami berteriak-teriak atas kemenangannya.
“Ace terakhirnya luar biasa!”
TL Note: Servis yang dilakukan pemain di mana bola masuk dan tidak dapat dijangkau oleh pemain lawan.
“Kubilang juga apa, tidak ada orang di dunia ini yang bisa membalas itu.”
Semua orang di sekitar kami mengomentari pertandingan Hasaki barusan. Jadi dia mengakhiri pertandingannya dengan ace? Tidak heran semua orang berteriak. Sebenarnya aku agak kecewa karena melewatkan sebagian besar pertandingannya. Hasaki dan lawannya saling membungkuk dan meninggalkan lapangan. Dia menyeka keringatnya dengan handuk, tapi dia tidak terlihat lelah sama sekali. Bagaimanapun, pertandingannya sudah berakhir, jadi ayo pergi dan bicara dengannya.
“Hei, Kana, partandingan yang bagus. Kau masih terlihat cukup energik,” sapa Ike.
Dia berbalik. “Hei, Haruma! Aku sebenarnya merasa sangat lelah… Mungkin tidak secara fisik, tapi yang jelas secara mental! Oh hei, Tomoki- kun! Kau datang juga!”
“Yo,” jawabku.
“Aku di sini juga, lho.” Singgung Touka. Hah, dia tidak menyadari Touka. Itu kacau.
“Ya! Terima kasih sudah datang juga, Touka-chan!”
“Omong-omong, kau cukup luar biasa dalam pertandingan itu. Kau lebih hebat dari yang aku kira. Rasanya seperti, anjay,” kataku saat aku mendekatinya.
“O-Oke. Makasih…” dia tergagap sambil mundur selangkah. Ups, aku selalu lupa bahwa dia masih takut dengan wajahku. Aku harus berhenti melakukan ini.
“Maafkan aku, Tomoki-kun—aku sedang berkeringat sekarang, jadi lebih baik aku menjaga jarak, jika kau mengerti maksudku… Ini sedikit memalukan,” katanya, tersipu. Oh, itu membuatku merasa sedikit lebih baik; Aku senang itu bukan karena aku membuatnya takut.
“Oh, oke. Tidak masalah. Sejujurnya aku tidak menyadarinya. Lagian, kau bergerak kemana-mana, jadi tidak heran. Aku serius, kau terlihat sangat keren saat bertanding,” kataku.
“B-Benarkah? Wow, makasih! Itu membuatku bahagia. Hehehe…”
“Ya, dia sangat menyukai tetek dan pantatmu yang berayun-ayun dengan rok pendek itu,” tambah Touka dengan suara paling dingin yang bisa dia kerahkan.
Persetan denganmu, Touka. Kenapa kau jadi sangat marah?
“Apaaa?!” teriak Hasaki. Dia dengan cepat menutupi dadanya dengan satu tangan dan menarik roknya ke bawah dengan tangannya yang lain. Wajahnya merah padam, dan dia sedikit gemetaran saat dia menuduhku dengan, “Bagaimana bisa kau melihatku seperti itu padahal kau sudah punya pacar semanis Touka-chan?”
Aku harus memberitahunya bahwa itu adalah kesalahpahaman.
“Gak mungkinlah! Akulah satu-satunya bagi Senpai, kan?” seru Touka.
“O-Oh ya, benar. Aww, astaga! Kau mengejutkanku!” kata Hasaki. Dia berdehem, menarik napas dalam-dalam, dan melanjutkan, “Aku akan menenangkan diri sebentar, jadi sampai jumpa nanti!”
Dengan itu, dia dengan cepat kembali ke lapangan.
“Kami akan mendukungmu di pertandingan berikutnya!” teriakku padanya.
Dia berbalik dan dengan gembira berseru, “Oke! Aku akan sangat senang jika kalian melakukannya! Aku akan melakukan yang terbaik!”
Dia kemudian kembali ke kepribadiannya yang serius dan kembali ke lapangan.
Aku akan mengatakannya lagi—melihatnya begitu fokus dalam pertandingan membuatnya memiliki kualitas yang sangat keren. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.
☆
Pertandingan kedua Hasaki dimulai. Aku, Touka, dan Ike duduk berbaris dan bersiap untuk menonton. Hasaki yang melakukan servis. Dia mengirimkan bola dengan kecepatan luar biasa, tapi lawannya entah bagaimana berhasil membalikkan bola itu ke sisinya. Meski dia dengan cepat membalas, dan berhasil mencetak poin pertamanya dalam pertandingan.
“Kudengar dia cukup bagus dalam tenis, tapi aku tidak pernah menyangka dia begitu agresif. Dia seperti hewan buas disini,” kataku.
“Ini adalah pertandingan unggulan pertama, jadi aku tidak terkejut,” jawab Ike.
“Anjay. Jadi peringkat berapa lawannya?”
“Kupikir dia seumuran dengan kita. Terakhir kali kucek, dia berada dalam kategori 16 terbaik di negara ini.”
“Whoa, itu luar biasa.”
Lawannya tampaknya memahami gaya bermain Kana, tapi meskipun lawannya tampil lebih baik dari sebelumnya, Kana masih setingkat di atasnya. Pertandingan berlanjut sampai Kana menyelesaikan game pertama.
“Itu sempurna. Dia belum kecolongan satu poin pun.”
“Yah, dalam tenis, orang yang melakukan servis adalah orang yang memiliki keuntungan. Hasaki-senpai selalu pandai melakukan servis. Meski aku tetap merasa terkesan bahwa dia belum kecolongan satu poin pun,” komentar Touka.
“Kau benar-benar tahu tentang tenis.”
“Dulu ketika aku masih SD, aku bermain tenis juga. Aku yakin kau akan seeenang melihatku mengenakan salah satu rok mini tenis itu, huh?” katanya dengan senyum nakal.
“Meh, tidak peduli,” jawabku.
“Oh wow, sayang sekali. Padahal aku tidak akan keberatan membeli dan memakainya untukmu jika kau benar-benar menginginkannya. Sungguh tragedi karena kau membiarkan kesempatan sekali seumur hidup ini berlalu begitu saja!”
Apa? Dia benar-benar bersedia memakainya jika aku terus terang memintanya?
“Kalian berdua sangat akrab,” kata Ike tiba-tiba. Dia mengawasi percakapan kami dalam diam sampai tadi.
“Huh? Kau tidak perlu menyatakan hal yang sudah jelas, bung. Aku dan Yuuji- senpai adalah pasangan terbaik dari yang pernah ada! Benarkan, Senpai?” serunya sambil menatapku. Ike mengikutinya sambil tersenyum. Ini sangat memalukan.
“Tapi, hari ini Kana terlihat lebih bersemangat dari biasanya,” bisik Ike saat dia kembali menatap lapangan.
Aku mengikuti pandangannya ke lapangan. Dia tampaknya memiliki semangat standar saat dia berada di tengah pertandingan, tapi seperti yang Ike katakan—ada hal lain yang terjadi. Sangat mudah untuk membedakan antara wajahnya dan wajah lawannya—Hasaki dengan jelas menyudutkan gadis lain itu dalam pertandingan ini. Yah, belum ada keputusan pasti, tapi begitulah pertandingan berjalan sejauh ini. Kontrolnya atas servis lawannya luar biasa. Dia berhasil membalas semuanya hampir dengan sempurna.
“Kurasa bagus baginya untuk begitu fokus, tapi aku khawatir itu akan mempengaruhinya nanti,” kata Ike dengan nada khawatir.
“Mungkin kita harus bertanya padanya tentang itu setelah pertandingan selesai?” saranku.
“Setuju.”
“Tapi ini sangat panas! Aku akan pergi dan membeli minum. Apa kau menginginkan sesuatu, Senpai?” tanya Touka sambil berdiri.
Aku juga merasakannya. Hari ini cukup panas, jadi aku menghargai dia yang ingin membelikanku minum.
“Tentu, aku mau teh,” kataku.
“Aku baik-baik saja, jadi jangan membawakanku apa pun,” tambah Ike.
“Oke, lagian aku juga tidak berencana membelikanmu apa pun. Aku akan segera kembali!”
☆
Hasaki terus mengumpulkan poin selama Touka pergi. Sejauh ini skornya 4-1. Dia hanya kalah satu game sejauh ini.
“Touka belum kembali?” Kataku. Aku semakin mengkhawatirkannya; dia pergi beberapa waktu yang lalu.
“Tampaknya belum. Mesin penjual otomatis juga tidak terlalu jauh,” kata Ike. Dia terdengar bingung.
Touka sangat imut, dan tempat ini dipenuhi remaja pria hari ini… Mungkin dia mengalami masalah? Mungkin salah satu pria yang berkeliaran mencoba merayunya.
“Aku akan pergi dan melihat apa yang terjadi,” kataku sambil berdiri.
“Kedengarannya bagus.”
Aku menuju mesin penjual otomatis terdekat. Kupikir dia akan ada disana. Dan itu dia. Benar saja, dia terlibat dalam masalah.
“Ayolah, Touka-chan! Bukankah kita dulu sahabat?! Perkenalkan kami pada Haruma-san, tolong ya pleeease?”
“Kami serius di sini, lho? Kupikir pertemuan kami di sini sebanarnya, semacam, takdir! Tidak bercanda!”
Namun, dia tidak dikelilingi oleh pria-pria sangean—melainkan oleh gadis-gadis berpakaian tenis yang mengerumuninya. Kurasa mereka adalah teman lamanya yang sangat ingin mendapatkan kesempatan bersama Haruma.
“Bukankah lebih baik jika kalian bicara langsung dengannya? Aku tahu dia akan merasa lebih bahagia jika kalian melakukan itu!” jawabnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya sekarang karena aku di belakangnya, tapi dia tidak terlalu senang menilai dari nada suaranya yang kaku. Namun, kedua gadis itu sepertinya tidak menyadarinya. Mereka bertukar pandang dan terus mengganggunya.
“Wow, Touka-chan! Jangan begitu kejamlah.”
“Ya, ayolah! Bagaimana bisa kau mengharapkan kami untuk pergi dan berbicara begitu saja dengan seseorang yang begitu tampan? Tapi aku benar-benar ingin dekat dengannya!”
“Yup! Tolonglah pleaaase? Bagaimana kalau begini—kami akan mengajakmu ke prasmanan kue saat kami nongkrong lagi sebagai cara kami mengucapkan terima kasih! Kumohooon?!”
Sepertinya tidak ada dari mereka yang mau menyerah. Jika aku tidak terlibat, semuanya pasti akan bertambah parah. Tapi, ini Touka yang sedang kita bicarakan—aku yakin dia tahu jalan keluar dari situasi ini, bukan? Namun di sisi lain, menurutku berdiri di sini dan menonton bukanlah ide yang bagus. Aku akan datang untuk menyelamatkannya. Kedua gadis itu sudah menyadari aku mendekati mereka—terbukti dari wajah mereka yang memucat—tapi Touka belum menyadarinya.
“Hei, Touka, aku sudah mencarimu kemana-mana,” aku memanggilnya.
Kedua gadis itu terkejut ketika aku menyebut namanya, dan mereka mulai gemetaran. Touka, sebaliknya, dengan cepat berbalik dan tersenyum cerah.
“Hei, Yuuji-senpai! Kau mencariku? Aww, aku manusia paling bahagia saat ini!”
Para gadis masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi, tapi Touka bahkan tidak peduli pada mereka lagi. Dia benar-benar fokus padaku sekarang; dia memeluk salah satu lenganku dengan senyum berseri-seri yang sama.
“Maaf, girls. Pacarku membutuhkan perhatianku, jadi kita harus membicarakannya nanti, oke?”
Gadis-gadis itu mengangguk dan menelan ludah pada saat bersamaan.
“T-Tentu saja! Yaku—maksudku, gengs—maksudku, uh… Pria bertampang berbahaya yang kau miliki di sana!”
“Y-Ya! Dia benar-benar terlihat mengancam!”
“Kalau begitu, sampai jumpa!” teriak mereka berdua saat melarikan diri. Begitu mereka berdua tidak terlihat, Touka menghela nafas dan berkata, “Kau benar-benar penyelamat, Senpai. Aku bahkan tidak ingat nama mereka, tapi mereka tampaknya adalah teman lamaku. Aku kebetulan berpapasan dengan mereka, dan segalanya menjadi sangat canggung. Jadi begitulah, makasih.”
Dia bahkan tidak ingat nama mereka? Sial, itu kasar…
“Senang mengetahui kalau aku membantu,” jawabku.
“Yup. Tentu saja, senpai! Sebagai hadiah, aku akan mengizinkanmu untuk sedikit lebih lama menikmati tanganmu yang kupeluk!” katanya dengan ekspresi sombong.
“Apa? Tapi cuaca sudah sangat panas tanpa lenganmu. Tidak bisakah kamu menghadiahiku dengan cara lain?”
Aku yakin dia juga kegerahan, jadi ini bukan ide yang bagus. Sikapnya benar-benar berubah 180 derajat, dan dia mengerutkan kening. “Oh, oke…” katanya sambil melepaskan diri dariku.
Aku tahu apa yang aku lakukan itu bodoh, dan aku yakin aku telah menyakiti perasaannya, tapi saat ini cukup panas. Bergandengan tangan bukanlah ide terbaik saat ini.
“Aku selalu memikirkannya, tapi kau sebenarnya agak cukup sabar, Touka. Seperti, kau jarang marah atau kehilangan ketenangan saat harus menahan hal-hal seperti itu.”
Misalnya, ambil contoh apa yang terjadi sebelumnya. Dia selalu mendapatkan permintaan seperti itu, tapi dia selalu berhasil menjaga ketenangannya. Aku tidak tahu bagaimana dia berhasil untuk tidak kehilangan kendali. Aku tahu aku akan muak sampai mati jika aku berada di posisinya.
“Yep, seperti sekarang. Andai saja kau tahu betapa sabarnya aku,” gerutunya sambil menatapku dengan tatapan hina.
Aku tidak pernah terlalu memikirkannya, tapi dia pasti telah menahan skenario serupa hampir setiap hari. Aku harus lebih memperhatikan keadaannya mulai sekarang. “Tunggu sebentar! Sudah berapa lama kau di sini? Apa saja yang kau dengar?!” katanya tiba-tiba, menatapku dengan kaget.
“Uh, kurasa aku melihatmu ketika mereka memintamu untuk memperkenalkan mereka pada Ike… Jadi sekitar tiga menit atau lebih?” jawabku.
“Oh benarkah? Oke, aku tidak menyangka itu!”
“Apa maksudmu?”
“Aku kesal karena diskusi kami sebelumnya, tidak sedikit pun karena mereka memintaku untuk bertemu dengan kakakku. Tapi itu sebelum kau datang, jadi itu sebabnya aku mengatakan itu!”
“Benarkah?”
Dia mengangguk dan berkata, “Aku benci jika orang lain memperlakukanku sebagai ‘adik Haruma,’ seolah-olah aku tidak lebih dari itu. Kamulah yang melihatku apa adanya, jadi mood-ku yang buruk sudah sepenuhnya hilang!”
“Oh, begitu,” kataku. Senang mengetahui bahwa aku membantu, lalu. “Jadi kenapa kau begitu marah pada mereka?”
“Huh? Kau benar-benar ingin tahu?” katanya kaget.
“Jika kau tidak ingin membicarakannya, kau tidak perlu mengatakannya.”
Dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Gadis dengan kuncir kuda itu akan bertanding melawan Hasaki-senpai sebentar lagi. Dan ketika kami bicara, dia mengatakan ini, garis besarnya tentang Hasaki-senpai yang berbakat di tenis, dan bagaimana dia tidak akan pernah mencapai levelnya, tidak peduli seberapa keras dia berusaha. Bagian terburuknya adalah ketika dia mencoba mengatakan padaku ‘Kau mengerti perasaanku, kan, Touka-chan?’ Itu membuatku kesal.”
Menurutku gadis itu tidak memiliki niatan buruk, tapi aku tahu betapa bencinya Touka mendengar hal-hal seperti itu. Dia selalu berusaha yang terbaik agar dia bisa diakui sejajar dengan kakaknya, tapi tidak berhasil. Itu benar-benar membuat frustrasi, jadi aku bisa memahami amarahnya ketika orang lain mengemukakan hal itu.
“Ini bukan tentang komentar spesifik itu—ini tentang bagaimana dia mengaku kalah bahkan sebelum pertandingan dimulai. Maksudku, tentu saja kau akan kalah dengan seseorang yang lebih berdedikasi pada olahraga. Dan kemudian dia mencoba untuk ‘menyamakan’-ku dengannya, seolah-olah aku adalah pecundang berat seperti dia. Itulah yang membuatku kesal.” Dia berhenti sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam dan kemudian melanjutkan dengan bisikan dekat, “Tapi aku yakin kau berpikiran bahwa akulah yang bajingan karena memikirkan itu.” Dia menutup matanya dan menggaruk pipinya.
Aku mengangguk. “Ya, begitulah. Tapi itulah yang aku suka darimu.”
Matanya terbuka lebar, dan dia menatapku dengan terkejut. “M-Mulai lagi merayuku. Kau gagal, Senpai,” dia tergagap. “Tapi, kurasa aku bukan orang yang pantas untuk menjelek-jelekkan mereka.”
“Apa maksudnya?” tanyaku.
“Kurasa aku sudah menyinggung ini sebelumnya, tapi itu ada hubungannya dengan apa yang terjadi di antara aku dan Hasaki-senpai yang semakin renggang. Itu… tidak keren untukku,” katanya. Dia berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan, “Aku memiliki rasa rendah diri saat itu berhubungan dengannya. Aku akan memberitahumu apa yang terjadi, tapi jangan tertawa, mengerti?”
“Tak masalah. Mau duduk dan membicarakannya?”
Berdiri di bawah sinar matahari tidak bagus untuk kami, jadi kami mungkin harus mencari tempat yang sejuk. Aku melihat beberapa bangku di dekat sini, jadi aku menunjukkannya pada Touka. Kami menuju ke sana, dan setelah kami duduk, dia melanjutkan percakapan.
“Dulu waktu aku SD, aku bermain tenis dari kelas 3 sampai kelas 5. Kakakku juga bermain tenis saat itu. Dan karena aku tidak ingin kalah darinya, aku mengikuti jalannya dan mulai bermain juga.” Dia berhenti sebentar, sedikit gelisah, dan melanjutkan, “Sebenarnya, aku cukup mahir bermain tenis. Dan karena aku cukup bagus, aku mencurahkan lebih banyak waktu dan upaya ke dalamnya. Aku akhirnya menghadiri banyak acara tenis selama tahun pertamaku, dan aku melakukannya dengan baik. Aku berencana untuk terus melakukannya dan menunjukkan kepada semua orang betapa hebatnya aku… sampai Hasaki-senpai mulai bermain juga.”
Dia berhenti lagi dan menatap kosong ke kejauhan. Dia mungkin mengingat apa yang terjadi. Setelah beberapa saat, dia melanjutkan, “Pada awalnya, jujur saja, dia… sangat buruk. Kami masih akrab, dan aku benar-benar membantunya dengan banyak hal. Dia mengerahkan yang terbaik dan perlahan tapi pasti, menjadi lebih baik dalam hal itu. Melihatnya berkembang memotivasiku juga. Seperti, aku ingin terus berlatih dan meningkatkan diri, tahu?”
Dia mengepalkan tangannya dan berkata, “Itu terjadi di acara terakhir selama tahun terakhir kami di SD. Sampai saat itu, aku tidak pernah kalah dalam satu pertandingan pun melawannya… tapi itu adalah pertama kalinya aku kalah. Aku tidak memenangkan satu game pun, dan itu membuatku syok. Aku mulai bermain lebih dulu darinya, tapi dia menjadi lebih baik, bahkan setelah semua yang aku tuangkan ke dalamnya. Tampak seperti dia langsung menyusulku, dan itu membuatku sangat kesal terhadapnya. Tapi dia sangat menyukai tenis. Aku tahu betapa keras usahanya untuk sampai ke posisinya sekarang. Jadi aku akhirnya mengakui kekalahanku dan benar-benar menyerah. Aku bahkan tidak repot-repot terus berlatih untuk mencoba dan menjadi lebih baik darinya. Aku hanya… Aku hanya menyerah begitu saja.”
Kupikir ini adalah pertama kalinya aku melihatnya seperti ini—dia sangat sedih.
“Dan saat itulah aku pada dasarnya menyerah pada tenis. Dia tidak menyukai fakta bahwa aku telah berhenti, dan kami bertengkar. Aku masih ingat apa yang dia katakan padaku—‘Bagaimana bisa kau berhenti setelah kalah dalam satu pertandingan?! Berlatihlah lebih banyak, dan kau dapat membalas dendam! Kalau tidak, apa gunanya semua upaya yang telah kau lakukan selama ini?!’”
Dia menatapku untuk mengukur reaksiku dan kemudian lanjut bicara, “Tapi aku hanya merasa tidak ingin melanjutkannya. Aku akhirnya balik membentak, ‘Mana mungkin aku bisa mengharapkan kau untuk memahami bahwa tidak peduli seberapa kerasnya aku berlatih, aku tidak akan pernah melampauimu?!’”
Ini adalah masa dimana dia berjuang menghadapi masalah rendah dirinya sebagai “adik Haruma,” jadi itu sebabnya dia begitu cepat kehilangan keinginannya untuk berjuang. Hasaki mungkin tidak cukup mengetahui keadaannya untuk bisa memahaminya, dan hal itu menyebabkan kesalahpahaman besar.
“Sejak saat itu, kami tidak pernah banyak bicara. Dia berbicara tentang tenis terus-menerus, dan kapan pun dia melakukannya, aku merasa buruk. Itu hanya memunculkan semua perasaan buruk itu lagi, jadi aku hanya ingin menjauh dari semua itu. Aku hanya ingin melarikan diri setiap kali itu terjadi. Bagaimanapun, begitulah ceritanya. Aku yakin aku sudah membuatmu bosan dengan cerita ini, benarkan, Senpai?”
Pada akhirnya, menurutku mereka berdua kehilangan sesuatu. Aku harus jujur padanya soal ini. “Ya, Jujur saja, itu adalah cerita yang antiklimaks,” kataku.
“Sudah kuduga. Benar-benar cerita yang membosankan dan bodoh,” jawabnya dengan sedikit pahit. Dia tampak seperti hampir menangis sekarang. Sial, kupikir aku terlalu tidak pengertian; Aku belum pernah melihatnya bertingkah seperti ini. Bagaimana aku harus bereaksi?
“Menurutku, datang ke sini untuk mendukung Hasaki harusnya menjadi bukti bahwa kau tidak melarikan diri lagi, kan?” kataku.
Dia mengangkat kepalanya, menarik napas dalam-dalam, menatap lurus ke mataku, dan berkata, “Ku… Kurasa begitu. Aku memberitahunya untuk tidak lari dari masa lalu, tapi pada akhirnya, akulah yang lari. Akulah yang terburuk.”
Mungkin aku harus menanyakan lebih banyak detailnya, tapi kupikir aku sebaiknya tidak menanyakannya sekarang. Dia sudah cukup banyak memberitahuku, jadi menurutku mendorongnya bukanlah hal yang benar untuk dilakukan. Faktanya, dia merasa tak berdaya oleh Hasaki. Mungkin dia hanya tidak yakin tentang semuanya sekarang.
“Jujur saja, menurutku, dapat mengakui kesalahanmu dan berusaha memperbaikinya adalah hal yang cukup keren,” kataku. Aku meletakkan salah satu tanganku di kepalanya dan mengacak-acak rambutnya. Ini adalah saat dia biasanya meneriakkan sesuatu seperti, “Kau merusak suasana!” Tapi kali ini, dia tidak melakukannya.
Sebaliknya, dia menatapku dan berteriak “Apa?!” Wajahnya menjadi merah padam, dan mata kami saling bertatapan.
Sial, mungkin aku bertindak terlalu kelewatan? Apakah aku melewati batas? Aku melepaskan tanganku sebelum terjadi bencana dan mencoba mengubah topik pembicaraan dengan cepat. “Ngomong-ngomong, mungkin kita harus kembali ke lapangan untuk melihat bagaimana kabar Hasaki.”
“Ya. Jika kita tetap berduaan sedikit lebih lamalagi, kau hanya akan mulai mencoba masuk ke dalam celanaku lagi,” jawabnya, wajahnya masih merah seperti tomat.
TL Note: Hmmm, taulah apa maksudnya
Sial, sudah kuduga dia tidak suka itu. Aku harus menghindari melakukan hal-hal seperti ini sebisaku. Aku tidak ingin dia merasa sangat canggung di dekatku. Kami kembali ke lapangan tenis. Kami meninggalkan Ike sendirian di tribun; semoga kami tidak membuatnya terlalu mengkhawatirkan kami.