Chapter Dua: Keluarga Salju
2
“Selamat datang kembali,” kata Luina saat mereka memasuki rumah.
“Kami pulang! Brr, di luar sana sangat dingin!”
Myuke menggantung syalnya di sandaran kursi dan berjongkok di depan perapian. Dia sangat galak ketika dia meninggalkan rumah, tapi udara luar yang segar tampaknya telah menjernihkan pikirannya. Dia kembali ke dirinya yang biasa.
Senyum bahagia Bram mungkin muncul di benak Myuke saat dia memilih kue, membuatnya menyadari betapa dia mencintai Bram. Begitu Myuke meminta maaf, Bram pasti akan mengikutinya, dan hubungan mereka akan baik kembali.
Berharap kebahagiaan tanpa beban, yang sudah biasa Anima rasakan, akan segera kembali, Anima berbicara kepada Luina.
“Ada bau sedap. Apakah kamu sedang memasak?”
“Oh, kamu sadar? Kupikir bau kayu bakar akan menutupinya.”
“Aku menyukai aroma masakanmu hampir sama seperti aku mencintaimu. Itulah sebabnya memakan masakanmu selalu menjadi bagian terbaik dalam hariku.”
“Bagaimana kalau kita makan jika itu membuatmu sangat bahagia?” tawa Luina.
“Tak perlu dikatakan lagi; Aku kelaparan. Bagaimana denganmu, Myuke?”
“Aku juga kelaparan. Kurasa kita harus menyimpan ini untuk nanti, ya?” usul Myuke, mengangkat kotak kue.
“Apa yang kalian beli?”
“Myuke memilih beberapa kue mini untuk semuanya.”
“Aku memilihkan Ibu kue coklat dan kue tar buah!”
“Oh, terima kasih banyak! Itu adalah favorit Ibu!”
Saat melihat senyum puas Luina, Myuke merayakan keberhasilannya memilih kue.
“Sama-sama! Ada dua untuk semua orang; kita bisa memakannya setelah makan siang.”
“Akan lebih enak jika kita memakannya nanti sore, saat kita sedikit lapar. Aku yakin mereka berdua akan segera kembali, jadi kita harus menyiapkan makan siang untuk semuanya. Bisakah kamu membantuku, Anima?”
“Tentu saja, tapi di mana mereka? Aku bahkan belum mendengar suara mereka sejak kami pulang. Oh tidak! Bagaimana jika mereka berkeliaran di hutan?!”
“Jangan khawatir, mereka ada di atas.”
“Di atas? Apakah mereka sedang menggambar?”
“Tidak, mereka sedang ganti pakaian. Kami pergi ke luar memetik kubis untuk makan siang, dan mereka berdua jatuh terlentang. Pakaian mereka benar-benar basah kuyup.”
“Gadis-gadis baik. Aku sangat bangga dengan mereka.”
Saat Anima memuji mereka, dia mendengar suara langkah cepat Marie. Dia masuk ke ruang makan, diikuti dengan lamban oleh Bram.
“Kayian puyaang!” Dia bergegas ke Anima dan memeluknya erat-erat. “Aku bancu Ibu! Aku menayik kubis, dan, dan, kubisna sangat besar!”
“Wow, itu luar biasa. Ayah tidak sabar untuk memakan kubis yang kamu petik. Ayah juga bangga padamu, Bram.”
Bram dengan malu-malu melihat ke lantai. Dia merasa canggung di depan Myuke, tapi pujian Anima berhasil membuat wajahnya sedikit tersenyum.
“T-Tentu saja aku akan membantu, oce? Ngomong-ngomong, mana tempat tidurnya? Apakah Ayah meminta mereka untuk mengirimkannya?”
“Kami belum membelinya.”
“Oh… Yah, tidak ada bedanya bagiku, oce?”
Dia bersikap acuh tak acuh, tapi wajahnya tidak berbohong. Dia tampak lega bahwa dia tidak harus berhenti tidur bersama kakaknya tercinta.
“Myukey, apa icu?”
“Kue mini.”
“Kue?! Woo hoo! Aku cuka kue!”
“Dan ada dua untuk semua orang!”
“Dua uncuk cemua oyang?!”
Marie langsung melompat ke kue yang dijanjikan. Dia melepaskan Anima dan meringkuk ke Myuke, menatapnya dengan mata seperti anak anjing.
“Kita akan memakannya setelah makan siang. Kita harus keluar dan bermain salju dulu. Itu akan membuat kue ini terasa dua kali lebih enak! Aku janji!”
“Yeeey!” Marie menanggapi dengan senyum lebar, lalu duduk menunggu makan siang.
Dengan anak-anak di ruang makan, Anima mengikuti Luina ke dapur. Dia telah menyiapkan kol goreng, telur, dan bacon untuk makan siang. Mereka berdua meletakkan porsi semua orang di piring, mengiris sepotong roti, mengisi beberapa gelas dengan susu, lalu membawa jamuan ke meja.
“Terima kasih atas makanannya!” senandung Marie sebelum mereka mulai makan.
Meskipun ruangan terasa jauh lebih santai daripada pagi tadi, Bram dan Myuke masih tidak saling bicara. Myuke sepertinya merasa terlalu canggung untuk berbaikan dengan adiknya di meja makan.
“Enyaaak!”
Marie pasti kelaparan; dia membersihkan piringnya lebih cepat dari yang lain. Dia melirik-lirik penuh harap ke kotak kue yang ada di atas meja, tapi dia menepati janjinya dan tidak meminta satu pun.
“Terima kasih, Luina. Seperti biasa, masakanmu enak. Baiklah, anak-anak, biarkan Ayah yang mencuci piring. Pergilah keluar dan bermain salju; itu akan membuat kalian sangat lapar untuk makan kuenya.”
“Aku akan keluar nanti,” kata Myuke. “Aku ingin menggambar sekarang. Marie, apa kamu mau menggambar bersamaku?”
“Uh-huh! Aku mau gambay kita mayin calju!”
“Aku tidak sabar untuk melihatnya!”
Myuke dan Marie menuju ke atas, sementara Bram mulai mengumpulkan piring.
“Kamu bisa pergi dan bermain dengan mereka,” kata Anima pada Bram.
“Aku tidak bisa membiarkan Ayah yang melakukan semua pekerjaan, oce? Ibu istirahatlah. Aku akan membantu Ayah, oce?”
Luina selalu ingin melakukan bagian tugasnya, tapi dia tidak bisa mengabaikan permintaan tulus Bram.
“Kamu baik sekali, Bram. Terima kasih.”
Tersipu karena pujian Luina, Bram mengambil piring dan dengan cepat berjalan ke dapur. Anima mengambil cangkir dan mengikutinya. Mereka berjalan keluar dari pintu belakang dan menuju sumur, di mana mereka lanjut mencuci piring.
“Ayah, aku perlu berbicara dengan Ayah tentang sesuatu, oce?” katanya dengan nada serius saat mereka berdua saja.
“Apa itu?”
“Aku ingin berbaikan dengan Myuke, oce?”
“Benarkah?! Kamu mau berbaikan?!” sorak Anima. Itu adalah kalimat yang dia tunggu-tunggu. Dengan Myuke dan Bram keduanya berbaikan, pertengkaran mereka pasti akan berakhir. “Ayo beri tahu Myuke sekarang juga!”
“A-Aku tidak bisa melakukan itu, oce?”
“Kenapa tidak? Kamu ingin berbaikan, kan?”
“Aku mau! Aku mau, oce…?”
“Apakah kamu khawatir dia tidak akan memaafkanmu?”
Bram mengangguk lemah. Anima sangat tidak tahan untuk memberitahu Bram bagaimana perasaan Myuke sebenarnya, tapi itu tidak akan ada artinya jika dia tidak mendengarnya langsung dari mulut orang yang bersangkutan. Terlebih lagi, ada kemungkinan—meskipun sangat kecil—bahwa Anima salah paham tentang perasaan Myuke. Jika itu yang terjadi, itu pasti akan membawa bencana.
Selama Bram melakukan permintaan maaf yang tulus, aku pikir Myuke akan memaafkannya pada akhirnya.
Anima yakin Myuke akan memaafkan Bram. Myuke telah memikirkan baik-baik pilihan kuenya, dan akhirnya memutuskan dua rasa yang pasti akan disukai Bram, berharap hadiah yang tulus seperti itu akan meredakan ketegangan. Tidak diragukan lagi kalau Myuke juga ingin berbaikan.
Satu-satunya yang tersisa adalah Bram mengumpulkan keberanian untuk mengambil langkah pertama. Namun, pertama-tama, Bram harus mencari tahu asal keberaniannya. Jika dia memiliki hadiah sendiri untuk diberikan kepada Myuke, kemungkinan itu akan cukup untuk memberinya dorongan terakhir.
“Aku sangat jahat pada Myuke, oce? Aku menghancurkan manusia saljunya, lalu menjadi keras kepala dan mengatakan hal-hal yang sangat buruk padanya…”
“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri; semua orang mengatakan hal-hal jahat ketika mereka sedang bertengkar. Lagipula, kamu tidak bermaksud untuk menghancurkan manusia saljunya.”
“Itu tidak penting, oce? Intinya, aku menghancurkannya dan hanya itu.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita membuat manusia salju sama-sama?” usul Anima dengan riang, untuk mencoba menyeret Bram keluar dari keterpurukannya.
“Apakah menurut Ayah dia akan memaafkanku jika kita melakukan itu? Oce…”
“Ayah yakin dia akan memaafkanmu jika kita membuat manusia salju yang bagus dan meminta maaf dengan sangat tulus.”
Kepercayaan diri Anima jelas menular pada Bram, ketika Bram langsung membuat bola salju dan mulai menggelindingkannya di tanah.
“Aku akan membuat badannya. Ayah fokus di kepalanya, oce?”
“Serahkan pada Ayah! Ayah akan membuat kepala manusia salju terbaik yang pernah ada di dunia ini!”
Anima mulai mengerjakan bagian manusia saljunya, sambil mengawasi bagian Bram agar kepalanya tidak lebih besar dari tubuhnya.
“Ini sudah cukup bagus, oce? Ayah, bisakah kamu membawa kepalanya ke sini?”
Anima mengambil bola saljunya, yang seukuran kepalanya sendiri, dan meletakkannya di badan yang dibuat Bram. Dengan melakukan itu, Anima telah menyelesaikan manusia salju mereka—yang terletak tepat di sebelah manusia salju kecil nan imut yang dibuat Marie kemarin.
“Aku ingin menempatkan mereka di samping satu sama lain agar mereka tidak kesepian, oce?” jelas Bram.
“Mereka terlihat seperti kakak adik.”
“Punya Marie adalah yang adik dan punyaku adalah yang kakak. Dan seorang kakak harus terlihat sama bagusnya dengan adik-adiknya, oce?!”
Bram mulai menggosok manusia salju dengan telapak tangannya. Dia akan memolesnya sampai mengkilap seperti yang dibuat Myuke.
“Tanganmu nanti kedinginan lho.”
“Ini bukan apa-apa, oce? Sementara aku menyelesaikan ini, bisakah Ayah mencari beberapa kerikil dan ranting untukku?”
Setuju untuk membantunya, Anima menuju gerbang depan dan berjalan ke dalam hutan. Dia dengan cepat memungut beberapa kerikil, sehelai daun, dan dua ranting, lalu kembali ke kebun. Ketika dia kembali, dia melihat manusia salju Bram dengan tagap berkelap-kelip di bawah sinar matahari.
“Itu indah; kerja bagus. Dan lihat, ini semua yang kamu butuhkan.”
“Makasih, oce?”
Bram menggunakan kerikil sebagai matanya, membuat mulutnya dari daun, dan menusukkan ranting di setiap sisi sebagai lengannya. Setelah menambahkan bagian-bagian itu, manusia saljunya akhirnya selesai. Manusia saljunya memancarkan energi seorang kakak yang dapat diandalkan.
“Wow! Jadinya bagus!”
“Ini mahakarya, oce?”
“Apakah kamu yang membuatnya?” tanya sebuah suara dari belakang, mengagumi hasil ciptaan mereka.
Bram berbalik dan menegang saat menghadap ke sumber suara: Myuke. Bram pasti gugup, tapi dia tidak boleh kehilangan kesempatan ini. Dia maju selangkah saat Anima dengan ringan mendorong punggungnya.
“Aku minta maaf soal manusia saljumu, oce?!”
“Aku benar-benar minta maaf soal kemarin!”
Keduanya saling berteriak secara bersamaan. Myuke kemudian mengulurkan gambar, menyerahkannya pada Bram yang benar-benar bingung.
“A-Apakah ini…”
“Aku menggambar kita yang sedang bermain perang bola salju. Aku tidak bermain denganmu kemarin, jadi kupikir aku setidaknya bisa menggambar aku yang bermain denganmu. Aku akan sangat senang bisa bermain perang bola salju denganmu… Itu jika kamu tak keberatan setelah semua yang terjadi ini.”
“Tentu saja! Aku benar-benar ingin bermain perang bola salju denganmu, oce?!”
Melihat Bram, yang dengan gembira menganggukan kepalanya, membuat Myuke tersenyum lebar. Dia kemudian melihat manusia salju yang baru dibuat.
“Jadi, apakah kamu yang membuat ini?”
“Ayah dan aku membuatnya bersama-sama. Aku menghancurkan yang kamu buat kemarin, dan yang ini mungkin tidak sebagus yang kemarin, tapi… kami sudah berusaha, oce?”
“Gak kok; manusia saljumu sangat imut! Jauh lebih imut dari punyaku!”
“Benarkah?! L-Lalu, umm… Apakah kamu memaafkanku?”
“Ya, tentu saja! Sejujurnya aku tidak tahu kenapa aku berbuat begitu kemarin. Tidak, bukan hanya kemarin; Aku juga sangat kasar padamu pagi ini. Dan aku seharusnya yang paling dewasa… Sungguh lucu.”
“J-Jangan bilang begitu! Kamu kakak yang luar biasa, oce?!”
“Bram… Terima kasih. Aku sangat senang punya adik sepertimu.”
Senyum cemerlang menyebar di wajah Bram saat kata-kata itu keluar dari mulut Myuke. Menyaksikan dari samping, rasa lega yang kuat menyelimuti Anima.
Syukurlah!
Butuh seratus tahun pelatihan dan pertempuran yang melelahkan untuk dinobatkan sebagai Raja Iblis, namun tidak pernah dalam hidupnya dia merasakan bahaya yang begitu kuat saat dia menyaksikan putrinya bertengkar. Pada suatu titik, dia, yang tidak tahu bagaimana pertengkaran itu akan berakhir, merasa sangat ketakutan, tapi untungnya, kehidupan keluarganya yang riang akan segera kembali.
Sementara Anima menikmati momen kebahagiaan murninya, Myuke tampaknya telah menemukan sebuah ide.
“Karena sudah ada dua di sini, bagaimana kalau kita membuat manusia salju ketiga? Tiga beradik, sama seperti kita bertiga!”
“Itu ide yang bagus, oce?! Kita masih memiliki kerikil dan ranting, jadi kita bisa mulai sekarang! Ayah, bisakah kamu memegang ini untukku?”
“Ayah akan melindungi ini dengan nyawaku.”
Anima mengambil gambar Myuke dari Bram dan memegangnya, melihat gadis-gadis itu membuat manusia salju ketiga. Dengan mereka berdua yang mengerjakannya, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menyelesaikannya.
“Sudah selesai! Ini yang terbesar, jadi itu kamu, Myuke, oce?”
“Ya, itu aku. Sekarang kita bertiga adalah manusia salju!”
“Mereka semua terlihat sangat mengesankan; kerja bagus. Apakah kalian ingin membuatkannya untuk Ayah dan Ibu juga?”
“Itu akan luar biasa, oce?!”
“Ya, ayo kita lakukan!”
Mereka segera bergegas membuat manusia salju lain, menikmati setiap saat bekerja bersama-sama. Sementara mereka sibuk melakukan itu, Marie berlari keluar rumah.
“Ayah! Myukey! Brum! Ayo mamam kue!”
“Oh, benar! Kamu membelikan kami kue! Aku hampir kelupaan, oce?”
“Aku memilih kesukaanmu!”
“Kamu membelikanku Mont Blanc?! Oce!”
“Tentunya! Aku juga membelikanmu kue keju.”
“Kau mengenalku luar dalam, oce?!” Bram memeluk Myuke dengan erat. “Aku sangat menyayangimu!”
“Aku juga! Aku juga cayang Myukey!”
Marie memeluk mereka berdua. Dia tidak tahu apa yang terjadi saat dia berada di dalam, tapi melihat kakak-kakaknya berpelukan, dia tidak bisa menahan diri untuk ikut nimbrung.
Ketika mereka akhirnya berhenti berpelukan, mereka berjalan melalui pintu belakang, di mana aroma manis menyambut mereka dari dingin menusuk. Luina sedang berdiri di depan panci, menghangatkan sesuatu.
“Kalian tepat waktu untuk minum susu hangat yang enak.”
“Aku mau bantu!” seru Marie.
Bram dan Myuke mengelus gadis kecil yang membanggakan itu.
“Kamu gadis yang sangat baik, oce?”
“Ya, benar! Tapi dia bukan satu-satunya yang membantu di rumah hari ini, kan? Kamu juga gadis yang sangat baik, Bram.”
“Oh, hentikan. Aku tidak lebih baik darimu, oce?”
Luina menyaksikan dengan senyum lembut saat kedua putri sulungnya saling memuji. Luina tidak pernah menunjukkan satu pun tanda kekhawatiran selama dua hari mereka bertengkar, dan mungkin selama ini sudah tahu bagaimana pertengkaran itu akan berakhir.
Aku harus menjadi orang tua yang tenang dan kalem sepertinya, pikir Anima dalam hati sambil membawa beberapa gelas susu hangat ke ruang makan. Gadis-gadis itu telah duduk, tapi kegembiraan mereka tidak berkurang sedikit pun.
“Ayo minum susu ini, makan kue kita, dan kembali membuat manusia salju, oce?!”
“Kami membuatkan Ibu dan Ayah!”
“Aku juga bantu!”
“Ibu juga ingin membantu.”
Luina ingin bermain dengan anak-anak. Di luar sangat dingin, tapi itu tidak masalah baginya; dia telah terkurung di rumah selama beberapa minggu terakhir. Mendapatkan udara segar tentu baik untuknya, dan bermain salju bersama anak-anak akan menjadi kenangan indah baginya.
“Kita harus membuat manusia salju Luina menjadi luar biasa indah,” kata Anima.
“Dan kita harus membuat manusia salju Anima sangat keren,” tambah Luina.
“Serahkan saja pada kami! Tidak ada yang tidak bisa kami lakukan ketika kami bekerja sama! Bukankah begitu?”
Marie dan Bram mengangguk gembira. Ketiga kakak beradik itu tidak sabar memenuhi tantangan tersebut sebagai sebuah tim.