Epilog: Kehangatan
Luina terjatuh lagi keesokan harinya. Mereka berlima baru saja selesai bersih-bersih setelah sarapan ketika Luina tiba-tiba menjadi pucat dan berhenti untuk bersandar di meja guna menopang tubuhnya sendiri. Air mata mulai berlinang di mata Luina dan dia menutup mulutnya dengan tangan untuk melawan rasa mualnya.
Meskipun semua orang panik, Anima berhasil tatap tenang hingga bisa menuangkan segelas air untuk Luina. Mereka mengira gejala kemarin akan menghilang oleh sinar pertama mentari pagi, tapi tampaknya jelas tidak begitu. Luina dengan hati-hati menyesap airnya dan menarik beberapa napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
“Maaf sudah membuat kalian khawatir.”
“Kamu tidak perlu minta maaf; Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Apakah kamu masih merasa mau muntah?”
“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Luina sambil tersenyum. Rasa mualnya tampaknya sudah hilang, tapi masih ada masalah mendasar karena tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Pikiran bahwa Luina mungkin mengidap penyakit serius yang tidak diketahui membuat tulang punggung Anima merinding.
“Apakah Ibu yakin Ibu baik-baik saja?” tanya Myuke. “Jangan memaksakan diri.”
“Apakah Ibu masuk angin?” tambah Bram. “Kami tahu kalau Ibu tidak demam, tapi beri tahu kami jika Ibu lelah, oce?”
“Iya.”
Tidak ada yang tampak aneh pada Luina ketika dia bangun. Semuanya baik-baik saja sampai rasa mualnya menyerang, jadi kemungkinan kalau dia berbohong untuk menjaga semangat anak-anak sangat tipis, tapi itu hanya membuat Anima semakin khawatir. Ketakutannya akan suatu penyakit yang tidak diketahui telah menimpa Luina semakin besar, diperkuat oleh informasi bahwa serangan mual acaknya akan terus terjadi sampai mereka menemukan obatnya.
“Kalau bukan masuk angin, aku tidak tahu lagi kenapa, oce?”
“Mungkinkah aku memakan sesuatu yang basi?” usul Luina dengan ragu-ragu. Dia pasti mengira kondisinya akan hilang pada pagi hari, yang membuatnya sama bingungnya dengan orang lain.
Anak-anak terlihat khawatir, dan Anima siap meledak karena frustrasi, tapi dia harus menenangkan diri. Luina sudah terguncang oleh situasi ini, dan Anima yang mengamuk tidak akan ada gunanya. Dia harus tetap tenang dan sabar.
“Makanannya tidak basi sama sekali. Rasanya enak, seperti biasa,” kata Anima.
“Ya, pasti. Itu sangat lezat. Menurutku kalau itu jelas bukan penyebabnya.”
“Ibu baru saja sakit tempo hari, jadi mungkin karena di luar dingin, oce?”
“Aku akan buat Ibu hangat!”
Pelukan hangat Marie membuat wajah Luina tersenyum.
“Kamu sangat hangat, Marie, tapi Ibu tidak kedinginan sama sekali, kok.”
Suhunya cukup nyaman di ruang makan berkat nyala api yang berayun lembut di perapian. Bahkan Bram pun tampak baik-baik saja, jadi kondisinya tidak mungkin disebabkan oleh cuaca. Tapi jika bukan karena itu, maka Anima sudah tidak tahu lagi. Tidak ada yang terlintas dalam pikirannya tidak peduli seberapa banyak dia merenungkannya, meninggalkan mereka hanya dengan satu pilihan.
“Kita perlu membawamu ke dokter.”
“Ya,” angguk Myuke. “Aku juga tidak tahu. Kita sebaiknya menyerahkannya pada seorang profesional.”
“Kalau begitu, sudah diputuskan. Aku akan membawakan dokter terbaik di negara ini—tidak, di dunia ini! Tunggu saja di sini!”
“K-Kamu tidak perlu sampai sejauh itu.”
Luina buru-buru mencoba menghentikannya. Anima berbalik untuk bertindak, tapi Luina tampak sedikit kesal. Satu-satunya orang yang tahu bagaimana perasaan Luina adalah dirinya sendiri, dan dia tidak yakin kalau kondisinya perlu untuk memanggil seorang dokter.
Sementara Anima mengerti bagaimana perasaannya, itu tidak mengubah apa yang harus dia lakukan. Anima akan memastikan mereka bertindak sebelum terlambat, dan bahkan protes Luina pun tidak bisa menghentikannya. Jika Luina sedang berjuang melawan penyakit yang mengerikan, menunda pengobatan meski untuk satu hari pun dapat membahayakan kehidupan bahagia dan riang yang telah mereka perjuangkan mati-matian. Anima tidak akan menyerah setelah berurusan dengan Malshan dan meminta ampunan dari raja langsung. Dia tidak mau kehilangan kebahagiaannya, dan dia akan menghancurkan apa pun yang mengancamnya, mau itu manusia atau pun yang lainnya.
“Siapa dokter terbaik di dunia ini dan di mana aku dapat menemukannya?”
“Tidak tahu, tapi yang terbaik di negara ini pasti ada di Ibukota.”
“Mungkin dokter yang melayani raja, oce?”
Hampir tidak mungkin bagi orang biasa untuk menginjakkan kaki di ruang singgasana, tapi Anima bukanlah orang biasa. Jika dia meminta bantuan Shaer, mendapatkan pertemuan lain dengan raja sangatlah mungkin.
“Ayah akan pergi. Jagalah Luina untuk Ayah, anak-anak.”
“T-Tunggu!” Luina menghentikannya sekali lagi. “Tidak perlu jauh-jauh ke Ibukota.”
“Jangan konyol. Aku akan membawakanmu dokter terbaik dan obat terbaik, bagaimana pun caranya. Meskipun aku harus merobek taring naga dari mulutnya atau menguras darah burung phoenix, apa pun bukan masalah.”
“Itu mungkin akan membuatnya keracunan makanan, oce?”
“Aku bahkan belum pernah mendengar tentang burung phoenix.”
Taring naga dan darah phoenix adalah dua obat paling efektif di dunia lama Anima, tapi itu mungkin tidak ada di dunia barunya, sebagaimana dibuktikan oleh lelucon anak-anaknya.
“Anima, dengar. Aku tahu kalau kamu hanya menginginkan yang terbaik untukku, tapi tidak perlu sampai pergi ke ibu kota. Aku tidak ingin kamu pergi selama berhari-hari.”
Luina sepenuhnya benar; membawa kembali seorang dokter akan memakan waktu beberapa hari. Anima akan bisa melakukan perjalanan dalam sehari jika dia pergi sendiri, tapi membawa seseorang adalah cerita lain. Dia merasa bahwa manusia tidak diciptakan untuk melakukan perjalanan yang hampir seperti supersonik, jadi dia tidak bisa menangkap seseorang dan berlari pulang bersamanya.
“Aku tidak bisa hanya duduk diam di sini dan melihatmu menderita. Biarkan aku melakukan sesuatu untukmu!”
Luina memejamkan matanya sejenak, lalu menunjukkan senyum hangat dan penuh kasih sayang.
“Aku sangat senang memiliki seseorang yang sangat mencintaiku dalam hidupku.”
“Aku juga sama bahagianya, dan aku tidak ingin kebahagiaan ini hilang dari hidupku. Aku ingin melindunginya bagaimana pun caranya, jadi tolong, beri tahu aku apa yang harus aku lakukan.”
“Oke, kalau begitu, bisakah kamu melakukan sesuatu untukku?”
“Apa saja,” kata Anima tanpa ragu sedikit pun. Dia siap melakukan apa saja untuk istrinya, dan dia akan membuktikannya. “Apa pun yang kamu butuhkan, aku akan mewujudkannya.”
“Aku tidak ingin kamu pergi ke ibukota, tapi aku ingin mengunjungi dokter di Garaat. Maukah kamu ikut bersamaku?”
“Tentu saja! Kita akan pergi sekarang juga!”
“Itu memang bagus sih,” sela Myuke, “tapi Ibu perlu istirahat sekarang. Akan lebih baik jika Ayah menyuruh mereka saja yang datang ke sini.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukan itu?” Anima siap melakukan apa pun yang diminta Luina darinya, tapi solusi Myuke tampaknya jauh lebih baik. Luina berpikir sejenak, mengangguk, lalu duduk. “Jadi, di mana dokternya tinggal?”
“Mereka tinggal tepat di belakang Serikat Hunter. Itu adalah bangunan satu lantai beratap merah. Kamu tidak akan melewatkannya.”
“Atap merah tepat di belakang Serikat. Oke, aku pergi!”
Dia melesat keluar rumah dan berangkat menuju Garaat. Seolah-olah dia adalah naga kuno yang terbang ke langit, pohon-pohon di sepanjang jalannya bergetar hebat, menumpahkan dahan dan daun setelah ledakan kuat udara yang diciptakan oleh kecepatannya yang luar biasa. Dia tiba di Garaat dalam sekejap mata, dan segera mendarat ke atap agar terhindar dari melukai orang yang lewat.
“Itu dia!” Serikat Hunter adalah gedung tertinggi di kota. Melompat melewatinya, Anima mendarat di atap merah—atap rumah dokter. Dia melompat turun dan mulai menggedor pintu kayu bangunan tersebut. “Dokter! Dokter, apakah kamu ada di dalam?!”
Beberapa saat kemudian, pintu perlahan terbuka, ditarik oleh seorang wanita tua.
“Iya, iya! Ya Tuhan, tenanglah! Kami kehabisan obat mabuk; kamu harus pergi ke apotek di jalan utama!” gerutunya, menatap Anima dengan mata lelah. Dia tampaknya telah berurusan dengan pasien mabuk akhir-akhir ini, dan sementara Luina memang mual, dia jelas tidak mabuk.
“Saya ingin Anda ikut dan melihat istriku! Dia tidak minum alkohol, tapi dia mual sejak kemarin. Ayo, saya akan membawa Anda ke panti asuhan.”
“‘Panti asuhan’?” Wanita itu mengangkat alis. “Apakah maksudmu rumah Scarlett?”
“Ya, itu rumah Luina. Anda kenal dia?”
“Semua orang kenal Scarlett, sayang. Kurasa kamu suaminya Luina, ya?”
“Saya Anima, tapi mari kita lewati basa-basinya. Saya ingin Anda ikut denganku segera.”
“Aku akan kesana, aku kesana. Tunggu sebentar.”
Dia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil tasnya.
“Bisakah Anda lari?” tanya Anima.
“Kakiku cepat saat aku masih muda, tapi hari-hari itu sudah lama berlalu. Aku tentunya bisa mengumpulkan beberapa tenaga jika kamu ingin aku lari bersamamu, tapi jangan mengharapkan keajaiban.”
“Tidak, tidak apa-apa. Saya tidak ingin Anda memaksakan diri. Saya sudah sangat bersyukur bahwa Anda bersedia melihatnya dalam waktu mendadak seperti ini.”
“Astaga, kamu benar-benar pria sejati, sayang. Aku akan membuatmu berlutut dan melamarku di sini sekarang juga jika aku sepuluh tahun lebih muda.”
“Maaf, tapi perasaan itu tidak akan pernah terbalas. Luina adalah satu-satunya wanita yang saya cintai.”
“Aku bercanda, sayang. Santailah sedikit,” dia terkikik pada diri sendiri. Sepertinya dia sudah tahu pria seperti apa Anima itu.
Bagaimanapun juga, Anima merasa lega. Dokter itu tampak seperti wanita yang sangat baik dan lembut, yang akan merawat Luina dengan baik. Yang dia butuhkan sekarang adalah agar mereka bergegas. Anima berterima kasih atas tanggapannya yang cepat, tapi dengan kecepatan yang mereka tempuh sekarang, itu akan memakan waktu berjam-jam bagi mereka untuk sampai.
“Bisakah Anda naik ke punggungku? Saya akan berlari ke rumah, tapi saya akan melakukannya dalam kecepatan wajar agar Anda tidak terluka.”
“Tentu saja. Aku selalu senang merasakan semangat para anak muda.”
Meskipun dia jauh lebih tua dari Anima, dia merasa kalau dokter itu tidak bercanda.
“Beri tahu saya jika saya mulai terlalu cepat,” kata Anima, lalu menempatkan wanita itu di punggungnya, naik ke atap, dan berangkat menuju rumahnya.
Perjalanannya hanya memakan waktu beberapa menit, dan dia segera menuju ke ruang makan. Tidak ada seorang pun di sana, dan api di perapian telah padam, jadi anak-anak mungkin telah memindahkan Luina ke kamar. Dia naik, masih membawa dokter di punggungnya, dan diam-diam membuka pintu. Anak-anak segera berbalik dan bergegas ke arahnya, yang berarti Luina kemungkinan masih terjaga.
“Itu cukup mengesankan. Terima kasih, sayang.”
Anima menurunkan dokter dan membungkuk padanya.
“Senang bertemu dengan Anda lagi,” kata Luina padanya. “Maaf sudah membuat Anda datang jauh-jauh ke sini dalam cuaca seperti ini.”
“Santai saja, sayang. Kamu sudah seperti cucuku sendiri; Aku akan datang berlari untuk membantumu meskipun dalam badai hujan es terkuat atau kekeringan terpanjang.”
“Apakah kalian saling mengenal?” tanya Anima.
“Ya, beliau telah menjadi dokterku sejak aku seusia Marie. Kami telah menghabiskan banyak waktu bersama—aku adalah seorang gadis kecil yang sakit-sakitan.”
Anima hanya tahu tentang satu kasus Luina jatuh sakit, yang dia dengar dari Myuke. Rupanya, itu bukan satu-satunya saat itu terjadi, dan dia sering jatuh sakit sebelum mengurus panti asuhan. Mendapatkan anggota keluarga baru yang penuh kasih dengan setiap anak yang diselamatkan di panti asuhan pasti membantunya melewati fase sakitnya.
Dia tidak bisa lagi membiarkan dirinya terbaring di tempat tidur. Pertama kali dia jatuh, Luina mengira kalau Anima telah memberinya kebebasan untuk menunjukkan kelemahannya. Namun, setelah beberapa kejadian, jelas ada sesuatu yang jauh lebih serius di baliknya. Luina hanya bisa berharap kalau dokter bisa mendiagnosisnya.
“Kumohon, Anda harus menolong Ibu!”
“Beri tahu kami apa yang Ibu butuhkan untuk menjadi lebih baik dan kami akan mendapatkannya secepat mungkin, oce?!”
“Kumo’ooon!”
Ketiga gadis itu membungkuk di depan wanita itu.
“Yah, sekarang, tidakkah kamu lihat itu. Kamu sudah membesarkan anak-anakmu dengan sangat baik, Luina. Cup, cup, jangan khawatir. Aku akan memeriksa ibumu baik-baik, oke? Tunggulah di luar sama ayahmu, oke?”
“Tolong, cari tahu ada apa dengan Luina!”
Anima membungkuk dalam-dalam sebelum menggiring anak-anak keluar kamar. Mereka dapat mendengar suara Luina dan dokter dari dalam kamar, tapi tidak dapat mengetahui apa yang mereka katakan.
Bagaimana jika dokter memberitahukan berita buruk padanya? Bagaimana jika dia mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan? Pikiran gelap seperti itu mengaburkan pikiran Anima, tapi dia tidak bisa membiarkan kekhawatirannya muncul di depan putri-putrinya. Dia harus berdiri tegap untuk mereka.
“Apakah kalian kedinginan?” tanya Anima, berusaha menutupi kegelisahannya.
“Ini bukan apa-apa, oce?!” jawab Bram dengan senyum lebar. “Kenapa? Apakah Ayah kedinginan?”
“Ayah baik-baik saja.”
“Tapi Ayah baru saja pulang, dan di luar sangat dingin. Jangan khawatir, aku akan menghangatkan Ayah!”
“Aku juga! Aku bisa meyakukan hangat!”
Mereka bertiga memeluk Anima erat. Kehangatan tubuh kecil mereka menyelimutinya, mengusir ketakutannya.
“Terima kasih, sekarang sangat nyaman dan hangat. Biar adil, Ayah akan membalas budi.”
Gadis-gadis itu memekik saat Anima membalas pelukan mereka. Mereka saling berpelukan sampai pintu kamar perlahan terbuka.
“Kami sudah selesai. Masuklah.”
Dokter mengundang mereka masuk dengan senyum tipis. Luina, yang sedang duduk di tempat tidur, juga tersenyum, mengisyaratkan fakta bahwa dia mungkin tidak memiliki kondisi serius apa pun.
“Jadi, apakah Anda tahu apa yang membuatnya sakit?” tanya Anima dengan nada yang paling datar, dan mendapatkan jawabannya dengan senyuman hangat.
“Selamat, sayang. Luina hamil.”
Kata-katanya tidak tercerna di otak Anima. Dia hanya berdiri di sana, menatap dokter, tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Setelah jeda panjang, dia berhasil menarik dirinya keluar dari kondisi linglungnya hingga cukup untuk mengajukan pertanyaan sederhana.
“…Apa tadi?”
“Aku hamil!” ungkap Luina bersemangat dengan senyum paling mempesona yang pernah dilihatnya. Akhirnya, pernyataan dokter itu mulai masuk ke otaknya.
“Kamu… hamil?”
“Ya! Kita akan punya anak!”
“B-Begitu ya… Anak…”
Dia mengulangi kata-kata istrinya dengan senyum bodoh. Kekhawatirannya menghilang begitu saja. Satu-satunya hal yang dia rasakan adalah kebahagiaan yang luar biasa. Anak-anak menyaksikan senyum Anima semakin melebar setiap detiknya, dan mulai bersorak mendengar berita yang luar biasa itu.
“Itu luar biasa! Selamat, Bu!”
“Ini luar biasa, oce?!”
“Apa icu ‘hamiy’’?”
“Mereka akan punya bayi!”
“Kamu benar-benar akan menjadi kakak perempuan! Kamu akan memiliki adik, oce?!”
“Woow! Keyja bagus, Bu!”
“Terima kasih!”
“Selamat, Luina!” kata Anima, akhirnya berhasil membentuk kalimat lengkap. “Ini… Ini luar biasa!”
“Terima kasih. Selamat untukmu juga, Anima!”
“Terima kasih! Aku akan melakukan segala hal yang aku bisa untuk menjadi ayah yang hebat! Aku janji!”
Luina terkikik, lalu menatap jauh ke dalam mata Anima.
“Kamu sudah menjadi ayah yang hebat. Kami semua sangat mencintaimu. Bukankah begitu, anak-anak?”
Anak-anak langsung tersenyum dan memeluk Anima dengan erat, dan Luina perlahan bangkit dari tempat tidur untuk ikut berpelukan. Anima merentangkan lengannya dan melingkarkannya ke keluarga tercintanya. Sementara cuaca di luar dingin, kamar Scarletts dipenuhi dengan kehangatan yang bahkan membuat iri musim panas.