[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 3 Chapter 4 Bahasa Indonesia

Raja Iblis Menikmati Semangat Festival

Chapter Empat: Raja Iblis Menikmati Semangat Festival 


Kehangatan yang tersisa dari hari-hari di awal musim gugur telah lama berlalu, digantikan oleh angin dingin yang menusuk. Pagi dan malam sangat dingin, tapi bahkan tetap dingin di siang hari. Matahari membutuhkan waktu lebih sedikit untuk menyelesaikan perjalanan hariannya melintasi langit, yang berarti anak-anak juga memiliki lebih sedikit waktu untuk bermain di luar.

Di suatu hari, sekitar siang hari, cuaca sangat menyejukkan di rumah Scarlett. Itu adalah hari yang sempurna bagi anak-anak untuk bermain di luar, namun mereka semua terkurung di ruang makan, sedang meminum susu hangat.

“Terlalu dingin, oce?”

Bram membenci cuaca dingin. Dia menjalani hidupnya di negara yang hangat sepanjang tahun, jadi dia tidak terbiasa dengan udara dingin Garaat. Dia menolak untuk bangun dari tempat tidur di pagi hari, menempel pada Anima agar tetap hangat, dan akan selalu menantang Anima untuk mengetahui siapa yang bisa bertahan di bak paling lama karena dia tidak pernah ingin keluar dari bak mandi.

Pasti sulit baginya untuk menghadapi suhu yang turun dengan cepat. Bahkan cuaca yang relatif lembut hari itu saja terlalu ekstrim baginya, jadi dia memilih untuk tetap di dalam rumah dan menyesap susu hangat. Tentu saja, Anima tidak keberatan sama sekali, begitu pula dengan anak-anak. Mereka tidak ingin memaksanya keluar saat dia kedinginan.

“Aku sudah menghabiskan susuku… Aku mau nambah lagi, oce?”

“Kamu akan sakit perut jika begitu. Sini, aku akan memegang tanganmu dan menghangatkanmu, oke?”

“Kamu seorang malaikat, Myuke. Tanganmu benar-benar hangat, oce?”

“Aku juga! Aku juga hangat!”

“Mm-hmm, tanganmu juga hangat, Marie, oce?”

Myuke dan Marie dengan riang meringkuk ke Bram, senang karena mereka bisa membantunya. Tidak masalah apakah mereka di dalam atau di luar rumah, anak-anak pasti akan tetap bersenang-senang.

Anima mengawasi mereka dengan senyum lembut. Dia tidak keberatan menghabiskan sepanjang hari di dalam rumah, tapi dia juga ingin membantu Bram dengan cara apa pun yang dia bisa. Bram sudah mengenakan pakaian musim dinginnya yang hangat dan berat, tapi itu jelas tidak cukup untuk menahan dingin. Saat Anima berpikir bahwa dia harus melakukan hal lain yang dia bisa, penglihatannya menangkap bagian yang menarik dari ruangan itu.

“Bisakah kita menggunakan perapian?”

“Tentu saja, oce?!”

Bram melompat pada ide itu. Menyalakan perapian pasti akan cukup untuk menghangatkan ruangan untuk menghentikan Bram menggigil.

“Apa itu ‘payapian’?”

“Itu.”

Myuke menunjuk ke perapian batu bata, yang bagian dalamnya tertutup jelaga. Mengingat bahwa Luina selalu memastikan bahwa segala sesuatu di rumah itu berkilau bersih, tidak dapat dibayangkan kalau dia mengabaikannya begitu saja. Batu bata itu kemungkinan hanya kotor permanen.

Untungnya, jelaga tidak membuat perapiannya tidak berguna; itu masih berfungsi penuh. Malahan, itu membuktikan bahwa api memang bisa dinyalakan di sana. Meski begitu, menilai dari fakta bahwa Marie tidak tahu tentang itu, mereka mungkin sudah lama tidak menggunakannya.

“Ayo kita nyalakan dan menggoreng kentang!”

“Enyak!”

 “Oh, itu membuatku lapar, oce?! Ruangannya akan sangat harum! Ayo, keluarkan kayunya dan nyalakan api, oce?!”

“Kita ada kayu di gudang; gunakan saja setengah kayu yang biasa kita pakai untuk mandi,” kata Luina pada mereka. “Tapi kita harus membersihkan cerobong asapnya dulu.”

Salah satu jari Myuke tiba-tiba terangkat seolah dia baru saja mengingat sesuatu.

“Ruangannya dipenuhi asap saat kita menggunakannya sekitar tiga tahun lalu, dan kita tidak pernah menyentuhnya lagi sejak saat itu,” jelasnya.

Tiga tahun lalu adalah saat ayah Luina meninggal. Dengan mengingat hal itu, dapat dimengerti kenapa dia tidak segera naik untuk menyapu bersih cerobong asap. Tanpa ada orang yang naik ke sana dan melakukan tugas itu dalam beberapa tahun terakhir, perapian dibiarkan tidak bersih dan tidak terpakai.

“Apakah kita hanya perlu membersihkan cerobong asap sebelum kita dapat menggunakan perapian?” tanya Anima.

“Mm-hm. Setelah kita membersihkan lapisan tebal jelaga, kita tidak akan kesulitan menggunakannya.”

Penumpukan jelaga membatasi aliran udara melewati cerobong asap. Karena itulah, sebagian besar asap yang mengepul dari perapian tidak bisa pergi ke mana pun kecuali ke dalam rumah. Itulah yang menyebabkan insiden tiga tahun yang lalu.

“Aku akan membersihkannya,” tawar Anima segera. Dia ingin melakukan sesuatu untuk keluarganya.

“Maaf memberimu kerjaan yang berbahaya.”

“Jangan khawatir, aku senang bisa membantu. Daripada khawatir, bisakah kamu memberi tahuku cara membersihkannya?”

“Kamu harus naik ke atap dan menggosoknya sampai bersih dengan sikat.” Kedengarannya cukup simpel, dan itu bagus, karena tugas dasar dan melelahkan adalah keahlian Anima. “Bisakah kamu menungguku di luar? Aku akan mencarikan sikatnya untukmu.”

Anima mengangguk dan melepas syalnya yang nyaman.

“Bukankah sebaiknya kamu tetap memakainya jika mau keluar?”

“Aku tidak ingin mengotori syal yang kamu buat dengan sangat hati-hati.”

Anima dengan hati-hati meletakkan hadiah ulang tahunnya di atas meja. Dia mengenakan syal itu setiap bangun tidur sejak dia mendapatkannya, satu-satunya pengecualian adalah saat dia bekerja di ladang dan saat makan sebagai cara untuk memastikan agar syalnya tetap bersih. Membersihkan cerobong asap juga sebuah pengecualian; meskipun di luar dingin, dia tidak mungkin memakainya sambil membersihkan jelaga.

“Kita selalu bisa mencucinya jika kotor. Jangan takut memakainya jika kamu kedinginan.”

Setelah itu, Luina meninggalkan ruang makan. Anima melepas jubahnya agar tidak menambah cucian dari yang diperlukan, yang membuat Bram bergidik.

“Melihatmu saja sudah membuatku menggigil… Tidak mungkin kamu tidak kedinginan, oce?”

“Ini bukan apa-apa. Ayah sudah bilang sebelumnya, Ayah sangat kuat.”

Sambil memberikan penjelasannya dengan senyum menenangkan, Bram memeluk pinggangnya erat-erat.

“Aku akan menghangatkanmu! Ambillah semua panas tubuhku, oce?!”

“Aku akan meangatkan Ayah juga!” kata Marie sambil memeluk kaki Anima.



“Jangan lebay,” Myuke menghela nafas, “kalian tahu Ayah harus keluar, kan? Bagaimana Ayah bisa bergerak kalau kalian menempel padanya seperti itu?”

“Itu sama sekali bukan masalah, lihat?” Anima mengangkat Bram dan Marie. “Kamu juga bebas kalau mau ikut.”

“T-Tidak perlu, makasih. Uh, maksudku, aku tidak keberatan jika Ayah menggendongku, lho? Aku hanya tidak ingin Ayah lelah sebelum mulai bekerja, atau semacamnya.” Myuke, entah dia sedang berusaha melindungi martabatnya sebagai yang tertua, atau terlalu malu untuk minta digendong. Apa pun itu, dia dengan malu-malu berjalan ke pintu dan membukanya. “Lihat, aku menahan pintunya, jadi bawalah saja mereka berdua ke taman, oke?”

“Yeeey! Ayo jayan!”

Anima membawa anak-anak ke taman, lalu dengan hati-hati meletakkannya turun. Segera setelah itu, Luina tiba dengan membawa sikat panjang.

“Terima kasih. Kalau begitu, aku akan mulai membersihkannya. Kalian bertiga masuklah ke dalam; disini dingin.”

“Aku dan anak-anak akan membersihkan perapian.”

Anima mengerutkan alisnya.

“Kurasa perapiannya sudah bersih. Kecuali jika maksudmu soal membersihkan jelaga yang jatuh dari cerobong?”

Membersihkan cerobong asap dari jelaga adalah tugas sederhana dari yang paling sederhana bagi Anima. Anima berencana mau membersihkan perapian setelah cerobong asap, tapi sepertinya anak-anak akan melakukan itu untuknya.

“Mm-hm. Kami akan membersihkan yang di bawah sini saat kamu menyapu di atas sana.”

“Kalau begitu, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menyapunya ke luar,” jawab Anima dengan mengangguk paham.

“Jangan khawatir tentang kami, bersihkan saja yang sekiranya membuatmu paling nyaman.”

“Tapi aku tidak ingin memperbanyak kerjaanmu.”

“Tidak apa-apa. Aku hanya senang mengetahui bahwa kita pada dasarnya melakukan pekerjaan yang sama, meski kita terpisah.”

“Tentunya jadi semakin panas di sini, oce?” goda Bram, membuat wajah Luina merah padam.

“W-Waktunya bekerja, anak-anak! Ayo cepat masuk!”

Luina meraih tangan anak-anak dan membawa mereka ke dalam rumah, dan Anima melompat ke atap dan mengintip ke bawah cerobong asap. Terlalu gelap untuk melihat ke bawah, tapi tidak terlalu gelap hingga dia tidak bisa melihat tumpukan jelaga.

Dia menempelkan sikat ke cerobong asap dan, dengan harapan menjaga ruang makan tetap bersih, mencoba menarik jelaga sebanyak yang dia bisa. Dengan melakukan itu, awan hitam tebal muncul dari sana, mewarnai bagian atas tubuhnya menjadi hitam. Untungnya adalah, jelaga itu menutupi Anima bukannya ruang makan. Senang dengan perkembangannya—dan bahwa dia telah berselimut jelaga di tubuhnya sendiri daripada bagian dalam rumah—dia terus menyapu cerobong asap.

“Ini seharusnya sudah beres.”

Setelah membersihkan semua jelaga yang bisa dilihatnya, Anima melompat turun dari atap dan membasuh tubuh di sumur sebelum menuju ke ruang makan.

“Ayah sudah selesai!” teriaknya, dan semua anak-anak tertawa terbahak-bahak saat melihatnya.

“Ayah kembayi!”

“Kamu benar-benar terlihat bagus dengan rambut hitam, oce?”

“Aku merasa kita tidak bisa benar-benar meledeknya soal ini,” kata Myuke pada adik-adiknya, wajah mereka juga benar-benar hitam. Anima berusaha sangat keras untuk menarik jelaga keluar ke atas, tapi sepertinya usahanya sia-sia.

“Ada yang bisa Ayah bantu?”

“Tidak, kami sudah selesai.”

“Oh, begitukah! Hebat; Kerja bagus, anak-anak! Ngomong-ngomong, di mana Luina?”

“Ibu sedang menyiapkan bak mandi, tapi sebentar lagi akan kembali. Ah, panjang umur.”

Luina memasuki ruangan, wajahnya hitam dengan jelaga seperti yang lain.

“Tampaknya perapian memberimu beberapa masalah,” goda Anima.

“Kamu sendiri juga sama,” balasnya main-main. “Kamu benar-benar masuk ke cerobong asap itu dan membersihkannya sebanyak yang kamu bisa. Terima kasih banyak, Anima, itu sangat membantu.”

“Aku akan membasuh punggungmu sebagai hadiah, oce?”

“Ayo mandi semuanya.”

“Yeeey!”

Mereka berlima pergi ke ruang ganti dan mulai membuka baju. Karena sudah setengah telanjang, Anima selesai dalam sekejap, jadi dia membantu Marie melepas pakaiannya juga. Dia kemudian membawa Marie ke kamar mandi sehingga mereka bisa membasuh tubuh dan berendam dengan baik.

Anima ingin langsung terjun berendam, tapi dia harus membasuh jelaga dari kepala dan dadanya terlebih dahulu. Dia mengisi ember dengan air, menuangkannya ke atas kepalanya, dan melihat jelaga mengalir ke lantai, membentuk genangan hitam di bawahnya. Sementara itu, tiga gadis lainnya telah selesai melepas pakaian mereka dan masuk mengikuti mereka.

“Wow, bahkan punggung Ayah pun kena?!” teriak Myuke. “Gila!”

“Makanya aku menawarkan untuk membersihkannya, oce?”

“Kita akan ke sana untuk membersihkannya sebentar lagi,” kata Luina, “jadi santailah dulu, oke?”

“Aku juga! Aku mau buat Ayah kinclong!”

“Tentu saja! Kita semua akan membantu memastikan Ayah benar-benar bersih.”

Anak-anak bersorak ketika Luina mengatakan itu, lalu mereka semua mulai bekerja. Luina menuangkan air ke punggung Anima, sementara anak-anak menggunakan lap badan untuk membersihkannya.

“Kinclong!”

“Terima kasih. Ayah merasa seperti orang baru sekarang.”

“Sama-sama, oce?”

“Dan membasuhmu membuat kami semua bersih juga!”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita masuk ke bak mandi?”

Mereka masuk ke bak mandi atas saran Luina.

“Pfwahhh… Ini sangat enak dan hangat, oce?” kata Bram sambil melebur ke dalam bak air hangat.

“Pastikan dirimu hangat; kita tidak boleh membiarkan kalian masuk angin sebelum Festival,” Luina memberi tahu mereka dengan senyum hangat, menyebabkan Myuke melompat dari air.

“Kita bisa pergi ke Festival tahun ini?!” tanya Myuke, hampir berteriak kegirangan. Meskipun dia pasti tahu bahwa Festival semakin dekat, dia mungkin tidak yakin apakah mereka akan pergi, yang mana itu tidak mengejutkan mengingat kepribadiannya. Myuke mulai lebih terbuka, dan dengan melakukan itu menunjukkan bahwa dia adalah anak yang pengertian, yang tidak asing dengan pengorbanan. Dia tidak bisa memaksa Luina untuk pergi ke Festival saat mereka sedang susah.

“Akan ada festival?! Oce!”

“Itu bukan sembarang festival, itu Festival Kostum!”

“Apa icu ‘Pestibal Kosum’?”

“Beritahukan semuanya, oce?!”

Senang mendapat perhatian, Myuke dengan ceria membagikan semua yang dia ketahui tentang acara tersebut. Adik-adiknya tersenyum lebar dan cerah saat mereka mendengarkan setiap kata dengan penuh perhatian.

Luina benar, pikir Anima. Luina telah memperingatkannya bahwa dia harus merahasiakan Festival dari anak-anak. Luina takut jika mereka tahu bahwa mereka akan pergi, mereka akan jadi terlalu bersemangat dan menghabiskan seluruh tenaga mereka sebelum Festival benar-benar dimulai. Lihatlah, Luina benar sekali. Untungnya, Festival itu tidak jauh lagi; jika mereka mengetahuinya berbulan-bulan sebelumnya, mereka akan bosan atau pingsan karena semangat yang terus menerus.

“Aku suka Pestibal!”

“Ini pertama kalinya aku ke sana! Aku sangat bersemangat, oce?!”

Anima tidak menyangka mereka akan seheboh itu—terutama Bram. Dia mungkin tidak pernah ikut dalam festival karena kesehatan orang tuanya yang buruk, dan dia jelas belum cukup umur untuk pergi sendirian.

Lebih buruknya lagi, tidak pernah mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam festival kemungkinan merupakan skenario terbaik untuknya. Sangat mungkin bahwa keluarganya telah mencoba untuk pergi ke suatu festival, tapi itu akan menjadi tragedi jika sesuatu terjadi di tengah-tengah hal itu. Jika ayahnya pingsan saat dikelilingi oleh pengunjung festival yang bersorak, Bram akan menganggap dirinya yang bersalah dan tidak akan ingin mendengar tentang festival lagi.

Tapi, semua itu tidak penting lagi. Festival Kostum adalah untuk menyambut arwah-arwah kembali ke keluarga mereka dengan membawakan kehangatan pada mereka. Anima ingin memastikan agar Bram bersenang-senang sehingga mendiang orang tuanya bisa beristirahat dengan tenang.

“Akan keren jika kita bisa memakai kostum apa pun yang kita inginkan, oce?”

“Boleh! Kamu bebas memakai apa pun yang kamu suka!”

“Aku mau jadi key-yinci!”

Marie mengungkapkan cinta abadinya pada kelinci.

“Apakah itu berarti kamu akan memakai piyama yang Ayah belikan?”

“Uh-huh! Icu megemaskan!”

Dia benar, onesie itu sangat imut padanya. Dia benar-benar terlihat seperti kelinci kecil setiap kali dia berbaring di tempat tidurnya. Sudah setengah tahun sejak dia mendapatkan piyama itu, tapi Anima masih menganggapnya sama menggemaskannya seperti pada hari pertama.

Secara tradisional, tujuan kostum adalah untuk menakuti roh jahat, tapi Festival kurang lebih hanya menjadi alasan bagi semua orang untuk bersenang-senang. Meski begitu, jika roh jahat turun seperti yang diceritakan di legenda, mereka pasti akan terancam oleh kelucuan Marie saja.

“Kamu benar-benar menggemaskan dengan piyama itu…”

Myuke mendengarkan gumaman Anima dengan senyum masam.

“Ayah sadar kalau Ayah melihatnya setiap hari, kan? Sumpah, kadang Ayah seperti jatuh cinta pada kami.”

“Memang,” timpal Luina, “dan itulah salah satu hal yang Ibu sukai darinya.”

“Aku sayang Ayah!”

Dipuji istri dan putrinya, Anima tersenyum.

“Ayah tidak sabar akan seperti apa pakaian kalian semua.”

“Ayo cemuanya jadi key-yinci!”

Myuke dan Bram, keduanya tertarik atas usulan Marie.

“Itu benar-benar ide yang bagus! Akan sangat menyenangkan kalau serasi, oce?”

“Mengenakan kostum kelinci di luar akan agak memalukan, tapi kurasa ini adalah festival. Baiklah, oke! Ayo lakukan!”

“Ibu tidak terlalu yakin soal memakai kostum kelinci,” kata Luina malu-malu. “Itu pasti akan memalukan…”

“Tidak apa-apa, oce?”

“Aku yakin itu akan terlihat bagus untuk Ibu!”

“Ibu imut!”

“Ya, itu akan terlihat sangat imut…”

Membayangkan istrinya mengenakan kostum kelinci saja sudah membuat Anima tersenyum. Melihat itu dalam kehidupan nyata mungkin akan membuat matanya copot dari kepala.

“Yah, jika kalian semua berpikir begitu, maka kurasa Ibu mau ikut,” putus Luina.

“Yaaaa!”

“Aku tidak sabar!”

“Ini akan jadi luar biasa, oce?!”

“Tunggu, kalian berdua! Kita harus tenang! Kita tidak mau kelelahan sendiri sebelum Festival!” Myuke memperingatkan, tapi dia sama bersemangatnya dengan yang lain. Dia menatap Anima dan Luina dengan tatapan penuh harap. “Kapan kita akan pergi membeli kostum?”

“Kita akan pergi membelinya besok, tapi itu berarti kita akan tidur lebih awal malam ini, oke?”

“Yaaay!”

Sorak-sorai anak-anak bergema di kamar mandi.

◆◆◆


Keesokan paginya, Anima dan keluarganya duduk di ruang makan, menyaksikan nyala api yang menari-nari di perapian. Mereka berencana untuk pergi tepat setelah sarapan, tapi derak api yang tenang dengan cepat membuat anak-anak, yang telah menyesap secangkir susu hangat, tertidur.

“Aku akan mengurus cucian. Kamu bisa tetap di sini dan bersantai,” bisik Anima, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membangunkan anak-anak. Saat itu dingin, dan Anima tidak ingin berisiko membuat Luina sakit saat bekerja di luar, jadi meski awalnya Luina protes, dia akhirnya setuju untuk membiarkan Anima mengurus pekerjaan di luar setidaknya sampai festival berakhir.

“Oke. Aku akan menjaga anak-anak dan perapian.”

Anima melangkah keluar, bergegas ke sumur, dan dengan cepat mencuci pakaian. Berjalan kembali ke ruang makan, dia mendengar obrolan ceria.

“Oh tidak, kami ketiduran! Kita harus pergi, cepat! Kita harus berbelanja, oce?!”

“Mereka mungkin akan kehabisan kostum kelinci jika kita tidak cepat-cepat!”

“Key-yinci! Key-yinci!”

Seolah-olah keheningan sebelumnya hanyalah ilusi, anak-anak bangun, berlari mondar-mandir bersiap-siap untuk jalan-jalan. Namun, kegembiraan mereka menular; karena Anima tidak sabar untuk pergi ke kota bersama mereka.

“Baiklah, kita berangkat!” beri tahu Anima pada anak-anak.

“Ayo pergi!”

Anima dengan cepat memadamkan api, melilitkan syal di lehernya, dan meninggalkan rumah bersama anak-anak. Bram bergidik di bawah udara dingin saat dia melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang hangat pasti sangat berat baginya.

“Cuwan Daun! Tunggu!” teriak Marie, mengejar daun yang jatuh karena terbawa angin.

“Tunggu, oce?!”

“Astaga, jangan lari-lari seperti itu.”

Bram, yang berpikir kalau berlari akan menghangatkannya, mengejar Marie, sementara Myuke mengejar mereka berdua. Di belakang mereka, Luina menggandeng tangan Anima sembari berjalan, mengawasi gadis-gadis itu sampai, tak lama kemudian, mereka tiba di Garaat. Bram telah melakukan pemanasan dengan cukup baik, dilihat dari butiran keringat yang mengalir di dahinya. Itu tak masalah, tapi mereka harus menemukan kostum mereka dengan cepat agar dia tidak sakit. Karena itu, mereka memutuskan untuk langsung menuju toko pakaian.

Jalan menuju toko pakaian dipenuhi dengan keluarga yang kemungkinan besar datang ke kota untuk membeli kostum mereka sendiri. Menyaksikan pasangan ibu dan ayah saat mereka ditarik ke kanan kiri oleh anak-anak mereka membuat Anima tersenyum masam saat dia juga ditarik oleh putri-putrinya. Toko-toko di jalanan mencoba memanfaatkan hari yang sibuk, berusaha memikat anak-anak dengan aroma manis makanan panggang, para ibu dengan segala macam diskon, dan para ayah dengan wanita cantik yang menjanjikan mereka kenyamanan. Tidak terpengaruh oleh upaya mereka, Anima dan keluarganya terus maju, tidak mengambil satu langkah pun keluar dari tujuan mereka.

“Kita sampai!”

Marie bergegas ke toko. Toko pakaian yang biasanya tenang dan relatif kosong itu dipenuhi dengan keluarga yang melihat-lihat kostum yang dipajang. Anak-anak berlarian dengan mata berbinar, dan orang dewasa melihat-lihat barang dagangan dengan takjub seperti anak kecil. Melihat keramaian di toko membuat Anima semakin bersemangat mengikuti festival.

“Woow, banyaknya!” Marie terkesiap pada pemandangan luar biasa yang terbentang di depannya. “Ayah, lihat! Banak kosum! Wooow!”

Toko memiliki variasi kostum yang luar biasa, yang terus mendorong pelanggannya untuk menjelajah. Semua jenis kostum dapat ditemukan—mulai dari badut hingga penyihir, lebah, kupu-kupu, sapi, dan bahkan kucing, ragam pilihannya benar-benar tidak bisa diremehkan. Mereka bahkan memiliki berbagai topeng dan tutup kepala jenis lain bagi mereka yang benar-benar ingin memaksimalkan identitas berkostum mereka.

“Ah! Aku menemukan kostum naga, oce?!” 



Bram menunjuk salah satu pajangan. Seperti yang dia katakan, itu adalah kostum naga, lengkap dengan tudung dan ekor. Tampaknya populer di kalangan anak laki-laki, dan faktanya, seorang anak laki-laki dengan bersemangat melompat-lompat di depannya sambil berunding dengan orang tuanya.

“Anak laki-laki akan mengerubungiku jika aku menggunakan batu Naga Giok-ku, oce?”

“Aku lebih suka jika kamu memilih sesuatu yang lucu,” kata Anima, berharap untuk membujuknya tidak melakukan itu. Anima sebenarnya bukan khawatir tentang Bram jadi populer dengan anak laki-laki dan mendapatkan pacar—yah, memang khawatir sih, tapi ada alasan yang lebih dari itu.

Masalah utamanya adalah Naga Giok itu besar dan berbahaya. Bram bisa secara tidak sengaja melukai orang dengan cakarnya yang tajam, dan ukurannya saja tidak diragukan lagi akan menimbulkan ketakutan di hati orang-orang. Anima ingin melindungi Bram dari menyalahkan diri sendiri karena melukai orang yang tidak bersalah. Bram menangkap kekhawatiran Anima dan menjawab dengan senyuman.

“Aku hanya bercanda. Aku hanya akan menggunakan batu ini untuk melindungi keluargaku, oce?”

“Gadis baik.”

Bram terkikik saat Anima mengacak-acak rambutnya. Anima tidak berniat membiarkan Bram bertarung lagi, dan secara pribadi akan melenyapkan siapa pun yang berani mengancam keluarganya.

“Kita harus mulai melihat-lihat dengan sungguh-sungguh,” Myuke mengingatkan kelompok itu tentang tujuan awal mereka, membuat Marie kembali ke jalur semula dari mengagumi gaun-gaun mewah yang dipamerkan.

“Di mana key-yinci?” Sambil memegang tangan Luina, Anima mulai melihat-lihat toko, tapi dia tidak dapat menemukan kostum kelinci di dekat sini. Sepertinya kostum kelinci bukanlah barang yang populer, jadi mereka tidak memajangnya di dekat pintu masuk. “Tidak ada key-yinci…”

“Tidak apa-apa, pasti ada beberapa di belakang,” kata Luina. Mereka berjalan ke bagian belakang toko, dan seperti yang Luina katakan, mereka menemukan deretan kostum kelinci.

“Di sana! Key-yinci!”

Marie akhirnya menemukan cawan sucinya: kostum kelinci yang lembut dan menggemaskan, yang dengan mudah dapat merangkap sebagai piyama selama musim dingin. Berkat itu, Anima akan dapat lebih lama menikmati pemandangan yang menggemaskan setelah Festival berakhir.

“Nih! Uncukmu!”

Marie menyerahkan salah satu kostum kepada Myuke. Itu adalah kostum kelinci merah dengan perut putih. Sangat serasi dengan rambut merahnya.

“Makasih, Marie! Wow, ukurannya juga sempurna!”

“Sama-sama! Uncukmu, Brum!”

Dia memberi Bram kostum kelinci hitam, yang akan sangat kontras dengan rambut peraknya.

“Makasih, oce?!”

“Sama-sama! Uncuk Ibu!”

Luina menerima kostum serba putih, ukuran yang sama dengan piyama Marie.

“Terima kasih, tapi Ibu pikir ini akan sedikit kecil untuk Ibu.”

“Sedikit” adalah pernyataan yang sangat kurang tepat. Marie mengembalikan kostum itu ke tempat semula dan mulai mencari yang seukuran Luina.

“Tidak ada key-yinci uncuk Ibu…”

“Mungkin ada di sana.”

“Ayo yihat!” Marie ingin segera mendapatkan pakaian yang cocok untuk semua orang, jadi mereka menuju ke bagian dewasa. Sayangnya, itu terbukti sia-sia; tidak ada kostum kelinci dewasa yang terlihat. “Tidak ada key-yinci…”

“Sepertinya tidak ada.”

“Ibu tidak akan jadi key-yinci?”

Marie mulai menangis. Dia benar-benar ingin melompat-lompat bersama semuanya dengan memakai kostum kelinci. Anima tidak bisa membiarkan Marie kecilnya yang tersayang kecewa; dia harus menemukan cara untuk menghiburnya.

“Ayah akan pergi memeriksa toko lain.”

“Kalau begitu, kupikir kita semua harus pergi.”

“Tidak, di luar dingin. Tunggu di sini, aku akan kembali sebentar lagi.”

Anima berlari keluar dari toko, dan mulai melihat sekeliling. Bergegas dengan kecepatan penuh melalui jalanan yang ramai tidak diragukan lagi akan menabrak beberapa orang tidak bersalah yang lewat, jadi dia naik ke atap. Hanya dalam beberapa menit, dia telah memeriksa setiap toko pakaian terakhir di Garaat, tapi tidak berhasil. Kecewa, dia kembali ke keluarganya.

“Beri tahu kami apa yang ditemukan, oce?”

Anima hanya menggelengkan kepalanya, tapi dia melihat anting-anting Bram saat bergeleng, yang memberinya ide cemerlang.

“Hei, Myuke. Apakah ada batu yang membuatmu bisa terlihat seperti kelinci?”

Menggunakan batu Naga mengubah pengguna menjadi naga, dan menggunakan batu kadal api membuat pengguna tumbuh ekor, jadi jika mereka memiliki semacam batu kelinci, itu pasti akan memberi penggunanya beberapa karakteristik seperti kelinci.

“Ada,” jawab Myuke dengan anggukan lambat. “Itu membuatmu melompat, jadi kayak, super tinggi. Satu-satunya masalah adalah Ayah tidak bisa mendapatkannya di mana saja.”

“Apakah batu tersebut sepopuler itu?”

“Tidak, justru sebaliknya. Itu terlalu berbahaya. Batu tersebut membuatmu melompat begitu tinggi sehingga kau dijamin akan melukai kakimu ketika kau mendarat, bahkan mungkin bisa patah.”

Masuk akal, pikir Anima dalam hati. Pemilik toko mana yang mau mengganti batu yang lebih populer dengan sesuatu yang sangat berbahaya sehingga sulit untuk dijual?

“Kurasa Ayah mungkin dapat menemukannya di suatu tempat di ibukota,” lanjutnya.

“Kalau begitu aku akan lari ke sana.”

Orang normal akan membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk melakukan perjalanan pulang pergi, tapi Anima dapat melakukannya hanya dalam dua hari. Satu-satunya masalah adalah dia tidak ingin menghabiskan dua hari penuh jauh dari keluarganya, jadi idealnya, dia ingin kembali malam itulah.

“Kamu tidak perlu sampai repot-repot begitu.”

“Aku lebih dari senang untuk repot-repot begitu. Aku ingin melihatmu terlihat seperti kelinci.”

“Tidak, maksudku… aku tidak akan memiliki cukup mana untuk mempertahankan efek batu itu. Bahkan jika kamu menemukannya, ciri fisik apa pun akan hilang di tengah Festival. Selain itu, sama saja bohong kalau kita tidak memiliki kostum untukmu juga.”

“Begitu ya…”

Anima tidak bisa menggunakan batu sihir. Meski dia memiliki jumlah mana yang luar biasa, mana itu dari jenis yang berbeda karena dia berasal dari dunia lain.

“Cidak apa-apa!” Marie mencoba menghiburnya dengan senyum cerahnya. “Aku gadis besar! Cidak apa-apa jika kita cidak semuanya jadi key-yinci!”

Marie adalah orang yang mengusulkan ide itu, dan dia mungkin ingin melihat keluarganya mengenakan kostum kelinci yang serasi lebih dari segalanya, namun dia siap untuk membuang semua itu agar bisa membuat Anima bahagia. Terharu oleh kebaikan hatinya, Anima hampir mulai menangis.

“Aku mengerti! Tunggu di sini, oce!” teriak Bram girang, lalu bergegas pergi. Dia kembali beberapa saat kemudian, terengah-engah. “Pakai saja ini dan sudah siap, oce?!”

Bram menghadiahi mereka masing-masing dengan bando kelinci. Meskipun secara teknis  bandonya berukuran anak-anak, itu juga dapat muat di kepala orang dewasa.

“Oh, itu ide yang bagus!” puji Myuke. “Ayo, coba pakai!”

Anima dan Luina mengenakan bando.

“Bagaimana kelihatannya?” tanya Luina.

“Apakah Ayah terlihat seperti kelinci?” ucap Anima.

“Key-yinci!” sorak Marie, melompat-lompat dengan mata berbinar.

“Itu tampak bagus!”

“Keluarga kelinci kita sudah lengkap, oce?”

Anak-anak sangat gembira bahwa keluarga kelinci mereka akhirnya lengkap. Mereka membeli bando dan kostum, lalu meninggalkan toko.

“Aku tidak sabar menunggu Festival!”

“Aku akan cegeya jadi key-yinci!”

“Kita benar-benar akan melompat-lompat, oce?!”

Dalam perjalanan pulang ke rumah mereka, mereka dengan riang mendiskusikan saat-saat menyenangkan yang menanti di depan mereka ketika Luina tiba-tiba hampir terjatuh.

“Luina?!” Anima bergegas ke sisinya. “A-Ada apa?!”

“Apa yang terjadi?!”

“Tolong bilang kalau Ibu baik-baik saja, oce?”

“Ibu sakit?”

“Ibu baik-baik saja,” jawab Luina, menghilangkan kekhawatiran mereka dengan senyuman hangat. “Ibu hanya tersandung sesuatu.”

Semua anak-anak menghela nafas lega, tapi ada sesuatu yang mengganggu Anima. Jalanan Garaat terus dipelihara; seharusnya tidak ada apa pun yang bisa membuatnya tersandung. Luina pasti merasa pusing, tapi tidak ingin membuat anak-anak khawatir. Untungnya, Luina tidak terlihat pucat atau berbeda dari biasanya, tapi Anima tidak ingin mengambil risiko apa pun.

“Hyan!” jerit Luina saat Anima mengangkatnya. “K-Kenapa kamu melakukan ini?”

“Aku pikir kamu kelelahan, jadi aku akan menggendongmu pulang ke rumah.”

“Aku menghargai perhatianmu itu, tapi ini benar-benar memalukan…”

“Kenapa harus malu. Bukankah begitu, anak-anak?”

Anak-anak langsung mengangguk setuju.

“Ibu terlihat seperti seorang tuan putri!”

“Cuwan puchi! Ibu cuwan puchi yang imut!”

“Ah, lihat! Ibu jadi merah! Tidak perlu malu, oce?!”

Olokan Bram hanya membuatnya menjadi lebih merah.

“Umm, aku tidak terlalu lelah. Malahan, kamulah yang seharusnya lelah. Aku mengkhawatirkanmu, Anima.”

“Tidak perlu khawatir, aku bisa melakukan ini sepanjang hari. Memegangmu dalam pelukanku hanya memberikanku lebih banyak tenaga.”

“T-Tapi, aku pasti berat…”

“Tidak, tidak sama sekali. Kecuali, apakah kamu tidak suka saat aku menggendongmu?”

“Bukan begitu…”

“Kalau begitu, kumohon. Biarkan aku membawamu pulang.”

“O-Oke… Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Dengan Luina di pelukannya, Anima dan anak-anak perlahan-lahan pulang ke rumah mereka.


Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Bahasa Indonesia [LN]

Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Bahasa Indonesia [LN]

Why Shouldn’t a Detestable Demon Lord Fall in Love?!
Score 9.1
Status: Completed Type: Author: Artist: Released: 2018 Native Language: Jepang
Ini adalah kisah tentang Raja Iblis yang dibenci dan istri barunya yang luar biasa, seorang gadis miskin! Raja Iblis kita, Anima, adalah yang terkuat di seluruh dunia, ditakuti oleh penghuni dunia. Dia terpaksa menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian sampai, secara tiba-tiba, dia dipanggil ke dunia lain! Orang yang memanggilnya tidak lain adalah Luina, seorang gadis yang sangat miskin yang menjalankan panti asuhan. Keduanya dengan cepat jatuh cinta, dengan Anima yang bersumpah akan menggunakan kekuatannya untuk melindungi keluarga barunya! https://poll.fm/11222312

Comment

Options

not work with dark mode
Reset