Chapter Lima: Raja Iblis Menuju Ibukota
Kelompok enam orang tersebut menaiki kapal hitam besar. Lambungnya yang panjang dan sempit melengkung ke atas di kedua ujungnya, memberikannya bentuk seperti pisang. Kapten mengarahkan kapal dari kabinnya yang bertempat di buritan dek utama, sementara kru mengawasi perairan dari haluan. Lima layar menggembung tertiup angin, dan kapal yang megah itu berlayar, membelah lautan luas di bawah teriknya matahari siang.
“Cepatnyaaaa!”
“Benda ini benar-benar bisa bergerak!”
Anak-anak dengan penuh semangat menyaksikan saat mereka mengarungi laut. Itu adalah laut yang sama, yang mereka lihat sebelumnya pada hari itu, tapi melihat laut saat mereka bersandar di pinggir kapal adalah pengalaman yang sepenuhnya berbeda. Air tampak cukup tenang dari mercusuar, tapi ombak kecil membawa pukulan yang cukup kuat, menghantam kapal tanpa ampun hingga membuatnya bergoyang maju mundur. Goyangan itu sendiri bukanlah sesuatu yang istimewa, tapi dikombinasikan dengan angin laut yang dingin dan asin, yang berhembus melintasi mereka, itu adalah formula sempurna untuk memulai petualangan besar.
“Mengesankan,” gumam Anima saat dia melihat kota pelabuhan yang semakin mengecil.
Di sebelahnya, Luina mengawasi anak-anak sambil menahan rambut panjangnya ke belakang agar tidak tertiup ke wajahnya. Tiba-tiba, dia melihat ke atas dan menunjuk ke kejauhan.
“Anak-anak, lihat.”
Luina mengarahkan perhatian mereka ke sisi tebing yang ada mercusuar putih di puncaknya—mercusuar yang mereka naiki beberapa jam sebelumnya. Tampak besar dari dekat, tapi mercusuar itu tampak seperti tiang berwarna aneh yang mencuat di tanah dari kejauhan.
“Da-dah, meycusuay!”
Marie melambaikan tangan perpisahan ke mercusuar. Saat dia melepaskan tangannya dari pagar kapal, embusan angin kencang mendorong tubuh kecilnya ke pagar kapal.
“Whoa!” Anima dengan cepat meraihnya, mengangkatnya ke dalam pelukannya, lalu perlahan-lahan menurunkannya kembali.
“Astaga, kita sudah sampai sejauh ini! Kalau terus begini, kita akan sampai di perhentian berikutnya dalam sekejap!” ungkap Myuke dengan penuh semangat, terus menatap mercusuar yang nyaris tak terlihat.
“Ke mana seyanjutna?”
“Ke Ibukota, Marie.”
“Ibukota, ya…”
Senyum petualang memudar dari wajah Myuke. Dia pasti menyadari bahwa perjalanan menyenangkan mereka akan segera berakhir. Ekspresi sedihnya adalah bukti betapa dia sangat menyukai jalan-jalan mereka. Berharap untuk menghiburnya, Anima dengan lembut meletakkan tangannya di atas kepala Myuke dan menoleh padanya dengan senyuman lebar.
“Apa yang pertama kali ingin kamu lakukan setelah kita sampai disana?”
Senyumannya kembali, lebih lebar dari sebelumnya. Kesedihan yang singkat itu dengan cepat menjadi bagian dari masa lalu.
“Aku ingin bermain di pantai!”
“Aku juga! Aku jugaaa!”
“Kalau begitu, sudah ditentukan. Perjalanan pertama kita adalah ke pantai.” Anak-anak melihat ke arah tujuan mereka dengan senyum gembira, pikiran mereka penuh dengan semua hal menyenangkan yang menunggu mereka di pantai. “Shaer, kapan kita akan tiba di ibukota?”
“Ibukota agak dekat dengan pelabuhan, jadi saya yakin kita harusnya tiba sebelum matahari terbenam. Dengan mengingat hal itu, karena berbahaya untuk berenang dalam kegelapan, saya sarankan Anda menunda pergi ke pantai sampai besok.”
“Apakah pertemuan kita dengan raja juga besok?”
Shaer mengangguk.
“Yang Mulia tertarik dengan kemungkinan mendengar cerita Anda. Beliau ingin bertemu Anda secepat mungkin, jadi saya mengatur pertemuannya untuk besok.”
Shaer telah menyampaikan informasi yang diperlukan kepada raja, dan telah mengatur pertemuan dengannya untuk keesokan harinya. Dengan pertempuran untuk melindungi kehidupan damai keluarganya yang semakin dekat, Anima, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mulai merasa gugup. Untuk menenangkan kegelisahannya, dia ingin bermain bersama anak-anak di pantai sebelum pertemuan mereka. Shaer menyetujui tawaran Anima.
“Ngomong-ngomong,” dia menambahkan dengan senyum hangat, “bukankah lebih baik pindah ke kabin kita? Geladaknya mulai menjadi agak dingin.”
“Kita tidak bisa bermain di pantai jika kita terbaring di tempat tidur,” Luina setuju, mengangguk.
“Pendapat yang bagus. Bagaimana kalau kita masuk ke dalam?”
Saat angin petualangan baru—yaitu menjelajahi kabin mereka—mencapai telinga anak-anak, mereka dengan bersemangat berbalik dari melihat alunan ombak dan bergabung dengan orang dewasa.
“Kamar! Dimana kamarku?”
“Kita mendapat kamar yang paling mahal, kan? Tidak sabar untuk melihat seperti apa tempatnya!”
“Ayo pergi, oce?”
Suara kekanak-kanakan yang terdengar dari samping Anima adalah suara Bram, yang rambutnya panjang, dibelah menjadi kuncir, berkibar tertiup angin. Dia berpegangan pada lengan baju Anima saat dia berbicara, ekspresi kasih sayang berani yang tidak akan terbang melayang. Tidak di depan Myuke, yang melotot padanya.
“Apa yang membuatmu bersemangat?”
“Anima membayar tiketku. Itu termasuk kamarnya, oce?”
“Aku hanya membayar tiket; Shaer yang membayar kamarmu.”
Anima ingin memberikan pujian di tempat yang seharusnya, terutama mengingat berapa banyak yang telah dilakukan Shaer untuk memastikan bahwa keluarganya dapat menikmati perjalanan mereka ke ibu kota. Kabin kelas satu bersifat pribadi, sedangkan kabin kelas dua digunakan bersama dengan banyak tempat tidur, mengharuskan penghuninya untuk berinteraksi dengan penumpang lain. Anak-anak bersenang-senang hanya dengan menaiki feri, jadi kamar tertentu sama sekali tidak penting bagi mereka, tapi Shaer telah bekerja ekstra dan memesan kamar kelas satu untuk mereka dan orang tua mereka.
“Dengar, kan? Kau bisa menikmati bergaul dengan penumpang lain di kelas dua!”
“Tidak! Aku ingin bersama Anima, oce?”
“Bagaimana kalau kau melepaskan Ayah?!”
Myuke semakin kesal saat melihat senyum cinta Bram. Dia benar-benar membenci gadis yang telah menyatakan dirinya sebagai istri Anima, bahkan jika dia tahu hal seperti itu sangat tidak masuk akal. Tetap saja, amarah yang Myuke rasakan terhadap seseorang yang mencoba untuk memisahkan keluarganya yang berharga jauh dari abnormal. Sebaliknya, Bram pasti merasa bahwa Myuke adalah rintangan terbesar dalam merebut hati Anima.
“TIDAK BOYEH BEKEYAHI!”
Jeritan Marie yang memekakkan telinga membekukan gadis-gadis itu di tempat. Mereka berhenti menarik lengan Anima, dan tatapan tajam mereka tersapu oleh bayangan rasa bersalah. Setelah mereka semua akhirnya tenang, mereka pergi ke tangga yang menuju bagian dalam kapal.
Bagian dalam dibagi menjadi tiga lantai: bagian atas menampung awak bersama penumpang kelas satu, bagian tengah disiapkan untuk penumpang kelas dua, dan yang paling bawah digunakan untuk tempat penyimpanan. Lantai tengah dan bawah tidak memiliki jendela, karena dekat dengan garis air dan akan menimbulkan risiko banjir. Tanpa batu sihir untuk menyalakan lampu yang menghiasi kedua lantai, semuanya gelap gulita. Lantai atas adalah satu-satunya yang cukup jauh dari garis air untuk memungkinkan adanya jendela-jendela bundar kecil.
Kabin Anima dan keluarganya berada di buritan lantai paling atas, terletak tepat di bawah kabin kapten. Berkat lokasinya di bagian paling belakang kapal, itu adalah kamar yang paling luas dan lengkap di dalam kapal. Sebuah jendela di salah satu dinding memungkinkan sinar matahari meresap ke dalam kabin mereka, menjaga kabinnya tetap terang saat mereka masuk.
“Yaut! Aku meyihat yaut! Ibu, yihat! Yaut!”
Marie bergegas ke arah jendela dan meregangkan tubuhnya untuk menikmati pemandangan yang indah.
“Lihat, ranjang susun! Aku baru saja terpikir ingin tidur siang!”
“Aku ingin naik!”
Cinta Marie pada kakaknya lebih kuat daripada apresiasinya pada pemandangan, karena perhatiannya segera beralih ke tempat tidur. Dia mengikuti Myuke menaiki tangga, dan mereka berdua berbaring di ranjang atas.
Selain tempat tidur, kabin juga dilengkapi dengan dua kursi yang cocok untuk kamar kelas satu. Anima meletakkan tasnya di sudut ruangan dan duduk di salah satu kursi. Mengikutinya, Luina duduk di seberangnya.
“Ini sedikit sempit dengan begitu banyak orang di sini.” Myuke membagikan pendapatnya dari atas tempat tidur. Kabin itu relatif besar untuk ukuran aslinya, tapi mereka menjejalkan enam orang ke dalam ruangan itu. Pasti akan cukup sempit dengan banyak orang, bahkan di kamar terbesar kapal. “Meskipun itu hanya karena ada orang keenam yang menyebalkan itu.”
Shaer menundukkan kepalanya setelah komentar Myuke.
“Saya sangat menyesal sudah mengganggu perjalanan keluarga kalian yang indah. Saya akan pergi…” kata Shaer sedih, menundukkan kepalanya. Hal ini membuat Myuke panik.
“T-Tidak, tidak, maksudku bukan kamu!”
“Aku, aku sangat mencintaimuuuu!”
Kata-kata baik Marie membuat Shaer tersenyum senang.
“Terima kasih, itu sangat berarti. Namun, saya benar-benar tidak ingin mengganggu waktu pribadi kalian. Untuk selanjutnya, saya ingin mendengar tentang kejahatan yang dilakukan gadis ini di jembatan. Jika saya merasa penjelasannya masuk akal, saya akan pergi.”
Dia telah membiarkan Bram lolos sekali, tapi dia tidak bisa membiarkan dirinya seenak itu saat mereka menuju ibu kota. Biasanya, tindakan Bram akan memberinya tiket satu arah ke dalam penjara, tapi dia adalah kasus khusus mengingat usianya. Hakim yang memimpin kasusnya adalah raja sendiri, dan keputusan akhirnya ada di tangan raja, tapi Shaer ingin memahami keadaan yang telah membuat Bram datang ke jembatan itu untuk melihat apakah mereka dapat membantunya menghindari sidang.
“Aku tidak melakukan kejahatan apa pun, oce?” tegas Bram, yakin akan ketidakbersalahannya.
“Kau sudah memblokir jembatan selama berminggu-minggu.”
“Aku akan selalu membiarkan wanita dan anak-anak lewat! Dan aku akan membiarkan orang-orang itu lewat setelah aku melawan mereka! Bukan salahku mereka lari mengadu ke emak mereka, oce?”
“Apa yang kau harapkan?” tegur Myuke. “Seekor naga besar yang meminta orang-orang untuk melawannya jika mereka ingin menyeberangi jembatan akan membuat siapa pun takut.”
Bram sedang direndahkan, baik secara kiasan maupun harfiah. Kemarahannya mulai mendidih, dan dia ngamuk pada Myuke.
“Kenapa kau ikut-ikut?! Mana mungkin kau bisa mengerti bagaimana perasaanku ketika kau memiliki ayah yang kuat! Jangan samakan aku denganmu, oce?!”
“Ayah memang kuat, tapi itu tidak ada hubungannya!”
“Ada! Itu ada hubungannya dengan segalanya! Orang tuaku lemah! Mereka sangat lemah… oce…?”
Jeritan yang menyayat hati Bram langsung membungkam Myuke. Anima, yang diam-diam mendengarkan pertengkaran mereka, memberinya tatapan terhangat yang bisa dia munculkan.
“Bram, apakah kamu sendirian?” tanya Anima, memastikan untuk memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati.
Air mata mulai mengalir di wajahnya. Dia mencengkeram ujung roknya dan perlahan membuka mulutnya.
“Ayah dan Ibu sudah meninggal. Mereka meninggalkanku. Mereka lemah… Ibu sudah pergi sejak… Aku bahkan tidak tahu sudah berapa lama, dan Ayah pergi setahun yang lalu… oce?”
“Aku mengerti.” Anima dengan lembut membelai kepala Bram untuk menghiburnya, mengusap rambutnya yang panjang dan halus. “Pasti sulit bagimu.”
Dia mengangguk dalam-dalam. Merindukan kehangatan, dia kemudian menatap Anima dan meraih tangannya.
“Itulah kenapa aku menginginkan sebuah keluarga, oce? Seseorang yang tidak akan mati, dan…”
Anima terlalu familiar dengan rasa sakit menghancurkan yang bernama kesepian. Tapi tidak seperti Anima, yang dikucilkan oleh keluarganya, rasa sakit yang dalam dan dirasakan Bram sepertinya karena dia disayangi oleh keluarganya. Anima tidak bisa mengonseptualisasikan rasa sakit Bram—rasa sakit karena didorong dari pelukan hangat kebahagiaan ke dalam lubang penderitaan yang gelap, di mana tubuh mungilnya terkoyak oleh kesedihan yangluar biasa.
Pada tahun sejak Bram kehilangan ayahnya, dia tidak memiliki siapa pun untuk diandalkan. Tidak ada yang memujinya, tidak ada yang menggendongnya, tidak ada yang mencintainya; hari-harinya hanya diisi dengan kegelapan dan rasa sakit. Itulah sebabnya dia mencari keluarga yang dapat hidup lebih lama darinya, karena dia tidak ingin menghidupkan kembali rasa sakit karena kehilangan orang yang dia sayangi. Untuk menemukan keluarga itu, dia telah menduduki jembatan dan dengan sabar menunggu orang yang dia impikan untuk datang. Itu adalah metode yang sembrono, tapi itu karena dia sudah tidak mampu lagi menanggung beban kesendirian.
“Mm, jadi itu sebabnya kamu bertanya apakah aku punya penyakit kronis,” gumam Anima. Semuanya akhirnya masuk akal baginya.
Bram mengangguk sekali lagi, lalu menatap Anima lagi. Kilatan harapan melintas di matanya yang basah saat dia tersenyum senang.
“Aku tidak pernah mengira akan menemukan seseorang sepertimu, Anima! Kau sehat seperti lembu, kokoh seperti batu, dan lebih kuat dari siapa pun yang pernah aku temui! Kau melebihi semua ekspektasiku, oce?”
Mungkin agak sedikit sombong, tapi Anima tahu bahwa sangat sedikit orang, itu pun jika ada, yang bisa bersaing dengan kekuatannya. Selain itu, kekokohan tubuhnya akan menjamin bahwa jika mereka menikah, dia tidak akan pernah menderita akibat rasa sakit dari kesendirian lagi. Anima jelas-jelas adalah cahaya yang akhirnya akan melepaskan Bram dari kegelapan yang merupakan penjara kesepian abadi. Bram akhirnya menemukan seseorang yang bisa menemaninya menghabiskan sisa hidupnya dengan damai.
Anima memahami apa yang Bram rasakan—setidaknya sampai batas tertentu—dan ingin membantunya mengatasi kesedihannya. Jika dia bisa, dia ingin menghilangkan kesepian dari kehidupan anak-anak. Walaupun demikian…
“Aku tidak bisa menjadi suamimu.”
Tidak memberinya ruang untuk berdebat, dia menolak Bram. Kilatan harapan itu segera memudar dari matanya.
“Setidaknya beri tahu aku alasannya, oce?”
“Itu karena hanya ada satu wanita yang kucintai, dan itu adalah Luina.” Mata Bram terbuka lebar seolah dia baru saja terbangun dari mimpi indah, dan dipenuhi kegelapan. Dia menutupi wajahnya dengan tangan dan perlahan menurunkan tangannya, tapi Anima menunjukkan senyuman lembut. “Sekarang, karena aku tidak bisa menjadi suamimu, yang bisa aku lakukan adalah menjadi ayahmu.”
Bram perlahan mendongak.
“Ayahku…? Oce…” tanya Bram, perlahan menoleh ke atas.
“Ya, ayahmu. Kamu bilang kamu ingin keluarga, kan? Dengan kata lain, kamu tidak harus mencari seorang suami. Apakah aku salah?”
Bram perlahan menggelengkan kepalanya.
“K-Kamu tidak salah, tapi… Aku akan tinggal bersamamu selamanya, oce? Apakah itu tidak menjadi masalah?”
“Tidak sama sekali. Bagaimana menurutmu?”
Anima menatap Luina, yang menjawab dengan senyum hangat.
“Kami selalu hidup dalam keluarga yang besar, jadi aku sudah terbiasa dengan keluarga yang ramai. Kami ingin kamu menjadi bagian dari itu, jika itu adalah sesuatu yang juga kamu inginkan.”
Semua tatapan hangat dan ramah yang tertuju padanya membuat Bram tersenyum bahagia dan tulus.
“Kamu tinggay dengan kami?”
“Aku ingin sekali, tapi… Sebaiknya kau yakin tentang ini, oce?”
“Uh-huh!” jawab Marie dengan senyum cerah. “Aku cuka ceman bemain!”
Seluruh wajah Bram memancarkan kegembiraan.
“Aku sangat senang! Tapi aku ingin kau juga tak masalah dengan ini, oce?”
Dipenuhi dengan harapan, dia menatap Myuke, yang mendengus takut-takut padanya.
“Jika kau tidak kerja, kau tidak boleh makan! Tanamkan itu ke dalam kepalamu yang bodoh!”
“Jangan khawatir, Cebol! Aku akan bekerja dan makan lebih banyak darimu, oce?”
“Jangan panggil aku ‘Cebol’! Aku lebih tua darimu, jadi sebaiknya kau menunjukkan rasa hormatmu! Cukup panggil dengan namaku, mengerti?!”
“Gotcha! Aku sangat menghargainya, oce?”
“Kamu bisa memanggilku ‘Ibu’.”
“Baik! Terima kasih, Ibu, oce?”
“Dan aku mau dipanggil ‘Ayah’.”
Keinginan Anima untuk mendengar Bram mengucapkan kata sihir praktis terlihat dari nada suaranya. Anima senang menantikan dia akan mengatakannya, tapi wajah Bram menunjukkan kegelisahannya.
“Aku… ingin menundanya untuk nanti, oce?”
Sudah lama sejak dia kehilangan ibunya, tapi ayahnya baru setahun tiada. Tidak heran jika dia ragu-ragu memanggil Anima dengan sebutan ‘Ayah’.
Anima ingin mendapatkan persetujuannya sebagai seorang ayah, tapi dia tidak bisa mengabaikan perasaan Bram. Daripada memaksanya, membesarkannya dengan cinta dan perhatian seperti yang Anima lakukan pada Myuke dan Marie tampak seperti pilihan yang jauh lebih baik. Tidak ada alasan baginya untuk terburu-buru; ketika saatnya tiba, Bram pasti akan mengucapkan kata ajaib itu sendiri.
“Jangan merasa kamu harus memanggilku seperti itu. Jangan terburu-buru, dan lakukan hanya saat kamu sudah siap.” Bram mengangguk. Senyuman indah karena keinginannya menjadi kenyataan masih belum pudar dari wajahnya yang pucat. “…Apakah kamu baik-baik saja?”
Bram meletakkan tangannya di depan mulutnya.
“A-Aku akhirnya punya kesempatan untuk mengatur napas, dan sekarang aku merasa mual, oce…?”
“Kamu pasti mabuk laut. Sini, berbaringlah.”
Bram memandang Anima dan Luina dengan tatapan memohon.
“Aku ingin tidur dengan kalian, jika tidak apa-apa, oce…?”
“Tentu saja,” kata Luina sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa.”
Pilihan lain tidak pernah ada. Baik Anima maupun Luina senang memenuhi keinginan anak-anak mereka. Mereka berbaring di kedua sisi tempat tidur, membiarkan Bram mengambil bagian tengah. Sebaliknya, Shaer, yang puas dengan alasan Bram dan hasil dari diskusi tersebut, pergi.
“Ini sangat hangat, oce…?”
Senyuman Bram entah bagaimana membuat warna kulitnya terlihat lebih baik. Terpikat oleh pemandangan bahagia itu, Marie naik ke perut Anima.
“Aku juga ingin tiduy besama!”
“Ayo sini.”
Anima dengan lembut memeluk Marie, yang membenamkan wajahnya ke dada Anima. Itu cukup sempit, tapi Bram menikmati setiap momennya. Dia telah menunggu begitu lama untuk berpelukan dengan keluarganya sendiri, dan mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan.
“Dia tertidur begitu cepat.”
“Ya. Marie juga sudah tidur.”
“Dia sangat mencintai perut Ayah,” bisik Myuke, berhati-hati untuk tidak membangunkan gadis-gadis yang sedang tidur. Dia kemudian turun dari tempat tidur atas. “Umm, Ayah? Mungkin lebih nyaman bagi Ayah di atas sini.”
“Ayah rasa Ayah akan tetap di sini. Ayah tidak ingin membangunkan mereka.”
“Baiklah. Ibu?”
“Maaf, Ibu benar-benar terjebak.”
“Ck. Ya baiklah. Bodo amat.”
Myuke dengan kesal kembali ke atas ranjang susun. Dia pasti sedih karena tersisihkan dalam pesta tidur keluarga.
“Ayo, bergabunglah dengan kami. Kamu bisa menyelip di sini.”
“Masih ada tempat di sampingku.”
“Aku bilang tidak apa-apa!” muram Myuke dari atas tempat tidurnya. “Aku suka di sini!”
Anima berjanji pada dirinya sendiri untuk menghabiskan waktu ekstra bermain dengannya begitu mereka tiba di ibu kota, lalu menutup matanya.
Tidak mungkin aku bisa tidur seperti ini!
Matanya terbuka lebar. Tidak mungkin Anima bisa membiarkan putrinya tertidur sendirian, menangis di atas bantalnya. Anima melirik ke samping, di mana tatapannya bertemu dengan Luina. Pertukaran tatapan yang sederhana dan diam-diam itu sudah cukup bagi pasangan itu untuk menyepakati suatu tindakan. Luina mengangguk, lalu Anima berdehem.
“Ya ampun, sepertinya aku tidak bisa tidur. Aku bertanya-tanya kenapa itu bisa terjadi. Bisakah kamu tidur, Luina?”
“Tidak, tidak sama sekali. Aku selalu tertidur begitu cepat, tapi bahkan sudah menghitung domba pun tampaknya tidak membantu. Itu sangat aneh.”
“Memang aneh… Ah, aku tahu! Mungkinkah karena Myuke tidak ada di sini?”
Tempat tidur di atas mereka berderit pendek.
“Oh, pasti itu! Sangat mudah untuk tertidur saat Myuke bersama kita.”
“Kamu benar sekali. Ah, tapi sialnya, itu membuat kita bingung. Myuke bilang dia ingin tidur sendiri.”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang…?”
Dengan beberapa derit lagi, Myuke menuruni tangga. Dia menatap dengan malu-malu ke arah Luina dan Anima, dengan menyilangkan lengan.
“Di mana aku harus tidur?”
Mereka berdua tersenyum.
“Ayo, tidurlah bersama Ayah.”
“Tidak, tidurlah dengan Ibu.”
Myuke senang dengan semua perhatian yang didapatnya. Sambil tersenyum lebar, dia mendekati tempat tidur dan meringkuk di antara Bram dan Luina.
“Sial, Ibu memenangkanmu.”
“Hore! Ibu memenangkan Myuke!”
Luina mengusapkan pipinya ke rambut merah Myuke, menyebabkan wajah Myuke menjadi merah padam.
“A-Aku akan tidur dengan Ibu malam ini, tapi jangan berkecil hati! Aku tidak membenci Ayah! Tidak benci sama sekali! Sungguh!”
“Itu sangat berarti. Bagaimana kalau kita tidur bersama besok?”
“J-Jika itu yang Ayah mau. Aku juga suka tidur bersama Ayah.”
Gumaman Myuke menghilang, membuat kamar itu sunyi. Akhirnya, Anima bisa memanjakan diri dengan manisnya istirahat saat berada di laut lepas.
◆◆◆
Saat kapal feri memulai prosedur berlabuh, matahari mulai turun ke balik cakrawala, melukis langit dengan warna jingga cerah. Keluarga itu, termasuk anggota keluarga terbarunya, turun dan berjalan di dermaga yang panjang dan kokoh.
“Apakah kamu takut gelap?” tanya Anima pada Bram.
“Tidak saat aku memegang tanganmu, oce?” jawabnya dengan tersenyum sambil memegangi tangan Anima. Tidur siang yang nyaman telah menyembuhkan mabuk lautnya, dan dia berjalan bersama yang lain dengan langkah cepat.
“Da-dah, matahayi!”
“Sampai jumpa besok!”
Di sebelah mereka, Luina dan para gadis melambai pada matahari terbenam. Dia menyaksikan matahari terbenam di bawah permukaan laut dengan senyum kerinduan.
“Indahnya,” kata Luina.
“Tidak seindah dirimu.”
“Ah, mulai lagi.”
Dia melontarkan senyum malu-malu, dibuat lebih menggemaskan dengan sedikit rona di pipinya.
“Kulihat kamu sangat mencintai Ibu, oce?”
“Pastinya! Dia mencintainya lebih dari apapun, jadi jangan pernah berpikir untuk mencoba menggantikan tempatnya! Ikatan mereka abadi!”
“Jangan menceramahiku, oce? Apakah aku benar-benar harus mengeja ini untukmu? Aku bahkan terlalu senang sekarang karena pernah mempertimbangkan untuk menjadikannya suamiku, oce?”
“Kuharap begitu…”
Myuke menyerah untuk mengganggunya lebih jauh. Dia pasti mengerti betapa puasnya Bram dengan situasinya saat ini. Setidaknya, dia sepertinya tidak perlu khawatir tentang Bram yang akan memanfaatkan pertengkaran sesaat untuk mencoba memisahkan keluarganya.
“Semua pembicaraan ini membuatku bersemangat! Membuatku ingin lari sejauh yang aku bisa, oce?!”
“Jangan. Itu berbahaya,” ingat Myuke.
“Aku bukan orang kikuk ceroboh! Hei, ayo balapan, oce?”
“Aku tidak mau, makasih.”
“Takut kalah? Cupu, oce?”
“Aku tidak takut kalah! Tapi salah satu langkah saja akan merusak seluruh perjalanan kita! Itu tidak sebanding dengan risikonya!”
“Kau sangat khawatiran, oce?”
“Oh ya? Dan menurutmu siapa yang aku khawatirkan, hmm?”
Bram tercengang.
“K-Kamu khawatir untuk… ku? Oce…”
“Tentu saja, bodoh! Kamu mungkin agak agresif, tapi kamu tetaplah adik perempuanku.”
Wajah Bram bersinar dengan senyum yang indah. Dia memeluk Myuke dan mengusapkan pipi mereka.
“Whoa, ap—?! Apa yang sedang kau lakukan?!”
“Aku sangat bahagia, oce?! Kupikir kau membenciku! Kau memelototiku sepanjang waktu, dan kau sangat keras! Itu menakutkan, oce?!”
“Jangan salahkan aku karena sudah marah ketika kau mencoba mencuri Ayahku! Dan peringatkan aku sebelum memeluk. Jantungku hampir melompat keluar.”
“Nah kan, pelototan itu lagi, oce?”
“Aku bahkan tidak marah!”
Myuke berteriak, tapi senyum di wajahnya tulus. Dia pasti menikmati memiliki seseorang untuk diajak bersenda gurau lagi, seperti yang dia lakukan dulu. Dengan bertambahnya anggota keluarga terbaru mereka, Bram, keluarga Scarlett menjadi lebih ramai.
Anima terus berjalan sambil mendengarkan pertengkaran kecil mereka. Saat dia mencapai ujung dermaga dan pemandangan kota mulai terlihat, dia melihat ke sekeliling. Sepasang orang sedang menikmati pemandangan matahari terbenam dari pantai berpasir yang indah. Mengingat waktu pada hari itu, kurangnya pengunjung tampaknya cukup standar; daerah itu mungkin penuh sesak pada siang hari.
“Aku ingin bemain!”
“Aku juga ingin bermain, tapi hari sudah mulai gelap. Kita akan kembali besok, oke?”
“Okeeey!”
“Ingin bermain dengan Ayah? Ayah akan memastikanmu tidak jatuh. “
“Uh-huh!”
Marie menatap laut, penuh kegembiraan, sementara Anima bertarung dengan iblis dalam dirinya. Di satu sisi, dia ingin melihat putri-putrinya yang lucu menikmati hari mereka di pantai, tapi di sisi lain, dia sangat takut akan kemungkinan salah satu dari mereka tenggelam.
“Shaer, apakah perairan ini aman?”
“Sangat aman. Ombaknya lemah, dan air di sekitar sini cukup dangkal. Anda seharusnya bisa membawa Nona Marie berenang tanpa masalah.”
“Itu luar biasa, terima kasih.” Anima menghela nafas lega. Meskipun airnya dangkal, dia tidak boleh melepaskan pandangannya dari Marie bahkan untuk sedetik pun. Setidaknya, tidak saat Marie sedang berenang; matanya tertuju pada sesuatu yang lain. “Mereka cukup berani untuk berjalan-jalan menggunakan… itu.”
Orang-orang di pantai hanya mengenakan pakaian dalam. Mungkin hari sudah mulai gelap, tapi melihat orang-orang berjalan-jalan dengan hampir bertelanjang bulat mengejutkan Anima sampai ke hatinya. Dia tidak tahu kenapa mereka melakukan itu, tapi alasan di balik tampilan mereka yang tidak sedap dipandang itu tidak penting ketika mereka jelas-jelas mengganggu ketertiban umum.
Meskipun melibatkan alkohol akan mengangkat masalah lain. Anima tidak ingin membiarkan anak-anaknya berkeliaran dengan segerombolan pemabuk. Bagaimanapun juga, satu hal yang jelas: dia harus tetap waspada untuk memastikan agar putri-putrinya mendapatkan hari yang riang dan tak terlupakan di pantai.
“Itu adalah pakaian renang.”
Suara Luina yang tenang dan syahdu menggoyahkan semangat membara Anima untuk melindungi kemurnian putri-putrinya.
“‘Pakaian renang’?”
“Pakaian yang dirancang khusus untuk berenang.”
“Ada sesuatu yang seperti itu?” Kalau memang begitu, orang-orang di pantai itu bukan ancaman. Anima menghela nafas lega, lalu menyadari: mengingat kesamaan pakaian renang dengan pakaian dalam, ada kemungkinan Luina memasukkan satu pakaian renang ke dalam tasnya tanpa Anima sadari. “Apa kamu punya pakaian renang, Luina?”
“Aku tidak punya.”
“Begitu ya…”
Luina menatapnya.
“Apakah kamu ingin melihatku memakainya?”
“Sejujurnya, itulah yang aku harapkan.”
Hanya melihat sekilas dari jauh sudah cukup bagi Anima untuk memahami kesaktian pakaian renang. Membayangkan sosok sempurna istrinya yang cantik berbalut pakaian seperti itu membuat seringai di wajahnya.
“Itu memalukan, tapi… aku akan memakai pakaian renang untukmu.”
“Apa kamu serius?! Baiklah, kita harus membelinya sekarang!”
“Kamu terlalu bersemangat, Ayah,” kata Myuke, dan menurunkan bahunya. “Meski kurasa aku tidak bisa menyalahkan Ayah karena ingin melihat Ibu mengenakan pakaian renang.”
“Ayah ingin melihatmu memakainya juga.”
“Tunggu, aku juga boleh beli?”
“Tentu saja! Bermain di pantai akan jauh lebih menyenangkan jika kamu memakai pakaian renang, kan? Kita juga akan membelikan satu untuk Marie dan Bram.”
“Yaaay!”
“Aku sangat senang! Aku selalu ingin mengunjungi pantai bersama keluargaku, oce?!”
Bram sepertinya tidak pernah mengalami jalan-jalan seperti ini dengan orangtuanya yang sakit-sakitan. Hasilnya, dia lebih bersemangat dengan bersenang-senang bersama keluarganya di pantai daripada mendapatkan pakaian renang baru. Menyalurkan kegembiraan itu, dia dan yang lainnya mengalihkan pandangan mereka dari pantai ke kota di depan.
“Aww, sungguh tempat yang bersih!” seru Myuke saat mereka memasuki kota.
Menjejakkan kaki di lanskap kota yang penuh warna meningkatkan semangat mereka. Pemilik rumah di ibukota diberi kebebasan untuk mengecat rumah mereka, sehingga setiap rumah dicat dengan warna yang berbeda dan cerah. Berjalan di jalanan itu seperti mengunjungi karnaval.
“Sungguh menakjubkan seperti yang kuingat,” bisik Luina saat dia berjalan di jalan yang diterangi sinar bulan.
“Apakah kamu pernah tinggal di sini sebelumnya?”
“Ya, di resor kesehatan terdekat. Ada banyak sekali penginapan dan restoran yang khusus ditujukan untuk wisatawan disini. Sampai hari ini, aku ingat dengan jelas saat bangun di pagi hari, pergi ke toko terdekat untuk menikmati sepiring makanan laut segar, lalu langsung berjalan ke pantai setelah itu.” Senyumannya yang tulus saat mengingat pengalamannya di ibukota memikat Anima. Senyuman itu tiba-tiba menjadi lebih besar, dan Luina menunjuk ke sebuah bangunan hijau cerah. “Ah, lihat! Itu adalah tempat kami menginap. Itu menghidupkan kembali begitu banyak kenangan.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita menginap di sana? Bagaimana denganmu, Shaer?”
“Saya akan pulang ke rumah.”
“Apakah kau tinggal di sekitar sini?”
“Ya, di kota kastil. Itu akan memakan waktu beberapa jam dengan berjalan kaki, tapi saya akan tiba di sana kurang lebih dua puluh menit jika saya terbang.”
“Baiklah, kalau begitu, kami akan mengucapkan selamat tinggal untuk saat ini. Apa yang harus aku siapkan besok?”
“Saya ingin pertemuan itu selesai saat matahari terbenam, jadi saya berpikir untuk datang ke sini menjemput Anda sekitar tengah hari. Kita bisa naik kereta kuda dari sini ke istana.”
“Aku juga! Naik keyeta!”
“Aku juga ingin naik, oce?”
“Ayah ada pekerjaan yang harus dilakukan. Aku ragu Ayah bisa mengajak kita bertiga bersamanya.”
Myuke menolak ide itu, tapi dia jelas-jelas ingin naik kereta. Anima tidak bisa membawa mereka ke kastil, tapi membawa mereka ke kota kastil adalah tindakan yang wajar.
“Kita semua bisa pergi ke kota kastil bersama-sama,” saran Anima dengan suara optimis.
“Menaiki kereta kuda adalah hal yang dilakukan para tuan putri, kan?!” tanya Myuke dengan senyum lebar dan mata berbinar.
“Pastinya. Sempurna untuk putri kecil Ayah.”
“Aku benar-benar akan tidur denganmu malam ini, Ayah!” seru Myuke manis, dengan senang memeluk lengan Anima saat dia dengan lembut membelai kepala Myuke.
◆◆◆
Keesokan paginya, mereka berlima keluar untuk membeli pakaian renang dan sandal pantai setelah sarapan yang lezat, lalu kembali ke penginapan mereka. Di sana, mereka dengan cepat berganti ke pakaian renang mereka sebelum menuju ke pantai.
“Waktunya pantaiiiii!”
Air biru yang indah berkilau di bawah sinar mentari yang cerah, dan orang-orang di pantai menikmati waktu mereka bermain di pasir halus yang seperti gula dan air hangat. Waktu saat ini relatif dini, tapi pantai sudah penuh dengan kehidupan. Garis pantai yang melengkung membentang sejauh mata memandang, jadi ada cukup ruang bagi semua orang—termasuk anak-anak—untuk menikmati cuaca yang indah, dan laut yang luas sesuka hati mereka.
“Wow, ini sangat ramai!”
“Ini sangat menyenangkan, oke?!”
Angin sepoi-sepoi membawa suara ceria mereka menuju cakrawala. Myuke dan Bram hampir tidak bisa menahan kegembiraan mereka.
“Aku ingin bemain!”
Melihat semua keluarga bersenang-senang, Marie berangkat melintasi pasir hangat, meninggalkan jejak kaki kecil.
“Ayah juga ingin bermain!” seru Anima, dan meraih tangannya.
Airnya mungkin dangkal, tapi bahkan ombak terkecil sekali pun berpotensi menelan anak seusia Marie. Anima ingin tetap berada di sisinya sepanjang waktu untuk menghindari kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi.
“Yaaay! Aku bemain, Ayah!”
Marie melompat-lompat seperti kelinci, membuat renda di pakaian renangnya yang menggemaskan berkibar.
“Cuaca hari ini luar biasa!”
“Ini hari yang sempurna untuk ke pantai, oce?!”
Kedua gadis itu selaras sempurna. Mereka menjadi lebih bersemangat setelah berganti ke pakaian renang mereka.
“Aku sudah tidak sabar, oce?” Bram melepas sandalnya dan pergi tanpa alas kaki di atas pasir sebelum melompat tinggi ke udara. “Ini sangat panas! Tapi sangat lembut! Rasanya luar biasa, oce?!”
“Oh wow, kau benar! Pasirnya sangat lembut di sini!”
“Aku juga! Canpa ayas!”
“Sini, Marie, biar Ayah yang memegang sendalmu.”
“Makasih, Ayah! Ah, wooow! Yembutnya!”
Gadis-gadis itu terus berlarian, bercanda mengejar satu sama lain. Mereka sepertinya menyukai daerah tempat mereka berada, jadi Anima membuka selimut dan membentangkannya di atas pasir. Tepat saat dia selesai meletakkannya, gadis-gadis itu menjatuhkan diri di selimut dan berguling-guling di atasnya.
“Hati-hati, anak-anak,” Luina memperingatkan dengan senyum lembut. “Jangan lelah sendiri sebelum masuk ke air.”
Anima juga ingin menunjukkan senyum lembut, tapi yang bisa dia keluarkan hanyalah seringai canggung. Dia benar-benar terpesona oleh bikini Luina. Payudaranya yang montok dengan merangsang mengintip dari balik bikini, dan itu membuat pahanya yang indah benar-benar telanjang. Bahkan para wanita muda yang bermain-main di sekitar mereka tidak bisa membuat Anima mengalihkan pandangannya dari istrinya.
Bertahanlah, Anima!
Dia menggelengkan kepalanya. Tidak peduli betapa indah pemandangan di hadapannya, dia harus terus mengawasi putrinya. Dengan memperkuat tekadnya, dia duduk di samping Luina, namun baja itu perlahan-lahan berkarat dan hancur. Saat dia mencuri pandang ke samping, matanya bertatapan dengan mata Luina, dan Luina langsung mengalihkan pandangannya.
“Apakah kamu baik-baik saja, Luina?” tanya Anima, ingin tahu tentang tingkahnya yang tidak biasa. “Pipimu luar biasa merah.”
“Ah, A-Aku baik-baik saja…”
“Ooh, aku tahu apa yang terjadi! Ibu benar-benar berpikir kalau Ayah seksi!”
Myuke sepertinya telah tepat sasaran, karena pipi Luina menjadi semakin merah karena kalimat itu.
“Ya, tubuhmu gila! Kamu seperti superman, oce?”
“Ayah kuat!”
“Tentu saja! Ayah akan melindungi kalian dari segala bahaya. Tentu saja, aku akan melindungimu juga, Luina.”
“Aku tahu kamu akan melakukannya. Aku senang sudah menikah dengan pria yang dapat diandalkan.”
“Hei, bisakah kita segera pergi berenang?”
“Ayo, oce?!”
“Baiklah, ayo masuk ke dalam air!”
Mereka melompat dari selimut, meletakkan sandal mereka, dan bergegas ke air.
“Hyahn, dingin! Tapi aku cuka!” seru Marie sambil memercikkan air dengan kaki mungilnya. Myuke dan Bram juga menikmati airnya, tapi berada begitu dekat dengan tepi laut agak mengecewakan bagi mereka.
“Bisakah kita masuk lebih dalam?”
“Tentu saja, tapi hati-hati. Tetaplah di atas air.”
“Kami akan baik-baik saja. Aku akan bersamanya, oce?”
“Hah, kayak aku butuh bantuanmu saja! Aku berenang seperti putri duyung!”
“Oh, benarkah? Kalau begitu, mari kita uji, oce?”
“Jangan menangis saat kutunjukkan!”
Percikan tatapan terbang di antara mereka, tapi tidak ada jejak permusuhan dalam kata-kata mereka; mereka berdua senang telah menemukan saingan yang layak. Keduanya masuk ke air setinggi pinggang, di mana mereka mulai berenang. Anima tetap berada di perairan yang lebih dangkal, bermain dengan Marie dan Luina sambil mengawasi mereka dari sudut matanya.
“Jingiiiin! Cipat aku yagi!”
“Nih! Kena kau!”
“Hyahaha! Acin!”
Marie melingkarkan tangannya di perut dan tertawa. Dia sangat menikmati menghabiskan waktunya di pantai. Membiarkannya menikmati kali pertamanya di laut, mereka terus bermain sampai tangan Anima mulai keriput.
“Ha-chow!” Marie bersin. Bibirnya juga mulai membiru.
“Dia pasti kedinginan. Haruskah kita istirahat?”
“Ya, ayo lakukan itu. Marie, apakah kamu ingin berguling-guling di selimut dengan Ayah?”
“Uh-huh! Ayah tahu, Ayah tahu, aku sangat pandai beguying! Lihat, Ayah! Lihat! Vwoom, vwoom!”
Marie mulai berguling-guling di pasir, yang pada akhirnya menghangatkan tubuhnya. Anehnya, meskipun dia sangat bangga dengan kemampuan bergulingnya, dia berhenti hampir secepat dia mulai. Dia berdiri dan mengamati daerah itu dengan putus asa.
“Apa yang kamu cari?”
“Aku ingin beguling dengan Myukey dan Brum…”
Dia mulai bosan bermain sendiri, jadi Anima menunjuk ke arah selimut mereka, dimana Myuke dan Bram sedang bermain pasir.
“Mereka ada di sana. Lihat?”
“Kayian main apa?” tanya Marie sambil bergegas ke arah selimut, diikuti dari belakang oleh Anima dan Luina. Gadis-gadis itu menyambut mereka dengan seringai bangga.
“Kami sedang membangun istana pasir!”
“Myuke ingin mengetahui siapa yang bisa membangun istana dengan lebih baik! Dia terlalu terpaku karena kalah dalam lomba renang, oce?”
“Kau bilang apa?! Aku tidak kalah, terima kasih banyak! Aku sejuta kali lebih baik dari dia!”
“Oh, benarkah? Kalau begitu beri tahu aku kenapa kamu bilang kita harus kembali ke pantai setelah perlombaan kita, oce?”
“Itu karena… Itu karena kamu mulai bersin. Kupikir kamu kedinginan.”
Bram langsung memeluk Myuke dengan senyum lebar di wajahnya setelah mendengar pengakuannya yang malu-malu.
“Kamu sangat baik, oce?!”
“Sudah kubilang untuk memperingatkanku sebelum memeluk!”
“Aku memelukmu, oce?”
“Aku juga peyuk!”
Marie juga menempel pada Myuke. Senyum senang Myuke memberi tahu semua orang betapa bahagianya dia karena mendapatkan begitu banyak cinta dari adik-adiknya.
“Kapan icananya celecai?” tanya Marie, melihat dengan rasa ingin tahu pada tumpukan pasir di sampingnya.
“Aku akan selesai sebelum makan siang. Aku akan membuatkanmu istana termanis dan paling menggemaskan yang pernah kamu lihat, jadi nantikanlah!”
“Kita akan lihat itu! Aku akan membuat istana yang jauh lebih baik dari yang bisa kau buat, oce?!”
“Cemoga beyuntung!”
“Aku tidak butuh keberuntungan untuk mengalahkannya!”
“Kamu sudah kalah, oce?”
Mereka mulai membangun kastil mereka sementara Marie menyemangati mereka. Dia melihat mereka bekerja dari dekat, dengan senyum lebar di wajahnya.
“Ayah, pipis!”
Marie tiba-tiba mengapitkan kakinya sendiri dan menarik lengan baju Anima. Anima dengan cepat mengangkatnya.
“Apakah kamu ingat di mana kamar mandi terdekat?” tanya Anima pada Luina.
“Maaf, aku tidak tahu…”
“Baiklah, kalau begitu aku akan membawanya kembali ke penginapan.”
“Itu seharusnya lebih cepat dari sekedar mencari di pantai. Sementara itu, aku akan mengawasi mereka berdua.”
“Makasih.”
Dia meninggalkan gadis-gadis itu dan membawa Marie kembali ke penginapan. Marie tampak lapar, jadi Anima memberinya beberapa buah kering setelah dia selesai di kamar mandi, dan mereka berjalan kembali ke istana yang sedang dibangun.
“Meyeka cudah membayun?”
“Ayah tidak yakin, tapi Ayah menantikan apa yang mereka buat.”
“Uh-huh! Aku juga!”
Mereka tiba kembali di pantai setelah hanya beberapa menit, dan langsung menuju selimut mereka.
“Minta maaf pada Myuke sekarang, oce?!”
Raungan amarah Bram melesat di pantai. Dia sedang berdebat dengan seorang pria muda, berkulit cokelat, dan berbadan tegap. Pria itu menatapnya dengan tatapan kesal, sementara Luina sedang menghibur Myuke saat dia merajuk di samping mereka.
“Apa yang terjadi?”
Saat Anima tiba, Bram dengan agresif menunjuk pria itu.
“Dia merayu Ibu! Lalu dia menginjak istana Myuke setelah dia ditolak, oce?!”
“Sudah kubilang, itu tidak sengaja!”
“Tidak, tidak begitu, oce?! Kau bahkan membenamkan kakimu disana setelah menginjaknya! Pantas saja Ibu menolakmu! Dia langsung tahu kalau kau adalah belatung, oce?!”
“Apa katamu barusan, bocah?! Sini dan biarkan aku mengajarimu apa itu disiplin!” Dia mengangkat tangan, siap untuk memukulnya, tapi Anima menangkap lengannya. “Oww! Apa yang kau–”
Pria itu berbalik menghadap Anima. Saat itu juga, wajahnya memucat dan cahaya di matanya menghilang. Seolah-olah dia baru saja bertemu Malaikat Maut itu sendiri, seluruh tubuhnya gemetar ketakutan.
“Apa kau baru saja mencoba untuk memukul putriku?” tanya Anima dengan suara tenang dan dingin.
“T-Tidak, aku hanya—”
“Dan kau menghancurkan istana pasir yang sudah dia bangun dengan susah payah?”
“I-Itu ti—”
Anima mengencangkan cengkeramannya di lengan pria itu dan menatap lurus ke matanya dengan bara amarah.
“Kau ingin mendengarkan derit lenganmu saat dihancurkan, atau kau akan meminta maaf pada putriku dengan tulus. Pilihlah dengan bijak.”
Saat Anima melepaskan lengannya, pria itu jatuh ke pasir seolah-olah seseorang telah menarik kursi dari bawahnya. Dia menyeret dirinya ke depan, dan menekan dahinya ke pasir.
“Aku minta maaf karena telah menghancurkan istanamu! Dan aku minta maaf karena telah mengancammu!”
Dia menatap Anima, memohon ampunan, tapi Anima benar-benar mengabaikannya dan berbalik ke arah Myuke.
“Bagaimana menurutmu, Myuke? Apakah kamu memaafkannya?” tanya Anima dengan suara termanis dan paling lembut.
Myuke perlahan melihat ke atas. Dia menyeka air matanya, mengendus dua kali, dan memelototi pria itu dengan mata merahnya yang bengkak.
“Enyahlah.”
Mendengar penilaian Myuke, Anima menatap pria itu.
“Jangan pernah menunjukkan dirimu di hadapan keluargaku lagi.” Pria itu bergegas kabur, merangkak untuk menyelamatkan nyawanya. Setelah dia menghilang dari pandangan mereka, Anima dengan lembut membelai kepala Myuke. “Ayah sedih tentang istanamu.”
“Itu adalah istana yang sangat keren…” jawab Myuke dengan anggukan kecil.
“Istananya menakjubkan, Myuke, oce?”
“Kamu membuatnya dengan sangat baik.”
Kata-kata manis Bram dan Luina membuat dia tersenyum kecil. Anima menepukkan tangan dan berbicara pada keluarganya.
“Bagaimana kalau kita semua membangun istana pasir bersama-sama?”
Suaranya yang ceria disambut dengan anggukan yang bahkan lebih ceria oleh Marie.
“Mau! Aku mau!”
“Mari bekerja sama untuk membangun istana paling menakjubkan yang pernah dilihat di pantai ini!”
“Ini akan menjadi istana terbaik yang pernah ada, oce?!”
“Aku akan membuatnya seratus kali lebih tinggi dari yang lain!”
Dengan Myuke yang terhibur, mereka mulai mengerjakan istana baru mereka. Tidak butuh waktu lama sampai suara mereka bergema melintasi pantai.
“Selesai!”
Saat menara terakhirnya menerima sentuhan akhir, mereka berlima merayakan kreasi luar biasa mereka dengan sorak-sorai dan tos.