6. Pertanda Badai – Kemah Ski Perkumpulan (Selama Perjalanan)
Sudah sekitar satu minggu sejak ujian berakhir.
Saat ini, aku berangkat ke universitas di sore hari bersama Ishida bersaudara.
Alasannya adalah kami akan pergi ke kemah ski perkumpulan selama akhir pekan tiga hari mulai besok.
Ketika kami tiba di kampus pada jam 8 malam, sudah banyak peserta yang berkumpul di depan pintu masuk gereja, titik pertemuan yang telah ditentukan.
“Wah, pesertanya lumayan banyak,” kata Ishida terkesan.
Aku memiliki kesan yang sama. Mungkin sudah ada lebih dari tiga puluh orang yang hadir sekarang.
Tampaknya kekhawatiran awal ketua perkumpulan, Nakazaki-san, tentang tidak cukupnya peserta tidak berdasar.
Kami pun mencari Nakazaki-san, yang seharusnya sedang melakukan absensi kehadiran.
Di dekat gerbang, di samping meja informasi, Nakazaki-san tengah mengecek kehadiran mahasiswi yang juga ikut berpartisipasi.
Kami berbaris di belakang mereka, dan sebentar lagi giliran kami.
“Yuu Isshiki, Youta Ishida, dan Meika Ishida, kami bertiga,”
Ketika aku mengatakan itu, Nakazaki-san mendongak dari buku catatan di tangannya.
“Oh, kalian sudah datang. Kalian sungguh membantuku kali ini.”
Mendengar itu, aku memiringkan kepalaku bingung di dalam hati.
Sementara Ishida memenuhi harapan Nakazaki-san dengan membawa serta Meika-chan, tapi aku tidak membantunya sama sekali.
“Nakazaki-san, meski kamu sempat khawatir, tapi jumlah pesertanya cukup banyak.”
Ketika aku menyebutkan itu, Nakazaki-san menjawab pertanyaanku.
“Ya, aku juga sempat kebingungan dan menghubungi banyak tempat. Biasanya, aku tidak menghubungi mahasiswa tahun keempat, mahasiswa pasca-sarjana, atau alumni. Tapi kemudian semua orang mulai berkata, ‘Jika Touko-san ikut, kami akan ikut juga.’”
…Aku mengerti, jadi begitu ya.
Nakazaki-san menepuk punggungku saat aku mengangguk mengerti.
“Ini semua berkatmu, Isshiki.”
Mendengar dia mengatakan itu memang menenangkan, tapi apa benar Touko-senpai berpartisipasi di kemah ski karenaku?
“Aku juga sudah berusaha, lho,” kata Ishida dengan ekspresi sedikit cemberut.
“Ah, maaf, maaf. Aku juga berterima kasih padamu, Ishida. Ada beberapa orang juga yang jadi heboh karena ada cewek SMA yangikut tahun ini,” kata Nakazaki-san sambil tertawa, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Meika-chan. “Apakah gadis ini adik Ishida? Namanya Meika-chan, kan? Aku Nakazaki, ketua perkumpulan ini. Senang bertemu denganmu.”
“Namaku Meika Ishida. Terima kasih karena telah mengundangku. Senang bertemu denganmu juga,” sapa Meika-chan dengan tersenyum meski dia tampak sedikit terintimidasi.
Nakazaki-san memang memiliki wajah yang cukup garang. Jadi meskipun dia menyapa dengan senyuman, wajar saja jika seorang gadis SMA yang bertemu dengannya untuk pertama kalinya akan sedikit terintimidasi.
“Kamu gadis yang kuat. Busnya akan segera datang, jadi silakan tunggu di sana,” kata Nakazaki-san dan mulai mengabsen peserta berikutnya.
“Ini makin dingin, tapi mau bagaimana lagi,” kata Ishida sambil meletakkan tas olahraga besarnya di tanah.
“Ya,” jawabku acuh tak acuh sambil mencari-cari keberadaan Touko-senpai.
Tapi aku tidak bisa menemukannya. Mungkinkah dia belum datang?
“Karena akan dingin menunggu seperti ini, aku mau membeli kopi kaleng. Kalian berdua mau apa?”
“Aku juga mau kopi kaleng. Yang manis.”
“Aku mau teh.”
“Oke.”
Aku pun berlari kecil menuju mesin penjual otomatis.
Ketika aku kembali setelah membeli kopi kalengan dan teh, aku melihat orang-orang sedang berkumpul di tempatku berada sebelumnya.
Tidak, jika dilihat baik-baik, apakah mereka berkumpul di sekitar Meika-chan?
“Apakah ini cewek SMA yang ikut berpartisipasi kali ini?”
“Wow, cewek SMA sungguhan!”
“Dia sangat imut, ya?”
“Kita juga anak SMA setahun yang lalu, lho.”
“Tapi satu tahun itu membuat perbedaan besar. Cewek SMA memiliki kesegaran yang berbeda.”
“Huh, kamu adik Ishida? Aku tidak percaya!”
“Ishida punya adik yang imut seperti ini?”
“Si adik cantik dan si kakak buruk rupa, ya?”
Dia menjadi cukup populer. Kalau seperti ini, aku yakin dia akan menikmati perjalanannya juga.
“Isshiki-kun.”
Seseorang memanggilku dari belakang.
Ketika aku berbalik, orang itu adalah Touko-senpai.
Sahabatnya, Kazumi Kanou-san, juga ada bersamanya. Mereka mungkin datang bersama.
“Selamat malam, Touko-senpai. Apakah kamu baru saja sampai?”
“Ya,” katanya, melirik ke arah Meika-chan. “Meika-san cukup populer, ya?”
Oh syukurlah. Touko-senpai tersenyum. Sepertinya dia sedang dalam suasana hati yang baik.
Kazumi-san pun menatap Ishida.
“Apakah tidak apa-apa? Adikmu tersayang bisa menjadi mangsa para mahasiswa yang kelaparan, lho.”
Ishida, sambil menerima kopi kalengan dariku, menjawab dengan optimis.
“Jangan khawatir. Lagipula pangeran Meika sudah diputuskan.”
“Memangnya siapa pangerannya?”
“Itu Yuu. Adikku sudah naksir Yuu sejak SMP.”
Mendengar itu, ekspresi Touko-senpai menjadi terganggu.
“Jangan berkata yang aneh-aneh,” kataku menegur Ishida.
“Tidak masalah, kan? Lagipula itulah faktanya. Bahkan aku pun tidak keberatan jika Yuu menjadi adik iparku.”
Dia mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang lain salah paham.
Orang ini, kenapa dia malah mengatakan hal aneh seperti itu di depan Touko-senpai?
“Isshiki-kun, kamu benar-benar hebat. Tepat ketika kupikir kamu baru putus dengan mantanmu, tapi ternyata kamu sudah punya calon pacar berikutnya, ya? Dan orang itu kebetulan adik sahabatmu,” goda Kazumi-san. Namun, matanya tampak tidak tersenyum…
Di sebelahnya, aku merasa ekspresi wajah Touko-senpai menjadi lebih rumit.
“Kazumi-san juga, tolong berhentillah mengatakan hal-hal aneh. Aku dan Meika-chan tidak seperti itu, tahu!” kataku menyangkalnya untuk mencegah timbulnya kesalahpahaman lebih lanjut.
“Um, begini, Isshiki-kun.”
Tiba-tiba, Touko-senpai berkata menyela. Ini tidak biasa.
“Ya?”
“Isshiki-kun, apakah kamu sudah makan malam? Jika belum, maka…”
“Yuu-san!”
Kali ini, Meika-chan memanggilku dengan suara keras.
Suaranya menyela kata-kata Touko-senpai.
Ketika aku melihatnya, dia mendorong melewati kerumunan di sekelilingnya dan berlari ke arahku.
Dia tiba-tiba berhenti di depanku dan menundukkan kepalanya ke arah Touko-senpai.
“Selamat malam, Touko-san. Jadi, Touko-san memutuskan untuk ikut kemah ski juga, ya.”
“Ya, lagipula ini acara spesial. Dan semua orang jarang mendapat kesempatan untuk berpergian bersama seperti ini.”
“Itu benar. Dan di antara semua orang itu, aku telah diberi kesempatan untuk bergabung kali ini. Mohon bantuannya!”
Entah kenapa, Meika-chan menekankan kata ‘semua orang.’
Lalu dia menoleh ke arahku.
“Yuu-san, kamu akan duduk di sebelahku di bus, kan?”
“Eh? Eeeh?”
“Aku takut duduk di sebelah orang yang tidak kukenal. Kumohon!” katanya, sambil menempel di lenganku.
Tapi, apakah hanya perasaanku saja atau Meika-chan memang sengaja melakukan ini di depan Touko-senpai? Atau mungkin aku saja yang terlalu berlebihan memikirkannya?
Mau tak mau aku melirik ekspresi Touko-senpai.
Touko-senpai juga tampak kesulitan.
“Yuu-san, aku juga membuat sandwich untukmu makan malam! Ayo makan bersama di bus, oke?”
Di tengah pernyataan Meika-chan yang keras, aku melihat sekilas ke arah Touko-senpai, dan…
Ekspresi Touko-senpai berubah setelah mendengar itu. Tapi…
“Karena Meika-san tampaknya merasa cemas dikelilingi oleh orang asing, jadi tidak ada pilihan lain selain kamu berada di sisinya, kan, Isshiki-kun?”
Setelah Touko-senpai mengatakan itu, dia dengan cepat memunggungiku, berjalan pergi.
Dia tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan apapun.
Aku bertanya-tanya, atmosfir apa yang kurasakan dari Touko-senpai sebelumnya? Rasanya dia ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi…
Kemudian, Kazumi-san memberikan sebuah sikutan ringan ke dadaku.
“Itu pertanda badai, Isshiki-kun,” kata Kazumi-san sambil menyeringai, kemudian mengikuti Touko-senpai. Tapi matanya masih belum tersenyum.
Dan Meika-chan, yang masih menempel di lenganku, memelototi Touko-senpai.
Kemudian, bahuku pun ditepuk.
“Itu pertanda badai, Isshiki-kun,” kata Ishida menirukan Kazumi-san, tertawa sambil menyeringai juga. Tapi, matanya benar-benar tersenyum.
…Bahkan kamu juga? Sebenarnya apa yang kau coba katakan?
Dan aku menatap Ishida dengan ekspresi bingung.
× × ×
Bus tiba tepat sebelum jam 9 malam. Itu adalah bus pariwisata yang lebih megah dari yang aku bayangkan.
“Kudengar alumni yang bekerja di biro perjalanan memesankannya dengan harga murah,” kata seseorang di belakangku.
“Yuu-san, ayo cepat naik!” kata Meika-chan sambil menarik lenganku, mencoba naik ke bus.
“Uh, tidak perlu terburu-buru, kan.”
Ketika aku berkata begitu, Meika-chan melirik ke belakang sebentar.
Aku mengikuti arah tatapannya, dan melihat… ada Touko-senpai di sana.
Dia belum akan naik bus. Jika kursi terisi dari belakang, maka Touko-senpai dan yang lainnya kemungkinan akan duduk di depan.
“Aku mungkin akan mabuk perjalanan, jadi aku lebih memilih duduk di belakang,” kata Meika-chan, mendesakku.
Dengan dia mengatakan itu, aku tidak bisa lagi menolak.
“Ishida, ayo naik!”
Aku memanggil Ishida. Ishida mengikuti dengan ekspresi yang mengatakan, “Hadeh.”
“Meika-chan, kalau kamu mabuk, bukankah lebih baik kalau kamu duduk di dekat jendela?”
Ketika aku mengatakan itu, Meika-chan menggelengkan kepalanya.
“Aku lebih suka duduk di tempat yang memudahkanku untuk pergi ke toilet, jadi Yuu-san, tolong duduklah di dekat jendela.”
Mengatakan itu, dia mendorongku ke kursi dekat jendela dari kursi dua baris dan dia pun duduk di kursi sisi lorong, seolah-olah ingin menutupiku.
“Di mana aku duduk?” tanya Ishida dengan ekspresi konyol.
“Bagaimana kalau kamu duduk di kursi depan saja, Onii-chan? Aku bahkan tidak keberatan jika kamu duduk di kursi kernet,” jawab Meika-chan acuh tak acuh, dan Ishida pun bergumam, “Yang benar saja,” sebelum duduk di kursi depan.
Setelah semua orang duduk, Nakazaki-san naik ke bus dan berseru, “Apakah semuanya sudah naik? Kalau begitu ayo berangkat!”
Kursi belakang ditempati oleh para alumni.
Aku dan Meika-chan duduk di sisi kanan baris ketiga dari belakang, sedangkan Ishida duduk di depan bersama seorang mahasiswa dari Fakultas Studi Internasional.
Ngomong-ngomong, Touko-senpai duduk di sisi kanan baris ketiga dari depan bersama Kazumi-san.
Saat bus mulai bergerak, Meika-chan mengeluarkan smartphone-nya.
“Kita akan menghabiskan banyak waktu di bus, kan? Jadi, bagaimana kalau kita main game bersama?”
“Kedengarannya menyenangkan, tapi game seperti apa yang ingin kamu mainkan?”
“Ada game puzzle multiplayer yang populer di sekolahku. Bagaimana dengan itu?”
“Oke, ayo kita main itu.”
Aku pun langsung mengunduh game tersebut di ponselku.
Tampaknya ini adalah game puzzle yang cukup populer dengan fungsi multiplayer.
“Baiklah, ini dia. Siap~ mulai!”
Dengan teriakan dari Meika-chan sebagai aba-aba, kami pun mulai bermain.
Namun, pertandingan berakhir dengan cepat dan antiklimaks.
Aku menang telak, setelah dengan cepat menghapus puzzle dengan kombo. Dalam game ini, damage yang kita timbulkan pada lawan didasarkan pada poin yang kita peroleh.
“I-Ini baru pemanasan! Posisi kepingan puzzle-ku jelek! Ayo main lagi.”
Tapi aku juga dengan mudah memenangkan babak kedua.
“Sekali lagi. Ayo main sekali lagi!”
Mungkin merasa sangat frustasi karena kalah, Meika-chan mengulangi kata-kata tersebut berulang kali.
…Meika-chan sepertinya telah memasuki Mode Phoenix…
Aku tidak ingat siapa yang mengatakannya pertama kali, tapi di antara teman-temanku, kami menyebut mereka yang berkata, “Sekali lagi”, bahkan setelah terus kalah dalam game atau mahjong, sebagai ‘mode phoenix.’
Ini merujuk pada legenda burung phoenix, yang dikatakan membakar dirinya sendiri dalam api dan terlahir kembali dari abunya.
Saat aku mencoba menahan tawaku, Meika-chan dengan cepat menyadarinya.
“Kenapa kamu tertawa?!”
“Yah, aku hanya berpikir bahwa terlepas dari penampilanmu, kamu ternyata cukup kompetitif, Meika-chan.”
Meika-chan pun menatapku cemberut dan menyatakan, “Ayo main satu ronde lagi!”
Tapi satu menit kemudian…
“Ahh, aku kalah lagi!”
‘Kau tahu, tidak peduli berapa kali pun kamu mencoba, kamu tidak akan bisa mengalahkanku.”
Saat aku mengatakan itu sambil tertawa, Meika-chan terlihat sangat frustasi.
“Uuuuh, Yuu-san, tidakkah kamu pikir kamu seharusnya sedikit mengalah padaku?”
“Hahaha, Meika-chan. Kalau soal game, aku tidak menunjukkan belas kasihan, bahkan kepada perempuan dan anak-anak sekali pun.”
“Tidak baik! Hari ini, kamu berbeda dari Yuu-san yang biasanya baik!”
Ketika Meika-chan mengatakan hal itu dengan setengah marah, seorang mahasiswa tahun kedua, yang duduk tepat di belakang kami, memanggil.
“Apa ini, Isshiki? Apakah kamu mem-bully cewek SMA?”
“Bukan begitu. Ini hanya game, game.”
“Meika-chan, jika Isshiki jahat, bagaimana kalau kamu bermain denganku saja?”
Namun sebagai tanggapan, Meika-chan menjawab dengan riang.
“Tidak apa-apa. Aku lebih bersemangat ketika melawan lawan yang kuat. Selain itu, Yuu-san yang berbeda dari biasanya seperti ini juga menarik.”
“Eh, Jadi itu artinya aku ditolak?” kata Mahasiswa tahun kedua itu, dan Meika-chan menjawabnya dengan senyum diam.
Aku merasa itu lucu dan menahan tawaku agar mahasiswa tahun kedua itu tidak menyadarinya.
Kemudian, mahasiswa tahun kedua lainnya, yang duduk di belakang kami secara diagonal, memanggil Meika-chan.
“Meika-chan, kamu kelas dua SMA, kan?”
“Ya, benar.”
“Kamu sekolah di SMA mana?”
Pertanyaan itu datang dari mahasiswa yang duduk tepat di belakangku.
“Akademi Putri Ichikawa,” jawab Meika-chan dengan sedikit waspada.
“Oh, Akademi Putri Ichikawa, di sini ada yang lulusan dari sekolah itu juga, kan?”
“Kamu akan mengikuti ujian masuk universitas tahun depan, kan? Apakah kamu akan mendaftar ke universitas kami?”
“Rencananya begitu, tapi dengan nilaiku saat ini, mungkin sulit bagiku untuk masuk ke Universitas Jouto.”
“Kalau begitu, aku bisa membantumu belajar. Kamu bisa datang menemuiku di kampus sesekali.”
“Aku juga bisa mengajarimu. Jika itu Meika-chan, aku akan mengajarimu secara gratis!”
Oi, oi, tunggu sebentar. Ini mulai terasa seperti perkumpulan para buaya darat yang mencoba menggaet cewek SMA.
“Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku sudah punya janji dengan Yuu-san bahwa dia akan membantuku belajar!”
Meika-chan dengan tegas menolak sambil tersenyum.
“Apa? Bahkan Meika-chan pun terpikat pada pesona Isshiki! Kenapa Isshiki begitu populer seperti ini?”
“Meika-chan, kamu harus berhati-hati di dekat Isshiki. Dia bisa sangat berbahaya.”
…Apa maksudmu dengan “berbahaya”? Kamu sendiri tampak jauh lebih berbahaya…
“Itu tidak benar. Yuu-san adalah orang yang baik. Tidak ada yang berbahaya darinya!”
Saat Meika-chan mengatakan itu dengan nada marah, Mina-san, yang berada di seberang lorong, tertawa terbahak-bahak. Selanjutnya, Manami-san, yang duduk di sebelahnya, juga tertawa dengan cara yang sama.
Mina-san dan Manami-san adalah anggota inti perkumpulan. Aku mengenal mereka di toko kue makan sepuasnya karena diperkenalkan oleh Touko-senpai, dan aku berteman baik dengan mereka sejak saat itu.
“Kalian ini, sudahlah. Meika-chan jelas merasa terganggu,” kata Mina-san.
“Ya, benar. Tidak ada gunanya melampiaskannya pada Isshiki-kun hanya karena kalian ditolak oleh seorang gadis SMA, kan?” tambah Manami-san.
“Oh, jadi ada sekutu Isshiki lain di sini, ya?”
“Kami pikir musim semi akhirnya akan datang untuk kami saat Kamokura-san pergi, tapi sekarang malah masanya Isshiki.”
Lalu, tiba-tiba, Mina-san angkat bicara menanggapinya.
“Tidak, tidak, bukan salah Isshiki-kun kalau musim semi tidak datang ke kalian. Itu salah daya tarik kalian sendiri.”
Kamu masih berbicara blak-blakan seperti biasanya ya, Mina-san.
“Kalau begitu, aku akan melakukan tes psikologi sekarang. Meika-chan, Isshiki-kun, tolong jawab pertanyaanku.”
Entah kenapa, Manami-san tiba-tiba mengatakan itu.
“Tes psikologi? Tes psikologi macam apa?”
Menanggapi hal itu, Manami-san tersenyum nakal.
“Nah, itu kejutan untuk di bagian akhirnya. Jawab saja dengan hal pertama yang terlintas di benak kalian tanpa berpikir terlalu dalam, oke? Ini dia pertanyaannya.”
Rasanya dia memulai ini tanpa persetujuan, tapi yah, tidak apalah. Lagian aku tidak punya hal lain untuk dilakukan.
“Kalian telah memutuskan untuk mendaki gunung. Apakah kalian akan pergi ke gunung tinggi yang jauh atau gunung rendah terdekat?”
“Aku akan memilih gunung rendah terdekat,” jawab Meika-chan.
“Kalau aku memilih gunung tinggi yang jauh. Sebab pemandangannya pasti terlihat indah.”
Manami-san mengangguk puas.
“Sekarang untuk pertanyaan kedua. Ketika mendaki, apakah kalian membuat rencana dengan cermat atau hanya mengikuti arus dan menikmati suasana?”
“Uum, kurasa aku ingin menikmati suasana. Tapi karena ini gunung yang tinggi, aku mungkin akan merencanakannya dengan cermat.”
“Aku akan mengikuti arus dan menikmati suasana.”
Selanjutnya, Manami-san bertanya, “Hewan apa yang kalian temui pertama di pegunungan? Dan hewan apa yang kalian temui berikutnya?”
Aku menjawab, “Pertama anjing, selanjutnya rusa.”
Jawaban Meika-chan adalah “Kelinci dan monyet.”
“Sekarang untuk pertanyaan keempat. Kalian menemukan tebing di tengah jalan pegunungan. Seberapa tinggi tebing itu?”
“Tebing di tengah jalan, ya? Hmmm, tebing yang sangat tinggi, yang hampir tidak bisa didaki, kurasa.”
“Karena berada di tengah jalan pegunungan yang kupilih, kurasa tebingnya tidak terlalu tinggi, hanya setinggi 2-3 meter. Oh, tapi ada banyak batu dan rintangan lainnya…”
Entah kenapa, Manami-san menyeringai.
“Pertanyaan kelima. Di gunung, kalian menemukan gubuk tempat kalian bisa beristirahat. Di mana letaknya? Di kaki gunung, di sekitaran tengah, atau di dekat puncak?”
“Kurasa di dekat puncak,” jawab Meika-chan.
“Kalau aku di sekitar tengah gunung atau sedikit lebih tinggi.”
“Pertanyaan keenam. Kalian memasuki gubuk tersebut, dan ada lilin yang menyala di dalamnya. Ada berapa lilin di sana?”
“Mungkin sekitar tiga buah,” jawabku.
“Kurasa aku juga kurang lebih sama,” jawab Meika-chan.
“Sekarang, untuk pertanyaan terakhir. Ada lukisan yang tergantung di dinding gubuk. Lukisan seperti apa itu?”
“Lukisan seorang wanita muda yang berpakaian indah. Tapi dia terlihat agak nakal,” jawab Meika-chan.
Kupikir itu pemikiran yang feminin, tapi Manami-san tampak terkejut.
“Bagaimana denganmu, Isshiki-kun?”
Aku merenung sejenak. Gambaran pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah lukisan ‘banyak orang yang meminta pertolongan kepada sang Dewi.’ Namun, entah kenapa, gambaran itu dengan cepat berubah menjadi lukisan ‘seorang gadis cantik yang diculik oleh seorang pria berjenggot.’
“Hmm, ini sulit. Jika aku harus memilih, itu adalah lukisan ‘seorang gadis cantik yang diculik oleh seorang pria berjenggot.’ Gadis itu mencari bantuan, tapi dia dibawa pergi oleh pria itu dengan kabut hitam. Lukisan seperti itu.”
“Apakah itu sesuatu seperti ini?”
Mina-san mencari di smartphone-nya dan menunjukkannya padaku.
“Ya, kira-kira seperti ini. Bagaimana kamu bisa tahu?”
Aku mengatakan hal ini dengan kaget sekaligus kagum, tapi Mina-san menjawabnya seolah itu biasa saja.
“Ini adalah lukisan terkenal. Lukisan ini menggambarkan Hades, raja Dunia Bawah, yang menculik Persephone, gadis musim semi. Omong-omong Isshiki-kun, kenapa kamu bilang, ‘ini sulit’ sebelumnya? Kurasa ini tidak terlalu sulit.”
“Itu karena pada awalnya aku memikirkan lukisan ‘banyak orang yang meminta pertolongan dari sang dewi.’”
Mendengar itu, Manami-san menyeringai lagi.
“Kalau begitu, sekarang aku akan mengumumkan hasil tes psikologinya!”
Mata Meika-chan berbinar penuh harap. Perempuan sepertinya sangat menikmati hal-hal semacam ini.
“Pertanyaan pertama, ‘Gunung terdekat atau gunung yang jauh,’ mewakili pasangan pernikahan seperti apa yang kalian inginkan.”
Pasangan pernikahan? Apa maksudnya?
Manami-san dengan cepat menjelaskan jawabannya.
“Mereka yang menjawab ‘pegunungan terdekat’ menginginkan pasangan menikah yang dekat dan dalam jangkauan mereka. Di sisi lain, mereka yang menjawab ‘gunung yang jauh’ mencari pasangan yang ideal, meskipun orang itu berada di luar jangkauan mereka.”
Meika-chan menatapku, memberikan kesan seolah dia ingin mengatakan sesuatu.
“Sekarang mari kita bicara tentang pertanyaan selanjutnya. Itu artinya tentang pendekatan berkencan, apakah kalian akan menikmatinya berdasarkan perasaan atau merencanakannya terlebih dahulu.”
Begitukah?
“Untuk pertanyaan ketiga tentang ‘hewan yang ditemui di pegunungan,’ adalah gambaran di mana yang pertama mewakili diri sendiri, dan yang kedua mewakili kekasih atau seseorang yang kalian sukai.”
Mendengar itu, Mina-san sepertinya mengerti dan mengangguk.
“Gambaran diri Isshiki-kun adalah ‘anjing,’ dan Meika-chan adalah ‘kelinci.’ Itu cocok untuk kalian. Yang kedua mewakili kekasih atau seseorang yang kalian suka. Aku agak bisa mengerti pilihan Meika-chan atas ‘monyet,’ tapi aku bertanya-tanya siapa yang dimaksud Isshiki-kun saat mengatakan ‘rusa’, ya?”
Mina-san pun menatapku dan tersenyum. Entah kenapa aku tidak suka senyumannya itu.
“Adapun pertanyaan keempat tentang ‘ketinggian tebing,’ ini mewakili ‘tingkat hambatan yang kalian rasakan untuk menggapai cinta kalian.’ Semakin tinggi tebingnya, maka kalian merasa semakin panjang jalan menuju cintamu!”
“Bagaimana jika sepertiku, tebingnya tidak tinggi, tapi ada banyak rintangan yang membuatnya sulit untuk didaki?”
Meika-chan tampaknya sangat tertarik dengan tes ini. Dia seharusnya tidak perlu seserius itu.
“Menurutku Meika-chan mungkin merasa bahwa mencapai cintamu itu sebenarnya tidak sulit, tapi ada banyak hambatan di jalanmu.”
Aku bisa merasakan seringai Manami-san dan tatapan tajam Meika-chan.
“Nah, untuk pertanyaan kelima, ‘lokasi gubuk’ mewakili usia atau perbedaan status sosial dengan pasangan impian kalian.”
“Untuk Meika-chan orang yang lebih tua, dan Isshiki-kun kira-kira orang yang seumuran atau sedikit lebih tua, kurasa,”
Mina-san menafsirkannya seperti itu sambil menyeringai.
Nah, tes psikologi ini terasa sedikit menakutkan karena aku merasa itu tampaknya tepat sasaran.
“Jumlah lilin di dalam gubuk mewakili jumlah teman dekat yang kalian miliki atau jumlah orang yang kalian rasa akan membantu di saat kalian dalam kesulitan.”
Jadi begitu, ya. Aku bertanya-tanya apakah aku memang punya tiga orang yang seperti itu? Tapi, kalau dua sih sudah pasti.
“Sekarang, untuk bagian terakhir, ‘lukisan yang dipajang di dalam gubuk.’ Ini mewakili kecemasan yang kalian rasakan saat ini.”
Pada saat itu, Manami-san berhenti sejenak.
“Lukisan Meika-chan adalah ‘potret nona muda yang tampak nakal.’ Dengan kata lain, orang seperti itulah sumber kecemasan Meika-chan.”
Meika-chan terlihat tidak nyaman dan mengalihkan pandangannya.
“Sedangkan untuk Isshiki-kun, sangat mengesankan bahwa dua gambar muncul di benakmu. Pertama, itu adalah ‘lukisan banyak orang yang mencari keselamatan dari sang dewi,’ kan? Itu berarti Isshiki-kun adalah salah satu dari orang-orang itu, tidak yakin apakah keinginannya akan mencapai sang dewi atau tidak.”
Ukh, aku benar-benar kesulitan untuk menanggapi yang satu ini.
“Selanjutnya adalah ‘lukisan gadis musim semi yang diculik oleh raja dunia bawah.’ Dan aku yakin itu mewakili kecemasan utamamu saat ini. Sepertinya kamu khawatir seseorang yang membawakanmu musim semi akan diculik oleh raja iblis.”
Aku menjadi semakin tidak bisa berkata apa-apa.
Tes psikologis ini terlalu menakutkan untuk sekedar main-main.
“Jadi, berdasarkan itu, sudah diputuskan bahwa kalian berdua akan ditolak oleh Meika-chan!”
Entah kenapa, Manami-san mengatakan itu pada dua mahasiswa tahun kedua yang sebelumnya berbicara dengan Meika-chan, sambil menunjuk ke arah mereka berdua.
“Hah? Kenapa hasilnya malah kami ditolak?” protes salah satu mahasiswa tahun kedua di belakang kami.
“Apakah kamu tidak mengerti dari tes psikologi barusan? Sudah jelas kalau Meika-chan menyukai Isshiki-kun, tahu.”
“Aku tidak tahu sama sekali!”
“Dasar lemot~”
Mina-san dan Manami-san, serta anak laki-laki di sekitar mereka, tertawa terbahak-bahak.
Aku pun ikut tertular dan tertawa pahit juga.
Tapi Meika-chan menatapku dengan ekspresi rumit.
Setelah tawa mereda, Meika-chan mengaduk-aduk isi tas di tangannya dan mengeluarkan sesuatu.
“Yuu-san, ini. Kamu pasti belum makan malam karena kamu sudah berangkat dari sore. Aku membuatkanmu sandwich,” katanya sambil menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus lucu.
“Ah, terima kasih.”
“Aku juga membawa kopi,” tambah Meika-chan sambil menuangkan kopi dari termos ke dalam cangkir dan mengulurkannya padaku.
Aku mengucapkan terima kasih lagi dan menerima cangkir itu.
Ketika aku membuka kotaknya, aku menemukan sandwich telur, sandwich ham, sandwich tuna, serta sandwich tomat dan selada yang tertata rapi di dalam.
Di sebelahnya ada sosis dan ayam goreng sebagai hidangan tambahan. Itu porsi yang cukup besar.
“Pasti sulit untuk membuat semua ini, kan?”
“Tidak apa-apa. Lagian kesempatan seperti ini tidak sering datang,” jawabnya sambil tersenyum. Lalu dia menunjuk ke setiap sandwich.
“Aku dengar Yuu-san suka sandwich telur dan sandwich tuna, jadi aku membuat banyak dua sandwich ini. Untuk sandwich telur, ada yang dengan telur saja dan ada juga yang dengan telur dan keju.”
Meika-chan menjelaskan tentang sandwich itu dengan ekspresi bahagia di wajahnya.
Melihat Meika-chan seperti itu membuatku tersenyum juga.
Meika-chan benar-benar menggemaskan. Aku sedikit iri pada Ishida karena memiliki adik perempuan yang seperti itu.
“Meika, mana bagianku?”
Ishida, yang duduk di kursi depan, sepertinya mendengar percakapan kami dan mengintip ke arah sini.
“Aku tahu, kok. Jangan khawatir. Aku punya untukmu juga.”
Setelah mengatakan itu, dia memeriksa tasnya lagi dan mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kantong minimarket, lalu menyerahkannya kepada Ishida.
Ishida secara singkat membandingkan kantong minimarket yang dia terima dengan sandwich yang terbungkus rapi yang kumiliki.
“Bukankah ada perbedaan besar antara milikku dan milik Yuu?”
Setelah mendengar itu, Meika-chan cemberut.
“Isinya sama saja! Mana mungkin aku bisa memasukkannya ke dalam kantong minimarket saat memberikannya kepada orang lain, tau!”
Lalu Ishida berkata, “Benar sih, tapi…” dan menarik diri dengan wajah sedikit sedih.
Kesenjangan antara “adik perempuan yang ideal” dan “adik perempuan yang sebenarnya” tampaknya cukup signifikan.
× × ×
Kami berhenti di Rest Area Takasaka, tempat peristirahatan pertama setelah memasuki Jalan Tol Kanetsu.
Aku turun dari bus untuk pergi ke toilet.
Berkat sandwich dan hidangan pendamping yang Meika-chan buat, aku jadi merasa cukup kenyang.
Selain itu, aku juga minum banyak kopi.
Aku perlu meregangkan tubuh dan menggunakan kamar kecil di sini, kalau tidak itu akan menyulitkanku nantinya.
Dalam perjalanan ke toilet, aku melirik ke arah food court di dalam rest area.
Makanan di rest area akhir-akhir ini disiapkan dengan sangat baik.
Kudengar bahwa “Mangkuk Daging Sapi Panggang” terkenal di rest area Takasaka ini.
Tentu saja aku sudah kenyang dan tidak bisa makan sekarang, tapi tidak sering aku mengunjungi rest area, jadi kurasa tidak ada salahnya untuk melihat-lihat.
Di dalam food court, aku melihat ada Touko-senpai dan teman-temannya yang sebelumnya turun dari bus lebih awal.
Yang bersama Touko-senpai adalah sahabatnya, Kazumi-san, teman dekatnya, Manami-sain, dan Mina-san, serta ketua perkumpulan, Nakazaki-san.
Mereka semua menikmati makan sandwich bersama.
Aku ingin bergabung ke dalam grup mereka, tapi aku tidak bisa makan apapun sekarang.
Dan juga… aku bertanya-tanya tentang Touko-senpai, yang duduk di kursi depan.
Aku ingin tahu apakah ada pria lain yang mencoba mendekati Touko-senpai?
Perjalanan busnya panjang, dan jika percakapan mereka menyenangkan, jarak di antara dua orang bisa menjadi lebih dekat selama perjalanan.
…Meski begitu, bukan berarti aku bisa mengubah tempat duduk sekarang.
Sambil bepikir begitu, aku pun selesai menggunakan toilet dan membeli sebotol teh di minimarket yang bersebelahan dengan food court. Di dalam bus cukup kering, jadi aku merasa haus.
Saat aku meninggalkan minimarket, aku melihat Kazumi-san, Mina-san, dan Manami-san berdiri sedikit tidak jauh dari minimarket.
Apakah Touko-senpai dan Nakazaki-san sudah kembali ke bus?
Kazumi-san menyadariku dan dia pun melambaikan tangan memanggilku.
Saat aku berjalan ke arahnya sembari bertanya-tanya ada apa, Kazumi-san bertanya dengan nada agak kasar.
“Isshiki-kun, apa benar kamu dan adik Ishida-kun ada sesuatu?”
“Eh?”
:Aku mendengarnya dari Mina dan yang lain.”
Mina-san memberikan senyum tersirat.
“Meika-chan pasti punya perasaan untuk Isshiki-kun.”
Manami-san juga tersenyum penuh minat.
“Begitulah. Dia berusaha sedikit menyembunyikannya, tapi itu terlihat cukup jelas bagi semua orang di dekatnya. Itu memberikan kesan seperti ‘Aku sudah lama menyukai Isshiku-kun.’”
Aku berpikir bahwa mungkin memang begitu karena aku mendengar percakapan antara Touko-senpai dan Meika-chan tempo hari… Tapi sekarang, bahkan Mina-san dan yang lainnya sepertinya berpikiran sama.
Kemudian Mina-san pun melangkah maju. Mengacungkan jari telunjuknya ke arahku.
“Isshiki-kun, sebenarnya kau bukannya tidak tertarik, kan?”
“Apa maksudmu?”
“Lagi-lagi berpura-pura bodoh,” kata Mina-san, dengan senyum tersiratnya yang menjadi semakin dalam. “Aku membicarakan soal Meika-chan. Bukankah kamu juga cukup menyukai Meika-chan?”
“Apa yang kamu bicarakan itu!? Dia adik temanku. Ditambah lagi dia masih SMA. Aku bahkan tidak akan berpikir seperti itu…”
“Tapi umur kalian hanya beda dua tahun, kan? Bukannya kamu sendiri adalah siswa SMA tahun lalu. Bahkan, jika kamu pacaran dengan Meika-chan pun, itu hal yang normal, kan?”
Setelah mengatakan itu, Mina-san membuat gerakan menutup mulut, seolah-olah dia telah mengatakan sesuatu yang memalukan.
“Sudah kubilang aku tidak akan melakukan itu! Dan Meika-chan sudah mengenalku sejak lama, jadi dia lebih merasa nyaman kalau berbicara denganku, itu saja.”
Memang benar saat sesi belajar, Meika-chan pernah mengatakan sesuatu seperti, “Jika aku menjadi pacarnya,” ke Touko-senpai.
Tapi, yah, bukan berarti Meika-chan sendiri yang menyatakan perasaannya padaku. Belum ada pendekatan darinya setelah itu juga.
Mungkin aku hanya salah dengar saat itu. Jika begitu, aku hanya orang brengsek yang terlalu kepedean. Mungkin lebih baik untuk tidak dipikirkan.
“Hmm, baiklah, kalau itu yang Isshiki-kun pikirkan, maka tidak apa-apa,” kata Manami-san, tapi dia masih menyeringai.
Kazumi-san menghela napas.
“Aku tidak bilang kalau kamu harus mengabaikan Meika-chan, tapi kamu juga harus sedikit memikirkan perasaan Touko.”
Memikirkan Perasaan Touko-senpai? Aku tidak begitu mengerti apa yang dia maksud.
Melihatku bingung, Kazumi-san pun melanjutkan,
“Touko membuat sandwich dan membawanya hari ini. Menyarankan agar kita semua memakannya untuk makan malam.”
“Ya, aku melihat kalian memakannya di sana tadi.”
“‘Kita semua’ itu termasuk kamu, Isshiki-kun.”
“Hah? Tapi aku tidak pernah mendengar soal rencana itu, dan tidak ada yang memanggilku untuk bergabung dengan kalian,”
“Tentu saja begitu. Saat akan berangkat, Meika-chan lebih dulu bilang kalau dia membuat sandwich. Tidak mungkin setelah itu Touko bisa berkata, ‘Aku juga membuatnya, jadi mari kita makan bersama,’ kan?”
Kazumi-san menatapku dengan tatapan yang sedikit menyalahkan.
“Touko awalnya tidak berniat ikut ke dalam perjalanan ini. Tapi pada akhirnya, dia memutuskan untuk berpartisipasi. Kamu dan Touko tidak lagi memiliki hubungan senpai-kouhai biasa, kan? Mungkin kamu harus mencoba sedikit memahami perasaan wanita?” kata Kazumi dengan pelan di bagian akhir kalimatnya.
× × ×
“Fiuuuh.”
Begitu kembali ke bus dan duduk di kursiku, aku tanpa sadar menghela napas panjang.
“Ada apa? Kamu menghela nafas seperti sedang lelah.”
Meika-chan, yang duduk di sebelahku, bertanya dengan rasa ingin tahu.
“Oh, bukan apa-apa. Ini bukan masalah besar. Jangan khawatir,” jawabku, tahu tidak ada gunanya memberitahu Meika-chan. Lagipula itu bukan salahnya.
“Begitu ya.”
Setelah mengatakan itu, dia pun mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Um, Yuu-san. Karena kita sudah di sini, ayo kita berfoto bersama!”
“Berfoto? Di dalam bus seperti ini?” tanyaku, berpikir bahwa akan lebih baik kalau berfoto di luar.
“Aku belum pernah melakukan perjalanan bus dengan orang sebanyak ini sejak SD. Selain itu, melakukan perjalanan bus di malam hari terasa menyenangkan, bukankah begitu? Aku ingin mengabadikan suasana ini.”
Ah, begitu ya. Itu masuk akal. Aku bisa mengerti alasannya.
“Baiklah. Kalau begitu, ayo kita berfoto.”
Mendengar itu, Meika-chan tampak senang dan mendekat, menempelkan bahunya ke bahuku.
Dia kemudian mengulurkan tangan kirinya, memegang smartphone-nya dalam mode selfie.
“Siap? Ini dia!”
Dan lampu flash pun berkedip dengan bunyi ‘bip.’
“Sekali lagi, dan kali ini dengan pose peace.” kata Meika-chan, dan membentuk peace imut dengan jari-jarinya di dekat mulutnya.
Aku tertawa kecil dan membuat peace juga.
Tubuh bagian atas Meika-chan semakin condong ke arahku.
Oleh karena itu, bukannya “bahu-membahu,” Meika-chan lebih seperti “bersandar di dadaku.”
“Ya, ini foto yang bagus!”
Menatap foto yang baru saja diambilnya, Meika-chan tersenyum puas.
Melihat ekspresinya yang seperti itu, aku merasakan perasaan hangat di hatiku.
× × ×
Beberapa saat setelah keluar dari rest area, lampu bus diredupkan. Yang menandakan waktunya tidur.
Sebelumnya, bus ramai dengan semua orang mengobrol dan tertawa, namun begitu gelap, suasana di dalam bus menjadi sunyi. Hanya ada bisikan pelan yang sesekali terdengar.
Tentu saja, percakapan kami sendiri juga menjadi lebih kecil dan lebih jarang.
Lagian hari sudah larut, dan tidak aneh jika semua orang mulai bersiap-siap untuk tidur.
Namun, kata-kata yang diucapkan Kazumi-san sebelumnya, “Pikirkanlah juga perasaan Touko sedikit,” masih ada di pikiranku.
Jika Touko-senpai telah menyiapkan sandwich untukku juga…
Memikirkan itu, hatiku terasa sesak.
Aku juga ingin makan bersama Touko-senpai jika memungkinkan.
Tapi karena aku tidak mendapatkan informasi tentang hal itu, jadi apa boleh buat.
Karena Meika-chan yang mengatakannya lebih dulu, aku tidak ingin membuatnya merasa tersisihkan.
Selain itu, Meika-chan diundang ke perjalanan ski ini karena keadaan perkumpulan saat ini.
Dia pasti ingin menjadikan ini pengalaman yang indah dan menyenangkan, dan aku tidak ingin merusaknya dengan bertindak tidak pengertian.
Tiba-tiba aku merasakan tekanan di bahu kiriku.
Ketika aku melihat ke samping, aku menyadari bahwa Meika-chan telah tertidur, menyandarkan kepalanya di bahuku.
Aku memeriksa waktu saat ini, dan itu menunjukkan bahwa ini sudah hampir pergantian hari.
Meika-chan mungkin sibuk sepanjang hari ini menyiapkan sandwich untukku. Jadi, wajar saja jika dia merasa lelah dan mengantuk.
Banyak orang di dalam bus juga sudah tertidur, dan suasana menjadi sangat tenang.
Aku bisa mendengar suara dengkuran lembut Meika-chan.
Aku menatap Meika-chan sekali lagi.
Bulu matanya yang panjang melentik indah.
Pipinya yang tembam dan putih terlihat sedikit kemerahan.
…Meika-chan memang benar-benar imut…
Saat aku melihat wajahnya yang tertidur, aku menyadarinya sekali lagi.
Dengan Meika-chan yang bersandar padaku, aku bisa mencium aroma yang harum dan enak terpancar darinya.
Aku tidak pernah memperhatikan hal ini sebelumnya, tapi sekarang, setelah melihatnya dari dekat seperti ini, aku menyadari bahwa dia juga seorang gadis yang menarik.
Seandainya Touko-senpai tidak ada, dan aku bertemu dengan Meika-chan pada waktu seperti ini di tahun kedua SMA-nya, dan bukan sebagai adik Ishida, maka…?
…Tidak, tidak, tidak, apa sih yang kupikirkan…
Aku menggelengkan kepalaku sedikit.
Benar, aku harus menjadi sosok “kakak lain” bagi Meika-chan.
Aku harus berusaha menjadi kakak yang ideal untuknya.
Sama seperti halnya dia yang merupakan “adik yang ideal” bagiku.
Dengan mengingat hal itu, aku pun memejamkan mata.