2. Antara Ragu dan Percaya
Malamnya, di hari aku bertemu dengan Touko-senpai, aku menelepon Karen.
Sejak hari pertama kami mulai pacaran, Karen bilang padaku bahwa menelepon setian hari adalah hal yang wajar bagi seorang pacar. Karena itulah, aku meneleponnya setiap malam. Namun, seperti yang dapat kalian bayangkan, aku tidak sanggup untuk meneleponnya kemarin.
Awalnya, Karen menanyakan hal-hal seperti kenapa aku pulang sendiri atau kenapa aku tidak meneleponnya kemarin. Seolah-olah dia sedang menyelidiki perilaku-ku.
Aku menjelaskan padanya bahwa seorang teman dekat rumahku telah terlibat dalam kecelakaan mobil dan meneleponku darurat, yang menyebabkan aku berlarian seperti orang gila sepanjang malam. Untungnya, Karen tampaknya percaya pada ceritaku.
Aku terus meminta maaf dengan sungguh-sungguh kepada Karen dan berhasil membuat janji dengannya untuk bertemu keesokan harinya.
Dan hari ini, dalam perjalanan pulang dari universitas. Aku sekarang bersama dengan Karen di sebuah restoran keluarga.
Sejujurnya, bahkan hanya melihat wajah Karen pun sudah sulit. Kalau memungkinkan, aku lebih suka tidak melihatnya selama beberapa hari. Namun, Touko-senpai sudah menegurku dengan mengatakan:
“Jangan mengubah rutinitas yang selalu kalian lakukan selama ini. Kamu harus bertindak seolah-olah kamu tidak tahu apa-apa dan bertingkah laku seperti biasa.”
Sampai saat itu, aku dan Karen menghabiskan waktu bersama setiap hari setelah kuliah kami selesai.
Jika aku berhenti melakukan itu tiba-tiba, Karen akan mulai merasa curiga tentang hal itu.
Itu adalah sesuatu yang tidak boleh dia sadari. Karena itulah, menahan semua rasa sakit yang ditimbulkannya padaku, aku bertemu dengan Karen.
Namun, sesuatu tentang Karen hari ini memberiku kesan bahwa dia tidak senang.
Kami meninggalkan kampus dan langsung menuju ke arcade bersama, dan kemudian kami ke restoran keluarga ini. Namun selama kami melakukan hal-hal itu, aku merasa dia tidak senang. Mood-nya tampak buruk dan dia hampir tidak berbicara sama sekali, dia hanya melihat ponselnya.
Seolah-olah waktu yang dia habiskan bersamaku sama sekali tidak menyenangkan. Itulah sikap yang dia tunjukkan secara terang-terangan.
…Kurasa dia benar-benar tidak senang bersamaku…
Meskipun aku merasa seperti itu, aku memendamnya dan berbicara pada Karen.
“Karen, apakah ada masalah?”
“Tidak juga…”
Dengan 2 kata itu, Karen memasang wajah lebih masam, dan dia melihat ke luar jendela.
Tapi, caranya menjawab jelas-jelas menunjukkan ketidaksenangannya.
“Kamu berkata, ‘tidak juga’, tapi bukankah kamu tidak senang sepanjang hari ini? Aku ingin kalau kamu memberi tahuku jika ada masalah.”
Mendengar itu, Karen dengan marah menggunakan sedotannya untuk mengaduk es teh yang diletakkan di hadapannya. Tanpa menoleh untuk menatap mataku, dia bergumam pelan.
“Inilah masalahnya dengan pria yang tidak peka! Keberadaan mereka saja adalah sebuah kejahatan…”
“Eh?”
Aku refleks terkejut, yang membuat Karen menatapku dengan marah.
“Hei, Yuu-kun, bukankah akhir-akhir ini Yuu-kun agak tidak perhatian?”
“Tidak perhatian?”
Tidak mengerti, aku mengulangi kata-katanya.
“Ya. Kencan dengan Yuu-kun sudah bisa ditebak. Itu palingan cuma nongkrong di kafe, lalu pergi ke tempat arcade atau karaoke, diikuti dengan makan di restoran keluarga. Selalu sama kayak gitu! Dan bukankah itu semua hobi Yuu-kun!? Karen menginginkan sesuatu yang lebih menarik.”
“Mungkin begitu tapi, kita masih pelajar, jadi bukankah itu normal? Kita tidak bisa pergi ke tempat yang harganya terlalu mahal, kan?”
Argumen balasanku tampaknya membuat Karen semakin kesal saat dia menatap tajam ke arahku.
“Itu tidak benar! Orang lain melakuan kencan yang lebih berkualitas! Dan meskipun begitu, bukankah cowok seharusnya lebih memikirkan bagaimana cara menyenangkan cewek mereka?!”
…Sebenanrnya, kau membandingkanku dengan siapa…?
Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk menghentikan dorongan mengucapkan kata-kata itu.
Namun, Karen menganggap diamku sebagai hal lain.
“Jika seperti ini, maka Karen tidak merasa disayangi! Pertemuan biasa antara dua orang tidak bisa disebut sebagai kencan!”
Dia berbicara seolah melampiaskan semua ketidakpuasannya.
Aku merasa kesal.
Ketika kami baru mulai pacaran, Karen tidak seperti ini.
Kami menghabiskan banyak waktu bahagia hanya dengan mengobrol berdua, bahkan di restoran keluarga atau toko makanan cepat saji.
Dan itu semua hanya sekitar 3 bulan yang lalu.
“Tapi, bukankah kamu menikmatinya sebelumnya? Kamu bahkan bilang kalau, waktu yang kita berdua habiskan bersama ini sangat berharga.”
Mendengar itu, Karen menjawab dengan bentakan.
“Itu dulu ketika kita baru mulai pacaran! Tapi, Yuu-kun selalu melakukan hal yang sama! Mana ada cowok lain yang merencanakan kencan dengan setengah hati kayak gitu! Dan jika Yuu-kun benar-benar menghargai waktunya bersama Karen, Yuu-kun seharusnya lebih memikirkan saat kita berdua bertemu!”
Karen memelototiku dengan tatapan kemarahan. Aku menghela napas pendek.
“Baiklah, aku mengerti. Jika kamu merasa seperti itu, Karen, aku minta maaf. Ini salahku. Aku akan memesan tempat di suatu restoran yang enak lain kali. Apakah kamu ada usulan?”
Cemberut, Karen melirik ke arahku.
“Karen lebih suka kalau Yuu-kun tidak menanyakan itu dan membuatku terkejut. Poin minus karena berada pada level di mana kamu harus menanyakan itu pada pacarmu.”
Aku sudah ingin menyelesaikan percakapan ini.
Belum lagi, melihat wajah Karen saat ini sangat menyiksa bagiku.
Semakin aku melihat wajah Karen itu, perasaan ragu padanya semakin kuat.
Pada saat itu, satu pikiran terlintas di benakku.
“Kamu benar. Seperti yang kamu katakan, Karen. Tapi, kita perlu memutuskan lebih dulu hari dan jam untuk memesan tempat. Bagaimana kalau Kamis nanti? Mungkin kita bisa pergi setelah kuliah berakhir.”
Saat aku mengucapkan kata ‘Kamis’, hanya sesaat, Karen mengalihkan pandangannya.
Aku tidak membiarkan hal itu luput dari perhatianku.
“Kamis tidak bisa. Karen ada pekerjaan paruh waktu, jadi di hari lain saja.”
Pada saat yang sama saat dia memalingkan muka dariku, Karen menolak rencana itu dengan singkat.
Tapi, aku bisa merasakan dari perilaku Karen bahwa dia menyembunyikan sesuatu.
…Jadi Senin dan Kamis benar-benar hari ketemuan Karen dan Kamokura, ya…?
Sensasi keraguan semakin memuncak dalam diriku.
◇ ◇ ◇
Senin depannya, aku menuju restoran keluarga yang terletak di satu sisi jalan yang agak jauh dari kampus.
Itu untuk bertemu dengan Touko-senpai. Dilihat dari pesan media sosial, dia sudah tiba di sana.
Aku melihat ke sekeliling bagian dalam toko dan menemukan dia sedang duduk di salah satu tempat.
Hari ini, Touko-senpai mengenakan mantel putih yang sepanjang tiga perempat dan blus bermotif bunga, bersama dengan rok pensil hitam panjang. Samping roknya memiliki belahan panjang, yang membuat pahanya yang telanjang terlihat sesekali.
Dia duduk dengan menyilangkan kaki rampingnya, sambil dalam diam membaca buku saku.
Penampilan intelektual dan postur anggunnya, semua itu memancarkan aura yang memikat.
Namun, itu juga memberikan kesan bahwa kamu tidak boleh sembarangan mendekat, apalagi menyentuh, sosok itu.
Aku bisa merasakan hasrat yang sama, yang dulu kurasakan setiap kali aku melihatnya di masa SMA, hidup kembali di dalam dadaku.
Touko-senpai tiba-tiba menutup bukunya dan mengangkat pandangannya.
Tatapan kami bertemu, dan dia tersenyum manis.
Agar tidak ada yang tahu bahwa aku telah terpikat oleh Touko-senpai, aku buru-buru menuju tempat duduknya.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
Aku berbicara sedikit canggung, dan dia menjawab dengan senyum lembut.
“Tidak apa-apa. Itu karena kuliahku berakhir sedikit lebih awal hari ini. Kamu lapar, kan? Mau pesan sesuatu?”
Touko-senpai memberikanku menu saat dia mengatakan itu.
Aku memesan steak ayam dan minuman dengan isi ulang tanpa batas sementara dia menambahkan doria ke pesanannya.
Setelah pelayan mengambil pesanan kami, aku mengangkat topik pembicaraan.
“Karen bilang kalau dia ada urusan hari ini juga. Bagaimana dengan Kamokura-senpai?”
Touko-senpai menjawab dengan tatapan tertunduk.
“Sama, Tetsuya juga bilang kalau dia memiliki sesuatu untuk dilakukan malam ini. Itulah juga alasan kenapa aku bisa bertemu denganmu seperti ini.”
“Seperti yang sudah kita duga, ya…”
Aku berbicara dengan lirih. Aku sudah menduganya, tapi aku masih merasakan sakit menyebar di dadaku.
Dengan ini, dengan asumsi kalau mereka berdua selingkuh, mereka telah bertemu berturut-turut pada hari Senin dan Kamis sejak minggu lalu.
Mempertimbangkan bahwa aku dan Karen bertemu sekitar dua atau tiga kali seminggu, pertemuan mereka dapat dianggap sangat sering.
“Tapi, itu masih belum pasti apakah mereka berdua akan ketemuan…”
Bahkan kalimat dari Touko-senpai itu pun membuatku kesal.
Touko-senpai sedang menghiburku, atau mungkin dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri tentang hal itu, tapi mau tidak mau aku menganggap perkataannya itu untuk melindungi mereka.
Aku memutuskan untuk mengganti topik.
“Karen tampaknya telah kehilangan ketertarikan padaku akhir-akhir ini.”
“Apakah terjadi sesuatu?”
Touko-senpai bertanya dengan nada khawatir.
“Bukan sesuatu yang spesifik sih, hanya saja… Dia bilang kalau kencan kami sudah bisa ditebak, bahwa kencan kami membosankan.”
Touko-senpai mengerutkan kening, tapi tak lama setelah itu, dia berbicara.
“Itu mungkin tidak ada hubungannya dengan perselingkuhannya atau tidak… Sesuatu semacam itu bisa terjadi dalam hubungan mana pun. Kamu seharusnya tidak terlalu memikirkannya.”
“Begitukah? Tapi, Karen bilang kalau orang lain memiliki kencan yang lebih berkualitas.”
Ekspresi Touko-senpai semakin muram.
“Aku sampai berpikir, ‘sebenarnya, dia membandingkanku dengan siapa?’”
“…”
“Aku bahkan tidak tahan melihat Karen sekarang. Meskipun aku sudah berkata pada diri sendiri untuk percaya pada Karen, namun akhirnya, chatiing-an mereka terngiang kembali di benakku…”
Aku merasa bahwa air mata mulai timbul di mataku. Aku melakukan yang terbaik untuk menahannya keluar.
Dia menghela nafas panjang.
“Sepertinya kata-kata sederhana seperti ‘jangan khawatir’ tidak akan berhasil, ya? Yah, biasanya, dalam situasi seperti ini, melakukan sesuatu seperti ‘hanya mempercayai’ itu adalah hal yang sulit.”
Touko-senpai menopang sikunya di atas meja, menyatukan tangannya, dan meletakkan dagu di atasnya.
“Pada saat-saat begitu, cobalah ingat saat pertama kali kalian mulai pacaran.”
“Saat pertama kali kami mulai pacaran?”
“Ya. Jika kamu tidak keberatan, Isshiki-kun, bagaimana kalau kamu ceritakan padaku apa yang membuatmu dan Karen mulai pacaran? Mungkin kamu akan memulihkan sedikit perasaan yang kamu miliki terhadap Karen-san dengan melakukan itu.”
“Uh Uhhhh…”
Dengan tanda tanya melayang di atas kepalaku, aku memberikan jawaban setengah hati.
“Kapan kalian berdua pertama kali mulai pacaran?”
“Itu saat perayaan selesainya ujian tengah semester. Kalau tidak salah, saat itu kami pergi berkelompok.”
“Maksudmu yang itu? Pesta bagi mereka yang telah menyelesaikan ujian mereka?”
“Ya. Touko-senpai tidak datang, kan?”
“Begitulah, karena aku masih memiliki beberapa ujian lagi yang tersisa. Begitu ya, jadi sejak saat itulah kalian mulai pacaran.”
“Ya.”
“Tapi, pasti ada peristiwa khusus yang membuat kalian berdua mulai bergaul, kan? Kapan kamu pertama kali tertarik padanya, Isshiki-kun?”
“Kurasa itu saat Golden Week. Kamu ingat, kan? Soal perkumpulan kita yang mengadakan pesta berkemah untuk mahasiswa baru?”
Setelah berbicara sejauh itu, aku melirik Touko-senpai.
Dia hanya menatapku dengan senyum ramah. Namun, kebaikan itu tidak lebih dari yang biasa seseorang tunjukkan kepada kouhai-nya.
Aku menghela nafas dalam hatiku. Dia mungkin belum menyadari apa pun.
Sejujurnya, Touko-senpai telah memainkan peran besar dalam membawa kami ke situasi sekarang ini.
Aku dan Ishida telah tertarik padanya sejak masa SMA kami.
Ketika kami lulus ujian masuk ke Universitas Jouto, kami membuat rencana rahasia kami berdua untuk menembak Touko-senpai dengan niat lakukan-atau-tidak sama sekali.
Kemudian, pada hari upacara penerimaan, ada deretan panjang, dari orang-orang yang mencoba merekrut mahasiswa baru ke dalam perkumpulan dan klub mereka, yang membentang dari tempat upacara sampai ke gerbang utama kampus. Kami berdua menerima brosur dari banyak klub sambil terus mencari Touko-senpai.
Tak lama kemudian, kami menemukan sekelompok kecil orang di salah satu sudut. Itu adalah area dimana Touko-senpai sedang membagikan selebaran. Tidak ragu sedetik pun, kami menerima selebarannya.
Nama perkumpulannya adalah ‘Harmoni’. Tampaknya, itu adalah perkumpulan yang awalnya dimulai oleh seorang alumni SMA kami. Pada awalnya itu adalah perkumpulan yang hanya melakukan trekking atau camping, namun saat ini sudah meluas ke berbagai acara. Karena banyaknya sumber seperti soal ujian sebelumnya atau informasi tentang kelas yang mudah untuk mendapatkan nilai, sebagian besar lulusan dari SMA Kaihin Makuhari akhirnya bergabung dengan perkumpulan ini.
Dalam perkumpulan itu juga ada seorang senpai yang dua tahun di atasku, Tetsuya Kamokura.
Saat malam pertama berkemah, kami mendengar informasi mengejutkan dari senpai lain yang dua tahun di atas kami.
Bahwa Touko-senpai mulai pacaran dengan Tetsuya Kamokura.
Bahkan di masa SMA-nya, Tetsuya Kamokura adalah pria tampan yang ceria yang bisa membuat semua gadis berteriak kegirangan. Dia pandai dalam akademis dan unggul dalam olahraga; dia adalah wakil ketua klub sepak bola dan striker. Tingginya 180 cm. Dia memiliki nilai sekolah yang sangat baik dan aura yang sedikit liar, baik itu di kelas, klub, atau bahkan perkumpulan, dia selalu menjadi tokoh sentral dari kasta sosial tertinggi di sekolah.
Tidak mungkin dia tidak populer. Selain itu, kami tidak memiliki peluang sedikit pun melawannya.
Meskipun senpai, yang memberi tahu kami kalau Touko-senpai dan Tetsuya Kamokura sudah pacaran, sangat meratapinya sendiri, itu tidak sebanding dengan betapa hancurnya kami berdua. Malam itu, aku dan Ishida menenggelamkan kesedihan kami dalam alkohol (bukan alkohol asli, karena kami masih di bawah umur).
Meskipun begitu, bahkan pada saat itu, dari kami berdua, Ishida-lah yang berhasil pulih paling cepat.
“Ayo cepat lupakan Touko-senpai agar kita bisa menemukan pacar dan mulai menikmati hidup kita sebagai mahasiswa!”
Aku menatap Ishida, yang dengan erat mengepalkan gelasnya saat berdiri, dengan jengkel.
“Kayak kita akan menemukan pacar secepat itu saja. Apakah kau bahkan sudah memiliki kandidat lain di otakmu itu?”
Saat itu, Ishida berbalik untuk melihat ke arahku, kali ini dengan keterkejutan di matanya.
“Kamu punya, Yuu. Seorang gadis yang mungkin akan menerimamu bahkan sekarang.”
“Huh? Siapa yang kau bicarakan itu? Memangnya ada gadis seperti itu?”
“Kau tidak sadar?”
Dengan tiba-tiba, Ishida duduk sekali lagi di atas lantai tatami.
“Tahun pertama dari fakultas sastra, Karen Mitsumoto. Gadis yang biasanya tersenyum dan memiliki aura menenangkan di sekelilingnya. Aku merasa kalau dia sering melihat ke arahmu sejak pesta minum-minum mahasiswa baru, tapi setelah datang ke kemah ini, aku yakin akan hal itu sekarang.
…Gadis kecil mungil dengan rambut setengah panjang itu…?
Aku memikirkan kembali sosok Karen saat dia dengan riang gembira berbicara dengan berbagai anak laki-laki.
“Gadis itu… Dia tampak sedikit tidak benar, tapi dia juga terlihat sangat populer. Jika kamu tidak segera bertindak, dia mungkin akan diambil oleh orang lain.”
Tidak seperti yang kalian pikirkan, aku tidak bertindak atas kata-kata dorongan Ishida. Namun, aku menjadi lebih tertarik pada Karen dari hari berikutnya. Benar saja, seperti yang Ishida katakan, tatapan mataku dan Karen Mitsumoto bertemu lebih dari sekali. Setiap kali itu terjadi, dia memberikanku senyum bahagia…
Mengingat kejadian saat itu, aku pun berbicara.
“Selama acara kemah, mata Karen dan mataku bertemu beberapa kali… Dan hal itu pun membuat kami semakin sering mengobrol.”
“Siapa yang pertama memulai percakapan?”
“Kalau tidak salah, itu adalah Karen. Dia berkata padaku saat kemah, ‘Tatapan mata kita sering papasan, ya‘. Setelah itu, ketika kita semua berkumpul, sering kali kami duduk berdekatan, jadi kami secara alami mulai semakin sering mengobrol.”
“Jadi, itu berarti Karen-san-lah yang pertama kali mendekatimu.”
Touko-senpai berkata dengan nada sedikit tertarik.
“Aku tidak yakin juga… Tapi aku memiliki pikiran seperti, ‘Sungguh gadis yang imut dan ceria’.”
Aku merasa ekspresi Touko-senpai sedikit berubah saat aku mengatakan itu.
“Kamu benar, Karen-san memang imut. Keimutan yang kecewekan seperti itu sangat penting. Itu membuat orang mengingat pepatah lama, bahwa ‘wanita dinilai dari pesonanya’.”
Apa yang kemudian tercermin di mata Touko-senpai… menurutku adalah ‘kesepian’.
“Tou…”
Seolah ingin memotong ucapanku yaitu, “Touko-senpai juga sangat mempesona’, dia mengubah topik pembicaraan.
“Bahkan aku pun dapat menilai bahwa Tetsuya juga memiliki beberapa poin yang tidak layak dipercaya, yang tidak dapat disangkal lagi. Aku tidak bisa berkata dengan pasti kalau dia selingkuh, tapi kemungkinan besar bahwa Tetsuya melakukan sesuatu di belakangku.”
Untuk sesaat, aku kehilangan kata-kata karena perubahan topik yang tiba-tiba.
“Aku bahkan ingin menyatakan dia bersalah hanya dari banyak poin itu saja.”
Aku mengangguk. Dia benar, itu yang terpenting saat ini.
“Untuk lebih jelasnya, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan membuntuti mereka berdua?”
Jika Karen dan Kamokura akan bertemu, itu pasti pada hari Senin atau Kamis. Mengetahui itu, yang tersisa hanyalah membuntuti mereka dan kemudian mendapatkan hasil dari itu.
“Membuntuti itu tidak bagus. Tingkat kesulitannya sangat tinggi.”
“Begitukah?”
Aku percaya bahwa itu tidak lebih dari mengikuti seseorang dari belakang, sambil menjaga jarak dari mereka agar tidak ketahuan.
“Orang yang akan melakukan perselingkuhan pasti akan waspada terhadap lingkungan sekitar. Apakah kamu cukup percaya diri bahwa kamu dapat menyembunyikan diri begitu mereka tiba-tiba berbalik? Lagi pula, jika kamu membuat gerakan yang tidak wajar atau tergesa-gesa, itu akan membuat tindakanmu ketahuan oleh mereka.”
Itu sangat benar. Jika kamu bersembunyi di balik sesuatu begitu tiba-tiba, itu sendiri akan membuatmu menonjol.
“Itu bukan sesuatu yang bisa dicapai oleh seorang amatir dengan sukses. Bahkan polisi dan detektif pun membentuk tim yang terdiri dari banyak orang dan bergiliran mengikuti target mereka. Selain itu, wanita lebih sensitif terhadap sekeliling mereka daripada pria. Jika kebetulan ada tatapan kuat yang diarahkan pada seorang wanita, kemungkinan besar mereka akan sadar. Apalagi kalau itu adalah tatapan dari seseorang yang mereka kenal, tidak berlebihan untuk bilang bahwa mereka akan menemukan orang itu dalam 100 dari 100 kali percobaan.”
“Apakah kamu serius? Aku sudah berpikir bahwa membuntuti mereka adalah satu-satunya pilihan kita sekarang, tapi apakah itu tidak mungkin?”
Menurunkan bahuku, aku meletakkan kedua tanganku di atas meja sambil menundukkan kepala.
“Jika seperti ini, aku berani bertaruh bahkan jika aku merayakan ulang tahun Karen pun, itu pasti tidak akan menyenangkan sedikit pun. Adapun Karen, dia akan rewel denganku, sementara aku, aku akan penuh dengan ketidakpercayaan padanya…”
“Ulang tahun Karen sudah dekat? Kapan?”
“Sabtu minggu ini. Aku sudah menyiapkan hadiah tapi, dengan Karen yang bilang kalau dia ‘ingin kencan yang lebih berkualitas’, aku berpikir untuk memesan tempat di suatu restoran kelas atas.”
“Sabtu minggu ini?”
Dalam kejadian yang cukup langka, Touko-senpai berbicara dengan suara yang relatif keras.
Terkejut, aku mengangkat wajahku dan dengan melakukan itu, aku melihatnya menyilangkan tangan dan tinju kanannya menyentuh dagu, seraya berpikir.
“Apakah ada masalah?”
Menanggapi pertanyaanku, Touko-senpai berbicara sambil terus berpikir.
“Mungkin, kita bisa menemukan sesuatu pada hari itu…”
“Eh?”
Saat aku menunggu kata-kata berikutnya, dia mengangkat wajahnya.
“Isshiki-kun, kamu jelas punya janji dengannya untuk bertemu pada hari itu, kan?”
“Ya, begitulah.”
“Apakah kamu sudah memutuskan waktunya?”
“Belum spesifik sih. Tapi mungkin sesuatu mulai dari siang hingga sore?”
Mendengar itu, Touko-senpai mengangguk.
“Pada hari itu, kakak Tetsuya memiliki perjalanan bisnis, jadi dia tidak akan berada di apartemen. Oleh karena itu, Tetsuya sangat memaksaku untuk pergi dan menginap di sana.”
Mengatakan itu, Touko-senpai menatap mataku.
“Jika aku menolak ajakannya itu… Dengan asumsi bahwa mereka berdua berselingkuh, bukankah menurutmu Tetsuya akan memanggil Karen-san?”
Aku merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungku, hingga ke jari kakiku.
Itu benar, dengan asumsi bahwa mereka berdua selingkuh, tidak mungkin mereka akan membiarkan kesempatan seperti itu berlalu begitu saja.
Mataku sekarang memancarkan tekad. Dengan tatapan yang mirip denganku, Touko-senpai menatapku sambil menjawab.
“Sabtu malam depan. Mari kita pertaruhkan semuanya pada hari itu.”
Dengan tekad yang sama yang kami miliki ini, kami berdua pun saling mengangguk.