Chapter 3 – Aoi Nanaka
Kai tidak dapat memutuskan apakah dia harus bahagia atau sedih ketika tampaknya teman-teman sekelasnya menyadari bahwa dia bukanlah orang yang spesial, karena perkenalannya yang berantakan. Pada awalnya, dia dibombardir dengan segala macam pertanyaan tentang Tokyo dan sekolah lamanya selama setiap jeda singkat antar pelajaran, tapi pada saat makan siang berakhir dan pelajaran siang dimulai, pertanyaan-pertanyaan itu telah berhenti.
Teman sekelasnya sudah membuat grup kecil mereka sendiri dengan teman satu klub atau teman yang mereka kenal tahun lalu. Tentu saja, Kai tidak punya orang seperti itu. Dia diam-diam memainkan social game di mejanya, dan jam sekolah telah berakhir tanpa dia sadari.
Dia berencana langsung pulang, tapi Haimura memanggilnya begitu dia berdiri, jadi dia pergi ke ruang guru. “Aku hampir lupa memberimu yang satoe ini,” katanya, memberikan Kai secarik kertas. “Itu adalah formulir pendaftaran klub.”
“Aku tidak berencana untuk bergabung dengan klub mana—” Kai mencoba menolak.
“Sunnguh disayangkan. Hohoho,” kata guru tua itu sambil tertawa. “Semua siswa kami harus bergabung dengan klub kecuali mereka berada di kelas unggulan.”
“Aku… mengerti,” kata Kai, dengan susah payah. Kelas A sampai C dianggap kelas unggulan di SMA Meikun untuk setiap angkatan kelas, dan hanya mencakup siswa dengan nilai bagus. Kelas disortir ulang pada akhir setiap ujian caturwulan dan siswa yang gagal secara otomatis dikirim ke kelas D atau lebih rendah. Berada di kelas D, Kai tidak punya pilihan lain selain bergabung dengan klub.
“Jangan cemberut seperti itu, Nak,” Haimura menceramahinya. “Ini satu-satunya kesempatanmu di masa muda! Keringatmu, air matamu—”
“Sensei, aku membawa jurnal kelas!” kata sebuah suara dari belakang Kai, secara tidak sengaja memotong Haimura di tengah ceramahnya. Gadis itu mundur selangkah dengan terkejut, dan rambut pendeknya yang berwarna pirang pasir berayun lembut. Bentuk matanya yang tepat berada di bawah poninya besar dan bulat. Hidung dan mulutnya biasa saja, tapi masih menyatu dengan sangat baik. Terus terang, dia memiliki wajah yang imut, dan terlebih lagi, dia tampak riang dan ceria.
“Ahh, Aoi,” kata Haimura riang. “Kau datang pada waktu yang tepat.”
“Ada apa?” tanyanya.
“Ada sesuatu yang ingin aku minta padamu. Nih,” katanya sambil menepuk punggung Kai.
Aoi menatapnya dengan bingung. Tidak peduli seberapa banyak Aoi menatapnya, bukan berarti Kai sendiri paham akan situasinya. Yang bisa dia lakukan hanyalah bertingkah bingung di sampingnya.
“Apakah kamoe keberatan mengajaknya berkeliling?” pinta Haimura.
“Berkeliling sekolah, Pak?”
“Tidak. Aku ingin menunjukkan klub sekolah kita padanya.”
“Ohh, begitu.”
“Baiklah, kuserahkan padamoe,” kata Haimura, yang sepertinya sudah tidak berniat lagi mengurusi Kai. Sebagai gantinya, dia menarik kursi meja dan mulai menyesap tehnya. Kai diam-diam bertukar pandang dengan gadis itu, suara Haimura yang menyeruput teh terdengar diantara mereka.
“Oke, Shiraseki-kun,” kata gadis itu padanya. “Kurasa sebaiknya kita segera pergi.”
“B-Baiklah…” Kai secara refleks menyetujui. Lalu dia berkata, “Tunggu, bagaimana kau bisa tahu namaku?”
“Huh? Itu karena… Oh, benar! Aku belum memperkenalkan diri. Biar aku melakukannya,” katanya, lalu tertawa. “Aku Aoi Nanaka. Aku berada di kelasmu! Kuharap kita bisa akrab!”
◇ ◇ ◇
Terangnya. Kai tidak memikirkan cahaya matahari terbenam ketika dia memikirkan ini. Baginya, keberadaan seseorang seperti Aoi Nanaka terlalu terang.
Nanaka dengan patuh mengajaknya berkeliling ke setiap klub yang ada di SMA Meikun. Dia tidak hanya sekedar berhenti dan menunjukkan padanya bagian luar setiap ruang klub, tapi bahkan mempersiapkan tur kecil untuk setiap klub dan berpartisipasi dalam tur itu bersamanya.
Pikirkanlah sejenak: setiap klub. Bahkan jika Kai memiliki tiga—tidak, meski seribu upaya lagi untuk mengulang kembali hidupnya—Kai merasa bahwa dia tidak akan pernah memiliki cukup teman untuk bisa pergi ke setiap klub dan berkata, “Hei, aku tahu ini benar-benar mendadak, tapi…” Tidak, sebenarnya, dia tahu kalau itu tidak akan pernah terjadi. Dia yakin akan hal itu.
Namun Nanaka bisa melakukan itu. Mereka hidup di dunia yang berbeda, dan dia jelas berada di tempat yang cerah dan terang. Terlepas dari kenyataan bahwa seorang guru telah memaksakan seluruh tugas ini padanya secara tiba-tiba, dia cemerlang, ceria, dan tidak terlihat kesal sama sekali. Dibandingkan dengan seseorang yang menatap ponselnya setiap kali dia punya kesempatan, Nanaka berbeda dalam segala hal.
“Klub sastra yang baru saja kita kunjungi adalah yang terakhir,” katanya dengan ekspresi sedikit gugup. “Apakah ada klub yang membuatmu tertarik?”
“…Tidak ada,” dia mengakui itu. Kai tidak ingin membuatnya kerepotan. Apa yang harus dilakukan? Sejujurnya, tidak banyak yang bisa dia lakukan.
“…B-Benar. Sudah kuduga.”
“……Maafkan aku,” kata Kai, meminta maaf sebesar-besarnya. Saling suram hanya semakin merusak suasana hatinya. Aku minta maaf untuk semuanya! Dia hanya ingin mengutarakan pikirannya dan meminta maaf agar dia bisa menyelesaikan hal ini. Nanaka sudah repot-repot meluangkan waktunya yang berharga, tapi seperti yang mereka terangkan dalam percakapan mereka, Kai masih tidak dapat menemukan klub yang menarik perhatiannya.
Kai sama sekali tidak memiliki bakat dalam aktivitas fisik, jadi sejak awal klub atletik tidak perlu dikatakan lagi. Dia buta nada, jadi klub musik bukanlah pilihan. Dia tidak bisa menggambar, tidak bisa menulis. Tidak ada, tidak ada yang bisa dia lakukan. Seluruh waktu yang mereka habiskan untuk melihat-lihat hanya berfungsi untuk menunjukkan hal itu pada dirinya.
Pada suatu saat dalam tur mereka, Kai merasa ingin mulai menangis, tapi dia pikir bahkan Nanaka akan kerepotan jika seorang murid baru yang ditugaskan padanya tiba-tiba menangis. Kai berpikir begitu untuk menahan tangis. Dia sudah meninggalkan sesuatu yang biasa dia lakukan setiap hari di sekolah lamanya; mungkin ini adalah hasil yang jelas. Namun, dia telah merepotkan Nanaka, dan dia ingin meminimalkannya.
“Ah!” Nanaka tiba-tiba berhenti, menepuk tangan di depan dadanya seolah-olah dia akan mulai makan. Dia menggabungkan gerakan itu dengan gerakan memutar untuk melihat ke belakang ke arah Kai, dan dia merasa dirinya terpesona oleh betapa imutnya hal itu. “Aku lupa menanyakan pertanyaan penting,” katanya. “Apakah kamu bergabung dengan klub di SMA lamamu?”
“Ya, tapi—Yah, tidak, aku pernah bergabung di…. Klub pulang ke rumah,” katanya, mendadak mengarang sesuatu.
“O-Oh, begitu. Tapi sekolah yang mewajibkan untuk bergabung ke klub sangat jarang di jaman sekarang!” kata Nanaka dengan riang. Melihatnya mencoba memaksakan percakapan membuat Kai semakin merasa bersalah. Lebih buruknya lagi, Kai sudah berbohong padanya!
Pada saat itu, suara nyaring tiba-tiba keluar dari saku Kai. Dalam benaknya, dia cukup terkejut hingga melompat menghantam plafon, tapi entah bagaimana, dari tampak luar, dia berhasil tetap tenang.
“Guru akan marah jika kamu tidak men-silent-kannya, lho?” Nanaka menasihatinya.
“Maaf.”
“Aku juga sering lupa. Tergantung gurunya, mereka mungkin akan menyita ponselmu, jadi ini sangat merepotkan.”
Asal suara itu adalah dari smartphone Kai, yang tampaknya lupa dia ubah ke mode silent. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat beberapa pesan notifikasi dari social game yang berbeda-beda. Semuanya adalah notifikasi untuk event gacha baru. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk bermain game di ponsel, terutama saat semua orang sudah pulang dari sekolah dan bekerja. Secara alami, itu mengarah ke banyak notifikasi game berbeda-beda yang tumpang tindih selama jangka waktu ini.
Tidak perlu untuk langsung memeriksa notifikasi-notifikasi itu, jadi dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Tapi saat Kai melakukan itu, dia melihat Nanaka bersemangat di depannya. Rambut kremnya bergerak ke atas ke bawah seolah untuk menegaskan betapa bersemangatnya dia.
“Um, um, um! Aku tidak bermaksud untuk mengintip, itu hanya tidak sengaja terlihat!” Dia berseri-seri dengan begitu gembira sehingga matanya tampak berkilauan. “Apakah kau suka bermain game di smartphone?!”