Babak Dua: Membantu Isitri Game Online Adik Perempuanku
(3/3)
Setelah dua jam ber-karaoke, kami pun meninggalkan Manekin Neko.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19:00 lewat, namun langit masih terlihat cerah. Para karyawan yang telah selesai bekerja sedang berlalu lalang, membuat jalanan menjadi ramai seperti di siang hari.
“Ah, aku banyak bernyanyi! Menyenangkan sekali!”
“Ya, itu menyenangkan. Aku bernyanyi terlalu banyak hingga tenggorokanku terasa serak.”
“Aku juga. Oh iya. Fujisaki-san, apakah kamu mau bertukar informasi kontak?”
“Ya. Aku mau.”
“Hore! Dan juga, bolehkah aku memanggilmu Kotomi-chan?”
“Boleh, kok. Karena nama belakangku sama dengan Haru-nii, jadi itu memang agak membingungkan.”
Tolong panggil aku Haruto-kun juga! Dan tolong sekalian bertukar informasi kontak denganku! Ah, aku iri pada Kotomi!
Tapi rasa iri saja tidak akan membantu kemajuan hubunganku dengan Takase.
Mungkin terasa aneh kalau aku memintanya memanggilku dengan nama depan padahal kami belum pacaran, tapi saat ini, seharusnya tidak aneh jika aku memintanya untuk bertukar informasi kontak.
“Bagaimana kalau kita sekalian bertukar kontak juga?”
Aku mengatakan itu setelah menunggu mereka berdua selesai bertukar informasi kontak agar tidak mengganggu.
“Eh, dengan Fujisaki-kun…?”
A-Apa-apaan dengan reaksi itu? Dia tidak tampak terasa enggan… tapi dia terlihat ragu-ragu.
Apakah aku sedikit terlalu cepat?
Mungkin sebaiknya aku melakukan itu setelah kami sedikit lebih dekat…
Sudah terlambat untuk menyesalinya sekarang. Aku perlu memberikan alasan yang kuat untuk bertukar informasi kontak!
“Uh, begini, kalau kamu punya kesulitan dalam studimu, akan sangat membantu kalau kamu punya kontakku, kan?”
“Memang sih, tapi…”
Takase mengerutkan alisnya seolah canggung, melirik sekilas ke wajah Momoi.
“Apakah ada sesuatu di wajahku?”
“Tidak, bukan itu… Mahocchi, bisakah kita bicara sebentar?”
Takase memberikan isyarat, dan Momoi pun mendekatkan wajah ke arahnya. Takase berjinjit sedikit dan berbisik di telinganya.
Momoi, yang tadinya terlihat serius, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Kamu tidak perlu khawatir tentang itu.”
“Tapi… apa kamu tidak keberatan?”
“Aku lebih suka kalau kamu tidak sungkan padaku seperti itu.”
“Benarkah? Kamu tidak menahan diri untukku, kan?”
“Aku tidak menahan diri, kok. Jika Naru-chan ingin melakukan itu, lakukanlah.”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan melakukannya.”
Aku bisa mendengar kata-kata seperti “tidak perlu khawatir”, “keberatan”, dan “menahan diri”, dan aku dapat menebak apa yang sedang terjadi. Dia mungkin ragu-ragu karena dia khawatir Momoi akan merasa cemas dan mencurigai kami selingkuh jika aku bertukar informasi kontak dengan seorang gadis.
Syukurlah itu bukan karena dia membenciku…
“Maaf membuatmu menunggu! Ayo tukaran!”
“Ayo!”
Sudah satu tahun tiga bulan sejak aku mulai naksir Takase. Dan aku akhirnya mendapatkan informasi kontak Takase!
Langkah pertama adalah yang paling penting dalam situasi ini. Jika aku tidak segera menghubunginya, akan lebih sulit mengirimkan pesan padanya nanti. Ketika aku sampai di rumah, aku akan mengiriminya salam dan mencoba menciptakan suasana dimana kami dapat berkomunikasi dengan mudah.
Setelah bertukar informasi kontak, kami menuju ke Stasiun Kinjou.
“Baiklah, aku akan naik taksi pulang dari sini.”
Setibanya di stasiun, Momoi mengatakan itu. Sepertinya Momoi tinggal di kawasan Kinjou, karena dia juga naik taksi pulang saat kami pergi karaoke sebelumnya.
“Oh, tunggu. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Momoi-san.”
“Denganku?”
“Ya. Kalau kamu sibuk, kita bisa bicara lewat telepon saja, tapi… ini penting, jadi kupikir akan lebih baik jika kita bicara sambil bertatap muka.”
“Bisa kok.”
“Keretaku akan segera datang, jadi aku duluan, oke?”
“Ya. Dadah, Takase-san. Sampai jumpa di sekolah.”
“Pastikan untuk jangan terburu-buru naik kereta, oke?”
“Sampai jumpa, Takase.”
Melambaikan tangannya, Takase lari menuju stasiun.
Ngomong-ngomong, alasan aku tidak mengikuti Takase adalah karena Kotomi memegang ujung seragamku. Sepertinya pembicaraannya itu ada hubungannya denganku. Atau mungkin dia hanya tidak ingin pulang sendirian.
“Jadi, ada apa?”
Wajah Momoi sedikit menegang, mungkin gugup menghadapi percakapan yang sepertinya penting itu.
“Umm, begini, boneka yang Haru-nii buat sebenarnya bukan hadiah untukku, melainkan itu adalah hadiah dariku untukmu, Momoi-san.”
Jika dia membuat semuanya sendiri, itu akan lebih seperti “hadiah dari Kotomi”, tapi dia pasti merasa lebih baik berterus terang karena sudah jelas kalau aku terlibat, terutama setelah pembicaraan tentang boneka sebelumnya.
“Hadiah… maksudmu seperti hadiah ulang tahun?”
“Ya. Aku benar-benar ingin membuatnya sendiri, tapi aku sangat payah… Haru-nii juga tidak pandai membuatnya, jadi kami akhirnya meminta bantuan Takase-san. Haru-nii belajar cara menjahit dari Takase-san dan kemudian mengajariku…”
Seorang teman yang kikuk berusaha keras membuatkan boneka untuknya. Kupikir Momoi akan senang, tapi dia tampak bingung.
Dan entah kenapa, dia malah menatapku, bukan Kotomi.
“Jadi, Haruto-kun, apakah itu artinya jarimu terluka karena aku?”
“Bisa dikatakan begitu, tapi jangan khawatir. Lukanya tidak terlalu dalam, dan ini sudah mulai sembuh.”
“Tapi… bukankah itu sakit?”
“Hanya sedikit perih.”
“Tapi, kamu tertusuk berkali-kali, kan?”
“Yah, begitulah.”
“Apakah kamu tidak muak dengan itu?”
“Tidak, kok.”
Aku bisa menghabiskan waktu bersama Takase, aku berjanji pada Kotomi bahwa aku akan “membantu”, dan itu adalah hadiah ulang tahun Momoi. Hanya karena aku tertusuk jarum bukan berarti aku akan menyerah di tengah jalan.
Momoi menggerakkan pahanya dengan gelisah, seolah dia sedang menahan kencing.
“Kenapa kamu bersusah payah melakukan itu untukku?”
“Itu karena aku ingin membuatmu bahagia, Momoi.”
“Apakah ada untungnya untukmu dengan membuatku bahagia?”
Apakah semengejutkan itu kalau aku berusaha keras demi Momoi…? Yah, mungkin memang mengejutkan sih. Tidak seperti cowok lain, aku tidak punya perasaan cinta terhadap Momoi, jadi aku tidak perlu berusaha menyenangkannya.
Namun, hanya karena aku tidak memiliki perasaan cinta padanya bukan berarti aku tidak boleh berbuat baik untuknya. Untuk melanjutkan persahabatan kami, mungkin ada baiknya aku menjelaskan perasaanku.
“Ini bukan soal untung atau rugi. Aku menyukaimu sebagai teman, Momoi, dan aku menganggapmu penting. Itulah sebabnya aku ingin melihat wajah bahagiamu. Itu saja.”
“B-B-Begitu, ya… hmm…”
Mata birunya berkedip terkejut dan kulit pucatnya perlahan memerah… Oi, jangan bereaksi seperti itu. Aku juga jadi malu, nih.
Dia tersenyum bahagia, dan aku tidak berniat menarik kembali perkataanku.
“Jika aku begitu penting bagimu… Aku akan membiarkanmu merayakannya juga, Haruto-kun,” kata Momoi sambil memalingkan wajahnya dengan malu-malu.
“Bolehkah aku ikut juga?”
“Ya. Kami akan mengadakan pesta di kafe Ran-chan pada tanggal 2 Juli pukul 13.00. Naru-chan dan Aoi-chan juga akan hadir di sana.”
Momoi memandang Kotomi dengan gugup dan berkata,
“Kupikir kamu mungkin akan gugup dengan semua orang di sana, jadi aku berpikir untuk mengundangmu ke kafe di lain hari… tapi apakah kamu ingin ikut juga, Kotomi-san?”
“Aku mau.”
“Kotobuki dan Aoki akan ada di sana, apa kamu tak masalah?”
“Aku mungkin akan gugup, tapi aku ingin merayakan ulang tahun Momoi-san.”
Kotomi… dia sudah berkembang. Jika dia bisa mengatasi rasa malunya seperti ini, dan menaikkan nilainya menjadi sekitar 70, Ayah dan Ibu pasti akan merasa lega.
Momoi juga terlihat senang, mungkin karena dia tahu betapa pemalunya Kotomi.
“Terima kasih. Kudengar akan ada kue yang enak, jadi nantikanlah!”
“Ya. Oh, tapi… Momoi-san, kamu merahasiakan bahwa kamu adalah seorang otaku, kan? Tidakkah semua orang akan tahu jika aku memberimu boneka itu? Terutama Takase-san, karena dia sudah tahu tentang Nekketsu Senki…”
“Kamu bisa memasukkannya ke dalam tas atau kotak dan berkata ‘bukalah nanti’. Atau kamu bisa berterus terang dan mengatakan bahwa kamu adalah seorang otaku.”
Aku tidak ingin memaksanya, tapi itu adalah kesempatan bagus. Aku harap dia akan menggunakan kesempatan itu untuk berterus terang setidaknya kepada teman dekatnya bahwa dia adalah seorang otaku.
Aku tidak bilang Momoi harus membicarakan hal-hal otaku di sekolah, tapi menurutku dia akan bisa lebih santai jika dia memberi tahu teman-temannya tentang hobinya.
“Aku takut untuk berterus terang, tapi… sejujurnya, aku juga ingin menyanyikan lagu anime.”
“Kamu seharusnya bernyanyi kalau begitu. Takase tersenyum ketika mendengar lagu anime, kan?”
Memang ada orang di luar sana yang mungkin mengolok-olok hobi otaku, tapi setidaknya, Takase bukanlah salah satu dari orang-orang itu. Dia menerima lagu anime dan berteman dengan Kotomi bahkan setelah mengetahui bahwa Kotomi adalah seorang otaku.
“Tapi, aku bertanya-tanya apakah Ran-chan dan Aoi-chan akan menerimanya juga?”
“Mereka akan menerimanya. Lagipula, boneka binatang itu dibuat di rumah Kotobuki. Dan Aoki adalah tipe orang yang mengajakku bergabung ke klub hobinya, kan? Mana mungkin dia tidak bisa menerima hobi temannya saat dia bisa menerima wajah premanku.”
Saat aku mendorongnya untuk berterus terang, Momoi menatapku dengan tatapan menengadah. Dengan nada suara yang manja, dia berkata,
“…Haruto-kun, maukah kamu mengaku bersamaku bahwa kamu juga seorang otaku?”
“Aku?”
“Apakah kamu keberatan…?”
“Aku tidak keberatan, kok. Demi kamu, Momoi, aku akan mengaku juga.”
Biarpun aku berterus terang bersamanya, reaksi mereka bertiga tidak akan jauh berubah, tapi jika itu bisa merubah pikiran Momoi, maka itu sudah lain cerita. Jika itu dapat memberikannya keberanian, aku tidak akan ragu untuk berterus terang.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku, dan Momoi pun mengangguk seolah dia sudah mengambil keputusan.
“Aku akan berterus terang pada mereka.”