Chapter Satu: Perburuan Hadiah Panik Raja Iblis
Anima mendapati dirinya diselimuti oleh selubung kegelapan. Di dalamnya, tidak ada sumber cahaya, tidak ada suara, tidak ada apa-apa. Apa yang sedang dia lakukan di tempat seperti itu? Bahkan dia sendiri tidak bisa mengingatnya.
“Ah, tentu saja. Bagaimana bisa aku lupa?”
Membuka pintu yang akan membawanya ke tujuan, dia pergi ke Garaat untuk mencari hadiah ulang tahun Marie. Namun, apa yang seharusnya menjadi urusan cepat malah membutuhkan lebih banyak waktu daripada yang diharapkan. Meski begitu, dia tidak membiarkan hal itu mengganggunya. Dia telah menemukan hadiah yang sempurna, dan ketika dia akhirnya pulang ke rumah dengan membawa hadiah itu, dia disambut oleh derap langkah kaki kecil yang berlari ke arahnya.
“Ayah pulang!”
Anima tersenyum saat si kecil Marie bergegas menyambutnya. Ini adalah hari ulang tahunnya, jadi untuk merayakannya, Marie mengenakan gaun yang indah dan mahkota bunga dandelion. Dia tampak seperti seorang tuan putri.
“Ayah pulang, Marie.”
Anima mengelus kepalanya, berhati-hati agar tidak menghancurkan mahkotanya, dan dijawab dengan tawa yang menggemaskan. Mengikutinya, Luina dan anak-anak keluar ke pintu masuk juga.
“Selamat datang kembali, Anima.”
“Kenapa lama sekali? Kami benar-benar khawatir, oce?”
“Kemana Ayah pergi?”
“Ayah jalan-jalan.”
Anima tidak ingin mengambil risiko membiarkan mereka mengetahui bahwa dia sebenarnya, sampai menit terakhir, baru mencarikan hadiah untuk Marie. Memang, Anima lupa apa yang telah dia beli, tapi gumpalan di sakunya cukup untuk mengingatkannya bahwa Marie pasti akan sangat gembira ketika melihatnya. Dia tidak sabar untuk melihat senyum lebar di wajah Marie.
“Ayah, lihat! Aku dapat adiya ini!”
Marie dengan bangga menunjukkan sebuah kotak kepadanya. Itu dihiasi dengan berbagai batu mengkilap, membuatnya tampak seperti kotak perhiasan.
“Ayah seharusnya melihat Marie tersenyum saat dia mendapatkan hadiahnya.”
“Dia sangat bersemangat untuk menunjukkannya padamu, oce?”
“Kamu adalah gadis yang sangat beruntung, memiliki kakak-kakak yang begitu perhatian.”
“Uh-huh! Aku cangat mencintai kakakku!”
Senyuman cerah Marie membuat rumah mereka semakin berkilau, namun juga melahirkan jenis kekhawatiran baru di hati Anima. Anima berhasil mendapatkan hadiah untuknya, tapi bagaimana jika Marie tidak menyukainya? Pikiran bahwa dia bisa saja merusak ulang tahun malaikat kecilnya yang sedang gembira membuatnya merinding.
“Sekarang, Anima, aku sangat senang kamu sudah pulang. Sepanjang pagi Marie mencoba menebak apa yang akan kamu berikan. Dia sangat bersemangat.”
“Aku cemangat!”
“Hadiah dari Ayah; Aku yakin itu akan luar biasa!”
“Itu benar-benar akan membuatmu terkejut, oce?”
Malahan, harapan yang mereka miliki pada hadiah Anima sangat mengejutkannya. Anima hanya bisa berharap kalau hadiahnya—dan dirinya—mampu memenuhi harapan itu.
“Ah, tapi untuk apa kita berdiri disini? Mari kita makan!”
Gadis-gadis itu meraih tangan Anima dan menyeretnya ke ruang makan. Mejanya sudah ditata, tapi piringnya kosong. Tidak ada juga bau sedap yang keluar dari dapur.
“Kamu belum mulai membuat sarapan?”
“Belum. Rasanya paling enak saat baru keluar dari wajan, jadi aku ingin menunggu sampai kamu pulang.”
“Yah, sekarang aku sudah di rumah, biar aku bantu.”
“Aku menghargai niatmu, tapi kupikir kamu harus mulai dengan memberikan hadiahnya kepada Marie dulu.”
“Pastinya! Ayah satu-satunya yang belum memberinya hadiah.”
“Kita akan sarapan setelah itu, oce?”
“Aku yakin kamu tidak sabar melihat apa yang Ayah akan berikan untukmu, ya, Marie?”
“Aku tak cabay!”
Saat Marie menatapnya dengan mata berbintang, tekanan pada Anima untuk memenuhi harapan semua orang semakin besar. Mata para gadis mulai tertuju padanya, membuat tingkat kecemasannya menjulang tinggi. Agar tidak mengkhawatirkan para gadis, dia berjongkok, melakukan yang terbaik untuk menjaga wajahnya tetap tenang.
“Aku ingin tahu apa yang akan kamu berikan untuknya, oce?”
“Ayo, tunjukkan pada kami!”
Di tengah semua tekanan itu, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan… tidak ada.
“Tidak mungkin…”
Anima membeku. Kantongnya kosong. Hadiah yang telah dia beli di Garaat telah lenyap. Satu-satunya penjelasan yang bisa dia pikirkan adalah, bahwa dia telah menjatuhkannya di suatu tempat saat dia pulang.
Itu dia! Semuanya baik-baik saja, hadiahnya ada di suatu tempat di dalam rumah!
Dia bergegas keluar dari ruang makan dan mengamati lorong dengan mata merah. Tapi hadiahnya tidak bisa ditemukan.
“Apakah semuanya baik-baik saja, Anima?” Anima berbalik, berbalik ke arah suara itu. Suara itu datang dari Luina, yang memiliki ekspresi serius di wajahnya. “Jangan bilang kamu tidak memiliki apa pun untuk diberikan pada Marie. Itu jahat.”
“Aku harap kamu tidak berbohong tentang akan memberinya hadiah, oce?”
“Cak ada adia?”
Marie menatap Anima, sedih. Melihat Marie kehilangan harapan membuat Anima panik.
“T-Tidak, Ayah punya hadiah untukmu! Ayah sudah punya hadiah untukmu! T-Tapi, entah bagaimana, hadiahnya menghilang dari saku Ayah, sumpah…”
Dia melihat air mata mulai muncul di mata kecil Marie. Sesaat kemudian, air mata mulai mengalir di pipinya yang bulat dan menggemaskan.
“Cak ada adiya dayi Ayah? Apakah Ayah membenciku?”
“Tidak, Ayah mencintaimu! Ayah sangat mencintaimu, dan Ayah memang punya hadiah untukmu. Ayah membelikanmu hadiah terbaik yang bisa dibeli dengan uang, percayalah! Ayah mohon… Kamu harus percaya pada Ayah!”
Anima mencoba yang terbaik untuk menghiburnya, tapi tidak berhasil. Air matanya tidak mengering.
“Ayah tidak membeyi adiya! Ayah mebenciku!”
“Tolong jangan menangis, malaikat kecilku. Ayah Mohon…”
“Aku sayang Ayah!” Marie yang menangis berlari ke arah Luina, yang berjongkok, memeluknya erat, dan kemudian dengan lembut mengusap kepalanya. “Aku sayang Ayah, capi Ayah membenciku!”
Luina melotot ke arah Anima.
“Pria macam apa yang tidak mencarikan hadiah ulang tahun untuk gadis kecilnya? Aku tidak akan pernah memberimu ciuman lagi.”
“Aku tidak akan mandi dengan Ayah lagi!”
“Jangan coba-coba masuk ke ranjang yang sama denganku, oce?”
“Kumohon…”
Tatapan kecewa dari keluarganya tercinta menembus langsung ke dalam hatinya. Dia pusing karena kesakitan. Kegelapan mulai mengambil alih penglihatannya, dan isakan Marie semakin pelan…
◆◆◆
“Gh!”
Mata Anima terbuka lebar. Dia bangkit dari kasur tempat dia berbaring dan melihat sekeliling—dia ada di kamarnya. Suasananya tenang. Dia bisa mendengar detak jantungnya. Cahaya bersinar masuk melalui jendela, yang segera membuatnya sadar bahwa dia kesiangan. Dia mengangkat tangannya untuk menyeka keringat dari dahinya tepat saat hawa dingin menjalar ke tulang punggungnya.
“Mimpi buruk…”
Pikiran akan membuat gadis kecilnya menangis dan mengecewakan keluarganya membuatnya takut lebih dari apapun. Dia senang bahwa itu hanya mimpi, namun dia tidak dapat menghilangkan ketakutannya, karena mimpi itu masih dapat berpotensi menjadi kenyataan yang menyeramkan. Dia harus bertindak cepat jika ingin menghindari masa depan yang suram itu.
Aku akan memikirkan apa yang harus aku beri untuk Marie setelah aku membantu Luina melakukan pekerjaan sehari-hari.
Dengan rencana itu di benaknya, dia bangun, mengenakan jubahnya, dan meninggalkan ruangan. Saat dia melangkah keluar, dia mendengar seseorang berlari ke arahnya.
“Ah! Ayah banung!”
Langkah kaki itu milik Marie, yang bergegas ke arah Anima dan melompat ke pelukannya. Anima menangkap gadis kecil itu dan dengan lembut memeluknya.
“Kamu bangun pagi, Marie.”
“’Kaena aku gadis becay! Ayah, tahukah sebeyapa becay aku?”
“Tidak, seberapa besar kamu?”
Seolah-olah Marie telah menunggunya untuk menanyakan pertanyaan itu, Marie dengan bangga menatap Anima.
“Aku epat taun!”
“Wooow, kamu sudah berumur empat tahun? Kamu benar-benar gadis yang besar!”
Anima meremas pipi Marie saat senyum lebar muncul di wajahnya.
“Ehehe! Ayah tahu, Ayah tahu, Ibu menyuyuhku pegi ke cini! Dia menyuyuhku membanungkan Ayah!”
“Wow, Ibu mempercayaimu dengan tugas sepenting itu? Ayah rasa itu tugas yang cocok untuk gadis besar sepertimu.”
“Ya! Tapi, tahukah Ayah, aku tidak membanungkan Ayah, kaena Ayah banung cendiyi! Kaena ayah yeyaki becay!”
Anima tersenyum hangat saat Marie mengusap kepalanya.
“Terima kasih, Marie, tapi kamu jauh lebih mengesankan dari Ayah.”
“Benarkah?”
“Benar. Kamu membangunkan Ayah.”
“Benarkah? Aku membangunkan Ayah?”
“Tentu saja. Ayah masih setengah tidur sebelum kamu sampai di sini, tapi sekarang Ayah benar-benar terbangun. Terima kasih, Marie.”
“Cama-cama! Ah, cayapan! Ayo cayapan!”
Karena dia gadis besar, Marie mungkin menganggap berpelukan terlalu kekanak-kanakan, karena dia melompat turun dari pelukan Anima dan menariknya ke ruang makan. Ketika mereka tiba, dia langsung memperhatikan bahwa sarapan telah siap dan menunggu untuk disantap. Semangkuk kayu besar yang diisi penuh dengan sup sayuran lezat ada di tengah meja, dengan sepiring sandwich ham dan keju di sampingnya. Luina mungkin masih berada di dapur, sementara Myuke dan Bram, yang sudah duduk di kursi, merayakan kedatangan Anima dan Marie dengan tepuk tangan.
“Wow, kamu benar-benar berhasil menyeret Ayah keluar dari tempat tidur!”
“Hanya gadis besar yang bisa membangunkannya, oce?”
“Cama-cama!” kata Marie dengan sombong. Dia sangat bangga pada dirinya sendiri sehingga sebenarnya ada uap yang keluar dari hidungnya.
“Kenapa kesiangan, Anima?” tanya Bram dengan nada khawatir. “Kuharap itu bukan karena semua hal yang kamu lakukan di sini, oce?”
Bram telah menjadi bagian dari keluarga mereka dua bulan lalu, namun dia masih belum memanggil Anima “Ayah”. Bram sama sekali tidak membenci Anima—dia jelas mengkhawatirkannya, mereka mandi bersama, dan dia memercayainya seperti ayahnya—dia hanya tidak siap untuk mengambil langkah itu. Tidak peduli seberapa besar Anima ingin Bram untuk memanggilnya “Ayah”, Anima tahu bahwa dia harus memikirkan perasaan Bram; Anima tidak akan memaksanya untuk memanggilnya seperti itu jika Bram tidak mau. Hari keajaiban itu terjadi akan datang secara alami, jadi sampai saat itu, Anima hanya akan memperlakukannya seperti putrinya dan menghujaninya dengan cinta, seperti yang dia lakukan pada Myuke dan Marie.
“Ayah sehat seperti biasanya. Ayah memiliki semua energi di dunia. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan; kita masih bisa bermain bersama seperti yang biasa kita lakukan.”
“Woo-hoo! Aku suka bermain di luar denganmu, jadi senang mendengarnya, oce?”
Bram tidak bisa menahan kegembiraannya. Orang tuanya tidak bisa bermain di luar bersamanya karena kesehatan mereka yang buruk, jadi menghabiskan waktu di taman bersama keluarga barunya adalah hal favoritnya.
“Selamat pagi, Anima,” kata Luina saat dia berjalan ke ruang makan.
“Selamat pagi. Maaf aku tidak membantu menyiapkan sarapan.”
“Jangan khawatir. Kamu selalu membantu dalam segala hal, jadi kamu dipersilakan untuk santai sesekali.”
“Ibu, Ibu! Aku membanungkan Ayah!” kicau Marie, memancing pujian. Setelah meletakkan kendi air di atas meja, Luina mengelus kepalanya.
“Kerja bagus, gadis besarku!”
“Marie, beri tahu aku berapa umurmu, oce?”
“Um, um, aku epat caun!”
Bram tahu persis berapa umur Marie, tapi dia juga tahu kalau menanyakannya secara langsung akan membuat Marie sangat bahagia. Buktinya, Marie dengan bangga mengulurkan tangan dengan empat jari terulur, sambil tersenyum lebar.
Dia kakak yang luar biasa. Aku sangat bangga padanya.
Dengan diam-diam memuji putrinya, Anima duduk. Dia dan anggota keluarganya yang lain melakukan ritual sebelum makan, dan dia memulai sarapannya dengan satu gigitan dari salah satu sandwich Luina.
“Bagaimana?” tanya Luina.
“Luar biasa. Memakan makanan surgawi buatanmu membuatku menjadi orang paling bahagia di seluruh dunia.”
“Ya ampun, mulai lagi,” katanya, memerah tapi tersenyum.
“Ugh, kurasa sekarang kita seharusnya sudah menduga ini akan terjadi karena kedua sejoli sudah bangun.”
“Kami sampai merasakan tingkat bahaya dari rasa malu tidak langsung di sini. Jangan berlebihan, oce?”
Myuke dan Bram menggoda pasangan itu dengan seringai lucu, yang hanya membuat Luina menjadi semakin memerah.
“Jangan bicara sambil makan. Lidahmu nanti tergigit.”
“Lihat wajahnya yang memerah.”
“Dia sangat imut saat sedang malu, oce? Bukankah kamu pikir begitu, Anima?”
“Dia benar-benar imut apa pun yang terjadi.”
“Tolong berhentilah menggodaku…” keluhnya, tapi senyumnya tidak pudar.
Terpesona oleh istrinya yang cantik, berharap bisa menatapnya sampai akhir waktu, Anima mengisi sendoknya dengan sup dan memakannya. Ada berbagai jenis sayuran di dalamnya, yang dipotong dadu dengan halus agar tidak tersangkut di tenggorokan Marie. Rasa lembut sayurannya diperkuat dengan bumbu yang lembut, dan Luina menambahkan sedikit jahe untuk menyatukan semuanya. Hasilnya adalah hidangan yang luar biasa; satu sendok saja sudah cukup untuk membuat seseorang tetap hangat di malam-malam terdingin.
“Bagaimana supnya?”
“Luar biasa. Supmu selalu enak, tapi yang ini berbeda. Jahe menambahkan tingkat rasa yang benar-benar baru. Benar-benar luar biasa.”
“Fiuh, aku sangat senang mendengarnya. Sepertinya kamu kurang tidur, jadi aku takut kamu jatuh sakit. Jahe sangat bagus saat kamu sakit, itulah sebabnya aku memasukkannya ke dalam sup hari ini.”
Perhatiannya hampir membuat Anima menangis. Kata-katanya menghangatkannya sampai ke dalam hatinya.
“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja. Aku tidak sakit sama sekali.”
“Anima kokoh seperti batu, oce?”
“Tapi kenapa tidurmu sangat tidak nyenyak?”
“Aku mengalami mimpi buruk.”
“Ceritakan pada kami, oce?”
“Aku sudah lupa mimpinya, maaf.”
Dia tidak benar-benar lupa, tapi memberi tahu mereka tentang hal itu akan mengungkapkan bahwa dia masih perlu mencarikan hadiah ulang tahun Marie.
“Hmm… Mungkinkah dia mengatakan sesuatu dalam mimpinya, oce? Apakah Ibu mendengar sesuatu?”
Bram berpaling ke arah Luina untuk mengetahui lebih banyak tentang mimpi buruk Anima, tapi Luina hanya menggelengkan kepalanya.
“Ibu mengawasinya sebentar saat dia tidur, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.”
“Ibu melihatnya tidur, hmm? Ibu benar-benar tergila-gila, oce?”
“Oh, tentu saja. Ibu sangat mencintai Anima. Ditambah lagi, dia manis saat tidur.”
“Ayah manis!”
“Kamu juga manis, Marie.”
“Aku manis! Ayah bilang aku manis!”
Luina menyaksikan sambil tersenyum ketika Marie dengan riang melaporkan hasil percakapan singkat mereka. Dia benar-benar bola kebahagiaan menggemaskan yang bisa menyembuhkan penyakit apa pun dengan cekikikannya yang riang—itulah sebabnya Anima tidak bisa membiarkan dirinya mengecewakan Marie seperti yang ada di dalam mimpinya. Dia harus mencarikannya hadiah terbaik yang dimiliki Garaat. Dia harus menyelesaikan sarapannya dulu, jadi dia makan sampai dia membersihkan piringnya.
“Terima kasih untuk makanannyaaaaa!” deru Marie.
“Wow, kerja bagus, Marie, oce?! Kamu sudah menghabiskan seluruh sarapanmu!” Bram bertepuk tangan. “Baiklah, sebagai hadiah, aku akan bermain denganmu sepanjang hari. Dan kamu bisa memilih permainannya, oce?”
“Yaaay! Kamu tahu, kamu tahu, aku cuka megambay! Aku cuka megambay becama Myukey an Brum!”
“Oke, mari kita menggambar,” kata Myuke. “Tapi kita harus beres-beres dulu.”
“Tidak apa-apa, Ibu yang akan beres-beres. Kalian pergilah bermain.”
“Apakah Ibu yakin? Apakah Ibu tidak lelah?”
“Tidak sama sekali!” Luina melakukan pose pamer, menekuk otot bisepnya. “Ibu bisa melakukan ini sepanjang hari!”
“Beri tahu aku jika Ibu butuh bantuan, oke?” pinta Myuke.
“Tentu. Terima kasih.”
“Aku juga akan membantu, oce?”
“Aku juga, aku juga! Aku gadis becay cekayang!”
“Terima kasih banyak, anak-anak. Kalian selalu memperhatikan Ibu. Sekarang pergilah! Selamat bersenang-senang!”
“Okeeee! Ayoo!”
Marie meraih tangan gadis-gadis itu dan membawa mereka keluar ruangan.
“Aku akan membantumu bersih-bersih,” tawar Anima.
“Terima kasih. Apakah kamu ingin berpegangan tangan juga?”
“Mana mungkin aku bilang tidak untuk itu?” Tawaran yang menawan itu membuatnya tersenyum saat dia mengulurkan tangan dan mengaitkan tangan dengan tangan Luina. Kelembutan kulit Luina, dan cara jemari kecilnya yang saling bertautan dengan jari Anima membuatnya merasakan kehangatan. “Meski setelah kupikir-pikir, kita mungkin baru saja membuat bersih-bersihnya menjadi seratus kali lebih sulit.”
“Benar. Sungguh mengecewakan…” kata Luina, pipinya merah. Dia sangat ingin berpegangan tangan dengan Anima hingga akibatnya benar-benar tak terpikir olehnya. “Apakah sebaiknya kita berpegangan tangannya nanti saja?”
“Ya, tentu.”
“Janji?”
“Aku janji.”
Mereka dengan enggan melepaskan tangan satu sama lain, lalu menghabiskan setengah jam berikutnya untuk membereskan meja dan mencuci piring.
“Kita menyelesaikannya dengan cepat! Terima kasih telah membantu.”
“Sama-sama. Aku senang bisa membantu.”
“Aku akan menjahit sekarang, jadi kamu bisa menghabiskan waktumu bersama anak-anak atau bersantai.”
“Begitu ya…” Anima tidak pandai melakukan pekerjaan yang rumit dan berorientasi pada detail. Dia sudah terbiasa mencuci piring, tapi jika dia coba membantu Luina menjahit, dia hanya akan menghambatnya. “Apa yang akan kamu jahit?”
“Salah satu gaun favorit Marie robek, jadi aku akan memperbaikinya.”
Ini bukan pertama kalinya pakaian favorit Marie diperbaiki. Bermain dengan kakak-kakaknya, berguling-guling di tanah, dan berlarian pasti akan membuat pakaian yang terkuat sekalipun jadi rusak. Mereka bisa dengan mudah menghemat waktu Luina dengan menggunakan sebagian harta yang diperoleh Anima untuk membeli ganti gaun robek itu, tapi karena itu adalah salah satu gaun favoritnya, memperbaikinya adalah cara yang harus dilakukan.
“Aku juga akan memperbaiki pakaianmu setiap kali pakaianmu robek,” tambah Luina. “Beritahukan saja.”
“Terima kasih. Kamu sangat ahli dalam menggunakan jarum, jadi aku yakin ini akan terlihat bagus seperti baru.”
“Dan kamu sangat ahli dalam memuji. Aku akan membuatkanmu syal saat cuaca dingin, jadi nantikanlah!”
“Benarkah?! Kamu akan membuatnya?! Terima kasih!”
Istrinya yang cantik akan merajutkan syal untuknya. Hanya dengan pikiran akan membungkus syal itu di lehernya saja sudah menghangatkan hatinya. Sambil memikirkan hari-hari dingin yang menantinya, sebuah pertanyaan muncul di kepalanya. “Tunggu, apakah kamu memberikan Marie syal untuk ulang tahunnya?”
“Tidak. Aku sudah membuatnya musim gugur lalu, dan bahkan jika aku membuatkannya yang baru, dia tidak akan bisa menggunakannya karena di luar masih hangat. Aku mencoba membuatkan boneka kelinci untuk ulang tahunnya.”
“Wow, itu luar biasa. Aku yakin dia akan senang memiliki boneka buatan sendiri.”
Anima sudah menduganya, tapi dia akhirnya mendapat konfirmasi bahwa Luina punya hadiah untuk Marie. Bukan sembarang hadiah, tapi boneka kelinci yang Luina buat sendiri. Itu pasti akan membuat wajah kecil Marie yang menggemaskan tersenyum. Sebagai ayahnya, sudah menjadi kewajibannya untuk memberinya sesuatu yang sangat dia sukai. Jika tidak, Marie akan menganggapnya sebagai tanda bahwa Anima tidak mencintainya. Itu adalah salh satu hal yang harus benar-benar dia hindari.
“Oh, dan aku juga akan membuat kue. Kamu suka kue apel, kan?”
“Aku menyukainya. Segala sesuatu yang kamu buat luar biasa.”
Anima memiliki hubungan emosional yang sangat dalam dengan kue apel. Hanya dengan menyebut namanya saja sudah cukup untuk membanjiri dia dengan kenangan manis—pertama kali dia memakan kue apel adalah pada hari dia dan Luina berbagi ciuman pertama mereka. Itu dengan cepat menjadi jelas bahwa Anima bukanlah satu-satunya yang memiliki hubungan terhadap kue itu, karena Luina menatapnya dengan lebih penuh kasih daripada biasanya.
Meskipun Anima tidak pernah pandai membaca perasaan wanita, sudah lebih dari setengah tahun sejak dia pindah ke panti asuhan bersama Luina dan anak-anak. Anima tahu persis apa yang Luina tunggu. Anima meletakkan tangannya di bahu mungil Luina, membungkuk, dan dengan lembut mencium bibirnya.
“…Bisakah kita melakukannya lagi?” tanya Luina sambil bersandar.
“Tentu saja,” jawabnya, dan mereka berbagi ciuman yang panjang dan manis. “Bagaimana itu?”
“Umm… Tolong sekali lagi.”
“Aku akan menghujanimu dengan ciuman jika itu yang kamu inginkan.”
Berdiri di tengah dapur, mereka berciuman tidak kurang dari delapan kali.
“Itu ciuman yang banyak, dan setelah sekian lama sejak ciuman terakhir kta. Rasanya bibirku bisa membengkak kapan saja. Bagaimana perasaanmu?”
“Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah. Aku akan menjahit sekarang, tapi aku ingin berciuman lebih banyak lagi denganmu.”
“Aku juga sangat menantikan itu. Aku akan pergi bermain dengan anak-anak sekarang, jadi, um… maukah kamu bergandengan tangan dalam perjalanan kesana?”
“Oh, kamu mengingat janji kita.”
Bergandengan tangan, mereka meninggalkan dapur. Mereka naik ke lantai dua, di mana mereka berpisah. Luina pergi ke kamar untuk menjahit, sementara Anima berjalan ke ruangan cerah di ujung lorong yang merupakan ruang bermain yang dibuat untuk anak-anak.
Setelah orang tuanya meninggal, Luina harus menjual hampir semua harta bendanya, sehingga ruangan itu kosong untuk waktu yang lama. Dengan masuknya keuangan keluarga baru-baru ini berkat kerja keras Anima dan Myuke, mereka tidak mengalami kesulitan untuk merenovasi sebagian besar rumah, termasuk ruang bermain.
Tidak ingin mengganggu kesenangan anak-anak, Anima mengintip dari balik pintu untuk memeriksanya. Di dalam, mereka bertiga sedang duduk mengelilingi meja, mengobrol riang satu sama lain.
“Myuke, beri aku yang merah setelah kamu selesai, oce?”
“Uh, tentu, tapi sekarang aku penasaran… Apakah kamu menggambarku?”
“Tentu! Aku sedang menggambar saat kita pergi ke pantai. Aku harap ini tidak terlalu jelek, oce?”
“Tidak, tidak sama sekali! Itu tampak bagus!”
“Kau punya bakat menilai seni, oce?”
“Aku juga! Aku juga megambay Myukey!”
“Wow, lihat itu! Itu sangat lucu, Marie.”
“Hanya gadis besar yang bisa menggambar dengan baik, Marie. Banggalah pada dirimu sendiri, oce?”
“Ehehe! Aku juga akan megambay Brum!”
“Aku tidak sabar untuk melihatnya, oce?”
Masing-masing dari mereka memegang krayon dari set yang mereka beli kemarin. Mereka menggambar, seperti yang mereka putuskan saat sarapan.
“Kalian para gadis tampaknya sangat bersenang-senang.”
Mendengar suara Anima, anak-anak dengan cepat mengangkat kepala mereka.
“Ayah! Ayah, yihat! Aku megambay Myukey an Brum!”
“Itu bagus, Marie. Apakah ini saat kalian bermain di padang rumput?”
“Iya! Yihat, ini dadelin! Yayu Ayah dan Mommy!”
“Ya, itu kami. Tunjukkan lagi pada Ayah setelah semuanya selesai, oke?”
“Okeeee! Cencu!”
Penuh senyuman berkat pujian Anima, ia kembali mengerjakan mahakaryanya. Warna krayon yang dia gunakan untuk menggambar menempel di seluruh jarinya, dan wajahnya pasti gatal di suatu waktu, karena di seluruh pipinya juga tertempel. Dia adalah seorang gadis kecil yang sangat berwarna; Anima tidak bisa menahan senyum pada “riasan” imutnya.
“Bagaimana gambarku? Ini saat kita pergi ke pantai, oce?”
“Ini sangat bagus. Semua orang bermain ciprat-cipratan dengan sangat bahagia. Sungguh indah.”
“Itu sangat menyenangkan! Ayo pergi lagi kapan-kapan, oce?!”
“Tentu.”
“Yaaay! Janji, oce?”
“Ayah, bagaimana gambarku?”
“Mari kita lihat… Apakah ini saat kita menyeberangi jembatan tali?”
“Ya! Saat itu Bram tidak bersama kita, jadi, kayak, aku ingin menunjukkan padanya betapa kerennya tempat itu!”
“Wow, kamu baik sekali,” kata Bram sambil dengan malu-malu menunduk.
“Setidaknya, itulah yang bisa aku lakukan untuk adik—Whoa, apa?!” teriak Myuke saat Bram meringkuk ke arahnya dan mengusapkan pipi mereka.
“Aku cuma ingin memelukmu karena aku sungguh, amat, saaaangat mencintaimu, oce?!”
“Tetap saja, jangan langsung melompatiku seperti itu! Kau membuatku takut setengah mati!”
“Waktunya berpelukan, oceeee?” Terlepas dari protes Myuke, senyum di wajahnya tidak berbohong. Dan Marie, yang biasanya akan cepat melompat ke dalam pelukan keluarga, terlalu asyik dengan gambarnya hingga tidak menyadarinya. Hanya beberapa saat sebelum Bram menarik diri dari Myuke. “Aku harus kembali menggambar. Aku akan menunjukkannya padamu lagi setelah aku selesai, Anima. Bersiaplah terkagum-kagum, oce?!”
“Tentu.” Saat itulah Anima mendapat ide cemerlang. Anak-anak suka menggambar, dan itu berlaku dua kali lipat pada Marie, jadi Anima bisa menggambarkan sesuatu untuk Marie sebagai hadiah ulang tahunnya. Marie pastinya akan senang mendapatkan sesuatu yang Anima gambar sendiri. “Bolehkah Ayah ikut bergabung bersama kalian, anak-anak?”
“Tentu! Ayo, duduk di sampingku.”
“Ini kertasnya, oce?”
“Terima kasih.”
Anima duduk di sebelah Myuke dan mengambil krayon. Dia akan menggambar gambar terindah untuk diberikan sebagai hadiah ulang tahun putrinya yang tersayang. Satu-satunya masalah adalah, selama lebih dari seratus tahun hidupnya, dia tidak pernah menggambar satu kali pun. Keraguan menyelimuti pikiran, dan ototnya menjadi tegang karena cemas, tapi dia harus mengatasinya. Dia akan mengganggu anak-anak jika dia mematahkan salah satu krayon mereka menjadi dua.
Dia mengalihkan perhatiannya ke arah kertas dan memikirkan ide gambarannya. Tema karyanya telah muncul di benaknya saat dia duduk: keluarganya tercinta. Dia akan menggambar mereka berlima, berpegangan tangan dan menari dalam lingkaran, bermandikan cahaya bulan lembut yang meresap melalui jendela. Mengetahui bahwa itu akan menjadi hadiah yang sempurna, dia memfokuskan seluruh energinya untuk menciptakan karya seni terindah yang pernah dilihat keluarganya dan mulai menggambar.
“Selesai!”
Butuh beberapa waktu, tapi gambar pertamanya selesai. Myuke dan Bram mencondongkan tubuh ke arahnya, rasa ingin tahu bersinar di mata mereka, dan membagikan kesan mereka.
“Sebenarnya, apa itu?”
“Terlihat seperti segulung benang, oce?”
Dia terlalu asyik dalam proses menggambar hingga tidak menyadarinya, tapi mereka sepenuhnya benar. Foto keluarga yang sangat indah, yang ingin dia tuangkan di atas kertas, lebih terlihat seperti segulung benang.
Aw…
Anima ingin menutup matanya agar tidak lagi melihat kegagalannya. Mengingat ini pertama kalinya Anima menggambar, dia tidak berharap untuk menciptakan sebuah mahakarya yang layak untuk ditempatkan di galeri pribadi raja, tapi apa yang dia buat jauh di bawah ekspektasinya. Sadar akan kesedihan Anima, Bram bergeser ke sampingnya dan menepuk pundaknya.
“Semangatlah! Aku akan selalu ada di sini untuk membantumu menggambar, bilang saja, oce?”
“Ya. Kami ada di sini untuk membantu, jadi jangan cemberut begitu!”
“Bram… Myuke…” Kata-kata baik mereka membuatnya tersipu. Dia ingin memberikan Marie sebuah gambar, tapi keluarganya malah memberinya kehangatan. “Terima kasih, anak-anak. Ayah akan melakukan yang terbaik.”
Mulai besok, dia akan melakukan hal itu. Namun, sebelum itu, dia memiliki sesuatu yang jauh lebih penting untuk diurus. Dia tidak mungkin memberikan gambarnya pada Marie, dan sepengetahuannya, tidak ada ramuan sihir yang dapat membuatnya menjadi seniman hebat, jadi dia harus menemukan sesuatu yang lain. Untungnya, Marie terlalu fokus pada gambarnya sendiri hingga tidak memperhatikan gambar Anima, jadi dia masih punya waktu untuk memastikan bahwa karyanya tidak pernah terungkap. Tapi itu berarti kembali ke awal lagi untuknya. Dia harus mendapatkan hadiah untuk Marie, tapi apa?
Aku tidak bisa memasak, menjahit, atau menggambar, jadi…
Dia harus pergi ke Garaat lalu membeli sesuatu, dan dia tidak punya waktu untuk disia-siakan. Melompat dari meja, dia bersiap untuk pergi.
“Ayah mau ke mana?”
“Jangan khawatir. Bisakah kalian berdua menjaga Marie sebentar?”
Anak-anak mengangguk dan tersenyum padanya.
“Ya, aku bisa melakukan itu.”
“Dan aku akan mengawasi Myuke, oce?”
“Aku bisa mengawasi diriku sendiri.”
“Aku akan mengawasimu mengawasi Marie, oce?”
“Sudah kubilang itu tidak perlu!”
“Baiklah, Ayah akan pergi sekarang.”
Dengan mengusap kepala anak-anak, Anima meninggalkan ruangan. Dia mengambil kantong uangnya dalam perjalanannya keluar rumah dan pergi ke Garaat.
◆◆◆
Saat Anima tiba di Garaat, dia berjalan ke jalan utama yang dihiasi dengan berbagai toko dan kios. Dia mengamati daerah itu, mencari sebuah keluarga—keluarga mana saja—yang memiliki seorang putri seusia Marie. Dia ingin meminta bantuan mereka untuk memahami apa yang disukai gadis seusia itu, tapi pencariannya tidak berjalan dengan baik. Dia tidak bisa fokus pada tugasnya sama sekali, dan dia segera menyadari kenapa itu terjadi.
Anima sendirian. Setelah bertemu Myuke, semua perjalanannya ke Garaat adalah bersama keluarganya. Mereka selalu berada di sisinya setiap saat. Tak terbayangkan olehnya bahwa dia harus berjalan-jalan sendirian, namun dia di sana, tersiksa oleh kesepian. Dia tidak menginginkan apa pun selain pulang untuk memeluk putri kesayangannya dan mencium istrinya yang cantik, jadi dia harus segera mencari keluarga dengan seorang putri kecil. Dengan tekadnya yang bangkit kembali, dia melihat ke sekeliling jalan sekali lagi.
“Hmm?”
Seorang gadis kecil berdiri di samping pintu masuk sebuah gang. Dia seumuran dengan Marie, mungkin sedikit lebih muda. Melihat sekeliling dengan gugup sambil mengisap ibu jarinya, dia menarik perhatian Anima terutama karena orang tuanya tidak terlihat di mana pun. Dia mungkin tersesat dan takut. Anima tidak bisa mengabaikannya.
Anima mulai berjalan ke arahnya, tapi langsung berhenti dengan cepat. Beberapa tahun yang lalu, dia dihadapkan pada situasi yang sama. Pada saat itu, gadis itu mulai menangis begitu melihatnya. Bayangan wajahnya yang ketakutan, suara jeritan yang menghancurkan jiwa, membakar pikirannya.
Untungnya, rumor mengerikan tentang dia hanya beredar di dunia sebelumnya, tapi meskipun begitu, anak-anak diajari untuk tidak terlibat dengan orang dewasa yang tidak mereka kenal. Ada kemungkinan dia akan memperumit masalah dengan berbicara sama anak itu, tapi anak itu cuma berdiri di sana, takut dan sendirian. Membayangkan rasa sakit anak itu menghentakkan hati sanubari Anima. Anima mulai berjalan ke arahnya sekali lagi, memasang senyum terhangat yang bisa dia keluarkan.
“Apakah kamu baik-baik saja?” Gadis itu menatap Anima, yang berjongkok dan menatap matanya. “Apakah kamu terpisah dari orang tuamu?”
“Aku meyihat anak kucing…” katanya pelan, hampir seperti berbisik. Anima mengangguk penuh pengertian sebagai jawaban.
“Itu pasti kucing yang sangat lucu. Katakan padaku, siapa namamu?”
“Namaku Ena. Kucing itu sangat lucu, tapi caat aku mendongak dan Ibu cudah ilang…”
“Begitu ya, begitu ya. Apakah kamu mengejar kucing itu?”
“Mm-hmm. Tapi dia kabur… Dia masuk ke sana…”
Dia menunjuk ke arah gang sempit dan gelap di sebelahnya, tapi dia tak mau melihatnya. Itu pasti tempat yang menakutkan di mata gadis kecil seperti itu. Anima menatapnya lagi dan tersenyum.
“Jangan khawatir. Ibu pasti ada di sekitar sini.”
“Benarkah?!” tanyanya, matanya berbinar dengan harapan.
“Benar benar.”
Itu bukanlah kebohongan yang dimaksudkan untuk menghiburnya. Anima beralasan bahwa Ena telah mengejar kucing itu melewati gang, saat itu ibunya pasti menyadari bahwa Ena telah hilang. Berharap putrinya akan pergi ke tempat yang dia tahu, dia mungkin pergi ke tempat favorit Ena di kota. Dengan kata lain…
“Ena, apakah kamu suka mainan?”
“Mm-hmm! Aku suka mainan!”
“Lalu bagaimana jika aku bilang kalau ibumu ada di sana?!” Anima menunjuk ke sebuah bangunan dua lantai di sisi lain gang—toko mainan. Tidak ada toko lain di dekatnya yang bisa disukai gadis seusianya, jadi ibunya kemungkinan besar akan pergi ke toko itu. “Haruskah kita pergi menemui Ibu?”
“Ayo!”
Anima mengulurkan tangan, yang dipegang erat oleh Ena, dan mereka memasuki toko bersama. Toko itu penuh dengan mainan, tapi Ena sama sekali mengabaikannya. Dia dengan panik melihat ke sekeliling untuk mencari ibunya.
“Ena!”
Tidak lama kemudian seorang wanita muda menghampiri mereka.
“Ibu! Ibu!”
Wanita itu berjongkok dan memeluk gadis kecil itu, yang mulai menangis dengan erat dalam pelukannya, lalu membelai lembut punggungnya.
“Ibu sangat khawatir… kemana kamu pergi?”
“Maaf! Aku meyihat kucing, lalu… Ibu tidak ada di sana, dan… lalu Tuwan membawaku ke sini…”
Melalui isak tangis, Ena menceritakan kejadian sepuluh menit terakhir. Ibunya dengan lembut mengelus kepalanya, lalu berdiri dan menatap Anima. Tidak ada sedikit pun kesedihan atau kemarahan di matanya; tatapannya hanya dipenuhi dengan rasa syukur.
“Terima kasih banyak, Anima!” serunya sambil meraih tangan Ena. “Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa, aku hanya… Terima kasih.”
“Bagaimana kamu bisa tahu namaku?”
“Aku bekerja di sebuah bar tempat Krain selalu membuat onar. Dia mengerikan, tapi sejak kau menendangnya keluar dari kota, aku bisa bekerja dengan damai.”
“Ah, begitu.”
Berkat batu golem–nya, Krain menjadi orang paling kuat di Garaat. Dia bertarung dengan Anima sekitar enam bulan yang lalu, tapi dia juga mencoba menyeret Myuke ke dalamnya, yang membuatnya merasakan kemarahan Anima. Krain dihajar habis-habisan, dan semua orang yang lewat memuji Anima karena telah memberikan apa yang pantas Krain dapatkan.
Penduduk kota sangat membenci Krain, seperti yang dapat diketahui Anima dari cara mereka memuji Anima. Anima tidak terlalu peduli dengan alasan dibalik kebencian mereka, tapi sepertinya ibu Ena sangat menderita oleh perilaku Krain.
“Terima kasih, Tuwan!”
Ena berhasil menenangkan diri saat berada dalam pelukan ibunya. Dia berbalik ke arah Anima dengan senyum lebar dan cerah, lalu berterima kasih pada Anima karena telah menyelamatkannya.
“Sama-sama. Pastikan untuk selalu bersama Ibumu, oke?”
“Uh-huh!”
Anima tersenyum melihat cara dia yang langsung menggenggam tangan ibunya.
“Sekali lagi, terima kasih banyak telah menjaga putriku. Aku ingin membalas kebaikanmu, tapi—Ah, aku tahu! Sebentar lagi waktu makan siang, jadi bagaimana kalau kamu mengunjungi bar kami? Aku yang traktir!”
“Aku merasa senang, tapi aku yakin istriku yang cantik sudah membuat makan siang di rumah, jadi aku harus menolaknya. Tidak ada makanan di dunia ini atau pun dunia lainnya yang dapat dibandingkan dengan masakan yang dia buat.”
“Oh, baiklah kalau begitu…” jawabnya dengan nada sedih, tapi Anima masih memiliki pertanyaan untuk ditanyakan.
“Ini mungkin terdengar aneh,” katanya, “tapi maukah kamu memberi tahuku beberapa hal yang putrimu sukai?”
“Aku suka Ibu dan Ayah!” jawab Ena. “Dan aku suka masakan Ibu!”
“Dia memakan semua yang aku masak. Hampir tidak ada sisa di piring setelah dia selesai makan.”
“Kaena itu enak!”
“Terima kasih, Ena. Ibu akan terus memasak untukmu agar kamu bisa tumbuh besar dan kuat, oke?”
Perut Ena keroncongan saat ibunya mengelus kepalanya.
“Aku lapar!”
“Ibu juga. Ibu akan langsung menyiapkan sesuatu setelah kita pulang, oke?”
“E-nak!”
Wanita itu memeluk putrinya sebelum membungkuk pada Anima.
“Sekali lagi terima kasih, Anima.”
“Jangan khawatir.”
“Da-daah, Tuwan!”
“Hati-hati!”
Mengucapkan selamat tinggal, perempuan-perepuan itu pergi, lalu Anima meluangkan waktu untuk melihat-lihat toko mainan. Dia segera menyadari bahwa toko itu penuh dengan keluarga; orang tua tersenyum hangat saat mereka melihat anak-anak mereka berkeliaran di lautan mainan. Namun, di antara semua keluarga itu, dia melihat seorang pria sedang melihat-lihat mainan sendirian, memasang ekspresi muram seolah-olah dia sedang bergerak menuju pertempuran. Pria itu mengacak-acak mainan itu satu per satu, tapi tidak benar-benar memilih satu pun mainan. Kemudian, saat dia pindah ke rak berikutnya, dia melihat Anima. Dia membuang muka sejenak, lalu melihat kembali. Rahangnya hampir ternganga lebar, tapi dia dengan cepat menenangkan diri dan berjalan ke arah Anima.
“Aku sangat menyesal, tapi rambut putih dan mata merahmu menarik perhatianku. Apakah sebetulnya kamu adalah Anima?”
“Ya, benar.”
Pria itu tersenyum lega.
“Aku adalah Hunter bintang lima, dan aku akan merasa terhormat untuk pergi menyelesaikan misi bersama denganmu.”
“Kenapa aku?”
“Oh, kupikir wajar saja bagi seorang Hunter sepertiku untuk mencoba berkelompok dengan pria terhormat sepertimu—lagipula, tidak banyak orang yang dapat menyatakan bahwa mereka telah ditawari kontrak dari raja. Kita bisa menangani misi yang paling sulit, dan melihatmu bertarung pasti akan membantuku mengasah kemampuan.”
“Bagaimana kamu bisa tahu tentang kontrak itu?”
“Sebagian besar orang di kota ini mengetahuinya. Maksudku, putrimu berlarian di jalanan, berteriak sekuat tenaga bahwa ayah mereka adalah yang terkuat dan telah menolak kontrak dari raja demi bersama keluarganya.”
Yang melakukan itu mungkin adalah Myuke dan Bram. Keduanya sering pergi disuruh oleh Luina ketika dia dan Anima sibuk bekerja di ladang, sehingga mereka punya banyak waktu untuk menyombongkan ayah mereka.
Tawaran kontrak dari raja jarang terjadi, tapi menolaknya sama sekali tidak pernah terdengar. Tak seorang pun di Garaat akan menganggap serius pernyataan mereka jika bukan karena fakta, bahwa Anima secara sepihak telah mengalahkan Krain tepat di depan muka mereka. Karena itu, kisah liar gadis-gadis itu dianggap sebagai fakta, tapi itu tidak penting.
“Maaf, tapi kamu sebaiknya mencari orang lain untuk menyelesaikan misi. Aku tidak akan melakukan pekerjaan apa pun di masa mendatang.”
Satu-satunya alasan dia menjadi Hunter adalah untuk melindungi Myuke sambil menghasilkan sedikit uang. Setelah mengumpulkan sejumlah besar uang dari menjual batu golem dan hadiah yang mereka terima dari raja, tidak ada alasan bagi mereka untuk menempatkan diri mereka dalam bahaya.
“Aku mengerti. Aku akan berusaha keras untuk menjadi sekuat kamu suatu hari nanti,” katanya sambil membungkuk pada Anima sebelum kembali melihat-lihat mainan. Dia sangat serius melihat-lihat mainan untuk seseorang yang tidak membawa anak bersamanya. Hanya ada satu alasan untuk itu.
“Um, permisi, tapi…”
“Ya?”
“Kulihat kamu sedang mencari mainan. Mungkinkah kamu mencoba mencari hadiah untuk seseorang?”
“Ya, benar. Apakah kamu di sini juga sama?”
“Iya, tapi jujur, aku tidak tahu harus memberikan apa.”
“Oh, benarkah?!” Pria itu tersenyum lega. “Ini agak aneh untuk diakui, tapi aku mungkin telah dibutakan oleh kehebatanmu. Bahkan belum terlintas dalam pikiranku bahwa kamu mungkin sedang kesulitan akan sesuatu. Namun, sangat masuk akal jika kamu mengalami masalah dengan ini. Memilih hadiah yang sempurna itu sesuatu yang sulit.”
Anima mengangguk setuju.
“Ini lebih menegangkan daripada pertemuanku dengan Yang Mulia. Kemungkinan akan memilih sesuatu yang dia tidak suka memenuhiku dengan rasa takut yang nyata.”
“Kamu jelas sangat mencintai putrimu.”
“Kamu juga.” Pria itu sangat serius dalam mencari hadiah yang sempurna untuk anaknya; dia pasti sangat mencintainya. “Berapa umur anakmu?”
“Dia akan berulang tahun yang ke enam minggu depan, si bandel kecil itu.”
“Dia pasti punya banyak energi.”
“Oh ya, sangat banyak.”
“Bolehkah aku bertanya apa yang kamu berikan saat ulang tahunnya yang keempat?”
Anima langsung ke pokok permasalahan.
“Sebagai Hunter, aku sering jauh dari keluargaku. Karena itu, aku memilih untuk memberikan sesuatu yang bisa dia mainkan sendirian. Aku menghabiskan waktu yang lama untuk memilih hadiah sempurna, dan akhirnya aku memutuskan untuk memberikan blok bangunan.”
“Blok bangunan, ya? Apakah dia menyukainya?”
“Dia menyukainya. Meski begitu, aku belum pernah benar-benar melihat dia memainkannya.”
“Kenapa tidak?”
“Dia selalu bermain denganku ketika aku di rumah,” kekeh pria itu.
“Begitu ya. Kedengarannya menyenangkan.”
“Benar. Aku biasanya tiba di rumah dengan kelelahan, tapi senyumnya yang cerah adalah obat yang luar biasa.”
“Aku sangat memahami itu,” kata Anima dengan anggukan. “Anak-anakku suka bermain hingga larut malam. Aku seharusnya tidak boleh membiarkan mereka, tapi melihat senyum ceria mereka membuatku ingin bermain bersama mereka sampai matahari terbit. Baru kemarin, kami berpegangan tangan dan menari berputar-putar jauh melewati waktu tidur mereka. Itu sangat indah.”
“Aku yakin putrimu juga bersenang-senang sepertimu. Semua orang tahu bahwa mereka benar-benar mencintaimu, jadi menurutku mereka akan menyukai apa pun yang kamu berikan pada mereka. Mereka akan tahu kalau itu berasal dari lubuk hatimu, dan itulah yang paling penting.”
“Dari lubuk hatiku…”
Pria itu benar. Ketakutan akan mengecewakan Marie dan mimpi buruknya yang mengerikan telah menguasai Anima, tapi itu seharusnya tidak perlu mengganggu pikirannya sejak awal. Keluarganya adalah orang-orang paling ramah dan paling baik yang pernah dia temui. Mereka tidak akan pernah membenci Anima karena tidak memberikan hadiah ulang tahun pada Marie, atau pun karena memberikan hadiah yang tidak disukainya.
Meski begitu, dia tidak ingin menyalahgunakan kebaikan keluarganya dengan tidak memberikan apapun padanya. Bagaimanapun juga, dia mencintai Marie dari lubuk hatinya; dia ingin memberikannya hadiah yang menggambarkan cintanya itu. Dia perlu meluangkan waktu dan memilih hadiahnya dengan hati-hati jika dia ingin mencapai tujuan itu, dan dihadiahi dengan senyuman yang menggemaskan nan menghangatkan hati, serta pelukan kecil namun sangat berharga.
“Umm, apakah semuanya baik-baik saja?”
Anima kembali tersadar. Mereka telah berbicara lama sekali—menyenangkan untuknya dapat berbagi pengalaman bahagia menjadi seorang ayah dengan pria lain—dan dia juga menghabiskan cukup banyak waktu untuk merenungkan ide-ide hadiahnya. Sudah waktunya dia bertindak.
“Terima kasih. Nasihatmu sangat berharga.”
“Senang rasanya bisa membantu, dan sangat menyenangkan berbicara denganmu tentang anak-anak. Semoga berhasil dalam berburu hadiahnya.”
“Semoga berhasil juga untukmu.”
Obrolan mereka akhirnya membantu menenangkan sarafnya. Anima menghabiskan lebih banyak waktu di toko, tapi langsung meninggalkan toko setelah berpisah dengan pria itu; tidak ada mainan yang berhasil menarik perhatiannya. Dia tidak gentar. Dia yakin bahwa hadiah yang sempurna telah menunggunya di salah satu dari sekian banyak toko di Garaat, yang perlu dia lakukan hanyalah menemukannya.
Dia berjalan di jalanan dan meneliti toko-toko sampai matahari mencapai titik tertingginya di langit. Dia harus segera menemukan sesuatu dan pulang agar istri tercintanya tidak khawatir. Dia memeras otak sebelum membuat hadiah pilihan terakhir: krayon. Gadis-gadis itu suka menggambar, dan toko kerajinan ada di dekatnya, jadi dia pasti akan sampai di sana sebelum tokonya tutup.
Saat dia berjalan menuju alun-alun kota, dia menyadari bahwa semakin banyak orang saat dia semakin dekat dengan alun-alun. Di alun-alun itu sendiri, dia menemukan kerumunan yang cukup besar berkumpul di sekitar tempat, yang kemungkinan besar adalah pedagang yang sesekali mendirikan toko di sana. Mungkin mereka menawarkan pernak-pernik langka dari negeri yang jauh, tapi hal-hal seperti itu tidak ada artinya bagi Marie, jadi dia terus maju, menerobos kerumunan. Ketika dia berhasil sampai ke depan, dia melihat seorang pria kekar sedang duduk di meja, dengan seorang pria yang jauh lebih kurus bersandar di sisi gerobak di belakangnya. Sementara tubuh mereka berlawanan jauh, wajah mereka agak mirip; mereka sepertinya bersaudara. Anima menghampiri seorang pria yang berdiri di tengah kerumunan.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Anima.
“Oh, rupanya Anima. Orang-orang ini datang ke alun-alun hari ini. Jika kamu mengalahkan pria berotot dalam adu panco, kamu bisa mendapatkan item pilihanmu dari gerobak mereka. Biaya masuknya hanya satu koin tembaga, jadi orang-orang sangat ingin mencobanya. Seperti yang bisa kamu lihat, itu menjadi cukup menarik.”
Pria itu secara mengejutkan bersikap ramah terhadap Anima dan bahkan tahu namanya, tapi dia memutuskan untuk mengabaikannya. Sebaliknya, dia melihat ke arah gerobak pria tersebut, yang berisi pernak-pernik dan barang antik yang tak terhitung jumlahnya. Cincin, gelang, ornamen, kosmetik, cangkir minuman keras yang terbuat dari berbagai logam mulia, vas hias, gulungan dinding, dan berbagai batu sihir, semuanya ditawarkan sebagai hadiah. Itu seperti kumpulan beraneka ragam barang, dan bahkan Anima dapat mengetahui bahwa setiap barang tersebut bernilai jauh lebih dari satu koin tembaga.
Di dalam tumpukan harta karun itu, satu barang menarik perhatiannya. Itu adalah benda kecil dan tidak mencolok yang tersembunyi di sudut gerobak, tapi Anima tahu kalau itu akan menjadi hadiah yang sempurna begitu dia melihatnya. Dia benar-benar harus mendapatkannya, dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan memenangkan permainan mereka. Dia menyiapkan satu koin tembaga, dan menunggu gilirannya.
“Aghhh!”
Tangan penantang menghantam meja. Anima tahu bahwa pria kekar itu meraih kemenangan beruntun yang mengesankan berdasarkan desahan kecewa dari para penonton, tapi itu tidak menyurutkan semangat para penantang yang penuh percaya diri. Dengan sedikit keberuntungan, mereka dapat memperoleh kembali uang mereka seratus kali lipat. Namun, Anima sedang mengincar barang yang kemungkinan memiliki nilai uang yang kecil; yang paling-paling hanya laku seharga beberapa koin tembaga, namun akan membawa kegembiraan luar biasa bagi gadis kecilnya yang berulang tahun. Itu saja sudah membuat barang itu lebih berharga baginya daripada harta lain yang ditawarkan.
“Yah, itu sangat disayangkan, tapi itu menyenangkan!” pria kurus itu mengumumkan. “Sekarang, ayo berkumpul, semuanya, ayo berkumpul! Adakah yang punya kekuatan untuk mampu mengatasi tantangan kami? Kami akan segera menutup toko, jadi mari kita percepat, oke? Siapa yang berikutnya?”
“Aku.” Anima berjalan ke meja dan membanting potongan tembaga ke bawah.
“Ayo maju, ayo ma—Oh, maafkan aku, Tuan yang baik, tapi aku harus memintamu berhenti menggunakan batu minotaur itu. Saudaraku mungkin kuat, tapi dia bahkan tidak bisa mengalahkan binatang buas.”
Pria kurus, yang merupakan saudara pria berotot seperti yang diduga Anima, sedang melihat tanduknya. Semua orang di luar keluarganya salah mengira itu sebagai efek samping dari menggunakan batu minotaur untuk meningkatkan kemampuan fisiknya, tapi dia tidak menggunakan hal semacam itu. Dia tidak akan keberatan mencabut tanduk itu dari kepalanya jika itu berarti dia bisa membuat Marie bahagia, tapi melakukan hal itu kemungkinan besar akan memiliki efek sebaliknya; Marie pasti akan menangis tak terkendali jika dia tahu tanduk Anima tidak ada lagi karena dia. Anima harus menemukan cara lain untuk membuat pria itu menyetujui tantangannya.
“Kalau begitu, mintalah saudaramu menggunakan batu minotaur.”
“Dan kenapa kamu mau begitu?”
“Karena kalau begitu, pertarungannya akan adil. Aku bahkan akan membelikannya untuknya, beri aku waktu beberapa menit.”
Anima berbalik, tapi pria itu menghentikannya sebelum dia sempat mengambil langkah.
“Tunggu! Tidak perlu mencarikannya untuk kami! Kami sudah punya batu minotaur di sini; kau tidak perlu membelinya!” Pria kekar itu jelas membanggakan dirinya atas kekuatannya, dan karena itu, batu minotaur adalah pasangan yang cocok untuknya. Tidak mengherankan jika dia sudah memiliki satu batu miliknya sendiri. “Jika aku boleh bertanya, Tuan yang baik, apakah mungkin kamu seorang Hunter?”
“Benar.”
“Dan kamu peringkat berapa?”
“Bintang satu.”
“Bagus, maka itu cukup untukku! Ayo mulai pertunjukan ini!”
Mudah untuk mengetahui mengapa hal itu tidak menimbulkan masalah untuk dua bersaudara itu. Hunter dibagi menjadi delapan peringkat, dan diberi kemampuan untuk naik peringkat melalui menyelesaikan misi, dan ikut bersama dengan Hunter yang berperingkat lebih tinggi. Hunter bintang satu adalah Hunter yang tidak melakukan apa pun yang penting, dan kemungkinan besar hanya memiliki sedikit mana dalam tubuh mereka. Orang yang menggunakan batu minotaur akan setara dengan Hunter yang terlatih dan berpengalaman, yang telah menyelesaikan setengah dari rutinitas pemanasan mereka.
Anima duduk dan meletakkan sikunya di atas meja, sementara pria kekar itu memusatkan mana ke batu minotaurnya, mengeluarkan kekuatannya. Seperti yang diiklankan, sepasang tanduk yang sangat mirip dengan Anima tumbuh dari pelipisnya. Ini adalah pertama kalinya Anima melihat seseorang menggunakan batu sihir itu, tapi itu dengan jelas menggambarkan alasan kenapa semua orang berasumsi bahwa Anima terus-menerus menggunakan batu itu.
Dengan kedua peserta siap untuk bertanding, pria kurus itu berdehem.
“Baiklah, pada hitungan ketiga!” dia mengumumkan. “Satu, dua, tiga!”
BRAAK!
Sedikit dorongan, kemudian mejanya tidak ada lagi; mejanya rusak menjadi dua. Pria kekar itu, yang tangannya telah menemui nasib malang karena menghantam meja, terbaring di atas sisa-sisa meja. Anima, yang menyadari apa yang telah dia lakukan, menjadi panik. Dia mungkin secara tidak sengaja memasukkan lebih banyak tenaga ke lengannya daripada saat dia melakukan tendangan yang telah mengirim Malshan terbang menembus hutan.
“M-Maaf, kupikir aku bertindak terlalu berlebihan. Apakah kamu baik-baik saja?”
“Owwww…”
Dia masih bernapas. Mengetahui hal itu sudah cukup membuat Anima rileks lagi.
“Ahhh, kurasa kita harus menutup toko untuk sementara waktu,” pria kurus itu mendesah saat mengkonfirmasi kemenangan Anima.
“Aku minta maaf.”
“Tidak apa-apa,” jawabnya dengan senyum masam, “inilah yang dimaksud dengan adu panco; setengah kesenangan ada di risikonya. Tetap saja, aku tidak pernah menyangka bahwa saudaraku akan pingsan. Hei, apakah kamu benar-benar bintang satu?”
“Ya.”
“Baiklah, dengan bintang satu sepertimu, aku kasihan pada orang bodoh yang berani macam-macam di sini. Pokoknya, kau menang! Pilihlah apa pun yang kamu suka, tuan yang baik.”
Anima tidak ragu-ragu dalam menentukan pilihannya, membuat pria kurus itu benar-benar bingung.
“Kamu yakin? Maksudku, jika itu memang yang kamu inginkan, maka itu milikmu. Tapi itu yang termurah. Tentu saja, nilainya lebih dari satu koin tembaga, tapi kamu bisa mendapatkan barang yang nilainya lebih besar jika kamu sedikit mencarinya.”
“Tak apa; yang ini sempurna. Ini untuk putriku.”
Pria itu tertawa terbahak-bahak.
“Yah, kalau begitu, itu membuat harganya menjadi tak ternilai! Terima kasih sudah mampir, Pak!”
Anima segera mengantongi hadiahnya dan segera pulang.
◆◆◆
“Ayah! Ayah pulang!”
Setelah bergegas melewati jalanan, Anima tiba di rumah dalam sekejap. Saat dia membuka pintu, Marie, dengan senyum lebar, berlari ke pintu masuk dan memeluk erat kakinya. Jantung Anima mulai berdebar kencang. Apakah senyuman manis itu akan tetap ada di wajahnya, yang sama manisnya, tergantung hanya pada hadiahnya.
“Ayah, Ayah sedih?” tanya Marie dengan cemas. “Apakah Ayah cakit?”
Anak-anak sangat peka terhadap perasaan orang dewasa. Anima harus menghilangkan kekhawatirannya; dia tidak ingin membuat Marie sedih, terutama pada hari ulang tahunnya.
“Tidak, Ayah baik-baik saja. Ayah bahkan bisa menggendongmu jika kamu mau. Bagaimana, ingin gendong?”
“Gendong! Gendong! Aku suka gendong!”
“Ayah bahkan bisa menggosok pipimu!”
“Geli! Ayah, aku akan kasih usapan! Ayah pergi sendirian, jadi Ayah dapat usapan!”
Merasa hangat, tangan mungil yang mengacak-acak rambut Anima menyingkirkan semua kekhawatirannya menjauh. Saat dia menikmati kebahagiaan itu, dia mendengar beberapa langkah kaki datang ke arahnya. Tak lama kemudian, Luina, Myuke, dan Bram tiba di pintu masuk.
“Selamat datang kembali, Anima.”
“Ayah benar-benar lama.”
“Kemana kamu pergi? Kami mulai khawatir, oce?”
Lega karena Anima sampai di rumah, mereka menyambutnya dengan senyuman hangat. Anehnya, kehangatan itu hanya membuat dadanya menjadi sesak. Sebuah kesadaran menghantamnya. Dengan pergi tanpa sepatah kata pun, dia telah membuat mereka gelisah. Tidak ada yang tahu ke mana Anima pergi, tidak ada yang tahu apakah dia baik-baik saja, tidak ada yang tahu kapan—atau apakah—dia akan pulang. Yang bisa mereka lakukan hanyalah percaya bahwa dia akan kembali.
Pelukan erat Marie pasti karena dia takut Ayah tercintanya tidak akan pernah pulang. Aggapan bahwa Anima telah membuat Marie khawatir mengalir dalam dirinya. Ulang tahunnya yang berharga seharusnya menjadi saat yang membahagiakan; Anima berhasil mendapatkannya hadiah, tapi dengan mengorbankan apa? Dia takut memberi tahu keluarganya yang sebenarnya, tapi ketakutan itu tidak seberapa dibandingkan dengan perasaan telah membuat mereka khawatir. Dia berdehem dan membuka mulutnya.
“Ayah harus memberitahu kalian sesuatu, anak-anak. Ayah pergi ke Garaat untuk… membeli hadiah Marie.”
Itu tidak mudah baginya, tapi dia akhirnya terbuka dan memberi tahu mereka apa yang telah dia lakukan. Sebagai tanggapan, Myuke menjadi sangat bingung.
“Ayah mengatakannya seolah-olah itu semacam tindak kejahatan.”
“Kamu tidak marah…?”
Anima tidak mengerti kenapa dia tidak dimarahi. Dia melihat sekeliling, dan bukan hanya Myuke yang bingung dengan nadanya yang muram. Luina, Bram, dan bahkan Marie semuanya memandangnya seolah dia memiliki enam tanduk. Anima perlu menjelaskan jalan pikirannya sehingga mereka dapat sepenuhnya memahami pentingnya situasi itu.
“Ayah tidak ingin dianggap gagal. Ayah mencintai Marie dari lubuk hati, Ayah benar-benar mencintainya, itulah sebabnya Ayah tidak punya pilihan lain selain memberinya hadiah ulang tahun. Masalahnya, kemarin adalah pertama kalinya Ayah mendengar tentang adat seperti ulang tahun…”
Anima membuka hatinya untuk mereka, membuat Myuke tersenyum.
“Ayah benar-benar gelisah tentang hal seperti itu?”
“Hadiah tidak penting untuk ulang tahun, oce?” Bram menjelaskan sambil meletakkan tangan di bahu Anima.
“Tepat,” kata Luina. “Niat kitalah yang penting. Kami semua tahu betapa besar kamu mencintai Marie, jadi satu-satunya hal yang penting adalah kamu ada di sini untuk merayakannya bersamanya.”
“B-Benarkah?”
“Tentu saja. Dan selain itu…” Luina berhenti sejenak dan menatap Marie dengan senyuman hangat. “Hadiah terbaik yang bisa kamu berikan kepada malaikat kecil ini adalah waktu yang kamu habiskan bersamanya. Kamu menghabiskan begitu banyak waktu bermain dengannya setiap malam. Apakah itu terdengar seperti kegagalan bagimu? Karena, tentu saja itu tidak bagiku—bagi kami. Bukankah begitu, Marie?”
“Uh-huh! Aku cuka bemain cama Ayah!”
Kata-kata itu membebaskannya dari semua rasa bersalah. Dia benar-benar diliputi kegembiraan, seperti yang ditunjukkan oleh senyum lebar di wajahnya.
“Ayah juga, Marie! Ayah juga suka bermain denganmu! Ayah akan selalu bermain denganmu! Hari ini, besok, lusa—Ayah tidak akan melewatkan satu hari pun, oke?!”
“Yaaay!”
“Aku ingin bermain bersama juga,” tambah Luina.
“Jangan pernah berpikir aku tidak akan ada di sana!”
“Aku juga ikut, oce?! Tapi aku mau makan dulu! Aku kelaparan, oce?” tambah Bram sambil mengusap-usap perutnya. Hanya itu yang mereka butuhkan untuk berpegangan tangan dan pindah ke ruang makan bersama.
Luina telah menghabiskan sebagian besar hari itu dengan menyiapkan jamuan besar. Di atas meja diletakkan dengan indah berbagai macam buah-buahan, sup yang lezat, dan segunung salad sayuran—semua makanan favorit Marie. Untuk melengkapi acara khusus tersebut, di tengah makan malam ulang tahun yang luar biasa itu, ada permata mahkotanya: kue apel yang fantastis.
“Ini pasti sulit dibuat. Maaf, aku tidak ada di sini untuk membantu,” sesal Anima.
“Oh, memang, terutama karena aku sangat kesepian tanpamu.” Luina menatapnya dengan cemberut. Jarang bagi Anima untuk bisa melihat tingkah kekanak-kanakan Luina. “Kuharap kamu berencana menghabiskan sepanjang hari esok bersamaku.”
Anima menanggapi permintaan main-mainnya dengan sangat serius.
“Tentu. Kita bahkan akan memasak bersama. Janji.”
“Aku senang mendengarnya,” jawab Luina riang, lalu duduk. Begitu semua orang juga duduk, dia berdehem untuk menarik perhatian mereka. “Sebelum kita makan, Ibu sedikit punya sesuatu untuk Marie. Apakah kamu ingin melihatnya?”
“Aku mau! Biyay aku yihat, biyay aku yihat!”
“Ta-dah! Ini adalah untukmu!”
“Wow! Wooow! Ini key-yinci!”
Mata Marie berbinar-binar saat melihat kelinci mewah seukuran telapak tangan di tangan Luina. Marie melompat dari kursinya, berlari ke arah Luina, dan memeluk erat hadiahnya.
“Terima kasih, Bu!”
“Sama-sama. Oh, dan lihat, Ibu pikir kakak-kakakmu memiliki sesuatu untukmu juga.”
“Yaaay! Apa icu?”
Dia menoleh ke arah Myuke dan Bram dengan senyum penuh harap.
Gadis-gadis itu bertukar pandang, lalu menatap Marie.
“Ini dari aku dan Bram.”
“Ini maha karya kami, oce?”
Myuke menarik selembar kertas dari belakang punggungnya, yang mereka berdua persembahkan bersama kepada gadis yang berulang tahun. Itu adalah gambar yang mereka buat secara rahasia untuk mengejutkannya. Itu juga pertama kalinya Anima melihatnya.
“Ah! Ini aku! Yihat, ini aku!”
“Benar,” kata Luina. “Itu sangat bagus.”
“Ini sangat tantik! Teyima kacih, Myukey an Brum!”
“Sama-sama.”
“Jaga baik-baik, oce?”
“Uh-huh! Aku akan menaruhnya di kamay!”
“Itu akan luar biasa, oce?”
“Kami pasti telah membuat karya yang cukup bagus jika kamu ingin meletakkannya di sana!”
Mereka sangat bahagia karena Marie menyukai hadiah mereka. Dia sangat menyukainya, bahkan dia berjalan ke arah Anima untuk memamerkannya.
“Ayah, yihat! Ini aku!”
“Itu luar biasa; Ayah turut senang untukmu. Dan lihat, Ayah juga punya sesuatu untukmu.”
“Benarkah?”
“Benar. Ayah harap kamu menyukainya.” Anima merogoh sakunya. Untungnya, mimpi buruknya tidak menjadi kenyataan, karena hadiahnya masih ada. “Selamat ulang tahun, Marie.”
“Imutnyaaaa!”
Marie tersenyum lebar ketika dia melihat apa yang ditempatkan Anima di tangannya. Marie memeluk hadiah itu ke dadanya dan mulai berputar melompat-lompat. Di tangan mungilnya ada ikat rambut, tapi itu bukan ikat rambut biasa. Apa yang Anima berikan padanya adalah ikat rambut kelinci.
“Itu sangat imut, Anima. Kerja bagus.”
“Itu akan tampak bagus pada Marie!”
“Kamu cukup pandai mencari hadiah, oce?”
Intuisinya benar; ikat rambut jadi hadiah yang luar biasa.
“Ayo, Marie. Apakah tidak ada sesuatu yang ingin kamu katakan pada Ayah?”
Mendapatkan begitu banyak hadiah indah membuatnya menjadi gadis kecil paling bahagia di dunia. Dia melompat pada Anima dan memeluknya erat-erat.
“Terima kasih, Ayah! Aku sayang Ayah!”
Melihat senyum senang putrinya membuat semua kekhawatirannya lenyap.